BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri

BAB I PENDAHULUAN. proses pembelajaran peserta didik yang dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Remaja mempunyai tempat khusus dalam setiap masyarakat, karena

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar berlangsung. Para guru dan siswa terlibat secara. Sekolah sebagai ruang lingkup pendidikan perlu menjamin

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan seseorang, seiring harapan untuk memiliki anak dari hasil pernikahan.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai resiliency pada

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Harga diri pada remaja di panti asuhan dalam penelitian Eka Marwati (2013). Tentang

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. biologis dan ditutup dengan aspek kultural. Transisi dari masa kanak-kanak ke remaja

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan intelektual dan kognitif. Kemampuan intelektual ini ditandai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

PENDAHULUAN. dengan apa yang ia alami dan diterima pada masa kanak-kanak, juga. perkembangan yang berkesinambungan, memungkinkan individu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Gaya Hidup Hedonis Pada Mahasiswa. 1. Pengertian Gaya Hidup Hedonis Pada Mahasiswa

GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan pembangunan di sektor ekonomi, sosial budaya, ilmu dan teknologi.

ABSTRAK. iii. Universitas Kristen Maranatha

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa. perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yudi Fika Ismanto, 2013

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perkembangannya menuju dewasa. Remaja cenderung memiliki peer group yang

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB 1 PENDAHULUAN. berguna kelak di kemudian hari.sekolah sebagai salah satu institusi pendidikan yang

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB I PENDAHULUAN. individu untuk menuju kedewasaan atau kematangan adalah masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan ini tidak ada sesuatu yang sempurna. Ada sebuah. ungkapan yang mengatakan bahwa manusia tidak ada yang sempurna dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. antara sekianbanyak ciptaan-nya, makhluk ciptaan yang menarik, yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa kanak-kanak merupakan bagian dari perjalanan panjang bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN. seorang peserta didik adalah belajar. Menurut Gagne (Hariyanto, 2010), belajar

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi hampir bersamaan antara individu satu dengan yang lain, dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang menjadi salah satu tempat dalam pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

Bandung, Agustus Peneliti. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan individu tidak pernah lepas dari peran

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. Pengasuhan anak, dilakukan orang tua dengan menggunakan pola asuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sugiyono (2008:119) mengemukakan bahwa metode komparatif atau ex post facto

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka

Bab I Pendahuluan. Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup bermasyarakat atau dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kemampuan siswa. Dengan pendidikan diharapkan individu (siswa) dapat

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan sehari-hari. Suatu keluarga itu dapat berbeda dari keluarga yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tugas perkembangan yang sangat penting yaitu mencapai status

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

Lampiran 1 Kuesioner Pola Asuh Orang Tua dan Self Esteem DATA PRIBADI

BAB I PENDAHULUAN. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua. Melalui orang tua,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

MENGENAL MODEL PENGASUHAN DAN PEMBINAAN ORANGTUA TERHADAP ANAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Materi kuliah e-learning HUBUNGAN ORANG TUA DENGAN ANAK REMAJA oleh : Dr. Triana Noor Edwina DS, M.Si Dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan kearah yang lebih baik tetapi perubahan ke arah yang semakin buruk pun terus berkembang. Salah satu perubahan itu adalah perubahan ekonomi dan sosial. Akibat dari perubahan tersebut banyak yang terkena dampaknya. Salah satu yang terkena dampak dari perubahan itu adalah keluarga karena semakin baik ekonomi keluarga maka akan semakin baik hubungan dalam keluarga tersebut tetapi apabila dalam keluarga memiliki keadaan ekonomi yang buruk maka kemungkinan besar yang akan terkena dampaknya adalah anak (Duvall dalam Olson, 2001). Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat, dimana keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak. Keluarga akan menjadi tempat pertama seorang anak untuk bersosialisasi sebelum beranjak remaja (Duvall dalam Olson, 2001). Pada kenyataannya tidak semua remaja mendapat tempat untuk bersosialisasi didalam keluarga. Banyak remaja yang tidak beruntung mendapatkan pengasuhan dari keluarganya sendiri. Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya, yaitu karena keadaan ekonomi yang telah dipaparkan diatas, orang tua meninggal dunia, serta lingkungan yang tidak baik, misalnya keadaan rumah tangga yang tidak teratur dan hubungan orang tua yang tidak harmonis yang 1

2 dapat mengakibatkan perubahan dalam memberikan pola asuh kepada anaknya. Untuk hal seperti ini, anaklah yang paling menderita jika tidak dididik dengan benar (http://library.usu.ac.id/download/fk/06009832.pdf). Menurut Makmur Sunusi, Phd, Direktur Jendral Pelayanan Sosial (Depsos Rl) mengatakan bahwa, "Indonesia telah mengakui secara jelas bahwa keluarga adalah lingkungan terbaik bagi anak-anak untuk tumbuh dan penelitian ini merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa kebutuhan anak-anak yang memerlukan pengasuhan alternatif dipenuhi dengan profesionalitas dan pengasuhan yang berkualitas dan panti asuhan merupakan pilihan terakhir". (http://www.depsos.go.id/modules.php?name=news&file=print&sid=674). Sesuai dengan hal diatas tersebut maka dapat dikatakan bahwa seorang anak jika tidak dapat tinggal dalam lingkungan keluarga maka pilihan yang terbaik adalah anak tinggal di dalam panti asuhan. Didalam panti asuhan anak dapat tetap tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu maka di panti asuhan diperlukan pengasuhan yang berkualitas. Sehubungan dengan hal di atas, Badan Pembina Koordinasi Kesejahteraan Sosial (BPKKS) mengatakan panti asuhan sendiri merupakan suatu lembaga untuk mengasuh anak-anak, memberikan bimbingan dari pimpinan kepada anak dengan tujuan agar mereka menjadi manusia dewasa yang cakap dan berguna serta bertanggung jawab atas dirinya dan terhadap masyarakat dikemudian hari (http://203.130.242.190/artikel/2194.shtm).

3 Secara lebih mendalam, pengasuhan adalah sebuah interaksi yang terjadi antara pengasuh (orangtua, orang dewasa) dengan anak yang diasuh (Gunarsa, 2001). Pengasuhan merupakan usaha yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku sesuai dengan keinginan pengasuh. Pengasuhan menjadi sangat penting karena melalui proses pengasuhan remaja tumbuh dan berkembang menjadi sebuah sosok individu dengan seperangkat karakteristik sejalan dengan yang ia terima selama proses pengasuhan berlangsung (Abrahi, 1998). Bentuk pola asuh adalah sesuatu yang unik dan berbeda beda antara satu dengan yang lainnya. Begitu pula dengan pola asuh yang diberikan oleh para pengasuh di sebuah panti asuhan yang sama (http://www.kabarindonesia.com). Akan tetapi, menurut pemerintah sistem panti asuhan menunjukkan bahwa dukungan pengasuhan yang ada di Indonesia tidak menghasilkan pengasuhan yang professional dan berkualitas. Kurangnya staf secara umum, termasuk staf yang telah mendapatkan pelatihan professional, berarti bahwa remaja cenderung lebih banyak untuk lebih bersikap mandiri dalam melakukan tugas-tugasnya. Sama halnya yang terjadi di Indonesia mengenai remaja yang berasal dari keluarga miskin yang ditampung di panti asuhan. Setiap petugas mengasuh rata-rata 20 anak, karena para pengasuh sangat sibuk maka tidak jarang remaja yang tinggal di panti asuhan tidak mendapat kasih sayang. http://www.whandi.net/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=1627).

4 Selain itu, dalam penelitian Save The Children yang dilakukan terhadap 37 panti asuhan di Indonesia, dijumpai keadaan panti asuhan yang memiliki kekurangan dalam metode pengasuhan. Selain itu, setiap anak yang berada di panti asuhan tidak pernah diikutsertakan dalam pengambilan keputusan. Menurut hasil penelitian ini, terungkap bahwa panti asuhan di Indonesia belum memiliki standar pola pengasuhan yang baik. (http://www.mail-archive.com/tamanbintang@yahoogroups.com/msg04221.html). Seorang pengasuh memiliki peran penting, peran penting yang harus dilakukan adalah mengasuh dan mendidik. Pola asuh yang diterapkan pengasuh dapat bermacam-macam, secara garis besar pola asuh dibedakan menjadi empat tipe yaitu pola asuh authoritative, authoritarian, permissive, dan juga uninvolved (Baumrind dalam Maccoby, 1980). Pola asuh authoritative memiliki keseimbangan antara kontrol orang tua dan kehangatan yang diberikan. Pola asuh authoritarian memiliki karakteristik kontrol orang tua lebih besar daripada kehangatan yang diberikan terhadap remaja. Hal ini ditunjukkan dengan sikap orang tua yang mendominasi perilaku remaja. Seperti satu orang pengasuh yang selalu mengatur anak remaja yang diasuhnya dari pada mendengar apa yang diinginkan oleh remaja terseebut (Hasil wawancara, lampiran 5). Menurut Baumrind dalam Macobby (1980) menyatakan bahwa pola asuh permissive lebih menunjukkan kehangatan namun di sisi lain kendali atau kontrol dari orang tua terhadap anak rendah sehingga anak dibiarkan berbuat sesukanya tanpa ada beban kewajiban atau target apapun. Sedangkan untuk

5 pola asuh uninvolved orang tua memiliki sikap kontol yang rendah dan kehangatan yang diberikan kepada anak pun rendah. Dikarenakan tipe pola asuh yang diterapkan oleh ibu kepada remaja berbedabeda maka persepsi remaja tentang pola asuh yang didapatnya pun akan berbeda-beda antara satu remaja dengan remaja lainnya. Dari perbedaan tersebut akan menghasilkan sesuatu yang berbeda pula, salah satunya adalah self esteem karena menurut Coopersmith (1967) mengatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi self esteem adalah pola asuh. Self esteem merupakan evaluasi positif ataupun negatif terhadap diri sendiri (Coopersmith dalam Burns, 1982). Menurut Buss (1973), orang tua merupakan faktor utama dalam pembentukan dan pemberi modal dasar terhadap self esteem dibandingkan dengan teman sebaya atau orang lain. Orang yang memiliki self esteem rendah cenderung berpikiran negatif tentang dirinya sendiri dan pesimis. Sedangkan, orang dengan self esteem tinggi mampu memandang kehidupan dengan positif. Orang tua mampu bersikap optimis, maka akan mudah baginya untuk bersikap positif, terbuka dan memberikan dukungan terhadap perkembangan kedewasaan anak remajanya dan sebaliknya apabila orang tua bersikap pesimis maka akan menghambat perkembangan bagi anaknya. (http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabid=61&src=k&id=124687). Oleh karena itu, baik buruknya sikap atau self esteem seorang anak terkait juga dengan bagaimana pola asuh yang diterimanya. Pola pengasuhan yang selalu

6 selalu menuntut pada remaja panti asuhan maka remaja panti asuhan dapat menilai kalau pengasuhnya menghargai kemampuan yang ada pada dirinya (J. Drost, SJ dalam Rublik Psikologi Pikiran Rakyat, Jumat 13 Desember 1996). Berbeda dengan pengasuh yang tidak menghargai kemampuannya maka remaja ini merasa temanteman merekalah yang menghargai kemampuannya. (http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/isu-remaja.html). Menurut Tika Bisono, psikolog. "Self esteem tak datang sendiri, ia dibentuk dan dipupuk, Tika sepakat jika orang tua berperan besar dalam menumbuhkan rasa percaya diri anak. Orang tua yang terbiasa membangun rasa percaya diri anak, akan meraih manfaatnya pada masa depan." (http://www.sivalintar.com/pglku3.html) Self esteem dipengaruhi oleh 4 aspek (Coppersmith,1967). Pertama power, yang berarti kemampuan untuk mengatur dan mengontrol tingkah laku orang lain. Kedua significance yaitu adanya kepedulian, penilaian dan afeksi yang diterima individu dari orang lain. Ketiga virtue yaitu ketaatan mengikuti standar moral dan etika, ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang tidak diperbolehkan. Terakhir adalah competence yaitu sukses dalam memenuhi tuntutan prestasi. Dari ke empat aspek yang dapat mempengaruhi self esteem, diperlukan arahan yang dapat meningkatkan self esteem. Untuk meningkatkan self esteem ini sebaiknya melihat terlebih dahulu bagaimana pola asuh yang diberikan oleh para pengasuh di panti asuhan, sehingga dapat memberikan dampak pada diri setiap remaja untuk dapat menghargai dirinya sendiri (http://dalilskripsi.com/content/view/40/).

7 Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan kepada 10 orang remaja panti asuhan X Bandung, bahwa 3 orang (30%) diantaranya mengatakan bahwa pengasuh telah memberikan perhatian, merasa dirinya masih beruntung dibanding remaja lainnya yang tidak memiliki tempat untuk tinggal. 2 orang (20%) mengatakan bahwa dirinya tidak menyukai aturan yang ada di panti asuhan ini karena aturan tersebut tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Sedangkan 5 orang (50%) mengatakan bahwa pengasuh yang ada di panti asuhan ini memiliki aturan yang jelas dan mereka masih merasa pengasuh kurang memberikan perhatiannya. Lembaga panti asuhan X merupakan panti asuhan Kristen yang berbentuk asrama. Visi dan misi dari panti asuhan ini yaitu Mensejahterakan anak-anak asuh dalam panti dan non panti dan Pelayanan kepada anak asuh yang dimotivasi oleh kasih kepada Allah dan menolong anak asuh dalam kebutuhan tanpa diskriminasi. Panti asuhan ini hanya diperuntukkan bagi anak laki-laki saja, karena dengan cara seperti ini maka akan mempermudah pengasuh mengasuh anak-anaknya. Panti asuhan ini memiliki 45 orang anak remaja putra. 1 pengasuh diberikan tanggung jawab untuk mengurus 10 anak. Namun, para pengasuh tidak hanya terpaku pada kesepuluh anak tersebut. Berangkat dari semua konsep yang telah diuraikan diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kontribusi pola asuh orang tua terhadap self esteem remaja panti asuhan X di Bandung. Hal ini nantinya dapat digunakan oleh peneliti lain untuk menunjukkan apakah panti asuhan merupakan suatu

8 alternatif yang dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang optimal bagi setiap individu. 1.2 Identifikasi Masalah Penelitian ini ingin melihat bagaimana kontribusi pola asuh orang tua terhadap self esteem remaja panti asuhan X di Bandung. 1.3 Maksud dan tujuan penelitian 1.3.1 Maksud penelitian Untuk mengetahui gambaran mengenai kontribusi pola asuh orang tua terhadap self esteem remaja panti asuhan X di Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis pola asuh mana yang berpengaruh terhadap self esteem. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Ilmiah 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi ilmu Psikologi khususnya Psikologi Perkembangan, mengenai tipe pola asuh mana yang

9 mendukung perkembangan remaja, terutama dalam pembentukkan self esteem yang tinggi. 2. Penelitian ini dapat menjadi referensi dan pendorong bagi peneliti lain yang akan meneliti lebih lanjut mengenai pola asuh dan self esteem. 1.4.2 Kegunaan Praktis 1. Memberikan informasi kepada pengasuh yang bekerja di panti asuhan X dalam perannya untuk memberikan tipe pola asuh mana yang lebih dibutuhkan remaja panti asuhan X dalam pembentukan self esteem yang tinggi. 2. Memberikan informasi kepada lembaga panti asuhan X mengenai self esteem yang dimiliki remaja panti asuhan X saat ini dan hal apa saja yang perlu ditingkatkan panti asuhan sehingga self esteem remaja panti asuhan X dapat lebih ditingkatkan. 1.5 Kerangka Pikir Manusia adalah makhluk yang unik. Tidak ada pribadi yang sama antara satu individu dengan individu yang lain, begitu pula dengan remaja. Pada tahap ini, remaja merupakan periode yang penting. Menurut Hurlock (1997), setiap periode dalam kehidupan memang penting tetapi setiap periode memiliki kadar kepentingan yang berbeda-beda. Selain itu, masa remaja merupakan periode peralihan dari satu

10 tahap ke tahap berikutnya. Artinya, apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya terhadap yang terjadi pada saat sekarang maupun masa depan. Remaja merupakan masa yang tidak realistik, ia melihat dirinya dan diri orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Hurlock, 1997). Semua tugas perkembangan tersebut pada masa remaja dipusatkan untuk mempersiapkan setiap remaja agar dapat menjalani kehidupan dimasa yang akan datang sehingga dapat menjalaninya dengan baik. Baik tidaknya kehidupan yang akan dijalankannya dapat dipengaruhi oleh kebutuhan remaja yang menuntut pemenuhan dari orang tua yaitu pengakuan sebagai orang yang mampu untuk menjadi dewasa, mendapatkan perhatian dan kasih sayang (Mappiare, 1982). Oleh karena itu, pola asuh orang tua akan menjadi salah satu bagian yang penting untuk perkembangan remaja. Orang tua itu sendiri akan menjadi figur yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup remaja. Orang tua akan memberikan perlakuan-perlakuan tertentu sesuai dengan gaya pengasuhan yang diterapkan kepada anaknya. Perlakuan orang tua tersebut tercermin dalam bentuk pola asuh orang tua. Menurut Sears dan kolega (Maccoby, 1980) pola asuh adalah suatu bentuk interaksi antara orang tua dan anak. Pola asuh bukan hanya meliputi pemenuhan kebutuhan fisiologis seperti makan, minum dan pakaian tetapi juga kebutuhan psikologis seperti pemberian rasa aman, kehangatan, penanaman nilai dan norma.

11 Pola asuh memiliki dua dimensi yang dikemukakan oleh Baumrind (Maccoby,1980) yaitu dimensi kontrol dan dimensi afeksi. Dimensi kontrol ini meliputi pembatasan orang tua terhadap aktivitas remaja, tuntutan orang tua terhadap tanggung jawab remaja dan keterlibatan atau campur tangan orang tua terhadap remaja. Sedangkan dimensi afeksi meliputi perhatian orang tua terhadap kesejahteraan remaja, kepekaan terhadap kebutuhan remaja, kesediaan orang tua untuk meluangkan waktu dan melakukan kegiatan bersama remaja, kepekaan orang tua terhadap keadaan emosi remaja, kesediaan orang tua menanggapi prestasi dan keberhasilan yang dicapai remaja. Dari dua dimensi tersebut, Baumrind (1980) membedakan empat bentuk pola asuh orang tua yaitu, pola asuh authoritative, pola asuh authoritarian, pola asuh permissive, dan pola asuh uninvolved. Pada orang tua yang menggunakan pola asuh authoritative, dalam membuat keputusan orang tua terlebih dahulu memberikan penjelasan, penalaran pada remaja, dan remaja dilibatkan dalam pembuatan keputusan tersebut. Orang tua bersikap terbuka terhadap tuntutan dan pendapat yang dikemukakan oleh remaja dan mendiskusikan hal tersebut bersama-sama. Walaupun orang tua yang menggunakan pola asuh ini menginginkan kepatuhan dari remaja, namun orang tua tetap menghargai kemandirian remaja. Orang tua dengan pola asuh ini juga mempunyai hubungan yang akrab dengan anaknya dan sering melakukan kegiatan bersama. Pola asuh authoritarian mengasuh anaknya dengan kontrol yang ketat, kaku

12 dan mempunyai hubungan yang kurang hangat. Orang tua dengan remaja jarang melakukan kegiatan secara bersama. Orang tua lebih mengandalkan disiplin yang keras, menggunakan power assertion walaupun orang tua mengetahui bahwa anaknya mengharapkan apa yang menjadi keinginannya dipenuhi oleh orang tua. Orang tua juga membatasi tingkah laku dan perasaan remaja. Remaja tidak diperkenankan membantah atau melawan keputusan orang tua, apa yang dikatakan orang tua adalah suatu keharusan. Bila remaja berbuat salah atau bertingkah laku fghfg tidak sesuai dengan keinginan orang tua tidak jarang orang tua melakukan hukuman fisik. Dalam diri remaja timbul rasa tidak percaya diri, gelisah, penakut, kurang dapat bergaul, membatasi diri dalam berelasi dan mudah putus asa. Pola asuh permissive, orang tua bersikap menerima terhadap keinginankeinginan remaja, menggunakan sedikit sekali hukuman bahkan cenderung tidak pernah, dan menghindari sedapat mungkin sikap otoritas atau penggunaan batasanbatasan ketat. Tuntutan terhadap remaja jarang sekali dilakukan, remaja bebas untuk mengatur jadwal sehari-harinya. Orang tua dengan pola asuh seperti ini juga mempunyai hubungan yang kurang hangat. Dalam diri remaja akan timbul rasa kurang percaya diri sendiri, suka melawan, kurang dapat mengendalikan diri sendiri dan suka mendominasi orang lain. Sedangkan untuk pola asuh uninvolved, orang tua memberikan perasaan hangat yang rendah dan mengkontrol remaja dengan rendah. Orang tua terlalu sibuk dengan urusannya sendiri sehingga tidak memiliki waktu untuk bersama dan

13 perkembangan dari remaja akan kurang diperhatikan. Oleh karena itu, hubungan orang tua dengan remaja akan kurang baik. Remaja akan memberontak terhadap halhal yang melibatkan dirinya, memiliki prestasi yang rendah, dan sering terlibat dalam delinquency. Pengaruh pola asuh terhadap self esteem menurut para ahli berkeyakinan bahwa self esteem bukanlah diperoleh secara instant, melainkan melalui proses dalam kehidupan bersama orang tua. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi self esteem seseorang, namun faktor pola asuh merupakan faktor yang amat mendasar bagi pembentukan self esteem. (http://vita(insani.co.id/bppsdmk/?show=detailnews&kode=97&tbl=infobadan). Sejalan dengan apa yang dikatakan Buss (1973), bahwa orang tua merupakan faktor utama dalam pembentukan dan pemberian modal dasar terhadap self esteem dibandingkan dengan teman sebaya dan orang lain. Coopersmith (1976) juga menekankan pentingnya keluarga khususnya orang tua dalam pembentukan self esteem. Perbedaan tingkat self esteem sangat berhubungan dengan sikap orang tua dan pola asuh orang tua, terutama kehangatan dari orang tua dan cara-cara penerapan aturan atau disiplin kepada anaknya. Hal tersebut dapat menimbulkan rasa percaya diri, kemampuan membina hubungan sosial, menghargai dan menerima diri sendiri. Menurut Coopersmith (1967) self esteem adalah evaluasi atau penilaian yang dibuat oleh setiap individu mengenai sejauh mana dirinya mampu, berarti, berhasil dan berharga. Self esteem bukan merupakan suatu komponen kepribadian yang sudah

14 dimiliki seseorang sejak lahir tetapi self esteem merupakan suatu komponen kepribadian yang berkembang semenjak awal kehidupan. Perbedaan tingkat self esteem dipengaruhi oleh sejumlah aspek dalam penerimaan diri pada remaja yaitu power, significance, virtue, competence. Aspek pertama adalah power (kekuasaan) yang berarti kemampuan untuk mengatur dan mengontrol tingkah laku orang lain. Kemampuan ini ditandai adanya pengakuan dan rasa hormat yang diterima individu dari orang lain. Kedua, significance (keberartian), yaitu adanya kepedulian, penilaian, dan afeksi yang diterima individu dari orang lain dan kesuksesan individu umumnya membawa pengenalan individu akan statusnya dalam suatu komunitas. Kesuksesan adalah bentuk dasar yang nyata dari self esteem dan diukur melalui derajat penerimaan sosial terhadap dirinya. Ketiga, virtue (kebajikan) yaitu ketaatan mengikuti standar moral dan etika, ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang tidak diperbolehkan. Terakhir adalah competence (kemampuan), yaitu seseorang sukses memenuhi tuntutan prestasi. Jumlah dari penerimaan dan penghargaan yang diterima dari figur yang signifikan. Individu biasanya menilai dirinya sebagaimana orang lain menilai dirinya dan hal ini membuat individu lebih memusatkan pada self image yang dimilikinya. Secara tidak langsung self esteem dipengaruhi juga oleh faktor pengalaman, yaitu kejadian yang pernah dialami dan dirasakan bermakna dalam bentuk emosi, perasaan, tindakan, dan kejadian yang pernah dialami individu yang dirasakan

15 bermakna dan meninggalkan kesan dalam hidup individu. Kedua, lingkungan yaitu kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup lainnya. Ketiga, sosial ekonomi yaitu perbuatan seseorang untuk memenuhi dorongan sosial yang memerlukan dukungan financial yang berpengaruh pada kebutuhan hidup. Berdasarkan dari apa yang telah diungkapkan di atas maka peneliti berasumsi bahwa kontribusi pola asuh tersebut akan mempengaruhi tinggi rendahnya derajat self esteem remaja yang tinggal di panti asuhan X dalam menjalankan kehidupan yang sedang dijalani maupun kehidupan yang akan datang. Skema kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut:

16 Faktor-faktor: - Kontrol - Afeksi Dimensi: - Pengalaman - Lingkungan - Sosial ekonomi Authoritative Remaja yang tinggal dipanti asuhan X Pola asuh orang tua Authoritarian Permissive Self-esteem Bandung Uninvolved Aspek-aspek: - Power - Significance - Virtue - competence Bagan 1.1 Kerangka Pikir

17 1.6 Asumsi Tipe pola asuh authoritative memiliki kontribusi dalam meningkatkan self esteem remaja panti asuuhan X. Tipe pola asuh authoritarian memiliki kontribusi dalam meningkatkan self esteem remaja panti asuuhan X. Tipe pola asuh permissive memiliki kontribusi dalam meningkatkan self esteem remaja panti asuuhan X. Tipe pola asuh uninvolved memiliki kontribusi dalam meningkatkan self esteem remaja panti asuuhan X. Faktor pengalaman, lingkungan dan sosial ekonomi dapat meningkatkan self esteem remaja panti asuhan X. 1.7 Hipotesis Semakin tinggi pola asuh authoritative, maka akan semakin tinggi self esteem remaja panti asuhan X Semakin tinggi pola asuh authoritarian, maka akan semakin rendah self esteem remaja panti asuhan X Semakin tinggi pola asuh permissive, maka akan semakin tinggi self esteem remaja panti asuhan X

18 Semakin tinggi pola asuh uninvolved, maka akan semakin rendah self esteem remaja panti asuhan X Semakin baik faktor pengalaman, lingkungan dan sosial ekonomi yang didapat, maka akan semakin tinggi self esteem remaja panti asuhan X.