TINJAUAN PUSTAKA Botani Kedelai Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merr.) merupakan anggota dari famili Leguminosae, subfamili Papilionideae, dan termasuk ke dalam genus Glycine L. (Johnson and Bernard, 1963). Bibit kedelai berkecambah dengan tipe perkecambahan epigeal dengan kotiledon tebal dan berdaging, berwarna kuning atau hijau. Tanaman ini biasanya tegak dan merupakan herba tahunan yang lebat dengan tinggi mencapai dua meter dan kadang-kadang agak merambat. Sistem perakaran tunggang bercabang dengan panjang akar mencapai dua meter. Akar lateral menyebar secara horizontal hingga 2.5 meter (Giller dan Dashiell, 2010). Tanaman kedelai mempunyai bunga sempurna, yaitu dalam satu bunga terdapat alat kelamin jantan (benang sari/serbuk sari) dan alat kelamin betina (putik). Bunga kedelai berwarna ungu atau putih (Fachruddin, 2000). Bunga kedelai biasanya berukuran panjang sekitar enam sampai tujuh milimeter dan secara keseluruhan ukurannya kecil. Struktur bunga kedelai yang sedemikian rupa menjadikan bunga tersebut melakukan suatu pembatasan terhadap penyerbukan, yakni penyerbukan yang mereka kontrol sendiri, yaitu penyerbukan sendiri (selfpollination). Penyebrukan sendiri, yaitu kepala putik diserbuki oleh tepung sari dari bunga yang sama (Kartono, 2005). Kedelai merupakan tanaman hari pendek, yakni tidak akan berbunga bila lama penyinaran (panjang hari) melampaui batas kritis. Apabila lama penyinaran kurang dari batas kritik, maka kedelai akan berbunga. Pada lama penyinaran 12 jam hampir semua varietas kedelai dapat berbunga beragam dari 20-60 hari setelah tanam. Apabila lama penyinaran melebihi periode kritik, tanaman kedelai akan meneruskan pertumbuhan vegetatifnya tanpa pembungaan (Karamoy, 2009). Di Indonesia, tanaman kedelai pada umumnya mulai berbunga pada umur 30-50 hari setelah tanam (Fachruddin, 2000). Faktor lain seperti suhu, nutrisi, intensitas cahaya mungkin mempengaruhi respon kedelai yang sesuai untuk pembungaan namun di lapangan lama penyinaran biasanya pengaruh utama dalam induksi pembungaan. Tanaman kedelai biasa mengalami pengguguran bunga, hingga
5 mencapai 75 persen. Kedelai biasanya menghasilkan banyak bunga daripada buah yang terbentuk. (Johnson and Bernard, 1963). Buah kedelai berbentuk polong dan setiap polong berisi satu sampai empat biji. Biji umunya berbentuk bulat atau bulat pipih sampai bulat lonjong. Ukuran biji berkisar antara 6-30 gram/100 biji. Ukuran biji diklasifikasikan menjadi tiga kelas, yaitu biji kecil (6-10 gram/100 biji), sedang (11-12 gram/100 biji), dan besar (13 atau lebih/100 biji). Warna kulit biji bervariasi antara lain, kuning, hijau, cokelat, dan hitam (Fachruddin, 2000). Lingkungan Tumbuh Kedelai sebagai tanaman legum memiliki areal kesesuaian lingkungan dalam hal lintang, ketinggian tempat, suhu, panjang hari, dan kelembaban. Panjang hari dan intensitas penyinaran (radiasi) surya penting untuk diperhatikan dalam budidaya tanaman kedelai. Faktor iklim terutama radiasi surya perlu diperhatikan (Baharsjah, 1992). Di Indonesia kedelai dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran rendah samapi ketinggian 900 meter diatas permukaan laut (dpl). Meskipun demikian telah banyak varietas atau genotipe kedelai dalam negeri maupun introduksi yang dapat beradaptasi dengan baik di dataran tinggi (pegunungan) ± 1 200 m dpl. (Rukmana dan Yuniarsih, 1996). Kedelai biasanya ditanam di daerah dengan garis lintang 55 0 LU atau 55 0 LS, pada ketinggian dari permukaan laut sampai dengan 2 000 mdpl (Giller dan Dashiell, 2010). Kisaran suhu untuk pertumbuhan kedelai adalah 10-35 0 C, diatas suhu 35 0 C tanaman dapat tumbuh namun kurang baik, dan diatas suhu 40 0 C produksinya hampir tidak ada. Suhu yang kurang sesuai terhadap tanaman kedelai dapat mengakibatkan berkurangnya inisiasi bunga dan pembentukan polong (Baharsjah, 1992). Kondisi iklim yang cocok untuk penanaman kedelai di Indonesia umumnya adalah daerah dengan suhu antara 25-27 0 C (Rukmana dan Yuniarsih, 1996). Meskipun tanaman tumbuh dengan baik pada temperatur 10-35 0 C, namun suhu optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan pada umumnya sekitar 30 0 C (Giller dan Dashiell, 2010).
6 Pada umumnya kedelai menghendaki tanah yang berstruktur remah dengan keasaman sedang (ph 5-7) (Baharsjah, 1992). Nilai ph ideal bagi pertumbuhan kedelai dan bakteri Rhizobium adalah 6.0-6.8. Apabila ph diatas 7.0 tanaman kedelai mengalami klorosis sehingga tanaman menjadi kerdil dan daunnya menguning. Sementara pada ph di bawah 5.0 kedelai mengalami keracunan Al, Fe, dan Mn, sehingga pertumbuhannya terganggu. Untuk menaikkan ph, dilakukan pengapuran misalnya dengan Kalsit (CaCO 3 ), Dolomit (CaMg(CO 3 ) 2 ), atau kapur bakar. Pemberian kapur dilakukan sekitar 2-4 minggu sebelum tanam, bersamaan dengan pengolahan lahan. Tanaman kedelai dapat ditanam pada berbagai jenis tanah dengan drainase dan aerasi yang baik. Jenis tanah yang sangat cocok untuk kedelai adalah Aluvial, Regosol, Grumosol, Latosol, dan Andosol (Fachruddin, 2000). Kedelai tergolong pada tanaman yang tidak tahan kekeringan dan kelebihan air. Kekeringan akan menurunkan hasil, sedangkan pengairan berlebihan dalam ketersediaan air terbatas disamping menurunkan hasil juga mengurangi luas pertanaman. Teknik irigasi dan teknik konservasi air khusus dikembangkan dalam usaha memanipulasi status air tanah agar sesuai dengan kebutuhan air kedelai (Sumarno dan Harnoto, 1993). Kondisi iklim yang cocok untuk penanaman kedelai di Indonesia umumnya adalah daerah dengan kelembaban udara (RH) rata-rata 65% dan curah hujan paling optimum antara 100-200 mm/bulan (Rukmana dan Yuniarsih, 1996). Kedelai membutuhkan setidaknya 500 mm air selama musim pertumbuhan untuk perkembangan yang baik dengan konsumsi air dalam kondisi optimal adalah 850 mm (Giller dan Dashiell, 2010). Sistem Produksi Pemilihan benih yang baik sangat penting, sebab akan mempengaruhi penampilannya di lapang. Kedelai dengan daya tumbuh rendah mengakibatkan jumlah per satuan luas akan berkurang. Pemilihan varietas kedelai yang sesuai dengan kebutuhan, mampu beradaptasi dengan kondisi lapang, dan memenuhi standar mutu benih yang baik sangat penting (Fachruddin, 2000).
7 Di sebagian besar negara, kedelai ditanam dalam baris. Seperti kebanyakan tanaman tahunan lainnya, hampir segala sesuatu tentang budidaya kedelai mekanik, dari penyusunan tanah untuk penanaman, budidaya, aplikasi bahan kimia, dan panen. Praktek budidaya seperti persiapan lahan konservasi atau penanaman langsung semua merujuk kepada cara untuk mengurangi atau menghilangkan tahap pengolahan tanah. Budidaya tersebut menguntungkan, yaitu sistem budidaya lebih organik, mengurangi jumlah mesin yang digunakan, dan mengurangi biaya keseluruhan produksi. Pemanenan terjadi sekali per tahun. Kedelai dipanen dan dipotong dari tangkai dan dipisahkan biji dari polong dan sisa tanaman (Aquino, 2002). Umur panen kedelai ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu varietas dan ketinggian tempat penanaman. Di daerah dataran tinggi, umur tanaman kedelai siap panen lebih lama 10-20 hari dibandingkan dengan di daerah dataran rendah. Ciri ciri umum tanaman kedelai siap panen diantaranya adalah: polong berwarna kuning kecoklatan secara merata, daun sudah banyak yang kering dan rontok, batang sudah mengering (Fachruddin, 2000). Faktor yang Mempengaruhi Fotosintesis Pertanian pada dasarnya merupakan sistem pemanfaatan energi matahari melalui proses fotosintesis. Produksi tanaman budidaya pada dasarnya tergantung pada ukuran dan efisiensi sistem fotosintesis. Tempat utama terjadinya fotosintesis pada legum pangan adalah pada daun. Tidak seperti pada tanaman serealia dimana kegiatan fotosintesis pada malai dapat memberikan andil sampai 50 persen atau lebih dari fotosintat yang dibutuhkan oleh biji-biji yang sedang mengisi, polong-polong hijau dari legum tidak menunjukkan adanya fiksasi CO 2 dari udara (Baharsjah, 1992). Laju fotosintesis berbagai tanaman berbeda sesuai dengan dimana spesies tersebut berada. Perbedaan ini sebagian disebabkan oleh adanya keragaman pada kondisi optimum tiap-tiap spesies. Berbagai faktor yang mempengaruhi fotosintesis diantaranya adalah H 2 O, CO 2, cahaya, hara, unsur hara, dan suhu. Pada tumbuhan tingkat tinggi nampaknya fotosintesis sangat dibatasi oleh faktor air. Lebih detail dinyatakan bahwa cahaya juga mempengaruhi produksi maupun
8 proses yang terjadi pada fotosintesis. Pada tanaman alfalfa (Medicago sativa), yang diamati selama dua hari di akhir musim panas dengan pengaruh awan menutupi beberapa waktu, menunjukkan bahwa penambatan CO 2 paling banyak terjadi sekitar tengah hari ketika tingkat cahaya paling tinggi dan cahaya sering membatasi fotosintesis terlihat dengan menurunnya laju penambatan CO 2 ketika tumbuhan terkena bayangan awan sebentar (Salisbury dan Ross, 1991). Kisaran laju fotosintesis telah diteliti oleh Ogren dan Rinne pada Glycine max, yaitu sebesar 12-24 CO 2 dm -2 h -1. Laju fotosintesis berubah dengan bertambahnya umur tanaman. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju fotosintesis yaitu, intensitas serta lamanya penyinaran, difusi CO 2, karboksilasi, translokasi, dan banyaknya klorofil per satuan luas daun (Baharsjah, 1992). Adaptasi Terhadap Naungan Pada tumbuhan dikotil, daun yang ternaungi berukuran lebih besar tapi lebih tipis dibandingkan dengan daun dari tanaman yang biasa hidup dibawah jumlah cahaya matahari yang cukup. Daun matahari (daun dari tanaman yang tidak ternaungi) menjadi lebih tebal daripada daun naungan karena membentuk sel palisade yang lebih panjang atau membentuk tambahan lapisan sel palisade. Berdasarkan bobot, daun naungan umumnya juga mempunyai klorofil yang lebih banyak, khususnya klorofil b, terutama karena tiap kloroplas mempunyai lebih banyak grana dibandingkan dengan pada daun matahari. Kloroplas daun yang ternaungai mempunyai protein stroma lebih sedikit, termasuk rubisko, dan mungkin juga protein pengangkut elektron tilakoid lebih sedikit daripada daun matahari. Daun naungan menggunakan lebih banyak energi untuk menghasilkan pigmen pemanen cahaya yang memungkinkannya mampu menggunakan semua cahaya dalam jumlah terbatas yang mengenainya (Salisbury dan Ross, 1991). Salisbury dan Ross (1991) selanjutnya juga menjelaskan bahwa Alocasia sebagai tanaman ternaungi mempunyai repon yang khas. Pada tanaman Alocasia, spesies tersebut mempunyai laju fotosintesis yang jauh lebih rendah pada cahaya matahari yang terang dibandingkan dengan tanaman budidaya atau tumbuhan lain yang tumbuh di tempat terbuka. Respon fotosintesisnya mencapai jenuh pada tingkat radiasi yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan spesies lainnya. Pada
9 tingkat cahaya yang sangat rendah mereka biasanya berfotosintesis pada laju yang lebih tinggi dibandingkan spesies yang lainnya dan titik kompensasi cahayanya sangat rendah. Adaptasi tanaman, terutama adaptasi tanaman kedelai terhadap naungan telah banyak diteliti. Naungan berpengaruh terhadap karakter morfologi, anatomi, fisiologi, dan produksi kedelai dengan meningkatkan tinggi tanaman (Mulyana 2006; Anggraeni 2010), luas daun trifoliat (Mulyana 2006; Kisman 2007), kandungan klorofil a dan b (Jufri dan Mulyana 2006; Muhuria dan Kisman 2007; Anggraeni 2010), menurunkan jumlah daun trifoliat (Mulyana 2006; Anggraeni 2010), tebal daun (Jufri 2006; Anggraeni 2010), kerapatan stomata (Mulyana 2006; Anggraeni 2010), polong isi, polong hampa, polong total, bobot biji per tanaman, dan bobot 100 butir (Jufri dan Mulyana, 2006; Anggraeni 2010). Analisis Pertumbuhan tanaman Indeks Luas Daun (ILD) atau Leaf Area Index (LAI) Pengukuran luas daun tanaman merupakan salah satu pengamatan yang cukup penting dalam penelitian fisiologi dan agronomi. Hasil pengukuran tersebut dapat digunakan untuk menentukan indeks luas daun, laju asimilasi netto, efisiensi fotosintesis, dan potensi fotosintesis daun. Cara pengukuran luas daun ini dapat dilakukan dengan atau tanpa memotong daun dari tanaman. Pada penelitianpenelitian tertentu, misalnya transpirasi dan fotosintesis, sering diperlukan pengukuran luas daun tanpa pemotongan daun dari tanamannya (Sutoro, 1986). LAI (Leaf Area Index) merupakan nisbah luas daun (satu sisi permukaan saja) tanaman terhadap luas permukaan tanah tempat tanaman tersebut tumbuh (Salisbury dan Ross, 1991). Indeks Luas Daun (ILD) yang dibatasi dengan pengertian perbandingan luas daun total dengan luas tanah yang ditutupi atau luas daun diatas suatu luasan tanah, yang diusulkan untuk disebut Leaf Area Index (LAI). Luas daun dan luas lahan memiliki satuan yang sama, sehingga peubah analisis ini tidak memiliki satuan atau suatu nisbah yang tidak memiliki dimensi (Watson dalam Sitompul dan Guritno, 1995). LAI (Leaf Area Index) merupakan total bahan daun dalam suatu lingkungan (ekosistem) didefinisikan sebagai wilayah satu-sisi dari total
10 fotosintesis jaringan per unit satuan luas pada permukaan atas tanah. LAI dari tajuk tanaman memainkan peranan penting dalam mengontrol interaksi antara lingkungan darat dan variabel atmosfer. Akurasi dan presisi Indeks Luas Daun yang berasal dari pengindraan jauh atau citra jarak jauh sangat penting untuk studi perubahan iklim, terutama pada skala regional dan lokal untuk meningkatkan proses parameterisasi dalam berbagai kelas model (Gobron, 2008). Laju Asimilasi Bersih (LAB) atau Net Assimilation Rate (NAR) Tingkat Asimilasi Bersih (LAB) berdasarkan luas daun, berat kering, protein dan kandungan klorofil telah diukur untuk banyak spesies. Pentingnya luas daun dalam menentukan hasil telah banyak dibahas, tetapi penelitian terbaru sampai pada keterbatasan pengukuran luas daun total (Ohlrogge, 1963). Laju asimilasi bersih adalah laju penimbunan berat kering per satuan luas daun per satuan waktu. LAB merupakan ukuran rata-rata efisiensi fotosintesis daun dalam suatu komunitas tanaman budidaya. LAB paling tinggi nilainya pada saat tumbuhan masih kecil dan sebagian besar daunnya terkena sinar matahari langsung. Dengan bertumbuhnya tanaman budidaya dan dengan meningkatnya LAI, makin banyak daun terlindung, menyebabkan penurunan LAB sepanjang musim pertumbuhan. Laju asimilasi bersih merupakan ukuran rata-rata efisiensi fotosintesis daun dalam suatu komunitas tanaman budidaya (Gardner et al., 1991). LAB atau NAR dalam banyak literatur sering disebut juga dengan HSD (Harga Satuan Daun). Hal tersebut kurang tepat untuk menyatakan pertambahan bahan baru tanaman. Hal ini didasarkan atas alasan bahwa bahan baru tanaman yang dibentuk tidak hanya berasal dari produk reduksi CO 2 dalam proses fotosintesis, tetapi juga unsur hara yang diambil akar dari dalam tanah. Sementara NAR mempunyai pengertian tingkat asimilasi CO 2 bersih, yaitu jumlah total CO 2 yang diambil tanaman dikurangi dengan jumlah yang hilang melalui respirasi (Sitompul dan Guritno, 1995). Laju asimilasi bersih dapat menggambarkan produksi bahan kering atau merupakan produksi bahan kering per satuan luas daun dengan asumsi bahan kering tersusun sebagian besar dari CO 2 (Kastono et al, 2005).
11 Nisbah Luas Daun (NLD) atau Leaf Area Ratio (LAR) Suatu peubah pertumbuhan yang dapat digunakan untuk mencerminkan morfologi tanaman adalah nisbah luas daun (NLD), yaitu hasil bagi dari luas daun dengan berat kering total tanaman. Indeks ini mencangkup proses pembagian dan translokasi asimilat ke tempat sintesa bahan daun dan efisiensi penggunaan substrat dalam pembentukan luasan daun (Sitompul dan Guritno, 1995). Laju Pertumbuhan Relatif (LPR) atau Relative Growth Rate (RGR) Merupakan pertambahan berat kering tanaman pada suatu waktu tertentu (Beadle, 1993). Laju Pertumbuhan Relatif (LPR) merupakan peningkatan berat kering tanaman dalam suatu interval waktu, erat hubungannya dengan berat awal tanaman. Asumsi yang digunakan untuk persamaan kuantitatif LPR adalah bahwa pertambahan biomassa tanaman per satuan waktu tidak konstan tetapi tergantung pada berat awal tanaman. Bahwa keseluruhan tanaman yang dinyatakan dalam biomassa total tanaman dipertimbangkan sebagai suatu kesatuan untuk menghasilkan bahan baru tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995). LPR dapat digunakan untuk mengukur produktivitas (efisiensi) biomassa awal tanaman, yang berfungsi sebagai modal, dalam menghasilkan bahan baru tanaman. Perbedaan LPR dapat terjadi diantara spesies akibat perbedaan dalam laju fotosintesis dan efisiensi biomassa. Dalam aspek biosintesis, tanaman yang mengandung banyak protein per unit biomassa seperti tanaman kacang-kacangan akan membentuk biomassa yang lebih sedikit per satuan substrat (karbohidrat) yang tersedia dari tanaman yang mengandung protein lebih sedikit dari tanaman serealia. Energi yang dibutuhkan akan meningkat dengan peningkatan kandungan protein, sementara energi tersebut diperoleh dari proses perombakan (respirasi aerobik atau fermentasi) dari substrat. Tanaman yang tergolong ke dalam tanaman C4 seperti jagung mempunyai LPR yang tinggi, jauh lebih tinggi dari LPR tanaman golongan C3 seperti Theobroma cacao (Sitompul dan Guritno, 1995). Luas Daun Spesifik (LDS) atau Specific Leaf Area (SLA) Luas daun spesifik yaitu hasil bagi luas daun dengan berat daun. Indeks ini mengandung informasi ketebalan daun yang dapat mencerminkan unit
12 organela fotosintesis. Kuanta cahaya merupakan faktor yang dominan dari biomassa tanaman dalam memicu aktifitas sifat dalam tanaman (genetik) yang mengendalikan nilai luas daun spesifik. Tanggapan luas daun spesifik kepada perubahan kuanta radiasi dalam jangka pendek cukup sensitif (Sitompul dan Guritno, 1995). Nilai luas daun spesifik yang semakin besar mengindikasikan daun semakin tipis dan nilai luas daun spesifik tidak berpengaruh langsung terhadap bobot biji (Sutoro et al., 2008).