II. KERANGKA TEORITIS DAN HIPOTESIS

dokumen-dokumen yang mirip
(Tempo.co, 4 Juni 2012) mengatakan perusahaan perusahaan milik negara (BUMN) menjadi berantakan setelah dicampuri orang orang dari partai politik.

Tabel 1. Hasil Pemilihan Sampel. Kriteria Sampel ROE TOBINS Q. Perusahaan lembaga keuangan Data Extreme 19 15

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1995 mengenai

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN. Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh good corporate governance,

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Perusahaan yang pada awalnya dikelola langsung oleh pemiliknya,

BAB I PENDAHULUAN. menginginkan sustainability. Perusahaan yang telah go public akan meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Awal munculnya konsep Corporate Governance ini karena adanya. bertanggung jawab. Masalah Corporate Governance ini semakin menjadi

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri bahwa salah satu keberhasilan sebuah perusahaan tidak terlepas dari adanya

BAB I PENDAHULUAN. pemanfaatan sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan sedangkan tujuan jangka panjang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Political Connection Bukti nyata bahwa Potical Connection mempunyai power dalam dunia

BAB I PENDAHULUAN. Tata kelola perusahaan (Good Corporate Governance) merupakan konsep

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah keuangan merupakan salah satu masalah yang sangat vital bagi

BAB I PENDAHULUAN. dan diawasi, misalnya melalui penetapan tujuan perusahaan dan monitoring terhadap

BAB I PENDAHULUAN. informasi yang memadai diberikan oleh perusahaan karena mempunyai

BAB V KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI HASIL PENELITIAN. meneliti mekanisme corporate governance yang terdiri dari kepemilikan institusional,

BAB I PENDAHULUAN. ini dikarenakan dengan Gross Domestic Product (GDP) Indonesia yang terus

BAB 1 PENDAHULUAN. yang kemudian mencuat dan memunculkan agency theory. dan kemakmuran para pemegang saham atau stakeholder. Nilai perusahaan yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. perusahaan. Kinerja keuangan merupakan suatu hasil pelaporan yang menunjukkan kondisi serta

BAB I PENDAHULUAN. kegagalan penerapan Good Corporate Governance (Daniri, 2005). Menurut

BAB V PENUTUP. Bab V terdiri dari kesimpulan, keterbatasan dan saran untuk penelitian. pihak yang berkepentingan terhadap hasil penelitian.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Laporan keuangan merupakan bentuk pertanggungjawaban manajemen,

BAB I PENDAHULUAN. mengharapkan investasi yang sudah dikeluarkan dapat diperoleh kembali dengan. Perusahaan dapat memberikan return yang tinggi kepada

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Teori agensi menjelaskan tentang pemisahan kepentingan atau

BAB 1 PENDAHULUAN. Didirikannya sebuah perusahaan memiliki tujuan yang jelas yang terdiri dari:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Teori keagenan (Agency Theory) menjadi dasar bagi perusahaan dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah (Veronica, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penawaran umum kepada publik atau go public diwajibkan untuk

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan terhadap good corporate governance semakin meningkat. Banyak. dikarenakan lemahnya corporate governance (Wardhani, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. (principal) dan manajemen (agent). Kondisi ini menimbulkan potensi terjadinya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Saham adalah suatu nilai dalam berbagai instrumen finansial yang mengacu

BAB I PENDAHULUAN. penanaman dana lainya (Ghozali, 2007). defisit dan sektor surplus maupun sebagai agent of development yang dalam

BAB I PENDAHULUAN. Corporate Governance di perusahaan publik, bank maupun BUMN. Penerapan

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari sebuah perusahaan adalah peningkatan nilai perusahaan dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Tujuan utama sebuah perusahaan adalah untuk mendapatkan laba yang

BAB I PENDAHULUAN. lemahnya praktek good corporate governance pada korporasi atau perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada umumnya, suatu perusahaan didirikan dengan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. berpendapatan menengah ke bawah (The World Bank, 2015). Pemerintahan Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. karena perusahaan lebih terstruktur dan adanya pengawasan serta monitoring

BAB I PENDAHULUAN. corporate governance terhadap tingkat kepatuhan mandatory disclosure pada

BAB I PENDAHULUAN. dengan globalisasi memicu munculnya perusahaan dengan jenis dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia, isu mengenai Good Corporate Governance (GCG) mulai

BAB I PENDAHULUAN. kinerjanya dengan ukuran keuangan. Pengukuran dengan aspek keuangan lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. keuangan seperti manajemen, investor, kreditor, pemerintah, dan lain-lain.

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah keuangan perusahaan dapat terjadi dengan berbagai penyebab,

BAB 1 PENDAHULUAN. disalurkan kembali kemasyarakat untuk menjalankan proses perekonomian.

BAB 1 PENDAHULUAN. melakukan perluasan usaha agar dapat terus bertahan dan bersaing. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Sebelum pemodal melakukan transaksi di pasar modal, baik pasar perdana

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. yang mengalami kesulitan keuangan atau financial distress. Menurut Plat dan

BAB I PENDAHULUAN. Corporate governance merupakan suatu sistem yang mengatur dan

Penelitian mengenai perusahaan keluarga telah beberapa dilakukan di Amerika Serikat. Dalam (Anderson dan Reeb, 2004), perusahaan keluarga mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. era globalisasi ini, dibutuhkan manajemen perusahaan yang kompetitif untuk

BAB I PENDAHULUAN. kepemilikan yang berbeda dengan perusahaan-perusahaan di Eropa atau

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada era globalisasi ini dunia usaha semakin berkembang pesat,

BAB II LANDASAN TEORI. Teori agensi didasarkan pada pandangan bahwa perusahaan sebagai sekumpulan

BAB I PENDAHULUAN. menunjukan apa yang telah dilakukan manajemen atau pertanggungjawaban

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pertalian keluarga, baik yang tergolong keluarga inti atau perluasannya (baik yang

BAB I PENDAHULUAN. return atas investasinya dengan benar. Corporate governance dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. melihat kinerja perusahaan dari tahun ke tahun. Nilai perusahaan yang tinggi

BAB V PENUTUP. tinggi kepemilikan saham manajerial maka financial distress semakin rendah. Jensen

BAB I PENDAHULUAN. Tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance, GCG) telah

BAB 1 PENDAHULUAN. penawaran umum kepada publik atau go public diwajibkan untuk menyampaikan

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya tujuan utama didirikannya suatu perusahaan adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Jika manajer perusahaan melakukan tindakan-tindakan yang mementingkan diri sendiri dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengelolaan perusahaan dilakukan oleh dua pihak berbeda, dalam hal ini pihak principal

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai good corporate governance mulai populer khususnya di

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan melalui implementasi keputusan keuangan yang terdiri dari

BAB 1 PENDAHULUAN. diterapkannya good corporate governance di Indonesia merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan-perusahaan, khususnya perusahaan yang telah go public. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. sangatlah penting bagi perusahaan publik. Hal ini dilakukan sebagai wujud

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. memaksimalkan kekayaan pemegang saham melalui peningkatan kinerja

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Pengertian LQ Kriteria Indeks LQ Daftar Perusahaan Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. kesimpulan bahwa sistem corporate governance yang buruk dalam. menimpa negara-negara ASEAN. Praktik-praktik corporate governance

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. antara manajer (agent) dengan investor (principal). Terjadinya konflik

BAB I PENDAHULUAN UKDW. macam resiko dan ketidakpastian yang seringkali sulit diprediksikan oleh para

BAB I PENDAHULUAN. manajer (agen). Manajemen ditunjuk sebagai pengelola perusahaan oleh pihak

BAB 1 PENDAHULUAN. tanggal 19 Oktober Pada saat itu pengaruh financial perusahaan yang

BAB I PENDAHULUAN. kelola perusahaan yang baik dikenal dengan istilah Good Corporate Governance

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kehidupan ekonomi masyarakat pada era saat ini tidak terlepas dari dunia

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari suatu perusahaan adalah mensejahterahkan kepentingan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kajian mengenai Corporate Governance meningkat dengan pesat seiring

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah (Bringham dan Huston, 2001)

BAB I PENDAHULUAN. transparan. Oleh karena itu, baik perusahaan publik maupun tertutup harus memandang good

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan komisaris independen terhadap tax avoidance membutuhkan kajian teori

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan penting dalam pendirian perusahaan adalah untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kondisi perekonomian negara Indonesia saat ini telah mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. Teori kontrakting atau bisa disebut juga teori keagenan (agency

BAB I PENDAHULUAN. Menghadapi persaingan bisnis yang kompetitif, perusahaan berusaha memperbaiki kinerja

I. PENDAHULUAN. menilai kinerja perusahaan dalam proses pengambilan keputusan. Laporan keuangan

BAB I PENDAHULUAN. keuangan dan hal ini sangat penting, baik bagi investor maupun bagi

BAB I PENDAHULUAN. Sistem perekonomian yang semakin terbuka karena era globalisasi saat ini

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam keuangan perusahaan. Struktur modal sangat dipengaruhi oleh

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan, sebab dengan nilai yang tinggi menunjukan tingkat kemakmuran

Transkripsi:

II. KERANGKA TEORITIS DAN HIPOTESIS 1. Kinerja Perusahaan Menurut Keats & Hitt (1988), kinerja merupakan konsep yang sulit, baik dari definisi maupun dari pengukurannya. Untuk mendapatkan hasil yang komprehensif, kinerja tidak dilihat hanya dari satu dimensi pengukuran, tetapi dilihat dari dua dimensi, dimensi kinerja operasional dan kinerja pasar. Kinerja operasional digunakan sebagai evaluasi atas pencapaian masa lalu dan sekarang, sedangkan kinerja pasar digunakan sebagai pertimbangan kemampuan perusahaan untuk membenahi diri dan berorientasi masa depan. Menurut Swamidass et al. (1987), sebagaimana dikutib oleh Wulandari (2006) ukuran kinerja yang cocok dan layak tergantung pada keadaan unik yang dihadapi peneliti. Indikator kinerja yang dipilih peneliti menjadi hal yang krusial karena indikator tersebut harus mampu merepresentasikan variabel yang akan diukur secara tepat dalam hal ini kinerja perusahaan. Tobin s q merupakan salah satu indikator kinerja yang sering digunakan para peneliti sebelumnya untuk mengukur kinerja pasar perusahaan (Wulandari, 2006; Hok & Wong, 2010). Tobin s q sendiri merupakan indikator untuk mengukur kinerja perusahaan, khususnya tentang nilai perusahaan, yang menunjukkan suatu proforma manajemen dalam mengelola aktiva perusahaan. Nilai Tobin s q menggambarkan suatu kondisi peluang investasi yang dimiliki perusahaan atau potensi pertumbuhan perusahaan. Sehingga Tobin s q lebih cocok digunakan 1

untuk mengukur kinerja pasar (Sudiyatno & Puspitasari, 2010). Di sisi lain,penelitian ini menggunakan return on equity (ROE) untuk mengukur kinerja operasional perusahaan. Pemilihan ROE sebagai proxy kinerja operasional berdasarkan penelitian terdahulu (Hok & Wong (2011); ). ROE (return on equity) merupakan rasio yang membandingkan laba bersih dengan total ekuitas. ROE digunakan untuk mengukur tingkat pengembalian perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan ekuitas yang dimiliki oleh perusahaan. Rasio ini juga menunjukkan sejauh mana kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang dapat diperoleh oleh pemegang saham. Semakin tinggi ROE menunjukkan semakin efisien perusahaan menggunakan modal sendiri untuk menghasilkan laba bagi pemegang saham. 2. Political Connections Faccio (2006) menggolongkan suatu perusahaan memiliki political connections apabila setidaknya ada satu pemegang saham yang memiliki sedikitnya 10 % hak suara atau manajemen puncak (Board of Directors) yang menjadi anggota parlemen, menteri dan top official dan atau (Boubakri et al, 2011) memiliki hubungan erat dengan politisi dan partai. Dalam penelitian ini, political connections dalam perusahaan didefinisikan apabila dalam perusahaan memiliki satu board of directors yang menjadi anggota parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat), menteri, dan atau mantan pejabat serta merupakan mantan anggota 2

militer (purnawirawan polisi dan TNI) dimana merupakan variabel yang belum ada pada penelitian sebelumnya. Dalam penelitian ini, keberadaan board of directors yang memiliki kedekatan dengan top official dalam hal ini presiden dan wakil presiden Republik Indonesia, tidak dimasukkan sebagai indikator political connections karena data yang tidak memadai untuk dilakukan penelitian. Penambahan variabel mantan anggota militer sebagai indikator political connections dengan alasan, fenomena duduknya anggota militer baik yang masih aktif maupun yang purnawirawan di dalam perusahaan publik masih dapat ditemukan hingga saat ini. Masuknya militer didalam kehidupan sosial politik, didasari dari peristiwa masa lalu, dimana dari proses perjuangan kemerdekaan Indonesia, sampai pada era orde baru, peran militer sangat mendominasi perpolitikan Indonesia dengan menempati posisi strategis pemerintahan pusat (didalam kabinet) ataupun daerah. Ditambah dengan munculnya dwifungsi ABRI, dwifungsi yang pada awalnya bertujuan untuk mengisi pos-pos sipil yang dianggap lemah sementara dan membantu untuk membangun politik Indonesia, seiring berjalannya waktu, makin terlihat bahwa konsep dwifungsi ABRI yang tadinya cukup ideal dan bisa menjadi solusi transisi, bermutasi menjadi senjata mempertahankan posisi tentara dalam kekuasaan negara di segala tingkat dengan segala kenikmatannya. Adanya dwifungsi ABRI pada era orde baru, memungkinkan militer memiliki akses politik yang cukup signifikan. Namun motif penunjukkan 3

militer (TNI) di dalam perusahaan beralih ketika memasuki era Reformasi dan penghapusan dwi fungsi ABRI pada tahun 2000. Di era Reformasi TNI tidak lagi memiliki akses terhadap politik praktis. Namun fenomena TNI menjadi bagian dari direksi perusahaan perusahaan masih dapat ditemui hingga saat ini. Board of Directors dan Kinerja Perusahaan Secara umum board of directors (BOD) yang dianut negara-negara menganut dua sistem. One tier board dan two tier board. Indonesia menganut sistem two tier board, dimana direksi dibagi menjadi dalam 2 bagian, dewan direksi yang berfungsi sebagai pengelola perusahaan, dan dewan komisaris yang berfungsi sebagai pengawas kinerja dari dewan direksi. Board of directors memiliki peran yang sangat sentral di perusahaan. Kewenangan yang dimilikinya memungkinkan untuk menentukan arah tujuan perusahaan. Karena posisinya yang sangat strategis, perusahaan (pemegang saham) akan memilih anggota di dalam BOD yang dapat menigkatkan perusahaan, atau juga bisa dikatakan anggota BOD yang terpilih harus bisa mensejahterakan para pemegang saham. Karena kepentingan perusahaan yang berbagai macam, anggota BOD bisa berasal dari berbagai macam latar belakang. Salah satunya dari latar belakang politik. Agrawal & knoeber (2001) mengungkapkan semakin besar jumlah transaksi perusahaan dengan pemerintah, direksi yang memiliki latar belakang politik semakin banyak. Di Indonesia fenomena BOD yang berasal dari partai politik khususnya BUMN sudah 4

terjadi dari beberapa tahun yang lalu. Majalah Tempo edisi 31 Januari 06 Februari 2000 memberikan perhatian khusus terhadap isu dimana posisi BOD beberapa BUMN diperebutkan oleh beberapa partai politik penguasa pada saat itu. Masuknya politik di dalam bisnis menurut Suprihanto (2011) karena didasari oleh kebutuhan saling membutuhkan antara pengusaha dan partai politik dan juga pemerintah. Pengusaha membutuhkan politik untuk menyelamatkan dan mengembangkan usaha mereka, di sisi lain partai politik membutuhkan peran pengusaha terkait dengan pendanaan partai. Di samping partai politik, pemerintah juga memanfaatkan kedekatan dengan pengusaha karena menggunakan mereka (pengusaha) sebagai perpanjangan tangan pemerintah sehingga para pengusaha tidak dapat melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah, atau dengan kata lain pengusaha digunakan pemerintah untuk pembenaran dari setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Di sisi lain, kepatuhan terhadap peraturan (undang-undang) yang berlaku di dalam satu negara merupakan salah satu kewajiban sebuah perusahaan untuk menjamin keberlanjutan perusahaan. Pihakpihak dalam perusahaan yang menjadi anggota parlemen, dan menteri memiliki kesempatan dan kemampuan dalam mempengaruhi undang-undang dan peraturan yang dapat berimbas pada kebijakan perusahaan. Lembaga legislatif dan eksekutif berwenang membuat peraturan, oleh karenanya keberadaan mereka dalam perusahaan dapat sedikit 5

banyak diduga mempengaruhi kinerja perusahaan. Serta keberadaan mantan mantan pejabat di dalam perusahaan sedikit banyak bisa membantu perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan. Krisis moneter yang dialami negara-negara Asia Tenggara pada tahun 1997, memunculkan isu perbaikan good corporate governance yang salah satunya muncul isu komisaris independen. Indonesia melalu Bapepam dan Bursa Efek mengeluarkan peraturan terkait keberadaan komisaris independen di jajaran dewan direksi perusahaan pada tahun 2004. Komisaris independen sendiri merupakan pihak yang tidak berafiliasi dengan perusahaan, tidak memiliki kepemilikan terhadap perusahaan. Adanya isu independensi anggota BOD, kemudian dikenal dengan, komisaris independen, dan kepemilikan manajerial. Komisaris independe merupakan anggota Komisaris yang tidak memiliki afiliasi dengan perusahaan, dan juga tidak memiliki kepemilikan atas perusahaan. Sedangkan kepemilikan manajerial merupakan anggota BOD yang memiliki kepemilikan dan afiliasi dengan perusahaan. Komisaris Independen dan Kinerja Perusahaan Istilah komisaris independen muncul terkait dengan isu independensi anggota BOD untuk peningkatan good corporate governance. Indonesia mulai mewajibkan perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa untuk menggunakan komisaris independen mulai tahun 2004, dengan diberlakukannya peraturan Bapepam nomor IX.I.5 dan 6

juga keputusan direksi PT bursa efek Jakarta nomor Kep-305/BEJ/07-2004. Komisaris independen yang dimaksud adalah anggota komisaris yang berasal dari luar emiten atau perusahaan publik; tidak mempunyai saham baik langsung amupun tidak langsung pada emiten atau perusahaan publik; tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan emiten atau perusahaan publik, komisaris, direksi, atau pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik, dan tidak memiliki hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha emiten atau perusahaan publik (peraturan Bapepam IX.I.5). Jumlah komisaris independen yang disyaratkan adalah 30 persen dari seluruh anggota BOD atau minimal 1 (satu) orang (keputusan direksi PT bursa efek Jakarta nomor Kep-305/BEJ/07-2004). Keberadaan komisaris independen dalam perusahaan, memiliki peranan yang penting karena mengendalikan (controlling) dan mengawasi (monitoring) kinerja dari perusahaan (manajemen) dan menjaga kepentingan pemegang saham. Di samping itu, karena komisaris independen tidak memiliki kepemilikan apapun terhadap perusahaan, mereka memiliki sudut pandang yang lebih objektif dan proporsional, oleh karenanya komisaris independen dapat menjadi penengah sebagai penyelaras kepentingan shareholder dan manajemen (direksi). Lebih daripada itu, peran komisaris independen tidak hanya terkait dengan fungsi monitoring dan controlling, namun Agrawal & Knoeber (2001) menilai juga dapat 7

berperan dalam penentuan strategi perusahaan dan ambil bagian dalam pengambilan keputusan perusahaan. Dalam penelitian yang dilakukan Agrawal & Knoeber (2001), komisaris independen yang memiliki background politik, digunakan oleh perusahaan untuk menyelesaikan masalah politik yang menyangkut perusahaan, bukan secara khusus untuk menjalankan fungsi monitoring dan controling. Sehingga ketika komisaris independen memiliki hubungan politik, dapat menyebabkan fungsi pengawasan dan pengendalian tidak dapat berjalan secara optimal. Lebih jauh, tidak optimalnya pengawasan dan pengendalian yang dilakukan oleh komisaris independen bisa berimbas pada tidak terwakilinya kepentingan pemegang saham, khususnya pemegang saham minoritas. Di samping itu, hal tersebut dapat juga berimbas pada transparansi manajemen yang pada akhirnya menyebabkan pencapaian kinerja operasional perusahaan tidak optimal. Hal ini dapat berimbas pada kinerja pasar perusahaan, dimana ketika kinerja keuangan yang tidak optimal, pasar akan melihat hal tersebut sebagai sinyal negatif, karena berinvestasi pada perusahaan akan memiliki resiko yang jauh lebih tinggi, sehingga hal ini dapat menyebabkan kinerja pasar perusahaan menjadi buruk. Di sisi lain, temuan Agrawal dan Knoeber (2001), yang mana komisaris independen yang memiliki background politik, digunakan oleh perusahaan untuk menyelesaikan masalah politik yang berhubungan dengan perusahaan, bisa mendatangkan dampak 8

positif terhadap perusahaan. Seperti diungkapkan oleh Fisman (2001), politik yang bukan merupakan aktifitas utama perusahaan memiliki andil dalam membentuk profitabilitas dan nilai perusahaan. Komisaris independen yang memiliki hubungan politik, bisa memanfaatkannya untuk dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan parlemen dan pemerintah yang dapat membantu perusahaan dalam menjalankan kegiatan bisnisnya, sehingga akan meningkatkan profitabilitas dan akhirnya meningkatkan kinerja operasional perusahaan. Peningkatan kinerja operasional (keuangan) dapat memberikan sinyal positif bagi investor, sebagai bentuk peluang untuk berinvestasi pada perusahaan, serta dapat meningkatkan kepercayaan investor terhadap pengelolaan manajemen, sehingga dapat meningkatkan kinerja pasar perusahaan. Oleh karenanya hipotesis yang dapat dirumuskan sebagai berikut : H1a : proporsi komisaris independen yang memiliki hubungan politik berpengaruh terhadap kinerja operasional (keuangan) perusahaan. H1b : proporsi komisaris independen yang memiliki hubungan politik berpengaruh terhadap kinerja pasar perusahaan. Kepemilikan manajerial dan Kinerja Perusahaan Kepemilikan manajerial merupakan anggota direksi yang memiliki afiliasi dan kepemilikan saham perusahaan. Masulis & Mobbs (2009) menyebutkan 9

keberadaan kepemilikan manajerial di dalam perusahaan memiliki 2 (dua) peran utama, meningkatkan kesejahteraan pemegang saham, dan meningkatkan kesejahteraan dewan direksi serta merupakan upaya untuk mengurangi agency problem. Diharapkan ketika direksi juga ikut memiliki saham segala keputusan yang di ambil akan menguntungkan pemegang saham. Oleh karena, setiap peristiwa yang terjadi di dalam perusahaan akan berimbas pada mereka. Ketika segala keputusan mengarah kepada peningkatan kesejahteraan pemegang saham, hal tersebut akan sejalan dengan peningkatan kinerja perusahaan. Selain itu, kepemilikan manajerial juga sebagai jembatan agar kepentingan para anggota direksi terjamin. Kepentingan direksi yang juga diperhatikan dalam kebijakan yang diambil oleh perusahaan, anggota direksi tidak akan terfokus pada kepentingannya, tetapi termotivasi untuk dapat membantu meningkatkan kinerja perusahaan. Logikanya, direktur yang memiliki afiliasi akan berusaha untuk membantu perusahaan untuk dapat mencapai kinerja yang baik, karena pada akhirnya mereka akan menerima keuntungan dari hubungan afiliasi ataupun dari saham yang dimiliki. Namun hal ini akan berbeda ketika manajer yang terafiliasi memiliki hubungan politik. Ada indikasi bahwa keterlibatan orang- orang politik di dalam perusahaan, tidak membantu perusahaan untuk meraih tujuannya tetapi justru menimbulkan masalah baru di dalam perusahaan. (Tempo.co, 4 Juni 2012). Menurut 10

Suprihanto (2011) keterlibatan orang orang politik di dalam perusahaan di dasari rasa saling membutuhkan. Di satu sisi pengusaha membutuhkan politik untuk menyelamatkan dan mengembangkan usaha mereka, di sisi lain partai politik membutuhkan peran pengusaha terkait dengan pendanaan partai. Ketika memiliki koneksi politik, direktur yang berafiliasi tidak hanya memiliki peran sebagai jembatan antara principal dan agent, tetapi juga sebagai jembatan antara perusahaan dan politik. Politik bisa menjadi sebuah keuntungan, tetapi bisa juga menjadi kerugian bagi perusahaan. Terhubung dengan parlemen, dan memiliki relasi dengan pemangku kebijakan, memungkinkan perusahaan untuk dapat mempengaruhi peraturan yang terkait dengan bisnis perusahaan sehingga perusahaan mendapatkan keuntungan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja operasional perusahaan. Dimana hal ini akan meningkatkan kepercayaan investor terhadap pengelolaan manajemen, dengan menanamkan modalnya diperusahaan, sehingga dapat meningkatkan kinerja pasar perusahaan. Namun berbeda dengan kondisi dimana, direktur berafiliasi terhubung dengan partai politik, kecenderungan partai politik akan mencoba mencari dana untuk pendanaan partai. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Busyro Muqodas (Tempo.co, 4 Juni 2012) mengatakan perusahaan perusahaan milik negara (BUMN) menjadi berantakan setelah dicampuri orang orang dari partai politik. Perusahaan negara atau daerah kerap dijadikan sapi perah untuk 11

kepentingan politik, dan menurut hasil kajian KPK menunjukkan kinerja BUMN pada 2009-2012 selalu terkait dengan korupsi. Dengan adanya korupsi dan juga pengalihan sumber dana ke pihak-pihak yang memiliki hubungan politik, akan mengakibatkan perusahaan tidak dapat beroperasi sebagaimana mestinya, sehingga dapat memperburuk kinerja operasional perusahaan. Selain itu, Purwoto (2011) menyatakan bahwa kedekatan politis membuat perusahaan menjadi sulit untuk dapat terbuka dalam penyediaan informasi kepada pihak luar. Keterbukaan menjadi hal yang sangat penting di dalam pasar modal, karena merupakan sumber informasi bagi investor dalam pengambilan keputusan investasi. Ketidakterbukaan informasi kepada publik akan dinilai sebagai resiko oleh pasar dalam hal ini investor sehingga dapat menyebabkan kinerja pasar perusahaan menjadi buruk. Selain itu adanya kajian Tempo dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki koneksi politik memiliki kecenderungan korupsi, sedikit banyak juga akan menyebabkan ketidakpercayaan investor terhadap manajemen, dan pada akhirnya akan memperburuk kinerja pasar perusahaan. Diduga keberadaan direktur berafiliasi yang memiliki hubungan politik, akan memiliki dampak terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan secara umum. Masuknya kepentingan politik baik dari perusahaan sendiri atau dari pihak luar, sedikit banyak akan mempengaruhi kebijakan perusahaan. Sedangkan 12

kebijakan tersebut sedikit banyak akan berdampak pada kinerja perusahaan secara umum. Dari uraian diatas hipotesis dapat dirumuskan sebagai berikut : H2a : proporsi kepemilikan manajerial yang memiliki hubungan politik berpengaruh terhadap kinerja operasional (keuangan) perusahaan. H2b : proporsi kepemilikan manajerial yang memiliki hubungan politik berpengaruh terhadap kinerja pasar perusahaan. 13