BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Hampir setiap hari banyak ditemukan pemberitaan-pemberitaan mengenai perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi tersebut merupakan masalah utama pada remaja saat ini. Perilaku agresi yang paling banyak dilakukan remaja khususnya pelajar adalah tawuran dan bullying. Di kotakota besar seperti Jakarta dan sekitarnya, tawuran dan bullying sangat sering sekali terjadi dan banyak sekali pemberitaan dimedia-media berkaitan dengan kasus-kasus tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh, menunjukkan bahwa kasus tawuran pelajar di wilayah Jabodetabek sudah sangat memprihatinkan. Bahkan jumlahnya pada tahun 2012 ini cenderung meningkat dibandingkan dengan tahun 2011 lalu (Kurniawan, 2012). Data yang dihimpun dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) (dalam Kurniawan, 2012), tercatat bahwa kasus tawuran yang terjadi pada tahun 2010 ada sebanyak 102 kasus. Pada tahun 2011 kasus tawuran yang terjadi mengalami penurunan atau hanya sekira 96 kasus. Sementara, sejak Januari hingga Agustus 2012 tercatat bahwa kasus tawuran pelajar sudah terjadi sebanyak 103 kali. Sedangkan untuk kasus bullying, Indonesia masuk dalam daftar Negara dengan kasus bullying tertinggi. Menurut survei global yang dilakukan oleh Latitude News (latitudenews.com) pada 40 negara, Indonesia menempati tempat ke-2 setelah Jepang sebagai Negara dengan kasus bullying tertinggi dilingkungan sekolah (Kaman, 2012). Aksi bullying di Indonesia menurut survei cenderung lebih banyak dilakukan di media sosial. Karena semakin banyaknya penggunaan media sosial itu 1
2 maka anak-anak Indonesia cenderung mengalami cyberbullied atau bullying di dunia maya. Berdasarkan survei tersebut, diketahui bahwa murid laki-laki ternyata lebih banyak mengalami kasus bullying yang berkaitan dengan agresi fisik dibandingkan dengan murid perempuan. Murid perempuan menurut data lebih banyak menggosip yang lebih cenderung kepada agresi verbal ketimbang melakukan aksi kekerasan dengan fisik. Selain kasus-kasus tersebut, masih banyak lagi pelanggaran-pelanggaran berkaitan dengan perilaku agresivitas yang dilakukan oleh remaja. Data diatas menunjukkan bahwa perilaku agresi pada remaja semakin meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya (variasi bentuk perilaku agresif yang dimunculkan). Remaja yang sedang berada dalam masa transisi cenderung banyak menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan sosial lain, sehingga kemungkinan besar akan mudah bertindak agresif. Berdasarkan data-data diatas dapat disimpulkan bahwa remaja, baik itu secara individu maupun secara kelumpok kemungkinan besar sangat berpotensi untuk bertindak agresif. Agresi merupakan tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lain yang dilakukan secara sengaja (Sarwono & Meinarno, 2009). Pemicu umum dari perilaku agresi adalah ketika seseorang mengalami suatu kondisi emosi tertentu, yang biasanya terlihat adalah emosi marah. Kemarahan dapat membuat seseorang kehilangan kontrol diri dan berperilaku agresif (Sarwono & Meinarno, 2009). Tindakan agresi itu sendiri sebenarnya tidak dibutuhkan atau kurang disarankan dalam kehidupan manusia, hal ini dikarenakan dalam perkembangannya manusia terikat oleh hukum maupun aturan-aturan yang berlaku di masyarakat secara sosial (McMullen, 1999). Terlebih lagi perilaku agresi merupakan perilaku yang
3 tidak pantas khususnya dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat. Secara umum, kemampuan manusia untuk menahan dan mengendalikan perilaku sosial yang tidak pantas lebih dikenal sebagai self-control atau pengendalian diri. Dengan adanya selfcontrol, memungkinkan manusia untuk hidup dan bekerja bersama-sama dalam suatu sistem budaya, yang dapat menguntungkan berbagai pihak (DeWall, Baumeister, Stillman, & Gailliot, 2005). Ketika munculnya perilaku agresif, self-control dapat membantu seseorang merespon sesuai dengan standar pribadi atau sosial yang dapat menahan munculnya perilaku agresi (DeWall, Finkel, & Denson, 2011). Self-control adalah tenaga kontrol atas diri, oleh dirinya sendiri. Self-control terjadi ketika seseorang mencoba untuk mengubah cara bagaimana seharusnya individu tersebut berpikir, merasa, atau berperilaku (Muraven & Baumeister, 2000). Individu dengan self-control yang rendah akan cendrung lebih mementingkan kebutuhannya, tanpa memperhatikan kenyamanan atau perasaan orang lain (Brannigan, Gammell, Pevalin, & Wade, 2002). DeWall, Finkel, dan Denson (2011) menyatakan dalam penelitiannya bahwa kegagalan self-control dapat memberikan kontribusi untuk tindakan yang paling agresif yang menyertakan kekerasan. Ketika agresi mendesak menjadi aktif, selfcontrol dapat membantu seseorang mengabaikan keinginannya untuk berperilaku agresif, dan akan membantu seseorang merespon sesuai dengan standar pribadi atau sosial yang dapat menekan perilaku agresi tersebut. Perilaku agresi banyak terjadi dikalangan pelajar khususnya remaja. Masa-masa remaja cenderung ditandai dengan emosi yang mudah meledak-ledak atau cenderung untuk tidak dapat mengkontrol dirinya sendiri. Masa remaja merupakan suatu masa transisi dari kehidupan kanak-kanak ke kehidupan orang dewasa. Masa remaja termasuk masa yang sangat menentukan
4 karena pada masa ini anak-anak banyak mengalami perubahan baik itu perkembangan fisik maupun perkembangan psikisnya (Sarwono & Meinarno, 2009). Perkembangan baik fisik maupun psikis dianggap oleh masyarakat kebanyakan sebagai tanda bahwa mereka bukan anak-anak lagi sehingga mereka diharapkan dapat memenuhi tanggung jawab orang dewasa. Apabila terjadi kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial serta terjadi ketidakmampuan remaja dalam mengantisipasi konflik tersebut, maka akan menyebabkan perasaan gagal yang dapat mengarah pada frustasi (Sarwono & Meinarno, 2009). Frustasi itu sendiri merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya agresi. Kenakalan remaja merupakan salah satu dari sekian banyak masalah sosial yang terjadi didalam masyarakat. Kenakalan remaja sekarang tidak lagi hanya berbentuk bolos sekolah, pertengkaran dengan teman atau tidak patuh pada orang tua saja tetapi juga sudah mulai mengarah pada tindakan kriminal dari mulai perkelahian dengan teman, bahkan sampai dengan penganiayaan, bullying dan tawuran yang banyak menimbulkan korban jiwa. Santrock (2009) menyebutkan bahwa kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial (misalnya mencontek), sampai pelanggaran status (misalnya membolos), hingga tindak kriminal (misalnya mencuri). Masalah sosial sering dikaitkan dengan masalah perilaku menyimpang dan bahkan sampai berkaitan dengan pelanggaran hukum atau tindak kejahatan. Perilaku menyimpang seperti tindak kriminal atau bentuk agresivitas lainnya yang dilakukan oleh remaja merupakan masalah sosial karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Perbuatan-perbuatan tersebut tentu saja tidak hanya merugikan
pelakunya tetapi juga merugikan orang lain baik harta maupun jiwa yang dapat meresahkan serta mengancam ketentraman masyarakat. 5 Bentuk pelanggaran hukum dan tindak kejahatan yang dilakukan saat ini sudah sangat beragam. Berbagai permasalahan yang muncul dari kenakalan remaja sangat kompleks sifatnya, permasalahan tersebut tidaklah berdiri sendiri, melainkan banyak faktor-faktor yang mempengaruhi dan saling terkait satu dengan yang lainnya. Perilaku menyimpang (dalam hal ini berkaitan dengan perilaku agresivitas) tersebut sangat erat kaitannya dengan self-control yang dimiliki oleh seseorang. Individu yang memiliki sifat pengendalian diri yang tinggi sangat kecil kemungkinannya untuk terlibat dalam perilaku kriminal dan tindakkan menyimpang dibandingkan dengan mereka yang memiliki tingkat pengendalian diri yang rendah (McMullen, 1999). 1. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, dapat diambil suatu perumusan masalah pokok yaitu Apakah ada hubungan antara self-control dengan tingkat agresivitas pada ramaja? 1. 3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat ada tidaknya hubungan antara self-control dengan tingkat agresivitas pada remaja.