BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
IMPLEMENTASI METODE PALMER UNTUK ANALISIS KEKERINGAN PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI TEMON KABUPATEN WONOGIRI

ANALISIS DEBIT ANDALAN

ADI PRASETYA NUGROHO NIM I

Dr. Ir. Robert J. Kodoatie, M. Eng 2012 BAB 3 PERHITUNGAN KEBUTUHAN AIR DAN KETERSEDIAAN AIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Misal dgn andalan 90% diperoleh debit andalan 100 m 3 /det. Berarti akan dihadapi adanya debit-debit yg sama atau lebih besar dari 100 m 3 /det

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air

PENERAPAN METODE PALMER DROUGHT SEVERITY INDEX (PDSI) UNTUK ANALISA KEKERINGAN PADA SUB-SUB DAS SLAHUNG KABUPATEN PONOROGO JURNAL ILMIAH

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

ANALISIS KEKERINGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI KEDUANG DENGAN MENGGUNAKAN METODE PALMER (277A) ABSTRAK

SKRIPSI. Disusun oleh : JULIAN WAHYU PURNOMO PUTRO I

BAB I PENDAHULUAN. 31 km di atas area seluas 1145 km² di Sumatera Utara, Sumatera, Indonesia. Di

Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI DEDIKASI KATA PENGANTAR

PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS. Oleh: Suryana*)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS KETERSEDIAAN AIR PULAU-PULAU KECIL DI DAERAH CAT DAN NON-CAT DENGAN CARA PERHITUNGAN METODE MOCK YANG DIMODIFIKASI.

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI. Halaman JUDUL PENGESAHAN PERSEMBAHAN ABSTRAK KATA PENGANTAR

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehilangan air pada suatu sistem hidrologi. panjang, untuk suatu DAS atau badan air seperti waduk atau danau.

II. IKLIM & METEOROLOGI. Novrianti.,MT_Rekayasa Hidrologi

BAB 4 ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di lingkungan Masjid Al-Wasi i Universitas Lampung

ANALISIS WATER BALANCE DAS SERAYU BERDASARKAN DEBIT SUNGAI UTAMA

Analisis Ketersediaan Air Embung Tambakboyo Sleman DIY

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Studi Kasus Penggunaan Sumber Daya Air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Ketibung Kabupaten Lampung Selatan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB III LANDASAN TEORI

KEANDALAN ANALISA METODE MOCK (STUDI KASUS: WADUK PLTA KOTO PANJANG) Trimaijon. Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Riau, Pekanbaru

I. PENDAHULUAN. jagung adalah kedelai. Kedelai juga merupakan tanaman palawija yang memiliki

BAB III LANDASAN TEORI

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab III TINJAUAN PUSTAKA

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Tujuan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daur Hidrologi

Gambar 2.1. Diagram Alir Studi

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL

ANALISA KETERSEDIAAN AIR DAERAH ALIRAN SUNGAI BARITO HULU DENGAN MENGGUNAKAN DEBIT HASIL PERHITUNGAN METODE NRECA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II METODOLOGI 2.1 Bagan Alir Perencanaan

BAB II DASAR TEORI 2.1 Perhitungan Hidrologi Curah hujan rata-rata DAS

Bab V PENGELOLAAN MASALAH BANJIR DAN KEKERINGAN

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir

OPTIMASI FAKTOR PENYEDIAAN AIR RELATIF SEBAGAI SOLUSI KRISIS AIR PADA BENDUNG PESUCEN

PENDAHULUAN. tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan menjadi aliran sungai yang

TUGAS KELOMPOK REKAYASA IRIGASI I ARTIKEL/MAKALAH /JURNAL TENTANG KEBUTUHAN AIR IRIGASI, KETERSEDIAAN AIR IRIGASI, DAN POLA TANAM

BAB 3 METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

BAB I SIKLUS HIDROLOGI. Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air.

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... iii. LEMBAR PENGESAHAN... iii. PERNYATAAN... iii. KATA PENGANTAR... iv. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL...

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. Lokasi penelitan ini dilakukan di wilayah Sub Daerah Aliran Ci Keruh.

Limpasan (Run Off) adalah.

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

DAFTAR ISI. 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 4

PENDAHULUAN Latar Belakang

Tujuan: Peserta mengetahui metode estimasi Koefisien Aliran (Tahunan) dalam monev kinerja DAS

MODUL PERHITUNGAN NERACA AIR STUDI KASUS KOTA CIREBON

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DATA

Lampiran 1.1 Data Curah Hujan 10 Tahun Terakhir Stasiun Patumbak

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien.

BAB III LANDASAN TEORI. danau. Secara umum persamaan dari neraca air adalah : - G 0 - ΔS. : debit aliran masuk dan keluar

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah

BAB III METODOLOGI. Bab Metodologi III TINJAUAN UMUM

ANALISA KETERSEDIAAN AIR

II. TINJAUAN PUSTAKA. Embung berfungsi sebagai penampung limpasan air hujan/runoff yang terjadi di

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Daftar Lampiran...

WATER BALANCE DAS KAITI SAMO KECAMATAN RAMBAH

ANALISA KEKERINGAN MENGGUNAKAN METODE PALMER DROUGHT SEVERITY INDEX (PDSI) DI SUB DAS BABAK KABUPATEN LOMBOK TENGAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...)

INDEKS KEKERINGAN HIDROLOGI BERDASARKAN DEBIT DI DAS KEDUANG KABUPATEN WONOGIRI

EVALUASI KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN AIR DAERAH IRIGASI NAMU SIRA-SIRA

BAB I PENDAHULUAN. Evaluasi Ketersediaan dan Kebutuhan Air Daerah Irigasi Namu Sira-sira.

I. PENDAHULUAN. angin bertiup dari arah Utara Barat Laut dan membawa banyak uap air dan

TINJAUAN PUSTAKA Analisis Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan Air untuk Pengolahan Tanah

Optimalisasi Pemanfaatan Sungai Polimaan Untuk Pemenuhan Kebutuhan Air Irigasi

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka Menurut Sutopo (2007) kekeringan merupakan kebutuhan air yang berada di bawah ketersediaan air yang berguna bagi kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Akibat yang ditimbulkan dari kekeringan ini adalah adanya hambatan bagi peningkatan produksi pangan di suatu daerah. Di Pulau Jawa ketersediaan air hanya dapat dipenuhi pada musim penghujan sedangkan pada musim kemarau terjadi defisit air yang menjadi indikator penting terjadinya kekeringan. Ada dua karakteristik biofisik yang menjadi kunci penetapan wilayah rawan kekeringan yaitu, karakteristik iklim dan tanah. Iklim berperan penting dalam ketersediaan dan kehilangan air di dalam tanah dan tanaman. Serta tanah berperan sebagai media penyimpan dan penyalur air bagi kebutuhan tanaman. (Andi Ihwan, 2011) Bappenas juga mengklasifikasikan kekeringan menjadi beberapa kriteria sebagai berikut: 1. Kekeringan Meteorologis; berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya kekeringan. 2. Kekeringan Hidrologis; berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini di ukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai menurunnya elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. 3. Kekeringan Pertanian; berkaitan dengan berkurangnya lengas tanah (kandungan air dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan

tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah gejala kekeringan meteorologi. 4. Kekeringan Sosial Ekonomi; berkaitan dengan kekeringan yang memberi dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi seperti rusaknya tanaman, peternakan, perikanan, berkurangnya tenaga listrik dari tenaga air, menurunnya pasokan air baku untuk industri domestik dan perkotaan. 5. Kekeringan Hidrotopografi; berkaitan dengan perubahan tinggi muka air sungai antara musim hujan dan musim kering dan topografi lahan. Analisis indeks kekeringan merupakan analisis yang menunjukkan tingkat kelas atau derajat kekeringan karena tingkat kekeringan suatu wilayah berbeda satu dengan yang lain. Untuk mengetahui nilai indeks kekeringan daerah digunakan salah satu metode analisis yaitu metode Palmer Drought Severity Index (PDSI). Metode PDSI merupakan indeks kekeringan meteorologi, metode ini berdasarkan pada data curah hujan, suhu udara dan ketersediaan air dalam tanah. (Nur Jannah, 2015) Penelitian yang sudah di lakukan tentang indek kekeringan yang berhubungan dengan penelitian kali ini yaitu dari Adi Praserya Nugroho (2012), Nur Jannah (2015) dan Putri Pramudya Wardani (2015). Tabel 2.1. Novelty Penelitian Mengenai Indeks kekeringan Peneliti Penelitian Tentang Metode Variabel Adi Praserya Nugroho (2012) Nur Jannah (2015) Analisis Kekeringan Daerah Aliran Sungai Keduang dengan Menggunakan Metode Palmer Penerapan Metode Palmer Drought Severity Index (PDSI) Untuk Analisis Kekeringan pada Sub- Sub DAS Slahung Kabupaten Ponorogo Metode Palmer Metode Palmer Curah hujan, evapotranspirasi potensial, lengas tanah Curah hujan, evapotranspirasi potensial, lengas tanah Daerah Penelitian DAS Keduang DAS Slahung 5

Tabel 2.1. Lanjutan Putri Pramudya Wardhani (2015) Indeks Kekeringan Hidrologi Berdasarkan Debit Di DAS Keduang Kabupaten Wonogiri. Metode Mock Curah hujan, evapotranspirasi potensial, kapasitas kelembaban tanah DAS Keduang Julian Wahyu Purnomo Putro (2016) Implentasi Metode Palmer untuk Analisis Kekeringan pada Daerah Aliran Sungai Temon Kabupaten Wonogiri Metode Palmer dan Metode Mock Curah hujan, evapotranspirasi potensial, lengas tanah, kapasitas kelembaban tanah DAS Temon Penelitian kali ini yang membedakan dari penelitian Indek Kekeringan sebelumnya yaitu lokasi penelitian ini berlokasi di DAS Temon selama 11 tahun (2004-2014), metode yang digunakan pada penelitian kali ini adalah Metode Palmer serta Metode Mock. Dimana untuk Indeks Kekeringan digunakan Metode Palmer dan untuk perhitungan debitnya digunakan Metode Mock. Hal yang membedakan lainnya adalah perhitungan evapotranspirasi potensial yang mana pada penelitian ini digunakan software CROPWATT 8.0. 2.2.1. Data Data yang biasa digunakan dalam penelitian adalah data sekunder dan data primer. Data primer yaitu data yang didapat dari pengamatan langsung, observasi lapangan maupun wawancara, sedangkan data sekunder didapat dari survei instansional. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini antara lain adalah: pengumpulan peta-peta yang di butuhkan, pengumpulan data hidrologi dan data 6

klimatologi yang terdiri dari data curah hujan, debit dan suhu. Penelitian ini menggunakan data sekunder atau data yang berasal dari instansi terkait. 2.2.2. DAS (Daerah Aliran Sungai) Chay Asdak (2004) mendefinisikan daerah aliran sungai atau DAS sebagai suatu wilayah daratan yang dibatasi oleh punggung- punggung gunung, menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian mengalirkannya ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut disebut daerah tangkapan air (DTA atau catchment area) yaitu suatu ekosistem yang terdiri atas sumber daya alam (tanah, air dan vegetasi) dan sumber daya manusia sebagai pemanfaat sumber daya alam. 2.2.3. Analisis Konsistensi atau Kepanggahan Data Data hujan yang akan dipergunakan dalam suatu analisis sebelumnya harus dilakukan uji konsistensi atau data di mana data yang tidak sesuai akibat kesalahan pencatatan dan gangguan alat pencatat perlu dikoreksi dan data yang hilang atau kosong diisi dengan menggunakan pembanding pos hujan sekitar yang terdekat dan dianggap memiliki karakteristik yang sama (Sri Harto, 1993). Dalam penelitian ini, metode yang digunakan untuk menguji konsistensi data adalah Metode Kurva Massa Ganda (Double Mass Curve) dan Metode RAPS (Rescaled Adjusted Partial Sums). Metode kurva massa ganda berdasarkan perbandingan hujan tahunan kumulatif di stasiun y terhadap stasiun referensi x, stasiun referensi merupakan nilai rerata beberapa stasiun yang berada di dekatnya kemudian nilai kumulatif tersebut digambarkan pada sistem koordinat x- y dan kurva yang telah digambar dilihat apakah ada perubahan kemiringan, apabila garis yang terbentuk menunjukkan garis lurus maka data dianggap panggah namun apabila terjadi kemelencengan atau garis patah maka data tidak konsisten dan perlu dilakukan adanya koreksi. Metode RAPS berdasarkan data curah hujan setempat, di mana data curah hujan yang tersedia di sekitar lokasi proyek sangat terbatas. Bila Q / yang didapat lebih kecil dari nilai kritik untuk tahun dan confidence level yang sesuai, maka data 7

dinyatakan panggah (Sri Harto, 1993). Uji kepanggahan dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan: dengan nilai k = 1, 2, 3,..., n (2.1) (2.2) dengan nilai k = 0, 1, 2, 3,..., n (2.3) (2.4) dengan : = data hujan ke-i, = data hujan rerata-i, = deviasi standar, = jumlah data. Untuk uji kepanggahan digunakan cara statistik : Nilai kritik dan ditunjukkan dalam Tabel 2.2. Tabel 2.2. Nilai kritik Q dan R, atau (2.5), dengan (2.6) 90% 95% 99% 90% 95% 99% 10 1,05 1,14 1,29 1,21 1,28 1,38 20 1,10 1,22 1,42 1,34 1,43 1,60 30 1,12 1,24 1,46 1,40 1,50 1,70 40 1,13 1,26 1,50 1,42 1,53 1,74 50 1,14 1,27 1,52 1,44 1,55 1,78 100 1,17 1,29 1,55 1,50 1,62 1,86 1,22 1,36 1,63 1,62 1,75 2,00 Sumber: Sri Harto, 1993 8

2.2.4. Analisis Hujan Titik Menjadi Hujan Wilayah Stasiun penakar hujan hanya memberikan kedalaman hujan di titik di mana stasiun tersebut berada, sehingga hujan pada suatu luasan harus di perkirakan dari titik pengukuran tersebut. Apabila pada suatu daerah terdapat lebih dari satu stasiun pengukuran yang di tempatkan secara terpencar, hujan yang tercatat di masing-masing stasiun dapat tidak sama. Dalam analisis hidrologi sering diperlukan untuk menentukan hujan rerata pada daerah tersebut, yang dapat di lakukan dengan tiga metode berikut yaitu metode rerata aritmatik, metode poligon Thiessen, dan metode isohiet (Triatmodjo, 2010). Pada penelitian ini digunakan metode poligon Thiessen. Pembentukan poligon Thiessen adalah sebagai berikut ini (Triatmodjo, 2010): 1. Stasiun pencatat hujan di gambarkan pada peta DAS yang di tinjau, termasuk stasiun hujan di luar DAS yang berdekatan. 2. Stasiun-stasiun tersebut dihubungkan dengan garis lurus (garis terputus) sehingga membentuk segitiga-segitiga, yang sebaiknya mempunyai sisi dengan panjang yang kira-kira sama. 3. Dibuat garis berat pada sisi-sisi segitiga. 4. Garis-garis berat tersebut membentuk poligon yang mengelilingi tiap stasiun. Tiap stasiun mewakili luasan yang di bentuk oleh poligon. Untuk stasiun yang berada di dekat batas DAS, garis batas DAS membentuk batas tertutup dari poligon. 5. Luas tiap poligon di ukur dan kemudian di kalikan dengan kedalaman hujan di stasiun yang berada di dalam poligon. 6. Jumlah hitungan pada butir 5 untuk semua stasiun di bagi dengan luas daerah yang di tinjau menghasilkan hujan rerata daerah tersebut, yang dalam bentuk matematik yang di tunjukkan pada persamaan (2.7). (2.7) 9

dengan : : hujan rerata kawasan : hujan pada stasiun 1, 2,..., n : luas daerah yang mewakili stasiun 1, 2,..., n. 2.2.5. Evapotranspirasi Potensial Evapotranspirasi adalah evaporasi dari permukaan lahan yang ditumbuhi tanaman. Berkaitan dengan tanaman, evapotranspirasi adalah sama dengan kebutuhan air konsumtif yang didefinisikan sebagai penguapan total dari lahan dan air yang diperlukan oleh tanaman (Triatmodjo, 2010). Jika air yang tersedia di dalam tanah cukup banyak maka evapotranspirasi itu disebut evapotranspirasi-potensial (sosrodarsono, 1993). Pada penelitian ini digunakan metode Penman. Perhitungan evapotranspirasi potensial (ET 0 ) pada penelitian ini menggunakan aplikasi CROPWAT 8.0 yang mana mengacu pada metode Penman-Monteith. Metode Penman-Monteith menurut Paper FAO No.56 adalah merupakan metode yang cukup dapat diterima yang menjelaskan evapotranspirasi secara teliti. Metode ini memerlukan input data klimatologi berupa : temperatur, kelembaban udara, radiasi matahari dan kecepatan angin. Rumus evapotranspirasi potensial metode Penman-Monteith dijelaskan pada persamaan (2.9) : (2.9) dengan : : Evapotranspirasi acuan(mm/hari), : Radiasi netto pada permukaan tanaman (MJ/m 2 /hari), : Kerapatan panas terus-menerus pada tanah (MJ/m 2 /hari), : Temperatur harian rata-rata pada ketinggian 2 m ( o C), : Kecepatan angin pada ketinggian 2 m (m/s), : Tekanan uap jenuh (kpa), : Tekanan uap aktual (kpa), : Kurva kemiringan tekanan uap (kpa/ o C), : Konstanta psychrometric (kpa/ o C). 10

2.2.6. Koefisien Limpasan (C) Koefisien Limpasan atau angka koefisien C menurut Asdak (2004) merupakan bilangan perbandingan antara laju debit puncak dengan intensitas hujan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti laju infiltrasi, keadaan tata guna lahan atau tutupan lahan, intensitas hujan, permeabilitas dan kemampuan tanah menahan air. Nilai koefisien limpasan (C) dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3. Koefisien Limpasan (C) No. Deskripsi Permukaan C 1 Kota, jalan aspal, atap genteng 0,7-0,9 2 Kawasan industri 0,5-0,9 3 Pemukiman multi unit, pertokoan 0,6-0,7 4 Kompleks perumahan 0,4 0,6 5 Villa 0,3 0,5 6 Taman, pemakaman 0,1 0,3 7 8 Pekarangan tanah berat: a. > 7% b. 2-7% c. < 2% Pekarangan tanah ringan: a. > 7% b. 2-7% c. < 2% 0,25 0,35 0,18 0,22 0,13 0,17 0,15 0,2 0,10 0,15 0,05 0,10 9 Lahan berat 0,4 10 Padang rumput 0,35 11 Lahan budidaya pertanian 0,3 12 Hutan produksi 0,18 Sumber: Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 17, 2009 2.2.7. Palmer Drought Severity Index (PDSI) Menurut Gutman et al., dalam Turyanti (1995) menjelaskan bahwa metode indeks ketajaman kekeringan Palmer berguna untuk mengevaluasi kekeringan yang telah terjadi di daerah- daerah semiarid dan yang beriklim sub- humid kering. Palmer masih lebih baik apabila digunakan pada wilayah penelitian yang luas dan mempunyai topografi yang seragam (National Drought Mitigation Center, 2006). 11

Analisis indeks ketajaman kekeringan metode Palmer meliputi perhitungan parameter utama dan perhitungan parameter iklim seperti berikut ini: 1. Analisis Parameter Utama, seperti: a. P, hujan kumulatif bulanan wilayah efektif, b. PET, evapotranspirasi potensial metode Penman, c. ΔSa, perubahan lengas tanah lapisan atas, d. ΔSb, perubahan lengas tanah lapisan bawah, e. Sa, lengas tanah lapisan atas, f. Sb, lengas tanah lapisan bawah, g. S, lengas tanah (available water content), h. PR, jumlah air yang dapat diserap oleh tanah, i. R, pengisian lengas ke dalam tanah, j. PLa, kehilangan kelembaban tanah potensial lapisan atas, k. PLb, kehilangan kelembaban tanah potensial lapisan bawah, l. PL, kehilangan kelembaban tanah potensial kedua lapisan, m. L, kehilangan kelembaban tanah, n. ET, evapotranspirasi, o. PRO, aliran permukaan potensial, p. RO, aliran permukaan. 2. Analisis Parameter Iklim (Palmer, 1965) dapat diuraikan seperti langkah di bawah ini. a. Menentukan nilai koefisien untuk mendapatkan nilai CAFEC (Climatically Appropriate for Existing Conditions), (2.10) (2.11) (2.12) (2.13) (2.14) 12

dengan : = koefisien evapotranspirasi, = koefisien pengisian lengas ke dalam tanah, = koefisien limpasan, = koefisien kehilangan air, = pendekatan terhadap pembobot iklim, = rata- rata evapotranspirasi, = rata- rata evapotranspirasi potensial, = rata- rata pengisian lengas ke dalam tanah, = rata- rata pengisian lengas ke dalam tanah potensial, = rata- rata aliran permukaan, = rata- rata aliran permukaan potensial, = rata- rata kelembaban tanah, = rata- rata kehilangan kelembaban tanah, = rata- rata kehilangan kelembaban tanah potensial, = rata- rata presipitasi. b. Nilai CAFEC Nilai CAFEC merupakan dugaan dari parameter- parameter evapotranspirasi, run off, recharge, presipitasi dan loss dimana secara klimatologis sesuai dengan kondisi waktu dan daerah penelitian. Rumus yang digunakan untuk parameter- parameter tersebut adalah sebagai berikut: (2.15) (2.16) (2.17) (2.18) dengan : (2.19) PET PR PRO = nilai evapotranspirasi CAFEC, = nilai pengisian lengas ke dalam tanah CAFEC, = nilai aliran permukaan CAFEC, = nilai kehilangan lengas tanah CAFEC, = nilai presipitasi CAFEC, = evapotranspirasi potensial, = pengisian lengas ke dalam tanah potensial, = aliran permukaan potensial, 13

PL = kehilangan lengas tanah potensial. c. Periode Kelebihan dan Kekurangan Hujan Digunakan rumus sebagai berikut: (2.20) d. Rataan Nilai Mutlak = rata-rata nilai mutlak dari d (2.21) e. Pendekatan kedua terhadap nilai faktor K (K ) f. Karakter Iklim sebagai Faktor Pembobot (K) (2.22) (2.23) (2.24) g. Penduga Nilai Z z = d * (2.25) h. Indeks Penyimpangan atau anomali lengas (Z) Z = d * K (2.26) i. Indeks Kekeringan (X) dengan : (2.27) (2.28) 2.2.8. Prakiraan Potensi Ketersediaan Air dengan Metode Mock Perhitungan dengan Metode F.J. Mock digunakan untuk perhitungan debit bulanan yang akan digunakan sebagai prakiraan potensi ketersediaan air. 14

didasarkan pada perkiraan hitungan pendekatan dengan menggunakan data hujan, data klimatologi dan kelembaban tanah. Dalam perhitungan Metode Mock, data dan asumsi yang diperlukan adalah data curah hujan, evapotranspirasi terbatas (Et), faktor karakteristik hidrologi faktor bukaan lahan; luas daerah pengaliran; kapasitas kelembaban tanah (SMC); keseimbangan air di permukaan tanah, kandungan air tanah, aliran dan penyimpangan air tanah, dan aliran sungai. Prinsip dasar metode ini didasarkan pada hujan yang jatuh pada catchment area sebagian akan hilang sebagai evapotranspirasi, sebagian langsung menjadi aliran permukaan dan sebagian lagi akan masuk ke dalam tanah (infiltrasi) (Sutapa, 2009). Menurut (Anonim, 1986) kriteria perhitungan diasumsikan dengan data yang diperlukan sebagai berikut: a. Data Curah Hujan Data curah hujan ini minimal 15 tahun. Dengan cara mengambil data di stasiun yang mewakili daerah atau mengambil data di stasiun yang ditinjau. b. Evapotranspirasi Terbatas (Et) Adalah evapotranspirasi aktual dengan mempertimbangkan kondisi vegetasi dan permukaan tanah serta curah hujan. Untuk itu diperlukan data: Curah hujan bulanan (P), Jumlah hari hujan bulanan (n), Jumlah permukaan kering bulanan (d), dihitung dengan asumsi bahwa tanah dalam satu hari hanya mampu menahan air sekitar 12 mm dan selalu menguap 4 mm, Exposed surface (m%), ditaksir dari peta tata guna lahan atau dengan asumsi sebagai berikut: m = 0% untuk lahan dengan hutan lebat, 15

m = 0% pada akhir musim hujan dan bertambah 10% setiap bulan kering untuk lahan sekunder, m = 10% - 40% untuk lahan yang tererosi, dan m = 20% - 50% untuk lahan pertanian yang diolah. Persamaan Evapotranspirasi ditunjukkan pada persamaan (2.29). (2.29) (2.30) dengan : E Ep d m = Perbedaan antara evapotranspirasi potensial dengan evapotranspirasi terbatas, = Evapotranspirasi potensial, = jumlah hari kering, = prosentasi lahan yang tak tertutup vegetasi, ditaksir dari peta tataguna lahan. Dari data n dan d stasiun hujan di sekitar proyek akan diperoleh persamaan (2.31). (2.31) Dengan a dan b adalah konstanta akibat hubungan n ( jumlah hari hujan) dan d (jumlah permukaan kering). Substitusi dari persamaan (2.29) dan (2.30), diperoleh : (2.32) c. Luas Daerah Pengaliran Semakin besar daerah pengaliran dari suatu aliran, kemungkinan akan semakin besar pula ketersediaan debitnya. d. Kapasitas Kelembaban Tanah (SMC) Kapasitas kelembaban tanah (SMC) atau Soil Mosture Capacity merupakan volume kandungan air di lapisan tanah terluar (permukaan) yang dihitung per m2. Besarnya SMC untuk perhitungan ketersediaan air ini diperkirakan berdasarkan keadaan porositas lapisan tanah permukaan dari DPS. Semakin besar porositas 16

tanah, akan semakin besar pula SMC yang ada. Dalam perhitungan ini, nilai SMC diambil antara 50 mm sampai dengan 200 mm. e. Keseimbangan air di permukaan tanah Keseimbangan air di permukaan tanah dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: Air hujan (As), Kandungan air tanah (soil storage), dan Kapasitas kelembaban tanah (SMC). f. Aliran dan Penyimpangan Air Tanah (Run off and Ground Water Storage), nilai run off tergantung pada: Koefisien Infiltrasi Koefisien nilai infiltrasi diperkirakan berdasarkan kondisi porositas tanah dan kemiringan DPS. Lahan DPS yang porous memiliki koefisien infiltrasi yang besar. Sedangkan lahan yang terjadi, memiliki koefisien infitrasi yang kecil, karena air akan sulit terinfiltrasi ke dalam tanah. Batasan koefisien infiltrasi adalah 0 1. Faktor Resesi Aliran Tanah (k) Faktor resesi adalah perbandingan antara aliran air tanah pada bulan ke-n dengan aliran air tanah pada awal bulan tersebut. Faktor resesi aliran tanah dipengaruhi oleh sifat geologi DPS. Dalam perhitungan ketersediaan air Metode FJ Mock, besarnya nilai k didapat dengan cara coba-coba (trial) sehingga dapat dihasilkan aliran seperti yang diharapkan. Initial Storage (IS) Initial storage atau tampungan awal adalah perkiraan besarnya volume air pada awal perhitungan. IS di lokasi studi diasumsikan sebesar 100 mm. 17

Penyimpanan air tanah (Ground Water Storage) Penyimpanan air tanah besarnya tergantung dari kondisi geologi setempat dan watu. Sebagai permulaan dari simulasi harus ditentukan penyimpangan awal (initial storage) terlebih dahulu. Persamaan yang digunakan dalam perhitungan penyimpanan air tanah ditunjukkan pada persamaan (2.33). (2.33) (2.34) dengan: Vn K qt qo vn-1 vn = volume air tanah bulan ke-n, = qt/qo = faktor resesi aliran tanah, = aliran air tanah pada waktu bulan ke-t, = aliran air tanah pada awal bulan (bulan ke-0), = volume air tanah bulan ke-(n-1), dan = perubahan volume aliran air tanah. Aliran Sungai Aliran dasar = infiltrasi perubahan aliran air dalam tanah Aliran permukaan = volume air lebih infiltrasi Aliran sungai = aliran permukaan + aliran dasar Air yang mengalir di sungai merupakan jumlah dari aliran langsung (direct run off), aliran dalam tanah (interflow) dan aliran tanah (base flow). Besarnya masingmasing aliran tersebut adalah: a. Interflow = infiltrasi volume air tanah, b. Direct run off = water surplus infiltrasi, c. Base flow = aliran yang selalu ada sepanjang tahun, d. Run off = interflow + direct run off + base flow 18

2.2.9. Debit Andalan dan Debit Normal (Q80 dan Q50) Untuk aliran sungai yang memiliki data pengukuran, ketersediaan airnya dapat ditentukan peluang terjadinya atau terlampauinya yang dapat dihitung dengan metode statistika. Peluang terjadinya atau terlampauinya suatu besaran debit atau yang dalam literatur dinyatakan dengan debit andalan. Debit tersebut digunakan sebagai patokan ketersediaan debit yang masuk ke waduk pada saat pengoperasiannya. Untuk menghitung debit andalan tersebut, dihitung peluang 50% dan 80% dari debit inflow sumber air pada pencatatan debit pada periode tertentu. Berdasarkan kriteria data debit maka perlu dilakukan perhitungan debit andalan (Q80) dan debit normal (Q50) dengan menggunakan metode ranking (rumus Weibul). Prosedur perhitungan diawali dengan mengurutkan seri data debit dari urutan terbesar hingga terkecil untuk masing-masing bulan pengamatan. Selanjutnya diranking mulai dengan ranking pertama (m = 1) untuk data terbesar dan seterusnya hingga data terkecil. Rumus Weibull adalah (Soemarto, 1987): dengan : P = probabilitas, m = ranking, N = jumlah data. (2.35) Penentuan probabilitas 50% dan 80% menggunakan rumus interpolasi dikarenakan hasil probabilitas tidak selalu angka bulat. 2.2.10. Perhitungan Ambang Batas (Threshold) Analisis statistik bertujuan untuk menentukan : 1. Threshold, (X 0 ), yang merupakan nilai batas yang ditentukan berdasarkan keperluan analisis (Fleig, A.K., et al, 2006), sesuai distribusi terpilih. 19

2. X 0 merupakan Q50 atau Q80, karena Q50 adalah Qnormal dengan probabilitas 0,5 atau merupakan median data sedangkan Q80 adalah Qandalan dengan probabilitas 0,8. 2.2.11. Menentukan Derajad Ketajaman Kekeringan Kriteria Kering dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain kriteria kering berdasarkan data debit normal sama dengan Q50 dengan kriteria (Hadiani, 2009): 1. Disebut kering (K) apabila Q80 < Q < Q50, 2. Disebut sangat kering (SK) apabila (71-100%) Q80, 3. Disebut amat sangat kering (ASK) apabila Q < (70%) Q80. dengan: Q80 Q50 Q = debit andalan, = debit normal sebagai ambang batas (treshold), = debit defisit. Kriteria kering Palmer untuk menyamakan dengan kriteria kering menurut data debit maka dilakukan penyetaraan, dengan kriteria yang dapat dilihat pada Tabel 2.4. Tabel 2.4. Penyetaraan Kriteria Kering Palmer dengan Kriteria Kering Menurut Data Debit Indeks Kekeringan Klasifikasi 0.00 - (-2.99) Kering (-3.00) - (-3.99) Sangat Kering -4.00 Amat Sangat Kering Sumber: Adi Prasetya Nugroho, 2012 20