BAB I PENDAHULUAN. negara adalah dari sektor perpajakan. Pajak adalah salah satu sumber penerimaan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pemerintah yang berlangsung secara berkesinambungan. Tentunya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dari tahun ke tahun kontribusi pajak pada penerimaan negara terus

BAB I PENDAHULUAN. dalam negeri dan luar negeri. Sektor pajak merupakan salah satu sumber

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan penerimaan dari sektor pajak sangatlah penting, karena dana yang

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian bangsa. Suparmono dan Damayanti (2010) mengatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. maupun pembangunan. Self assessment system merupakan suatu sistem pemungutan

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan penerimaan dari sektor pajak sangatlah penting, karena dana

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Berbagai kasus yang menyeret aparatur pajak dalam beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional Indonesia merupakan suatu proses yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Kontribusi Penerimaan Pajak Terhadap Penerimaan Negara

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali di Indonesia. Dari hari- kehari pengaruh globalisasi semakin kuat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, oleh karena itu negara menempatkan perpajakan sebagai perwujudan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pajak merupakan salah satu penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan negara. Pajak memiliki peran yang sangat vital dalam sebuah negara,

BAB I PENDAHULUAN. kontraprestasi yang langsung dapat digunakan untuk membayar pengeluaran

BAB I PENDAHULUAN. sebagai salah satu sumber penerimaan Negara, pajak memberi kontibusi terbesar

BAB I PENDAHULUAN. adanya administrasi perpajakan, untuk administrasi pajak pusat, diemban oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pajak bersifat dinamik dan mengikuti perkembangan kehidupan sosial dan

BAB 1 PENDAHULUAN. sektor, khususnya sektor ekonomi. Naiknya harga minyak dunia, tingginya

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat. Pengertian pajak adalah iuran kepada kas negara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Tujuan utama dari kebijakan keuangan negara di bidang penerimaan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. oleh penerimaan negara yang bersumber dari pajak. Pajak dipungut oleh negara baik

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. dalam penerimaan negara. Perkembangan kontribusi penerimaan pajak terhadap. Tabel 1. 1

BAB I PENDAHULUAN. pengeluaran pemerintah dan pembangunan. Penerimaan pajak digunakan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Pemerintah membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur (Punarbhawa dan Aryani, 2013). Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mengamankan penerimaan anggaran negara dalam APBN setiap tahun. Sekitar 75

BAB I PENDAHULUAN. salah satunya berasal dari penerimaan pajak.

BAB I PENDAHULUAN. tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Pajak adalah pembayaran yang bersifat paksaan kepada negara yang

BAB I PENDAHULUAN. nasional berasal dari penerimaan pajak yang menyumbang sekitar 70% dari

BAB I PENDAHULUAN. Namun, sebagai upaya mewujudkan kemandirian negara, pemerintah terus

BAB I PENDAHULUAN. yang berkesinambungan selama 4 tahun terakhir dalam APBN.

BAB I PENDAHULUAN. yang berasal dari ekspor dan berbagai jenis bantuan dari luar negeri masih dirasa

BAB I PENDAHULUAN. langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan peningkatan jumlah dan kebutuhan masyarakat. (Lubis, 2015)

BAB I PENDAHULUAN. meningkat seiring dengan peningkatan pembangunan itu sendiri. Salah satu sumber pendanaan proyek pembangunan yang dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan sumber penerimaan eksternal misalnya pinjaman luar negeri. Arum

BAB I PENDAHULUAN. bahwa seluruh pembiayaan negara harus dibiayai dari pendapatan negeri dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Penerimaan sektor pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

BAB I PENDAHULUAAN. dengan menghasilkan suatu peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan maksimal dengan biaya yang optimal (Nasucha, 2004).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Novi Norma Melya Nugraha, 2015

BAB I PENDAHULUAN. berkontribusi di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara sekitar 70-80%.

BAB I PENDAHULUAN. dimana semua hasil penerimaan tersebut akan digunakan untuk membiayai

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung secara terusmenerus. dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat. Karena pajak mempunyai fungsi sebagai budgetair yang

BAB I PENDAHULUAN. umum (Mohammad Zain, 2007). Pajak diartikan sebagai pungutan yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional dinegara-negara berkembang pasti memerlukan biaya yang. kebutuhan pembiayaan pembangunan nasional.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan membutuhkan peningkatan dalam penerimaan pajak. pajak telah memberikan kontribusi terbesar dalam penerimaan negara.

BAB 1 PENDAHULUAN. pajak (Pangestu, Rusmana:2014). Realisasi penerimaan pajak tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu peran penting Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN)

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Dana yang dibutuhkan pemerintah akan meningkat seiring. dengan adanya peningkatan kebutuhan pembangunan, maka peran

Bab 1 Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini peranan pajak sebagai tulang punggung penerimaan dalam

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan sumber utama penerimaan Negara yang digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang masih giat melakukan

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan

BAB I PENDAHULUAN. untuk pembangunan negara (Soemitro dalam Handayani dan Supadmi, 2012). Salah

BAB I PENDAHULUAN. penyidikan dan penagihan. Sistem pemeriksaan harus dapat mendorong kebenaran

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang berasal dari dalam negeri, salah satunya berupa pajak.

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pengeluaran negara, baik untuk pembiayaan pemerintah, pembangunan maupun

BAB I PENDAHULUAN. memaksimalkan target pemasukan sumber dana negara. Pemasukan sumber

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suryani N. A., 2016 Pengaruh Pelayanan Fiskus dan Sanksi Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Bhayangkara Jaya

BAB I PENDAHULUAN. bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila

SE - 120/PJ/2010 PENJAMINAN KUALITAS PEMERIKSAAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan iuran warga negara kepada negara yang akan digunakan

BAB I PENDAHULUAN. yang berasal dari dalam negeri. Pajak merupakan salah satu yang menjadi sumber

BAB I PENDAHULUAN. salah satu kewajiban kenegaraan dalam rangka kegotong-royongan nasional sebagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia maupun negara lainnya dalam menjalankan

BAB I PENDAHULUAN. sebuah negara terutama di Indonesia. Pajak bersifat dinamik dan mengikuti

BAB I PENDAHULUAN. dalam arti tidak terlalu tergantung pada pinjaman luar negeri. Upaya ekstensifikasi

BAB I PENDAHULUAN. Pembiayaan suatu Negara sangatlah bergantung kepada besarnya

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional di berbagai bidang guna mewujudkan masyarakat

EVALUASI PENERAPAN e-spt TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Tujuan negara Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu kewajiban kenegaraan dalam rangka kegotong-royongan nasional sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 98/KMK.01/2006 Account. mengimplementasikan Organisasi Modern.


BAB I PENDAHULUAN. dalam undang undang. Dalam pembangunan ini tidak akan tercapai apabila

BAB I PENDAHULUAN. oleh Wajib Pajak akan masuk ke kas negara, kemudian melalui Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. Belanja negara(apbn) berasal dari sektor pajak, maka tidak dapat dipungkiri bahwa

BAB I PENDAHULUAN. untuk belanja rutin maupun pembangunan (Suryadi: 2006). Dalam meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang potensial bagi negara

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai peranan dominan dalam pos penerimaan negara (Suryadi,2006).

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

BAB I PENDAHULUAN. jalannya roda pemerintahan. Lembaga yang ditunjuk untuk mengelola pajak

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus

BAB 1 PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat kecil baik materiil maupun spiritual. Untuk dapat

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menjalankan pemerintahannya, Indonesia memiliki beberapa bentuk penerimaan bagi pendapatan negara. Salah satu bentuk penerimaan terbesar negara adalah dari sektor perpajakan. Pajak adalah salah satu sumber penerimaan penting yang akan digunakan oleh negara untuk membiayai pengeluaran rutin maupun peningkatan pembangunan nasional demi mencapai kesejahteraan masyarakat. Selain itu, pajak juga merupakan salah satu indikator keberhasilan perekonomian suatu negara. Zain (2007) menyatakan bahwa penerimaan pajak adalah gambaran partisipasi masyarakat dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan negara. Semakin besar kontribusi penerimaan pajak terhadap pembangunan, maka pajak yang telah dipungut dari masyarakat akan dikembalikan secara tidak langsung kepada masyarakat dalam bentuk penyediaan sarana dan prasarana publik, menyediakan lapangan kerja, memberikan rasa aman dan nyaman. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran dari setiap Wajib Pajak untuk berpartisipasi dan aktif dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Perkembangan kontribusi penerimaan pajak terhadap penerimaan negara ditunjukkan pada tabel berikut : 1

2 Tabel 1.1 Kontribusi Penerimaan Pajak Terhadap Penerimaan Negara (Trilliun Rupiah) Tahun Penerimaan Negara Penerimaan Pajak Persentase 2008 707,8 491,0 69,37% 2009 848,8 619,9 73,03% 2010 995,3 723,3 72,67% 2011 1210,6 873,9 72,19% 2012 1332,3 980,5 73,60% Sumber: Nota Keuangan Tahun Anggaran 2008-2012 (data diolah kembali) Berdasarkan data diatas, dapat diketahui bahwa penerimaan dari sektor pajak selalu memberikan kontribusi yang sangat besar yaitu rata-rata diatas 70% terhadap penerimaan negara. Meskipun persentase kontribusinya cenderung bernilai fluktuatif, tetapi dapat disimpulkan bahwa penerimaan dari sektor pajak tetap menjadi penerimaan terbesar dibandingkan dengan penerimaan lainnya. Artinya, peranan penerimaan pajak bagi negara menjadi sangat dominan dan menjadi penerimaan negara terbesar di dalam menunjang jalannya roda pemerintahan meskipun persentase kontribusinya cenderung fluktuatif. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah salah satu institusi pemerintah di bawah Departemen Keuangan yang mengemban tugas untuk mengamankan penerimaan pajak dan dituntut untuk selalu dapat memenuhi pencapaian target penerimaan pajak yang terus meningkat setiap tahunnya. Salah satu cara untuk meningkatkan penerimaan keuangan negara dari sektor perpajakan adalah dengan meningkatkan jumlah Wajib Pajak (Manurung, 2013). Berdasarkan data di Direktorat Jenderal Pajak, jumlah Wajib Pajak yang terdaftar secara nasional adalah sebagai berikut :

3 Jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi Tabel 1.2 Jumlah Wajib Pajak Terdaftar Secara Nasional 2008 2009 2010 2011 2012 8.807.666 13.861.253 16.880.649 19.881.684 22.131.323 Bendahara 392.509 441.986 471.833 507.882 545.232 Badan 1.481.924 1.608.337 1.760.108 1.929.507 2.136.014 Jumlah 10.682.099 15.911.576 19.112.590 22.319.073 24.812.569 Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2008-2012 (data diolah kembali) Manurung (2013) mengatakan bahwa tingginya jumlah Wajib Pajak yang ditandai dengan adanya peningkatan jumlah Wajib Pajak dari tahun ke tahun tersebut dinilai belum dapat mengoptimalkan jumlah penerimaan pajak yang ingin dicapai sehingga tingkat kepatuhan Wajib Pajak terbilang masih rendah. Selain itu, menurut Hutagaol (2012), tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang masih rendah akan menimbulkan selisih antara jumlah pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang seharusnya dibayar semakin besar. Selisih tersebut merupakan kesempatan penerimaan pajak yang hilang (tax revenue forgone). Tingkat kepatuhan pajak di Indonesia terbilang masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain, padahal pajak merupakan urat nadi perekonomian bangsa. Menurut Murray (dalam Hutagaol, 2012), rendahnya kepatuhan Wajib Pajak dapat disebabkan oleh banyak hal, tetapi yang paling utama adalah karena tidak adanya data tentang Wajib Pajak yang dapat digunakan untuk mengetahui kepatuhannya. Sedangkan ketidakpatuhan tersebut terlihat dari adanya gap antara jumlah Wajib Pajak terdaftar yang wajib menyampaikan SPT dan jumlah SPT yang dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak sehingga rasio kepatuhannya

4 dinilai relatif rendah. Hal tersebut terlihat dalam rasio kepatuhan penyampaian SPT Tahunan PPh tahun 2008-2012 yaitu : Wajib Pajak Terdaftar Tabel 1.3 Rasio Kepatuhan Penyampaian SPT Tahunan PPh 2008 2009 2010 2011 2012 6.341.828 9.996.620 14.101.933 17.694.317 17.659.317 SPT Tahunan 2.097.849 5.413.114 8.202.309 9.332.626 9.482.480 Rasio Kepatuhan 33,08% 54,15% 58,16% 52,74% 53,70% Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2008-2012 (data diolah kembali) Berdasarkan data diatas, terlihat kesenjangan yang cukup signifikan antara Wajib Pajak terdaftar dengan SPT Tahunan PPh yang disampaikan sehingga rasio kepatuhannya dalam menyampaikan SPT Tahunan PPh tergolong rendah. Selain laporan mengenai rasio kepatuhan penyampaian SPT Tahunan PPh yang tercatat oleh Direktorat Jenderal Pajak secara nasional, fenomena kepatuhan yang rendah pun terjadi pula di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying. Data mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut : Tabel 1.4 Rasio Kepatuhan Penyampaian SPT Tahunan PPh (Orang Pribadi) Wajib Pajak Terdaftar 2008 2009 2010 2011 2012 36.801 61.725 72.900 80.843 87.540 SPT Tahunan 26.173 34.507 28.818 36.053 33.517 Rasio Kepatuhan 71,20% 55,90% 39,53% 44,60% 38,29% Sumber: Seksi Pengolahan Data dan Informasi KPP Pratama Bandung Cibeunying

5 Tabel 1.5 Rasio Kepatuhan Penyampaian SPT Tahunan PPh (Badan) Wajib Pajak Terdaftar 2008 2009 2010 2011 2012 6.605 7.071 7.547 8.162 8.860 SPT Tahunan 2.972 3.008 2.689 2.654 3.024 Rasio Kepatuhan 44,99% 42,54% 35,63% 32,52% 34,13% Sumber: Seksi Pengolahan Data dan Informasi KPP Pratama Bandung Cibeunying Berdasarkan data-data yang telah diungkapkan mengenai rasio kepatuhan penyampaian SPT Tahunan PPh baik orang pribadi maupun badan, masih terlihat kesenjangan yang cukup signifikan antara Wajib Pajak terdaftar dengan SPT Tahunan PPh yang disampaikan. Oleh karena itu, tingkat kepatuhan Wajib Pajak di KPP Pratama Bandung Cibeunying dalam menyampaikan SPT Tahunan PPh tergolong rendah. Kepatuhan pajak merupakan fenomena yang sangat kompleks dilihat dari banyak perspektif. Luigi Alberto Franzoni dalam Manurung (2013) menyebutkan bahwa kepatuhan atas pajak (tax compliance) adalah melaporkan penghasilan sesuai dengan peraturan pajak, melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) dan membayar pajaknya dengan tepat waktu. Isu kepatuhan menjadi penting karena ketidakpatuhan secara bersamaan akan menimbulkan upaya menghindari pajak, seperti tax avoidance dan tax evasion. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya penyetoran dana penerimaan pajak ke kas negara. Kepatuhan Wajib Pajak menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 544/KMK.04/2000 adalah suatu tindakan Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan peraturan

6 pelaksanaan perpajakan yang berlaku di suatu negara. Wajib Pajak dikategorikan sebagai Wajib Pajak patuh apabila Wajib Pajak tersebut melaksanakan pemenuhan kewajiban pajak sesuai perundang-undangan pajak yang berlaku. Kepatuhan Wajib Pajak dapat diidentifikasi dari kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri, menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan (SPT), perhitungan dan pembayaran pajak terutang serta pembayaran tunggakan. Apabila Wajib Pajak tidak memenuhi semua kewajiban maka mereka dapat dianggap sebagai Wajib Pajak yang tidak patuh. Namun, ada perbedaan dalam menentukan derajat ketidakpatuhan apakah kesalahan Wajib Pajak itu atas kesengajaan untuk tidak memenuhi kewajiban atau karena ketidaktahuan atau juga karena perbedaan intepretasi dalam memandang peraturan yang berlaku. Oleh karena itu kejelasan hukum pajak juga termasuk kategori risiko yang harus dibenahi, baik dengan mengubah undang-undang, tata cara pelaksanaan, dan reformasi perpajakan (Sutaryono, 2010). Melihat tingkat kepatuhan yang sangat rendah ini, Direktorat Jenderal Pajak melalui reformasi perpajakannya membuat suatu strategi khusus yang perlu diterapkan agar dapat berfokus pada peningkatan kepatuhan Wajib Pajak. Hal yang dilakukan adalah membuat fungsi Account Representative lebih difokuskan untuk mengawasi kepatuhan Wajib Pajak menggunakan model manajemen risiko kepatuhan Wajib Pajak. Melalui manajemen risiko ini, Wajib Pajak dapat dikategorisasikan berdasarkan tingkat risikonya sehingga dapat memberikan skala prioritas pengawasan bagi para Account Representative. Dengan mengelompokkan Wajib Pajak dalam ketegori berisiko rendah, sedang, dan tinggi maka seorang

7 Account Representative dapat selalu waspada dalam melaksanakan pekerjaan utamanya. Organization for Economic Co-Operation and Development (2004) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan pemungutan pajak, administrasi pajak akan menghadapi risiko berupa pajak yang tidak dapat ditarik dari Wajib Pajak karena Wajib Pajak tersebut tidak mematuhi ketentuan perpajakan sehingga ada pajak terutang yang tidak dibayar. Risiko inilah yang biasa disebut dengan risiko kepatuhan. Untuk efisiensi dan efektivitas operasional, modernisasi administrasi perpajakan harus dapat mengidentifikasi risiko ini sehingga dapat merumuskan strategi-strategi yang akan digunakan untuk menangkal munculnya risiko kepatuhan. Selain itu, Organization for Economic Co-Operation and Development (2004) menemukan cara untuk memastikan apakah pajak yang telah dibayarkan sudah sesuai dengan pajak yang sebenarnya terutang berdasarkan UU yang berlaku yaitu melalui model The Compliance Risk Management Process. Melalui model OECD ini diharapkan menjadi salah satu acuan yang dapat digunakan secara umum dalam melakukan manajemen risiko ketidakpatuhan Wajib Pajak. Dalam hal ini, Direktorat Jenderal Pajak memerlukan wewenang dan struktur sistematis dalam proses untuk menentukan apa yang penting dalam konteks taat pajak dan seberapa besar risiko kepatuhan akan dibenahi. Manajemen resiko yang sesuai dengan panduan OECD yang dirancang untuk membantu para fiskus dalam menjalankan fungsinya untuk mengamankan penerimaan negara (Ilyas, 2013).

8 Manurung (2013) mengungkapkan bahwa salah satu tujuan DJP dalam melakukan manajemen risiko adalah untuk mendorong kepatuhan Wajib Pajak. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pajak sebagai pembina kepatuhan pajak dan pemilik kebijakan serta sistem perpajakan harus dapat menyusun kebijakan administrasi dan pelayanan perpajakan yang memudahkan, mengikat serta menimbulkan kesan positif bagi Wajib Pajak. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui pembenahan manajemen risiko pada perpajakan sehingga tingkat kepatuhan pajak di Indonesia dapat meningkat. Santoso (2008) menjelaskan lebih lanjut bahwa manajemen risiko kepatuhan adalah proses yang terstruktur dan teridentifikasi secara sistematik, penilaian, peringkat, dan perlakuan pajak sesuai risiko (misalnya, tidak mendaftarkan diri, keterlambatan pelaporan pajak dll). Seperti manajemen risiko pada umumnya, merupakan suatu proses yang terdiri dari langkah-langkah yang mendukung pengambilan keputusan. Hal tersebut sesuai berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.09/2008 tentang Penerapan Manajemen Risiko di Lingkungan Departemen Keuangan maka prioritas dan strategi tindakan penagihan berlandaskan pada manajemen risiko. Manajemen Risiko adalah pendekatan sistematis untuk menentukan tindakan terbaik dalam kondisi ketidakpastian. Manajemen risiko membantu pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan ketidakpastian dan pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan. Peningkatan kepatuhan melalui pendekatan risiko ini dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui program transformasi kelembagaan yaitu

9 Compliance Risk Management. Hal ini sesuai dengan proses manajemen risiko menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.09/2008 terdiri dari penetapan konteks, identifikasi risiko, analisis risiko, evaluasi risiko, penanganan risiko, monitoring dan review, serta komunikasi dan konsultasi. Manajemen risiko ini dikembangkan dan digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kinerja otoritas perpajakan secara lebih efektif dan fokus. Hal ini dilakukan melalui pengenalan lebih mendalam terhadap Wajib Pajak beresiko berdasarkan parameter yang dikehendaki seperti kategori jenis usaha, periode waktu tertentu, atau letak geografis. Dengan pengkategorian yang strategis seperti ini, maka perlakuan terhadap Wajib Pajak juga dapat dilakukan berdasarkan risikonya secara nasional. Pihak fiskus dapat mengetahui kategori apa saja yang harus dilakukan seperti sosialisasi, edukasi, pemeriksaan ataupun penegakan hukum berdasarkan tingkat risiko Wajib Pajak (Sakti, 2014). Selain itu, Fahmi (2010) menjelaskan bahwa secara garis besar manajemen risiko adalah kemapanan suatu sistem pajak yang memiliki beberapa pendekatan, yaitu: Memiliki struktur dasar untuk perencanaan strategis; Fokus pada masalah ketidakpatuhan Wajib Pajak dan mensosialisasikan keragaman masalah perpajakan beserta resikonya; Efektivitas dan efisiensi pelayanan perpajakan; Pendekatan pengawasan dengan adanya audit eksternal; Organisasi yang kuat dalam melakukan evaluasi pajak dengan pendekatan barang bukti.

10 Jika risiko telah dikelola dengan tepat dengan sasaran yang jelas, maka selanjutnya adalah langkah untuk memilih atau mengembangkan strategi pengelolaan yang tepat untuk menangani perilaku Wajib Pajak. Strategi yang baik adalah yang efektif dan efisien dan berkesinambungan dalam manajemen risiko dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam hal ini merupakan kombinasi antara proaktif dan reaktif terhadap deteksi gejala ketidakpatuhan (Sutaryono, 2010). Berdasarkan fenomena tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul EFEKTIVITAS PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DAN PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT KEPATUHAN WAJIB PAJAK (Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying) 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis mengidentifikasikan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana efektivitas penerapan manajemen risiko di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying? 2. Bagaimana tingkat kepatuhan Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying? 3. Apakah efektivitas penerapan manajemen risiko berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying?

11 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud penelitian ini adalah melakukan kajian yang lebih mendalam tentang manajemen risiko perpajakan sehingga diperoleh data dan informasi yang merupakan gambaran nyata mengenai efektivitas penerapan manajemen risiko dan pengaruhnya untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui efektivitas penerapan manajemen risiko di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying. 2. Untuk mengetahui tingkat kepatuhan Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying. 3. Untuk mengetahui pengaruh efektivitas penerapan manajemen risiko terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying. 1.4 Kegunaan Penelitian Dengan memperhatikan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan atau manfaat bagi berbagai pihak, yaitu: 1. Bagi Penulis Penelitian ini dilakukan oleh penulis untuk memenuhi syarat dalam menempuh sidang Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Widyatama. Selain itu, diharapkan dapat memberikan pemahaman yang penjelasan lebih mendalam tentang efektivitas penerapan manajemen

12 risiko dan pengaruhnya terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak di wilayah Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying. 2. Bagi Direktorat Jenderal Pajak Penelitian ini memberikan informasi serta sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pihak Direktorat Jenderal Pajak dalam memahami aspek-aspek yang berpengaruh terhadap manajemen risiko dalam menerapkan kebijakan perpajakan secara benar dan konsisten untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang berpengaruh terhadap penerimaan negara. 3. Bagi Pembaca Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan serta sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam menerapkan kebijakan perpajakan, salah satunya yaitu manajemen risiko secara benar dan konsisten untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dan dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian berikutnya. 1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian Untuk memperoleh data sehubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penyusunan skripsi ini, maka penulis akan melakukan penelitian pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2014 sampai dengan selesai.