Perubahan Musiman Kerapatan Populasi Tikus Sawah di Ekosistem Sawah Irigasi

dokumen-dokumen yang mirip
Mengenal Tikus Sawah

Tikus sawah (Rattus argentiventer) merupakan

Perkembangan Populasi Tikus Sawah pada Lahan Sawah Irigasi dalam Pola Indeks Pertanaman Padi 300

Pengendalian Hama Tikus Terpadu Tikus memiliki karakter biologi

Tikus sawah (Rattus argentiventer) merupakan

Si Pengerat Musuh Petani Tebu..

Sistem Bubu TBS dan LTBS. TBS (Trap Barrier System)

Inovasi Teknologi Pengendalian Tikus Pemasangan pagar plastik

PENGENDALIAN HAMA TIKUS SAWAH MENGGUNAKAN TEKNOLOGI TBS DAN LTBS

MENGIDENTIFIKASI dan MENGENDALIKAN HAMA PADA PADI. Oleh : M Mundir BP3K Nglegok

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 Menerapkan pola tanam yang teratur dan waktu tanam yang serempak (tidak lebih dari 2 minggu)

TINGKAH LAKU TIKUS DAN PENGENDALIANNYA

Mahasiswa Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta

I. PENDAHULUAN. D.I.Yogyakarta tahun mengalami penurunan. Pada tahun 2013

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Rumah (R. rattus diardii) terhadap Rodentisida Seng Fosfida

Abstrak

PERMASALAHAN HAMA TIKUS DAN STRATEGI PENGENDALIANNYA (CONTOH KASUS PERIODE TANAM )

TEKNIK PENGAMATAN POPULASI ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN DAN MUSUH ALAMI SERTA ANALISIS KERUSAKAN

SKRIPSI KELIMPAHAN POPULASI WERENG BATANG COKLAT PADA BEBERAPA VARIETAS PADI DENGAN PEMBERIAN ZEOLIT DAN PENERAPAN KONSEP PHT

PEMANFAATAN BURUNG HANTU UNTUK MENGENDALIKAN TIKUS DI KECAMATAN SEMBORO KABUPATEN JEMBER

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Rencana Strategis Kementrian Kesehatan (2011), Pembangunan

AGROVIGOR VOLUME 6 NO. 2 SEPTEMBER 2013 ISSN

PREFERENSI TIKUS (Rattus argentiventer) TERHADAP JENIS UMPAN PADA TANAMAN PADI SAWAH

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Bioekologi

SKRIPSI. Oleh Okky Ekawati H

POLA FLUKTUASI POPULASI Plutella xylostella (L.) (LEPIDOPTERA: PLUTELLIDAE) DAN MUSUH ALAMINYA PADA BUDIDAYA BROKOLI DENGAN PENERAPAN PHT DAN ORGANIK

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

LAND CONVERSION AND NATIONAL FOOD PRODUCTION

Keefektivan Tiga Teknik Pengendalian Tikus Sawah (Rattus argentiventer Rob & Kloss) di Desa Murante, Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu.

PERBANDINGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN KELUARGA PETANI KELAPA SAWIT RAKYAT DENGAN PETANI PADI SAWAH

PENGARUH UMUR BIBIT TERHADAP PRODUKTIVITAS PADI VARIETAS INPARI 17

ANALYSIS OF COST EFFICIENCY AND CONRTIBUTION OF INCOME FROM KASTURI TOBACCO, RICE AND CORN TO THE TOTAL FARM HOUSEHOLD INCOME

Rintisan Metode Pengamatan Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) di Kabupaten Dairi Propinsi Sumatera Utara.

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan Ekologi Tikus Sawah Rattus rattus argentiventer Rob & Kloss

SKRIPSI EFEKTIVITAS TRAP BARRIER SYSTEMDALAM MENANGKAP TIKUS SAWAH. Oleh Novialita Herlina H

PENGARUH AKSESI GULMA Echinochloa crus-galli TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. Kondisi Umum

JENIS_JENIS TIKUS HAMA

KAJIAN POTENSI PRODUKSI PADI DAERAH IRIGASI PARSAGUAN DI KECAMATAN PANEI KABUPATEN SIMALUNGUN SKRIPSI

STUDI POTENSI RODENTISIDA NABATI BIJI JENGKOL UNTUK PENGENDALIAN HAMA TIKUS PADA TANAMAN JAGUNG

PENGARUH PUPUK MAJEMUK PELET DARI BAHAN ORGANIK LEGUM COVER CROP (LCC) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI VARIETAS IR 64 PADA MUSIM PENGHUJAN

MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Kurungan tunggal

STATUS KEBERADAAN HAMA POTENSIAL PADA PERTANAMAN PADI HIBRIDA, NON-HIBRIDA DAN PENENTUAN PERIODE KRITIS

II. TINJAUAN PUSTAKA. Padi (Oryza sativa L.) tergolong ke dalam Famili Poaceae, Sub- family

PERKEMBANGAN POPULASI SIPUT SETENGAH CANGKANG (Parmarion sp.) DAN UMUR TANAMAN TERHADAP KERUSAKAN DAN PRODUKSI KUBIS BUNGA

DI Wilayah IP3OPT PINRANG MT.2011/2012

ABSTRACT SITI ROMELAH. Intensive farming practices system by continuously applied agrochemicals,

Penggunaan Tenaga Kerja Keluarga Petani Peternak Itik pada Pola Usahatani Tanaman Padi Sawah di Kecamatan Air Hangat Kabupaten Kerinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

commit to users I. PENDAHULUAN

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Biologi dan Ekologi

Oleh. Putri Putika Puspita Sari NIM: SKRIPSI

KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA KECIL PADA TIGA HABITAT YANG BERBEDA DI LHOKSEUMAWE PROVINSI ACEH

I. PENDAHULUAN. Aktivitas penyerbukan terjadi pada tanaman sayur-sayuran, buah-buahan, kacangkacangan,

Widyana Rahmatika 1 1) Agriculture Faculty of Kadiri Islamic University

KAJIAN PADI VARIETAS UNGGUL BARU DENGAN CARA TANAM SISTEM JAJAR LEGOWO

BAB I PENDAHULUAN. Besar Penelitian Tanaman Padi, tikus sawah merupakan hama utama penyebab

Inovasi Pertanian Sumatera Selatan Mendukung Swasembada Beras Nasional

Keragaan Galur Jagung Genjah pada Lahan Kering Provinsi Riau

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

Daya Adaptasi Perubahan Iklim Terhadap Pedapatan Petani Padi Di Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA

VARIASI TINGKAT PENAMBAHAN PENDAPATAN PETANI DARI TUMPANG SARI PALAWIJA + KAPAS (Studi Kasus di Desa Bejiharjo, Karangmojo, Gunung Kidul)

Pengelolaan Sumbedaya Air untuk Meningkatkan Produksi Tanaman Padi Secara Berkelanjutan di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH PADA BEBERAPA VARIETAS DAN PEMBERIAN PUPUK NPK. Oleh:

DAMPAK PENERAPAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SAWAH

PENDAMPINGAN KALENDER TANAM (KATAM) MENDUKUNG SLPTT PADI DI SUMATERA UTARA

II. TINJAUAN PUSTAKA. ton/hektar turun sekitar 0,13 ton/hektar menjadi 6,17 ton/hektar di tahun 2014

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI BENGKULU DALAM MENDUKUNG AGRIBISNIS YANG BERDAYA SAING

KAJIAN ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS UNGGUL BARU PADI SAWAH DI LAHAN PASANG SURUT KABUPATEN SERUYAN. Astri Anto, Sandis Wahyu Prasetiyo

Muhammad Sayuthi Laboratorium Hama Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep)

Asda Rauf; Amelia Murtisari Jurusan Agribisnis Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian Universitas Negeri Gorontalo

ANALISIS PENDAPATAN DAN PRODUKSI PADI DI KABUPATEN ACEH UTARA TESIS. Oleh ZURIANI

ANALISIS DAYA SAING KEDELAI TERHADAP TANAMAN PADI DAN JAGUNG

PREFERENSI DAN KEMAMPUAN MAKAN TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii) PADA BEBERAPA VARIETAS BERAS (Oryza sativa L.) DI PENYIMPANAN

PENYEDIAAN PROTEIN HEWANI UNTUK MENINGKATKAN KONSUMSI TIKUS POHON DAN TIKUS SAWAH TERHADAP RODENTISIDA ARIEF YANA FUJILESTARI

KERAGAAN PRODUKTIFITAS BEBERAPA KLON UNGGUL KARET RAKYAT DI PROPINSI BENGKULU. Some variability Productivity Superior Rubber Clone People in Bengkulu

TINGKAT SERANGAN HAMA PENGGEREK TONGKOL, ULAT GRAYAK, DAN BELALANG PADA JAGUNG DI SULAWESI SELATAN. Abdul Fattah 1) dan Hamka 2)

APLIKASI MODEL PERAMALAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN TANAMAN PADI

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata

TEKNIK PENDUKUNG DITEMUKANNYA PURUN TIKUS (ELEOCHARIS DULCIS) SEBAGAI INANG ALTERNATIF BAGI HAMA PENGGEREK BATANG PADI PUTIH (SCIRPOPHAGA INNOTATA)

PENGUJIAN EFEKTIVITAS BEBERAPA FUMIGAN TERHADAP TIKUS SAWAH Rattus argentiventer (Rob.&Klo.) oleh: PRAKARSA SITEPU A

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG DI DESA LABUAN TOPOSO KECAMATAN LABUAN KABUPATEN DONGGALA

TEKNIK PENGAMATAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN (PNH 3162, SKS 2/1) A. SILABUS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pes merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Yersinia pestis.

I. PENDAHULUAN. Padi sawah (Oryza sativa L.) merupakan salah satu komoditas andalan Provinsi

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

(Rattus tiomanicus MILLER) MENUJU. Dhamayanti A.

kelas Mammalia, ordo Rodentia, famili Muridae, dan genus Rattus (Storer et al.,

STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS CABAI MERAH DI KAWASAN AGROPOLITAN KABUPATEN MAGELANG

PENGENDALIAN TIKUS PADA TANAMAN PADI MELALUI PENDEKATAN EKOLOGI 1)

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) TERHADAP PERBANDINGAN PEMBERIAN KASCING DAN PUPUK KIMIA

PENGELOLAAN KEBUN PANGKAS HIBRID ACACIA (A. mangium x A. auriculiformis) Sri Sunarti Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

ANALISIS TINGKAT ADOPSI PETANI DENGAN PENDEKATAN PTT PADI DI DESA BUNGARAYA KECAMATAN BUNGARAYA KABUPATEN SIAK ABSTRAK

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian

Transkripsi:

Perubahan Musiman Kerapatan Populasi Tikus Sawah di Ekosistem Sawah Irigasi Sudarmaji, Rahmini, N.A. Herawati dan A.W. Anggara Balai Penelitian Tanaman Padi Jln. Raya 9 Sukamandi Subang 41256 Jawa Barat ABSTRACT. Seasonal Fluctuation of Rice Field Rat Population, Rattus argentiventer (Rob & Kloss), in An Irrigated Rice Field Ecosystem. Rice field rat causes the most rice crop damage in Indonesia and seeking out of an effort is crucial to overcome this problem. The study was conducted in the irrigated rice area in Cilamaya Sub-district, Karawang District, West Java Province, commenced from January 1999 to September 2002. The study sites were two farmers fields which covered around 100 ha of farmers land for each block. The purpose of this research was to study the seasonal fluctuation of rice field rat population as a guidance on the integrated rodent pest management. Capture Mark Release (CMR) method was used to study the rat population. The rats were trapped by using a Linear Trap Barrier System (LTBS), that were placed in the five main rat habitats such as creek, rice field, road bank, irrigation channel bank and village border. Monthly trapping were conducted during crop and fallow seasons for three consecutive nights. The results showed that rice field rat density was influenced by the crop stages. There was only one population peak in one crop season. It was also depicted that their density tended to fluctuate extremely. The breeding season in previous rice generative stage which produced more young rats led the population peak to occur in the fallow periode after harvest. Since the food sources and shelters in the field were depleted during the fallow period, a seasonal migration from the field to village was a consequence. Thus, the implications of these results is to control rodent earlier before the breeding season. As an alternative migration during fallow period, village habitat is the main target to be concerned on rat control. It could be conducted by implementing LTBS as a fence between the rice field and village during the harvest-fallow period when the rat mobility was very high. Keywords: Population, seasonal, rice field rat, irrigated rice field. ABSTRAK. Tikus sawah Rattus argentiventer (Rob & Kloss) merupakan hama penyebab kerusakan terbesar pada tanaman padi di Indonesia, sehingga diperlukan pemahaman yang lebih mendasar untuk mengatasi masalah tersebut. Serangkaian penelitian dilaksanakan di lahan sawah irigasi di Kecamatan Cilamaya Kabupaten Karawang Jawa Barat, dimulai Januari 1999 dan berakhir pada September 2002. Lokasi penelitian adalah dua blok hamparan sawah petani dengan luas masing-masing sekitar 100 ha. Penelitian bertujuan untuk mempelajari perubahan kerapatan populasi tikus sawah musiman sebagai dasar pengendalian hama tikus secara terpadu. Capture Mark Release (CMR) yaitu menandai, melepaskan dan menangkap kembali tikus sawah sebagai metode pengamatan populasi tikus. Pengambilan sampel dilakukan dengan pemerangkapan (trapping) menggunakan Linear Trap Barrier System (LTBS). Lokasi pengambilan sampel meliputi lima habitat tikus di ekosistem sawah irigasi yaitu parit sawah, habitat tengah sawah, jalan sawah, tanggul irigasi, dan tepi kampung. Pengambilan sampel pada setiap habitat dilakukan selama tiga malam pemerangkapan dengan interval satu bulan. Kegiatan pemerangkapan dilakukan secara berkelanjutan dalam jangka panjang baik pada musim tanam padi maupun pada sawah bera. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kerapatan populasi tikus sawah dipengaruhi oleh fase tanaman padi. Populasi tikus di ekosistem sawah irigasi berfluktuasi sangat tajam dan puncak populasi hanya terjadi satu kali dalam satu musim tanam padi. Puncak populasi terjadi pada periode sawah bera (setelah panen), akibat kelahiran tikus pada saat padi dalam fase generatif sebelumnya. Penurunan populasi setelah terjadi puncak populasi terutama disebabkan oleh berkurangnya pakan dan tempat berlindung tikus pada periode sawah bera, sehingga terjadi emigrasi dari persawahan ke perkampungan. Implikasi dari hasil penelitian ini, pengendalian tikus supaya dilakukan secara dini sebelum terjadi periode perkembangbiakan.salah satu habitat yang menjadi target pengendalian adalah kampung, sebagai lokasi tujuan pelarian tikus sawah pada periode bera. Dalam pelaksanaannya di lapangan, dilakukan dengan cara memasang LTBS di tepi kampung ketika panen dan bera karena tingginya mobilitas tikus sawah. Kata kunci: Populasi, musiman, tikus sawah, sawah irigasi. Tikus sawah Rattus argentiventer (Rob & Kloss) merupakan hama penyebab kerusakan terbesar tanaman padi di Indonesia (Murakami et al. 1992, Geddes 1992, Singleton et al. 1997, Sudarmaji and Rochman 1997, Sudarmaji et al. 2003). Rata-rata luas serangan tikus di Indonesia setiap tahun selama periode 1998-2002 adalah 165.381 ha, dan 7.699 ha di antaranya mengalami puso (Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan 2003). Kehilangan hasil padi akibat serangan tikus sawah selama kurun waktu lima tahun (1996-2000) diperkirakan mencapai 529.439 ton gabah kering panen (GKP) atau setara dengan Rp800 milyar (Direktorat Perlindungan Tanaman 2001). Nilai kerugian tersebut belum termasuk kerugian yang terjadi pada pesemaian, stadium padi vegetatif, dan penyimpanan hasil padi di gudang. Tikus sawah juga mengakibatkan kerusakan pada berbagai komoditas lain, baik tanaman pangan, hortikultura, maupun tanaman perkebunan. Oleh karena itu, tikus dikenal sebagai hama lintas agroekosistem dan komoditas pertanian. Pengendalian tikus di Indonesia sampai saat ini masih mengandalkan penggunaan rodentisida (kimiawi) dan pengendalian secara fisik, yaitu dengan membunuh tikus secara langsung (Elsen and Fliert 1990, Priyono 1992, Sudarmaji et al. 2003). Pengendalian yang hanya mengandalkan cara-cara tersebut kurang menguntungkan untuk diterapkan dalam jangka panjang, karena kompensasi populasi merupakan konsekuensi akhir, walaupun pada awalnya populasi dapat diturunkan (Singleton et al. 1999, Krebs 1994). Sejauh ini, pengendalian hama di Indonesia telah menganut konsep 119

SUDARMADJI ET AL.: POPULASI TIKUS DI LAHAN IRIGASI pengendalian hama terpadu (PHT). Penerapan pengendalian hama tikus secara terpadu dalam pelaksanaannya harus didasarkan pada pemahaman ekologi hama sasaran, termasuk dinamika populasinya (Wood and Liau 1984, Redhead and Singleton 1988, Singleton 1989, Brown et al. 1998). Informasi tentang terjadinya perubahan musiman populasi tikus sawah dalam jangka panjang pada ekosistem sawah irigasi sangat membantu upaya mengatasi masalah tikus secara lebih mendasar. Tulisan ini menyajikan hasil penelitian tentang perubahan populasi tikus sawah di ekosistem sawah irigasi sebagai dasar upaya pengendalian. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Desa Pasirukem dan Sukatani, Kecamatan Cilamaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, yang terletak pada 06 o 14 Lintang Selatan dan 107 o 34 Bujur Timur. Penelitian berlangsung dari bulan Januari 1999 hingga September 2002. Lokasi penelitian merupa-kan lahan sawah petani dalam dua hamparan dengan luas areal masing-masing kurang lebih 100 ha. Studi populasi tikus sawah dilakukan dengan metode penandaan atau Capture Mark Release (CMR) (Richards 1982, Krebs 1994, Tarumingkeng 1994; Soegianto 1994, Leirs 1995). Teknik pengamatan dan pengambilan sampel dilakukan dengan cara pemerangkapan menggunakan metode sistem bubu perangkap linier (Linear Trap Barrier System, LTBS) seperti disajikan pada Gambar 1. Satu unit LTBS terdiri atas pagar plastik sepanjang 120 m, ajir bambu berukuran 3 cm x 80 cm sebanyak 120 buah, dan enam buah bubu perangkap. Bentangan pagar plastik setinggi 60 cm ditegakkan dengan ajir bambu pada setiap jarak 1 m. Enam buah bubu perangkap dipasang di bagian bawah kedua sisi pagar plastik tersebut dengan lubang corong bubu menghadap ke arah yang berlawanan. Bubu perangkap dipasang menempel pada lubang pagar plastik berukuran 10 cm x 10 cm pada setiap jarak 20 m (Leung and Sudarmaji 1999, Sudarmaji and Herawati 2001, Sudarmaji and Rahmini 2001, Aplin et al. 2003). Lima jenis habitat utama tikus sawah ditentukan sebagai lokasi pengambilan sampel, yaitu parit sawah, jalan sawah, tengah sawah, tanggul irigasi, dan tepi kampung. Masing-masing habitat ditandai dan digunakan sebagai lokasi pemerangkapan selama berlangsungnya penelitian. Pemasangan LTBS untuk penangkapan tikus dilakukan satu kali pada setiap awal bulan, selama tiga hari berturut-turut. LTBS dibongkar pada hari ke 4 dan dipasang kembali di tempat yang sama untuk periode pemerangkapan pada bulan berikutnya. Jumlah keseluruhan unit LTBS yang dipasang untuk satu periode pemerangkapan di lapangan adalah 10 unit. Total bubu perangkap yang digunakan 60 buah dengan lama pemasangan tiga hari, sehingga terdapat 180 malam-perangkap (trap-night) untuk setiap periode pengambilan sampel. Pengamatan populasi tikus dilakukan dengan cara menghitung hasil tangkapan tikus sawah dari setiap LTBS yang dipasang pada setiap periode pengambilan sampel. Gambar 1. Bubu perangkap tikus terbuat dari ram kawat berukuran 60 cm x 25 cm x 25 cm (a), dan skema pemasangan unit sistem bubu perangkap linier (LTBS) untuk pengambilan sampel tikus sawah (b). 120

Setiap tikus sawah yang tertangkap, langsung dilepaskan kembali di habitatnya, setelah dilakukan pengamatan dan penandaan. Untuk penandaan tikus digunakan anting logam bernomor yang dipasang pada bagian telinga (Krebs 1994). Pengamatan juga dilakukan terhadap status perkembangbiakan tikus betina. Metode perabaan (palpasi) sepanjang bagian abdomen tikus betina digunakan untuk mengamati kebuntingan, sedangkan tikus yang sedang menyusui diamati melalui kondisi puting susunya (Aplin et al. 2003). Perbedaan tingkat kerapatan populasi tikus di antara stadium padi (bera, vegetatif, dan generatif) diuji dengan menggunakan analisis varian. Pergerakan tikus ke arah kampung, selama ada pertanaman padi dan periode bera, diukur berdasarkan jumlah tangkapan pada LTBS yang dipasang di habitat tepi kampung yang lubang corong bubu perangkapnya menghadap ke arah sawah. Tingkat kerapatan populasi tikus sawah dihitung secara relatif berdasarkan metode trap success (Coughley 1977) sebagai berikut: Jumlah tikus tertangkap (ekor) Trap success = x 100% Jumlah perangkap x lama pemasangan (hari) HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis Tikus di Ekosistem Sawah Irigasi Total hasil pemerangkapan dengan LTBS selama periode Januari 1999 sampai September 2002 mencapai 5.334 individu, yang terdiri atas 90% (4.818 ekor) tikus sawah dan 10% lainnya hewan bukan bukan sasaran. Tiga jenis tikus hidup di ekosistem sawah irigasi Cilamaya, Karawang, Jawa Barat, yaitu tikus sawah (Rattus argentiventer), tikus rumah (Rattus rattus diardii), dan tikus wirok (Bandicota indica) (Tabel 1). Tabel 1. Komposisi spesies tikus dan binatang lain yang terperangkap pada LTBS di ekosistem sawah irigasi di Cilamaya, Karawang, Jawa Barat, periode 1999-2002. Jenis (spesies) Jumlah tangkapan Populasi (ekor) (%) Tikus sawah (R. argentiventer) 4.818 90,3 Tikus rumah (R. rattus diardii) 21 0,4 Tikus wirok (B. indica) 47 0,9 Binatang lain *) 448 8,4 Total 5.334 100 Di antara tikus yang telah diidentifikasi, R. argentiventer merupakan spesies dominan yang hidup di ekosistem sawah irigasi. Dominansi tersebut menunjukkan bahwa tikus sawah telah beradaptasi dengan baik pada ekosistem sawah irigasi. Kemampuan adaptasi di antara spesies tikus di setiap agroekosistem berbeda-beda. Suwalan et al. (1993) melaporkan bahwa di lahan pasang surut Sumatera Selatan yang belum lama dibuka untuk pertanian, dihuni oleh tiga spesies tikus, yaitu R. argentiventer (49%), R. exulans (44,2%), dan R. rattus diardii (6,8%). Di lahan pasang surut yang telah lama ditanami padi, R. argentiventer bergeser menjadi spesies dominan (90,2%), sedangkan populasi R. exulans dan R. rattus diardii menurun menjadi 7,6% dan 2,2% (Rochman and Sudarmaji 2001). Di Vietnam, pada sawah irigasi di Delta Sungai Mekong terdapat 12 spesies tikus dengan komposisi R. argentiventer 60%, R. losea 15% dan 10 spesies lainnya 25% (Brown et al. 1999). Hal tersebut menunjukkan bahwa tikus sawah hampir selalu merupakan spesies dominan yang hidup di daerah sawah dengan tanaman padi intensif. Tikus rumah (R. rattus diardii) dan tikus wirok (B. indica) yang tertangkap selama penelitian umumnya berada di habitat sawah yang berbatasan dengan kampung. Keberadaan tikus rumah dan tikus wirok di daerah tersebut diduga merupakan bagian dari aktivitas tikus untuk mendapatkan pakan, khususnya pada saat stadium padi matang panen. Tikus rumah diketahui menghuni rumah atau gudang, dan digolongkan sebagai salah satu hama gudang, sedangkan tikus wirok termasuk hama padi yang hidup di dekat perkampungan dan merusak tanaman padi ketika bermalai dan membawa bulir padi ke dalam sarangnya. Tingkat Kerapatan Populasi Selama 45 kali pengambilan sampel dari Januari 1999 hingga September 2002 telah ditandai dan dilepaskan sebanyak 4.565 ekor tikus sawah, dan 253 ekor tikus sawah telah terlepas sebelum ditandai. Selama kurun waktu tersebut, tikus sawah yang berhasil ditangkap kembali (recaptured) hanya 230 ekor (5,0%). Rendahnya tangkapan kembali tikus-tikus yang telah ditandai dan dilepaskan tersebut diduga berkaitan dengan jera perangkap (trap shyness). Tikus-tikus yang pernah terperangkap sebelumnya dan dilepaskan kembali menjadi sulit ditangkap kembali. Hal tersebut dapat menyebabkan bias dalam perhitungan kerapatan populasi dengan metode CMR. Oleh karena itu, perhitungan pendugaan kerapatan populasi tikus sawah dihitung secara relatif berdasarkan keberhasilan pemerangkapan (trap success). *) ular, katak, kadal, kepiting sawah, ikan, burung, dan cecurut 121

SUDARMADJI ET AL.: POPULASI TIKUS DI LAHAN IRIGASI Berdasarkan hasil analisis kerapatan populasi terdapat satu kali puncak populasi dalam satu musim tanam padi. Pada pola tanam padi dua kali dalam satu tahun terdapat dua kali puncak populasi tikus sawah. Perubahan puncak populasi selalu berulang (repeated pattern) dari musim ke musim dan dari tahun ke tahun, mengikuti pertumbuhan tanaman padi. Puncak populasi tikus sawah tertinggi terjadi pada periode bera (Gambar 2). Terjadinya fluktuasi populasi tikus yang tajam selama periode pertanaman padi dan bera dipengaruhi oleh aktivitas budi daya padi pada setiap musim tanam yang mengakibatkan perubahan lingkungan yang berlangsung cepat. Dalam satu musim tanam padi terjadi perubahan lingkungan dari periode bera, pengolahan tanah, pesemaian, tanam, fase vegetatif, fase generatif, dan panen. Tikus sawah sebagai anggota komunitas dalam ekosistem akan merespon terjadinya perubahan lingkungan yang cepat dengan beradaptasi dan melakukan strategi untuk dapat bertahan hidup. Tikus sawah merupakan hama dengan strategi-r dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kararteristik hama dengan strategi-r antara lain mempunyai laju perkembangbiakan yang tinggi, sehingga pada suatu saat tertentu dapat terjadi peningkatan populasi dengan cepat dalam waktu singkat (MacDonald and Fenn 1994). Populasi tikus sawah di ekosistem sawah irigasi terkait erat dengan fase pertumbuhan tanaman padi yang menjadi pakan utamanya. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan terjadinya peningkatan populasi yang cepat pada fase generatif dan mencapai puncak populasi pada periode bera. Adanya puncak populasi tikus sawah pada tanaman padi juga pernah dilaporkan oleh Murakami et al. (1992), Rochman (1992), Wood (1994), dan Leung et al. (1999). Puncak populasi tikus sawah yang terjadi pada periode bera berhubungan erat dengan meningkatnya jumlah individu baru dari kelahiran pada fase generatif sebelumnya. Berdasarkan hasil pengambilan sampel periode 1999-2003 diketahui bahwa perkembangbiakan tikus sawah pada ekosistem sawah irigasi mempunyai pola musiman yang teratur. Sebagian besar perkembangbiakan tikus terjadi pada fase generatif dan relatif kecil pada periode bera awal. Status perkembangbiakan didasarkan pada hasil tangkapan tikus betina bunting dan menyusui anaknya. Kebuntingan tikus betina dimulai bersamaan waktunya dengan buntingnya tanaman padi. Hal tersebut diduga berkaitan erat dengan tersedianya kualitas pakan padi, yaitu pada tanaman padi dalam fase generatif yang mengandung karbohidrat tinggi sebagai sumber energi. Pada fase generatif bulan kedua (pengisian malai) ditemukan hampir 100% tikus Gambar 2. Rata-rata tingkat kerapatan populasi relatif tikus sawah di ekosistem sawah irigasi dengan pola tanam padi-padibera di Cilamaya, Karawang, Jawa Barat, 1999-2002. 122

Populasi betina bunting + menyusui (%) Populasi (ekor/180 malam-perangkap) Gambar 3. Siklus perkembangbiakan tikus sawah dan terjadinya puncak populasi di ekosistem sawah irigasi Cilamaya, Karawang, Jawa Barat, 1999-2002. betina sedang berkembangbiak. Tingginya populasi tikus pada periode bera dapat dipastikan merupakan akumulasi individu-individu yang berasal dari kelahiran yang terjadi pada fase generatif sebelumnya. Terjadinya kelahiran tersebut berpengaruh nyata terhadap peningkatan populasi tikus sawah sehingga terjadi puncak populasi pada periode bera (Gambar 3). Tikus sawah mampu melahirkan anak dalam jumlah banyak dan memiliki periode kebuntingan yang singkat, yaitu tiga kali kelahiran dalam satu musim tanam padi dengan rata-rata 10 ekor anak setiap kelahiran (Murakami et al. 1992, Sudarmaji et al. 1996). Hal ini berpengaruh nyata terhadap peningkatan populasi tikus. Anak-anak tikus yang dilahirkan tersebut baru berhasil terjaring oleh LTBS setelah meninggalkan sarang dan terjadi pemencaran. Mobilitas yang tinggi pada periode bera tersebut menyebabkan tikus lebih mudah terperangkap ke dalam LTBS. Analisis beda rata-rata dari tangkapan tikus di antara fase vegetatif, genetatif dan periode bera, menunjukkan adanya perbedaan yang nyata kerapatan populasi tikus (Tabel 2). Populasi terendah terjadi pada fase padi generatif, bertepatan dengan periode perkembangbiakan tikus dan lebih banyak tinggal di sarang. Pada periode tersebut tikus sawah lebih sulit diperangkap karena pergerakan tikus betina hanya terbatas di dekat sarang, sedangkan Tabel 2. Rata-rata tingkat kerapatan populasi tikus sawah pada berbagai fase tanaman padi di ekosistem sawah irigasi di Cilamaya, Karawang, Jawa Barat, 1999-2002. Stadium padi (n=28) Vegetatif Generatif Bera Rata-rata populasi (ekor/180 malam-perangkap) 33,6 ± 5,1 b 12,2 ± 3,7 a 116,3 ± 20,9 c Angka-angka yang diikuti oleh huruf berbeda berbeda nyata pada taraf 0,05 uji DMRT Analisis dengan data transformasi (x+1) tikus jantan pada musim kawin (padi fase generatif) lebih banyak berada di areal pertanaman padi (Sudarmaji 1994). Pada fase generatif, peningkatan populasi tikus dari kelahiran belum dapat terdeteksi melalui hasil pemerangkapan dengan LTBS. Peningkatan populasi baru dapat diketahui setelah satu sampai dua bulan berikutnya, yaitu pada periode bera. Peningkatan populasi dari fase generatif sampai bera terlihat nyata dan mencapai 10 kali lipat dari populasi tikus pada saat padi dalam fase generatif. Populasi tikus menurun sangat tajam pada awal tanam. Hal ini antara lain disebabkan oleh emigrasi tikus sawah dari daerah persawahan menuju perkampungan atau lahan-lahan yang tidak dibudidayakan oleh petani 123

SUDARMADJI ET AL.: POPULASI TIKUS DI LAHAN IRIGASI Persentase tangkapan tikus yang menuju ke arah kampung (%) 80 70 60 50 40 30 20 10 0 41 Stadium padi Gambar 4. Persentase populasi tikus sawah yang menuju ke arah kampung (berdasarkan tangkapan dari LTBS di habitat kampung) selama padi vegetatif, generatif, dan bera di Cilamaya, Karawang, Jawa Barat, 1999-2002. di sekitar daerah persawahan. Emigrasi tikus disebabkan oleh berkurangnya ketersediaan pakan padi dan tanaman sebagai tempat berlindung (shelter), serta terganggunya habitat tikus karena proses budi daya padi, antara lain sanitasi dan pengolahan tanah. Di samping itu, petani umumnya melakukan pengendalian tikus pada saat awal tanam (Sudarmaji et al. 2003). Hasil analisis terhadap tangkapan tikus pada LTBS yang dipasang di tepi kampung, khususnya pada bubu perangkap yang pintu masuknya menghadap ke arah sawah, menunjukkan adanya perbedaan populasi tikus yang menuju ke arah kampung. Pada periode bera, tingkat pergerakan tikus ke arah kampung paling tinggi (69%) dibandingkan dengan fase generatif (33%), dan fase vegetatif (40%) (Gambar 4). Pada fase generatif, tidak banyak tikus yang meninggalkan sawah menuju ke daerah perkampungan. Hal tersebut disebabkah karena pakan padi di daerah persawahan masih cukup tersedia dan bahkan berlimpah. Tanaman padi yang rimbun juga merupakan tempat berlindung tikus yang baik. Setelah padi dipanen (batang padi telah dibabat dan gabah diangkut keluar sawah), tikus akan mencari pakan alternatif dan tempat berlindung keluar dari persawahan. Pada periode pengolahan tanah, petani juga melakukan sanitasi gulma di lingkungan persawahan dan pembongkaran sarang tikus, yang mengakibatkan terganggunya habitat tikus. Kondisi tersebut juga memicu terjadinya emigrasi tikus dari persawahan menuju ke perkampungan, pinggir sungai, dan lahan-lahan kosong lainnya (refuge habitats). Pada akhirnya emigrasi menyebabkan penurunan tingkat populasi tikus di daerah persawahan. 33 Vegetatif Generatif Bera 69 KESIMPULAN 1. Kerapatan populasi tikus sawah di ekosistem sawah irigasi berfluktuasi sangat tajam dengan puncak populasi terjadi pada periode bera. Puncak populasi terjadi satu kali dalam satu musim tanam padi, sehingga pada daerah dengan pola tanam padipadi-bera terjadi puncak populasi dua kali dalam satu tahun. 2. Penyebab utama peningkatan populasi tikus adalah terjadinya akumulasi individu baru dari proses kelahiran pada saat padi dalam fase generatif. Penurunan puncak populasi disebabkan oleh berkurangnya pakan dan tempat berlindung tikus pada periode sawah bera, sehingga terjadi migrasi tikus ke daerah perkampungan di sekitarnya. 3. Terjadinya puncak populasi tikus yang disebabkan oleh kelahiran pada saat padi dalam fase generatif dan penurunan populasi karena migrasi tikus ke daerah perkampungan pada periode bera, dapat digunakan sebagai dasar dalam pengendalian hama tikus secara terpadu. SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan bahwa pengendalian tikus harus dilaksanakan secara dini (pratanam) untuk menurunkan populasi tikus betina dewasa sebelum terjadi perkembangbiakan pada periode padi generatif. Habitat kampung di sekitar persawahan agar dijadikan target utama daerah pengendalian, karena habitat tersebut merupakan lokasi alternatif pelarian tikus (refuge habitats) pada periode sawah bera. UCAPAN TERIMA KASIH Penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada Dr. G.R. Singleton (CSIRO Sustainable Ecosystems, Australia) dan Dr. John Copland (ACIAR Australia) atas kerja sama penelitian yang berjalan baik di Indonesia. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada saudara Tedi Purnawan, Elon Rasdan, Alm. Jumanta, SP. yang telah membantu pengambilan data di lapangan. Penghargaan dan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. A. Hasanuddin, Dr. S. Kartaatmadja, dan Dr. Irsal Las sebagai pembina dalam kerja sama penelitian tikus ACIAR di Balai Penelitian Tanaman Padi. Penelitian ini sebagian dibiayai oleh ACIAR dalam kerja sama penelitian tikus ASI/98/36. 124

DAFTAR PUSTAKA Aplin, K.P., Brown, P.R., Jacob, J., Krebs, C.J. and Singleton, G.R. 2003. Field methods for rodent studies in Asia and Indo-Pacific. ACIAR Monograph No. 100. 223 p. Brown, P.R., Hung, N.Q., Hung, N.M. and Wensveen, M.V. 1999. Population ecology and management of rodent pests in the Mekong River Delta, Vietnam. In: Singleton, G.R., Hinds, L.A., Leirs, H, Zhang, Z. (eds.), Ecologically-based Management of Rodent Pests. ACIAR, Canberra. Brown, P.R., Singleton, G.R., Dunn, S.C. and Jones, D.A. 1998. The management of house mice in agricultural landscapes using farm management practices: An Australian perspective. In: Baker, R.O. and Crabb, A.C., (eds.). Proceedings of the 18 th Vertebrate Pest Conference, Costa Mesa, California, USA. 2-5 March 1998. Davis University of California, USA. pp.156-159. Coughley, G. 1977. Analysis of vertebrate population. London, John Wiley & Sons. Direktorat Perlindungan Tanaman. 2001. Kebijakan pengendalian hama terpadu tikus. Diskusi panel pengendalian hama tikus di Jatisari. Jakarta. Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan. 2003. Hama tikus dan rekomendasi pengendaliannya di Indonesia. Makalah Reviu proyek ACIAR ASI/98/36. Jakarta. Elsen, K.V., and Fliert, E.V.D. 1990. Development of a communitybased programme on integrated rodent management in rice in Indonesia. In: Quick, G.R. (eds.). Rodents and rice. International Rice Research Institute, Philippines. Geddes, A.M.W. 1992. The relative importance of pre-harvest crop pest in Indonesia. Chatham, U.K., Natural Resources Institute Bulletin 47. Krebs, C.J. 1994. Ecology. The experimental analysis of distribution and abundance. Fourth edition. Harper Collins Pub. New York. Leirs, H. 1995. Population ecology of Mastomys natalensis (Smith, 1834). Implication for rodent control in Africa. Agric. ed-nr 35. BADC, Brussels. Leung, K.P. and Sudarmaji. 1999. Techniques for Trapping the Rice- Field Rat, Rattus argentiventer. Malayan Nature Journal 53(4): 323-333. Leung, L. K-P., Singleton, G.R., Sudarmaji, and Rahmini. 1999. Ecologically-based population management of the rice-field rat in Indonesia. In: Singleton, G.R., Hinds, L.A., Leirs, H, Zhang, Z. (eds.), Ecologically-based Management of Rodent Pests. ACIAR, Canberra. Macdonald, D.W.and Fenn, M.G.P. 1994. The natural history of rodents: Pre-adaptations to pestilence. In: Buckle, A.P. and Smith, A.H. (eds.). Rodent pest and their control. CAB International, University Press, Cambridge. Murakami, O., Kirana, V.L.T., Priyono, J. dan Tristiani, H. 1992. Tikus Sawah. Laporan akhir kerjasama Indonesia-Jepang bidang perlindungan tanaman pangan (ATA-162). Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Jakarta. Priyono, J. 1992. Pengendalian hama tikus secara kultur teknik, fisik dan mekanik. Makalah seminar pengendalian hama tikus terpadu. Program Nasional PHT Bapenas, Cisarua, Bogor. Redhead, T.D. and Singleton, G.R. 1988. The PICA strategy for the prevention of losses caused by plagues of Mus domisticus in rural Australia. EPPO (European Plant Protection Organization) Bulletin. 18:237-248. Richards, C. 1982. Sampling small mammal populations. Compilation on lecture note on small mammal biology. Biotrop, Bogor. Rochman dan Sudarmaji. 2001. Ragam dan sebaran spesies tikus di lahan pasang surut Sumatera Selatan. Penelitian Pertanian. 20 (1): 61-66. Rochman. 1992. Biologi dan ekologi tikus sebagai dasar pengendalian hama tikus. Makalah seminar pengendalian hama tikus terpadu. Program Nasional PHT Bapenas, Cisarua, Bogor. Singleton, G.R, Sudarmaji and Suryapermana, S. 1997. An experimental field study to evaluate a trap barrier system and fumigation for controlling the rice-field rat, Rattus argentiventer, in rice crops in West Java. Crop Protection 17 (1): 55-64. Singleton, G.R. 1989. Population dynamics of an outbreak of house mice (Mus domisticus) in the Mallee wheatlands of Australiahypothesis of plague formation. J. Zool. 219: 495-515. Singleton, G.R., Leirs, H., Hinds, L.A. and Zhibin, Z. 1999. Ecologically-based management of rodent pest-reevaluating our approach to an old problem. In: Singleton, G.R., Hinds, L.A., Leirs, H. and Zhibin, Z (eds.). Ecologically-based management of rodent pests. ACIAR, Canberra. Soegianto, A. 1994. Ekologi kuantitatif-metoda analisis populasi dan komunitas. Usaha Nasional, Surabaya. Sudarmaji dan Rahmini. 2001. Evaluasi metode LTBS untuk menangkap tikus sawah pada berbagai ragam habitat. Prosiding Lokakarya Padi. Puslitbangtan, Bogor. p.180-186. Sudarmaji dan Herawati, N.A. 2001. Metode sederhana pendugaan populasi tikus sebagai dasar pengendalian dini di ekosistem sawah irigasi. Penelitian Pertanian 20 (2): 27-31. Sudarmaji dan Rochman. 1997. Populasi tikus sawah Rattus argentiventer di berbagai tipe habitat ekosistem padi sawah. Prosiding III Seminar Nasional Biologi XV. PBI Cabang Lampung dan UNILA, Bandar Lampung. Hal.1069-1073. Sudarmaji, Hasanuddin, A., and Scuffins, M. 1996. Breeding and age structure of the ricefield rat (R. argentiventer) in West Java Indonesia. 2 nd Project planning meeting management of rodent pests in Southeast Asia. UPM, Malaysia. Sudarmaji, Singleton. G.R., Herawati. N.A., Djatiharti A., and Rahmini. 2003. Farmer perceptions and practices in rat management in West Java, Indonesia. In: Singleton, G.R., Hind, L.A., Krebs, C.J. and Spratt, M.D. (eds.). Rat, mice and people: Rodent biology and management. ACIAR, Canberra. Sudarmaji. 1994. Pengetahuan daya dukung dan tempat tinggal tikus sawah (Rattus argentiventer) sebagai dasar usaha pengendalian. Makalah Latihan PHT untuk PPL Ciasem, Subang. Suwalan, S., Ismail, I.G. dan Rochman. 1993. Hama utama tanaman pangan pada sistem usahatani di lahan pasang surut asumatra selatan. Pros. Simposium Penel. Tan. Pangan III. Puslitbangtan Bogor. Tarumingkeng, R.C. 1994. Dinamika populasi kajian ekologi kuantitatif. Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta. Wood, B.J. 1994. Rodents in agriculture and forestry. In: Buckle, A.P. and Smith, A.H. (eds.), Rodent pest and their control. CAB International. University Press, Cambridge. Wood, B.J. and Liau,S.S. 1984. A long term study of Rattus tiomanicus populations in an oil palm plantation in Johore, Malaysia. III. Bionomics and natural regulation. Journal of applied Ecology 21:473-495. 125