BAB I PENDAHULUAN. Peran pendidikan matematika sangat penting bagi upaya menciptakan sumber

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika sangat berperan penting dalam upaya menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang begitu pesat

BAB I PENDAHULUAN. memunculkan persaingan yang cukup tajam, dan sekaligus menjadi ajang seleksi

BAB I PENDAHULUAN. Pentingnya belajar matematika tidak terlepas dari peranannya dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PEMBUKTIAN, PENALARAN, DAN KOMUNIKASI MATEMATIK. OLEH: DADANG JUANDI JurDikMat FPMIPA UPI 2008

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL Jozua Sabandar

BAB I PENDAHULUAN. Berkembangnya peradaban dunia membawa perubahan terhadap budaya,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan siswa dalam berfikir secara matematika (think mathematically).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang konsep, kaidah,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eka Rachma Kurniasi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini sangat berperan dalam upaya

BAB I PENDAHULUAN. diberikan sejak tingkat pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah di

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB II. Kajian Teoretis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Winda Purnamasari, 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Kemampuan Penalaran Matematis. a. Pengertian Penalaran Matematis

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Slameto (2010:3) belajar adalah proses usaha yang

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan daya pikir manusia. Perkembangan teknologi dan informasi

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yeni Febrianti, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan mata pelajaran yang memiliki peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riva Lesta Ariany, 2014

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan ide-ide melalui lisan, tulisan,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Wahyudin Djumanta, Dkk.,Belajar Matematika Aktif Dan Menyenangkan,(Bandung: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2008)

BAB I PENDAHULUAN. kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

I. PENDAHULUAN. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan penting

I. PENDAHULUAN. untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya seoptimal mungkin. Pendidikan

Pernyataan ini juga di ungkapkan oleh Bambang R (dalam Rbaryans, 2007) yang menyatakan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas

I. PENDAHULUAN. dirinya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Pendidikan juga

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pendekatan Realistic Mathematics Education atau Pendekatan Matematika

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mempunyai peran penting

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat diperlukan oleh semua orang terutama pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran matematika dalam kurikulum pendidikan nasional selalu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Taufik Rahman, 2015

BAB II KAJIAN TEORITIK. kesimpulan yang berupa pengetahuan. Berdasarkan pernyataan-pernyataan

BAB I PENDAHULUAN. Di era teknologi canggih seperti sekarang ini dan lebih-lebih di era

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan dan keterampilan intelektual. Matematika juga merupakan ilmu yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Matematika mempunyai peran yang sangat besar baik dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah penalaran Nurbaiti Widyasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tujuan pembelajaran matematika diantaranya adalah mengembangkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. Hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting untuk menentukan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia secara global dan

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya menggunakan prinsip-prinsip matematika. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas 2003:5).

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan di Indonesia mengindikasikan bahwa matematika sangatlah

BAB I PENDAHULUAN. dalam proses belajar sehingga mereka dapat mencapai tujuan pendidikan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembelajaran, hal ini menuntut guru dalam perubahan cara dan strategi

KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN KREATIF

, 2015 PENGARUH PENGGUNAAN MODEL GUIDED DISCOVERY LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP

II. TINJAUAN PUSTAKA. solusi. Sebagai contoh, suatu masalah dapat direpresentasikan dengan obyek,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

2016 PENERAPAN MODEL CONNECTED MATHEMATICS PROJECT (CMP) DENGAN METODE HYPNOTEACHING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN INDUKTIF MATEMATIS SISWA

Siti Chotimah Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi Bandung

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di semua bidang, salah satunya membangun sumber daya manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Geometri Siswa SMP Ditinjau dari Kemampuan Matematika. (Surabaya: PPs UNESA, 2014), 1.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau menangkap segala perisitiwa disekitarnya. Dalam kamus bahasa Indonesia. kesanggupan kecakapan, atau kekuatan berusaha.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perkembangan zaman, bangsa Indonesia harus

BAB I PENDAHULUAN. Bidang studi matematika secara garis besar memiliki dua arah

BAB I PENDAHULUAN. dalam belajar matematika. Kesulitan siswa tersebut antara lain: kesulitan

BAB I PENDAHULUAN. matematika kurang disukai oleh kebanyakan siswa. Menurut Wahyudin (1999),

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, antara lain pembaharuan kurikulum, peningkatan kualitas tenaga. pendidik dan peningkatan sarana dan pra sarana.

BAB 1 PENDAHULUAN. Hasil belajar matematika sampai saat ini masih menjadi suatu permasalahan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Permen 23 Tahun 2006 (Wardhani, 2008:2) disebutkan bahwa tujuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Amin (dalam Supriyadi, 2000) menyatakan bahwa kegiatan discovery atau

UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIKA. (PTK Pembelajaran Matematika Kelas VII Semester II SMP Negeri 2

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam pengembangan kemampuan matematis peserta didik. Matematika

PENERAPAN MODEL ADVANCE ORGANIZER UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN ANALOGI MATEMATIS SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sarah Inayah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peran pendidikan matematika sangat penting bagi upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas sebagai modal bagi proses pembangunan. Siswa sebagai sumber daya manusia harus memiliki kemampuan dalam berpikir matematis. Kemampuan ini sangat diperlukan agar peserta didik memahami konsep yang dipelajari, dan dapat menerapkannya dalam berbagai situasi. Dalam Principles and Standards for School Mathematics tahun 2000 diungkapkan bahwa penalaran dan representasi adalah dua dari lima kemampuan yaitu: pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, koneksi dan representasi yang seharusnya dimiliki siswa, khususnya penalaran dan representasi sudah dimulai dari tingkat Taman Kanak-kanak. Pencantuman aspek penalaran dan representasi dalam standar proses adalah dua hal yang sangat penting karena penalaran adalah suatu aktifitas berfikir yang abstrak dan representasi adalah bahasa matematika berupa simbol, model, gambar atau grafik. Sesuai dengan pernyataan itu maka penalaran matematika adalah hal yang sangat esensial untuk meningkatkan kemampuan dalam merepresentasikan situasi yang ditemukan melalui model, grafik atau simbol. Hudiono (2005) menyatakan bahwa khususnya penalaran dan komunikasi dalam matematika sangat memerlukan representasi simbol tertulis, gambar (model) ataupun obyek fisik. Fakta tersebut menunjukkan bahwa kemampuan penalaran akan meningkatkan kemampuan representa si siswa dalam mengkomunikasikan ide-ide matematika.

2 Aplikasi penalaran sering ditemukan selama proses pembelajaran matematika. Penalaran dan matematika dua hal yang tidak bisa dipisahkan, karena materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar matematika (Depdiknas, 2002). Kenyataan ini menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara penalaran dengan matematika dalam artian, belajar matematika menggunakan nalar dan berlatih nalar menggunakan matematika. Seperti diketahui, matematikalah yang sebenarnya menawarkan kepada pengetahuan pengetahuan alam suatu pengukuran, tanpa matematika, kesemuanya itu tidaklah mungkin untuk diperoleh (Albert Einstein, dalam Wikipedia 2008). Alasan perlu belajar matematika karena 1) Matematika adalah pola berfikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logis; 2) Matematika itu bahasa yaitu bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, akurat dengan simbol yang padat; 3) Matematika adalah: pengetahuan terstruktur yang terorganisir, sifat-sifat atau teori-teori dibuat secara deduktif berdasarkan kepada unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori yang telah dibuktikan kebenarannya; 4) Matematika adalah ilmu tentang pola keteraturan pola atau ide; 5) Matematika adalah: suatu seni, keindahannya terdapat pada keterurutan dan keharmonisan (Jonson dan Rising dalam Asep, 2008). Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Dengan pengamatan terbentuk proposisi yang dianggap benar dari yang belum diketahui kebenaran sebelumnya. Proposisi, premis, konklusi dan konsekuensi adalah empat hal yang sangat penting dalam penalaran. Proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis dan

hasil penyimpulannya disebut dengan konklusi sedangkan konsekuensi adalah hubungan antara premis dan konklusi. Penalaran matematis (mathematical reasoning) diperlukan untuk menentukan apakah sebuah argumen matematika valid, dan penalaran matematika juga dipakai untuk membangun suatu argumen matematika. Penalaran matematika tidak hanya penting untuk melakukan pembuktian (proof) atau pemeriksaan program (program verification), tetapi juga untuk melakukan inferensi dalam suatu sistem kecerdasan buatan (artificial intelligence). Menurut Keraf (dalam Awaludin, 2007) penalaran merupakan proses yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan. Wahyudin (2008) menyatakan penalaran dan pembuktian matematis menawarkan cara-cara yang tangguh untuk membangun dan mengekspresikan gagasangagasan tentang beragam fenomena yang luas. Orang-orang yang menggunakan nalar dan berpikir secara analitis cenderung memperhatikan pola-pola, struktur, atau keteraturan keteraturan baik itu dalam situasi situasi dunia nyata maupun dalam objek simbolis. Pada pokoknya, suatu bukti matematika adalah suatu cara yang formal untuk mengekspresikan jenis-jenis penalaran dan justufikasi tertentu. Turmudi (2008) menyebutkan, penalaran dan pembuktian matematika menawarkan suatu cara untuk mengembangkan wawasan tentang fenomena luas. Orang yang nalar dan berpikirnya analitik cenderung mencatat pola struktur dan keteraturan dalam situasi nyata dan benda-benda simbolik. Selanjutnya ditegaskan, bukti matematika itu merupakan cara yang formal untuk mengungkapkan alasan dan justifikasi yang khusus.

4 Dalam proses bernalar, kemampuan penalaran logis sangat diperlukan, karena kemampuan penalaran logis adalah kemampuan mengidentifikasi atau menambahkan argumentasi logis yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah. Logika dipakai untuk menarik kesimpulan dari suatu proses berpikir berdasar cara tertentu, yang mana proses berpikir di sini merupakan suatu penalaran untuk menghasilkan suatu pengetahuan. Berpikir secara logis atau berpikir dengan penalaran ialah berpikir tepat dan benar yang memerlukan kerja otak dan akal sesuai dengan ilmu-ilmu logika (Awaludin, 2007). Kemampuan lain yang harus dikembangkan adalah kemampuan representasi yaitu kemampuan siswa mengkomunikasikan ide/gagasan matematika yang dipelajari dengan cara tertentu. Menurut Ruseffendi (dalam Kartini 2007), siswa SMP Kelas II berada pada tahap operasi konkrit, tepat untuk memberi banyak kesempatan memanipulasi benda-benda konkrit, membuat model, diagram dan lain-lain, sebagai alat perantara merumuskan dan menyajikan konsep-konsep abstrak. Kaput (dalam Goldin, 2002) mengatakan bahwa representasi terbagi dua yaitu representasi eksternal dan representasi internal. Representasi internal yang ada di dalam pikiran siswa, sedangkan representasi eksternal berupa : simbol tertulis, gambar (model) ataupun obyek fisik lainnya. Simbol tertulis dalam pembelajaran matematika bukan tujuan akhir tetapi merupakan elemen yang mendasar dalam mendukung pemahaman para siswa dalam mengkomunikasikan berbagai pendekatan pemahaman matematika pada diri siswa dan orang lain. Menurut Hibert dan Carpenter ( dalam Wahyudin 2008), model atau gambar dengan teknologi elektronik pada saat sekarang membantu siswa dalam

menginterpretasikan matematika dalam dirinya sendiri dan lingkungannya dan mampu membangun suatu konsep intuitif tentang matematika dan aplikasinya. Berpikir tentang ide matematika yang memungkinkan pikiran seseorang bekerja atas dasar ide dan tidak dapat diamati karena ada didalam mental seseorang disebut representasi internal. Pemahaman matematika melalui representasi adalah dengan mendorong siswa menemukan dan membuat suatu representasi sebagai alat atau cara berpikir dalam mengkomunikasikan gagasan matematika dari abstrak menuju konkrit. Representasi matematis melibatkan cara yang digunakan siswa untuk mengkomunikasikan bagaimana mereka menentukan jawabannya sebagaimana diungkapkan Jakabcsin dan Lane (dalam Kartini, 2007). Komunikasi dalam matematika memerlukan representasi yang dapat berupa: simbol tertulis, diagram, tabel, ataupun benda (Hudiono, 2005) karena matematika yang bersifat abstrak membutuhkan sajian sajian benda konkrit untuk memudahkan siswa memahami konsep yang dipelajari. Dengan sajian-sajian benda konkrit guru memberikan kesempatan kepada siswa, untuk memahami matematika dengan mengamati, menduga, mengkaji, menganalisis, menemukan, merumuskan dan membuat kesimpulan. Peran sajian benda-benda konkrit diperlukan dalam penanaman konsep matematika, sajian ini tidak diperlukan lagi dalam pemecahan soal. Sajian yang digunakan dalam menyelesaikan soal berupa gambar atau grafik. Freudenthal (dalam Sabandar, 2006) mengemukakan bahwa guru perlu meningkatkan kemampuan representasi matematis siswa, dengan prinsip proses penemuan kembali dengan menggunakan konsep matematisasi horizontal dan vertikal. Konsep matematisasi horizontal seperti pengidentifikasian, pemvisualisasian masalah

6 melalui sketsa atau gambar yang telah dikenal siswa melalui berbagai cara. Konsep matematisasi vertikal seperti : representasi hubungan hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematika, penggunaan model-model yang berbeda dan penggeneralisasian. Selanjutnya Sabandar (2006) mengemukakan bahwa umumnya konsep-konsep matematika berawal dari pengalaman dan kejadian dalam kehidupan manusia. Sehingga, ketika orang diharapkan mempelajari matematika agar mengerti maknanya, sebaiknya ia dapat kenal dan memahami akan adanya situasi atau konteks yang memuat serta melahirkan konsep matematika tertentu yang akan dipelajari siswa. Oleh karena itu, sekalipun pada bagian akhir dari pembelajaran matematika akan menghasilkan siswa yang telah memahami dan menguasai konsep matematika yang pada mulanya abstrak baginya, siswa harus diberi kesempatan untuk menjalani suatu tahap konkrit. Pengertian konkrit disini, tidak hanya sebatas bahwa siswa bisa melihat, meraba akan model konkrit dari konsep yang akan dipelajari, tetapi juga bahwa siswa dapat menangkap akan adanya situasi yang konkrit bagi siswa. Permasalahan yang ditemukan dalam penyampaian materi pembelajaran matematika yaitu kemampuan penalaran dan representasi siswa dalam pembelajaran matematika kurang berkembang dan kemandirian siswa dalam menemukan ilmu pengetahuan masih rendah. Wahyudin (dalam Alamsyah,1999) mengatakan bahwa salah satu kecenderungan yang menyebabkan siswa gagal menguasai matematika dengan baik yaitu karena siswa kurang memiliki kemampuan nalar yang logis dalam menyelesaikan persoalan atau soal-soal matematika. Permasalahan ini terjadi karena

metode yang digunakan oleh guru pada umumnya pembelajaran satu arah atau pembelajaran biasa. Dengan demikian siswa hanya menerima ilmu pengetahuan dari satu sumber yaitu guru, siswa tidak pernah diberi kesempatan untuk membuktikan dan menemukan fakta. Berdasarkan hasil studi Hudiono (2005) menunjukkan bahwa terjadinya kelemahan representasi siswa seperti tabel, gambar, model disampaikan kepada siswa karena hanya sebagai pelengkap dalam penyampaian materi. Dengan demikian guru tidak menumbuh kembangkan kemampuan representasi siswa, karena siswa cenderung menerima semua yang diberikan guru. Lebih jauh Hudiono menyatakan, bahwa siswa yang mengerjakan soal matematika yang berkaitan dengan kemampuan representasi, hanya sebagian kecil siswa dapat menjawab dengan benar, sebagian lagi masih lemah. Dari pernyataan ini jika siswa mempunyai kemampuan representasi yang lemah maka kemampuan penalaran juga masih rendah, karena siswa belum mampu menggunakan daya nalar untuk merepresentasikan materi matematika yang abstrak ke konkrit. Pada hal menurut Piaget (dalam Matlin,1983), usia siswa SMP kelas VII untuk geometri berada pada tahap operasi konkrit, seharusnya pada usia ini siswa diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda konkrit, membuat diagram, gambar, model dan lainlain. Kemampuan siswa memanipulasi benda-benda konkrit didukung oleh daya nalar siswa dalam merepresentasikan gagasan matematika Pemilihan pendekatan pembelajaran inkuiri dalam meningkatkan kemampuan penalaran dan representasi menggunakan metode yang tepat dalam pembelajaran matematika. Karena pembelajaran inkuiri mempunyai tahapan-tahapan mengamati,

8 menduga, mengkaji, menganalisis, menemukan, merumuskan dan membuat kesimpulan sebagai proses pemeriksaan. Inkuiri merupakan salah satu dari tiga pembelajaran discovery learning yaitu : Menemukan, Inkuiri dan Pembelajaran Berbasis Masalah Van Joolingen (1989) mengatakan bahwa: discovery learning adalah jenis pembelajaran dimana siswa mengkonstruksi pengetahuannya melalui penemuan dengan kemampuan dan menduga dari hasil penemuan tersebut. Borthick & Jones (2000), mengemukakan tentang discovery learning bahwa siswa belajar untuk mengenal suatu masalah, karakteristik dari solusi, mencari informasi yang relevan, membangun strategi untuk mencari solusi, dan melaksanakan strategi yang dipilih. Inkuiri berasal dari suatu kenyataan bahwa siswa memiliki kebebasan dalam belajar dan selama dalam proses pengajaran menuntut partisipasi aktif siswa. Turmudi (2008) menyatakan matematika adalah proses inquiry dan proses coming to know, lapangan berekreasi dan temuan manusia yang secara terus menerus meluas, dan bukan produk yang selesai. Dalam inkuiri proses pembelajaran matematika, mengharapkan siswa memiliki keingintahuan dan ingin berkembang, dan inkuiri menekankan dan memberikan kesempatan pada siswa untuk bereksplorasi dan memberikan arah yang spesifik sehingga area baru dapat tereksplorasi dengan lebih baik dan siswa mampu merepresentasikan matematika dengan temuannya. Sebagai ciri khas dari inkuiri adalah induktif dan dalam penalaran metode yang digunakan adalah metode deduktif dan induktif maka metode yang digunakan untuk mendukung kemampuan penalaran dan representasi adalah dikhususkan kepada pendekatan inkuiri induktif. Dalam metode inkuiri induktif, siswa merasakan proses-proses pemikiran

yang memerlukan mereka untuk menggerakkan dari fakta-fakta dan pengamatanpengamatan yang spesifik ke kesimpulan-kesimpulan. Untuk membantu para siswa memenuhi hal ini, guru memilih satu set kejadian atau bahan-bahan untuk pelajaran. Siswa bereaksi dan usaha-usaha untuk membangun suatu pola yang penuh arti berdasar pada pengamatan-pengamatan pribadi dan pengamatan atas yang lain. Sebagai gambaran penerapannya dalam segiempat beraturan dalam menemukan luas persegipanjang. Siswa diberikan benda konkrit berupa guntingan persegi dengan panjang sisi satu satuan. Guru mendorong para siswa untuk berbagi pemikiran mereka sehingga seluruh kelas mendapat manfaat yang mendalam yaitu membandingkan banyak persegi hubungannya dengan panjang sisi untuk menemukan rumus luas persegipanjang. Guru sebagai pusat informasi dan menyajikan prinsip-prinsip penting, tema-tema atau hipotesis. Para siswa adalah aktif terlibat di dalam menguji bentuk yang diberikan guru. Pada saat siswa menemukan suatu rumusan, maka guru telah membentuk karakter siswa yang mandiri, bertanggung jawab pada dirinya sendiri dan lingkungannya. Siswa dalam mendapatkan informasi tentang pengetahuan tidak bergantung kepada guru tetapi siswa mampu belajar mandiri baik dilingkungan sekolah maupun diluar sekolah. Piaget (dalam Carter,2004) menyatakan, ciri dari kelas inkuiri adalah otonomi. Pada saat siswa menemukan sesuatu ilmu dikelas matematika merupakan tanggung jawab moral yang harus dipilih siswa yaitu bertanggung jawab pada diri sendiri dan mandiri untuk menentukan pilihan-pilihan dalam memperoleh pengetahuan. Pilihan moral pada yang dimaksud ketika guru memberi otoritas pada siswa pada saat proses

10 penemuan ilmu didalam kelas dan diluar kelas, siswa mempunyai tanggung jawab penuh untuk mencari informasi yang diperlukan untuk memahami konsep matematika pada materi yang akan diajarkan. Kerjasama antara guru dan siswa, siswa dan siswa merupakan landasan yang kokoh dalam otonomi kelas. Tujuan dari otonomi kelas adalah untuk membiasakan anak-anak agar merasa hidup dalam belajar. Selain itu, agar mereka tidak jenuh dan bertanggung jawab terhadap apa yang dipelajari dan guru tidak mengambil hak-hak kemerdekaan siswa didalam kelas dengan sifat otoritas yang selalu berpusat pada guru. Otonomi kelas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah siswa diberi kebebasan untuk memberi pendapat ketika berdiskusi, mengemukakan dugaan dan ketika mempresentasikan hasil temuannya. Berdasarkan uraian diatas, penulis telah melaksanakan sebuah studi yang berjudul Studi Perbandingan Kemampuan Penalaran dan Representasi Matematis pada Kelompok Siswa yang Belajar Inkuiri dan Biasa. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dalam penelitian ini maka rumusan masalah secara umum dalam penelitian ini adalah Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran dan representasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran matematika inkuiri induktif dan biasa. Permasalahan ini dapat diuraikan dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah kemampuan penalaran matematis kelompok siswa yang belajar inkuiri lebih baik dari kemampuan kelompok siswa yang belajar biasa?

2. Apakah kemampuan representasi matematis kelompok siswa yang belajar inkuiri lebih baik dari kelompok siswa yang belajar biasa? 3. Apakah peningkatan kemampuan penalaran matematis kelompok siswa yang belajar inkuiri lebih baik dari kelompok siswa yang belajar biasa? 4. Apakah peningkatan kemampuan representasi matematis kelompok siswa yang belajar inkuiri lebih baik dari kelompok siswa yang belajar biasa. 5. Apakah tanggapan siswa tentang pembelajaran inkuiri positif? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan memperoleh informasi mengenai kemampuan penalaran dan representasi matematis siswa SMP melalui pembelajaran inkuiri dan pembelajaran biasa. Secara lebih rinci tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui, perbedaan kemampuan penalaran kelompok siswa yang belajar inkuiri induktif dengan kelompok siswa yang belajar biasa. 2. Mengetahui, perbedaan kemampuan representasi kelompok siswa yang belajar inkuiri induktif dengan kelompok siswa yang belajar biasa. 3. Mengetahui, pembelajaran dengan menggunakan model inquri induktif dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa daripada model pembelajaran biasa. 4. Mengetahui, pembelajaran dengan menggunakan model inkuri induktif dapat meningkatkan kemampuan representasi siswa dari pada model pembelajaran biasa.

12 5. Mengetahui tanggapan siswa terhadap implementasi model pembelajaran dengan inkuiri. D. Manfaat Penelitian Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan pembelajaran matematika dan sebagai masukan bagi semua pihak 1. Bagi siswa Melalui hasil penelitian ini siswa diharapkan mampu mengembangkan kemampuan penalaran dan representasi untuk meningkatkan prestasi belajarnya. 2. Bagi guru: Hasil penelitian ini dapat menjadi model pembelajaran alternatif yang dapat diaplikasikan dalam meningkatkan kemampuan penalaran dan representasi matematis siswa. 3. Bagi sekolah: Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk mengembangkan/menerapkan pembelajaran inkuiri di kelas-kelas lain. 4. Bagi Penulis Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis tentang model pembelajaran serta penerapan dalam situasi proses belajar mengajar, khususnya model pembelajaran inkuiri.

E. Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini, maka hipotesis yang diajukan adalah: 1. Kemampuan penalaran matematis kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran inkuiri lebih baik dari kelompok siswa yang belajar biasa. 2. Kemampuan representasi matematis kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran inkuiri lebih baik dari kelompok siswa yang belajar biasa. 3. Peningkatan kemampuan penalaran matematis kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran inkuiri lebih baik dari kelompok siswa yang belajar biasa. 4. Peningkatan kemampuan representasi matematis kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran inkuiri lebih baik dari kelompok siswa yang belajar biasa. F. Definisi Operasianal Untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan pada penelitian ini, perlu dikemukakan definisi operasional sebagai berikut: 1. Representasi adalah a. Sesuatu yang siswa gunakan untuk mengkomunikasikan ide/gagasan matematika yang dipelajari dengan cara tertentu. b. Alat atau cara yang digunakan siswa untuk mengkomunikasikan jawaban atau ide-ide matematik, yaitu antara lain model. c. Kemampuan siswa dalam menuangkan ide- ide atau gagasan metematik dalam bentuk tabel, gambar, grafik, pernyataan matematik, teks tertulis atau kombinasi

14 dari semuanya. d. Kemampuan mengungkapkan kembali suatu uraian atau pragraf matematik dalam bahasa sendiri. e. Kemampuan menyusun argumen atau mengungkapkan pendapat. 2. Penalaran a. Cara-cara yang tangguh untuk membangun dan mengekspresikan gagasa-gagasan tentang beragam fenomena yang luas yang cenderung memperhatikan pola-pola terstruktur dan ketentuan ketentuan dalam situasi nyata maupun simbolik. b. Penalaran matematis (mathematical reasoning) diperlukan untuk menentukan apakah sebuah argumen matematika valid dan juga dipakai untuk membangun suatu argumen matematika. c. Penalaran matematik yang dimaksud merupakan penalaran induktif yang terdiri atas penalaran analogi dan penalaran generalisasi. Penalaran analogi merupakan kegiatan dan proses penyimpulan berdasarkan kesamaan data atau fakta, sedangkan penalaran generalisasi merupakan penarikan kesimpulan umum dari data-data atau fakta-fakta yang ada. 3. Pembelajaran Inkuiri Induktif a. Pembelajaran dengan pendekatan inkuiri induktif adalah membantu para siswa untuk menetapkan fakta-fakta, menentukan relevan pertanyaan-pertanyaan, mengembangkan jalan atau cara untuk mengejar pertanyaan-pertanyaan ini dan membangun penjelasan-penjelasan. Para siswa diundang untuk berkembang dan mendukung hipotesis mereka sendiri.

b. Melalui inkuiri yang induktif, para siswa merasakan proses-proses pemikiran dari fakta-fakta dan pengamatan-pengamatan yang spesifik ke kesimpulan-kesimpulan. 4. Pembelajaran Biasa Pembelajaran biasa merupakan pembelajaran klasikal dengan menggunakan metode ceramah (ekspositori). Model belajar biasa didefinisikan suatu kegiatan belajar mengajar, yang berpusat kepada guru. Pada pengajaran ini, selain menggunakan metode ceramah, guru kadang-kadang menggunakan metode diskusi.