BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan penyelenggaraan otonomi seluas-luasnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan pemberian otonomi yang seluas-luasnya adalah mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, peran serta masyarakat dan daya saing daerah. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah, maka disusun Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah merupakan subsistem keuangan negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, dalam rangka pendanaan penyelenggaraan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Semua hal berkaitan dengan pemerintahan daerah dan otonomi daerah diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa pemerintahan daerah diberi kewenangan untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya. Pemberian kewenangan ini memberi kesempatan bagi daerah otonom untuk memanfaatkan semua potensi yang ada untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Selain memberi kesempatan kepada daerah, pemberian kewenangan juga menimbulkan tantangan untuk mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kewenangan yang lebih besar membutuhkan pengawasan 1
yang optimal agar tidak terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara dan tidak tercapainya peningkatan kesejahteraan rakyat. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 pada bab XIX tentang Pembinaan dan Pengawasan, ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah masih mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dikarenakan belum terbitnya Peraturan Pemerintah yang baru sebagai turunan dari UU Nomor 23 tahun 2014. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 disebutkan bahwa pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan secara efisien dan efektif sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengawasan atas urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP). Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 menyebutkan APIP adalah Inspektorat Jenderal Departemen, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat Kabupaten/Kota. Aparat Pengawas Intern Pemerintah merupakan salah satu unsur manajemen pemerintah yang penting dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) dan tercapainya pemerintahan/birokrasi yang bersih (clean government). 2
Aparat Pengawas Intern Pemerintah membutuhkan perencanaan pengawasan untuk melaksanakan fungsi pengawasannya. Perencanaan pengawasan yang tepat dibutuhkan agar tidak terjadi tumpang tindih dan pemeriksaan yang berulang, sehingga tercapai efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan sumber daya pengawasan. Perencanaan pengawasan yang tidak dibuat secara cermat dapat mengakibatkan kegagalan dalam mencapai tujuan APIP. Perencanaan pengawasan penting untuk mengatur berbagai jenis kegiatan pengawasan yang akan dilakukan dalam suatu waktu tertentu. Ketentuan penyusunan rencana pengawasan tahunan tertuang pada Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2005 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 tahun 2007. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2005 pasal 31 disebutkan bahwa: 1) Rencana pengawasan atas penyelenggaraaan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2), dituangkan dalam rencana pengawasan tahunan dan ditetapkan oleh Gubernur berpedoman pada rencana pengawasan yang ditetapkan oleh Menteri. Pada pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah disebutkan: (1) Penyusunan rencana pengawasan tahunan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah Kabupaten dan Kota dikoordinasikan oleh Inspektur Provinsi. (2) Rencana pengawasan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam bentuk Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) dengan berpedoman pada kebijakan pengawasan. (3) Penyusunan PKPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan atas prinsip keserasian, keterpaduan, menghindari tumpang tindih dan pemeriksaan berulang-ulang serta memperhatikan efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan sumber daya pengawasan. 3
(4) Rencana pengawasan sebagaimana disebut pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur Ketentuan bagi APIP untuk menyusun rencana pengawasan juga terdapat pada Standar Audit Intern Pemerintah Indonesia (AAIPI, 2014), disebutkan bahwa pimpinan APIP harus menyusun rencana strategis dan rencana kegiatan audit intern tahunan dengan prioritas pada kegiatan yang mempunyai risiko terbesar dan selaras dengan tujuan APIP. Pada Standar Audit Intern Pemerintah Indonesia (AAIPI, 2014) disebutkan adanya keharusan untuk menyusun rencana pengawasan dan memberi prioritas pada kegiatan yang memiliki risiko terbesar. Pemberian skala prioritas ini disebabkan kompleksnya tugas pengawasan, keterbatasan sumber daya pengawasan dan keinginan atas informasi dalam pengambilan keputusan yang tepat dan akurat, menjadi alasan perlu diberlakukannya risk based audit yang selanjutnya pada penelitian ini disebut audit berbasis risiko. Senada dengan Standar Audit Intern Pemerintah Indonesia, The Institute of Internal Auditor (2011), pada standar 2010 disebutkan adanya ketentuan penyusunan perencanaan audit berbasis risiko untuk menentukan prioritas kegiatan audit: The chief audit executive must establish a risk-based plan to determine the priorities of the internal audit activity, consistent with the organization s goals. Kegiatan utama perencanaan audit berbasis risiko (BPKP, 2007) adalah mengalokasikan kegiatan audit lebih ditujukan pada area yang memiliki pengaruh besar dalam menjamin tercapainya tujuan organisasi, yakni area yang memiliki risiko besar akan dapat menghambat pencapaian tujuan organisasi. Perencanaan 4
audit berbasis risiko diterapkan pada perencanaan penugasan terhadap satu auditi tertentu dan perencanaan kegiatan audit tahunan atau lima tahunan. Perencanaan pengawasan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah perencanaan audit berbasis risiko untuk kegiatan audit tahunan yang disebut PKPT. Selain melaksanakan pemeriksaan reguler, Inspektorat melakukan pemeriksaan khusus dan pengembangan temuan, evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), review Laporan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SDKPKD) DIY, pencermatan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA), monitoring pelaksanaan Sistim Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), pemeriksaan persediaan (stock opname) dan pemeriksaan kas (cash opname), Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD) kabupaten/kota. Keterbatasan jumlah auditor dan sarana prasarana membutuhkan perencanaan pengawasan yang memadai agar fungsi pengawasan dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Efektifitas Kegiatan Audit dan Reviu Laporan Keuangan oleh APIP pada Inspektorat DIY nomor 34/LHP/XVIII.YOG/12/2013 menyatakan bahwa dalam menyusun Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) Inspektorat DIY belum didasarkan perencanaan audit berbasis risiko. Dari laporan pemantauan tindak lanjut atas pemeriksaan BPK diketahui bahwa temuan BPK tersebut belum ditindak lanjuti. 5
Dengan latar belakang tersebut, penelitian ini diberi judul "Analisis Perubahan Penyusunan Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) di Inspektorat Daerah Istimewa Yogyakarta." 1.2. Rumusan Permasalahan Pemeriksaan BPK atas kinerja Inspektorat DIY dilaksanakan tahun 2013. Rekomendasi BPK agar penyusunan PKPT berdasarkan perencanaan audit berbasis risiko belum ditindaklanjuti, hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat kendala dalam penyusunan PKPT berbasis risiko di Inspektorat DIY. 1.3. Pertanyaan Penelitian Dari permasalahan penelitian di atas, maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: 1. Apakah terdapat perubahan pada Program Kerja Pengawasan Tahunan Inspektorat DIY, setelah terbitnya rekomendasi BPK tentang penyusunan PKPT berbasis risiko di tahun 2013? 2. Mengapa penyusunan Program Kerja Pengawasan Tahunan di Inspektorat DIY belum berbasis risiko? 1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis perubahan pada PKPT di Inspektorat Daerah Istimewa Yogyakarta setelah terbitnya rekomendasi BPK di tahun 2013. 6
2. Menganalisis penyebab belum dilaksanakannya penyusunan Program Kerja Pengawasan Tahunan berbasis risiko di Inspektorat Daerah Istimewa Yogyakarta. 1.5. Motivasi Penelitian Penelitian ini berawal dari belum ditindaklanjutinya rekomendasi BPK RI. Rekomendasi BPK yaitu agar dalam penyusunan perencanaan pengawasan tahunannya Inspektorat DIY berdasarkan pada perencanaan pengawasan berbasis risiko. Pada Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 51 Tahun 2008 disebutkan Inspektorat mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah, pelaksanaan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dan pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah Kabupaten/Kota. Perencanaan pengawasan tahunan yang dituangkan dalam Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) mempunyai peran penting dalam mendukung pelaksanaan tugas pengawasan yang diemban Inspektorat. Disebutkan pada pasal 8 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2007 bahwa Pejabat Pengawas Pemerintah melaksanakan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah berpedoman pada PKPT. 7
1.6. Kontribusi Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini antara lain: 1. Manfaat akademis, sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya mengenai perencanaan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah. 2. Manfaat praktis, sebagai bahan pertimbangan disusunnya Program Kerja Pengawasan Tahunan berbasis risiko di Inspektorat DIY. 1.7. Proses Penelitian Penelitian ini akan menggambarkan proses penyusunan PKPT di Inspektorat DIY dan menganalisis kendala belum dilaksanakannya PKPT berbasis risiko sesuai rekomendasi BPK. Tahapan penelitian dapat digambarkan sebagai berikut: 2. Tujuan Penelitian 3. Pondasi Teoretikal Penelitian Studi Kasus 1. Pertanyaan Penelitian 4. Metode Penelitian Studi Kasus 5. Temuan dan Analisis Sumber: Pedoman Umum Penulisan Tesis (Program Maksi UGM, 2015) Gambar 1.1 Tahapan Penelitian 8