BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak terjadi kasus kekerasan baik fisik maupun non fisik yang melibatkan remaja sebagai pelaku ataupun korban. Kekerasan yang sering terjadi adalah perkelahian antar remaja. Hal tersebut bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, seperti di jalan dan di lingkungan sekolah. Perkelahian tersebut sering kali menimbulkan korban jiwa. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja dimulai usia 13 tahun dan berakhir pada usia 21 tahun (Fatimah, 2010, hal.165). Remaja memiliki banyak tuntutan dari orang-orang sekitar, terutama orang tua yang menuntut anak untuk bersikap manis, patuh, bisa menyesuaikan diri dengan orang lain, berpakaian rapi, dan bergaul dengan baik sehingga remaja sering mengalami kegelisahan dan ketegangan dalam berperilaku. Kegelisahan dan ketegangan ini menyebabkan banyak konflik yang sering dialami remaja. Konflik yang dialami remaja sering menimbulkan perkelahian antar dua kelompok remaja dan sering kali remaja melakukan hal yang nekat sampai pada kasus pembunuhan. Kasus yang terjadi pada bulan Februari di Baturaja, melibatkan empat remaja menjadi pelaku 1
2 pembunuhan. Sidang pada tanggal 31 Maret lalu hakim memutuskan bahwa keempat terdakwa mendapatkan hukuman berbeda. SP (16), dikenakan hukuman selama 9 tahun, dan AW (15), AK (17) dan RK (15) dikenakanan 6 tahun. Keempat terdakwa terbukti telah melanggar pasal 340 dan 55 KUHP (Anonim, 1 April 2016). Setiap tahun kasus kekerasan dan perkelahian remaja yang terjadi di Indonesia terus meningkat. Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas Perlindungan Anak (Aji, 21 Desember 2013) menyebutkan, sepanjang tahun 2013 terjadi 255 kasus tawuran remaja di Indonesia. Angka tersebut dinilai meningkat dibanding tahun 2012 sebelumnya yakni sebanyak 147 kasus. Pada tahun 2014 menurut catatan Komnas, kata Arist, sepanjang tahun 2014, laporan kejahatan yang dilakukan anak-anak masuk ke lembaganya ada sekitar 1.851 pengaduan. Angka itu meningkat dibanding pada tahun 2013 yang hanya 730 kasus. Hampir 52 persen dari angka itu adalah kasus pencurian yang diikuti dengan kasus kekerasan, perkosaan, narkoba, judi, serta penganiayaan (Aditya, 31 Desember 2013). Peningkatan kasus kenakalan remaja yang terjadi di Indonesia membuat masyarakat semakin sadar bahwa banyak sekali kasus yang melibatkan remaja sebagai pelaku kejahatan. Pengaruh buruk dari lingkungan terutama teman sebaya memberi dampak yang sangat kuat membuat remaja merasa tertekan. Santrock (2003, hal.221) menyatakan bahwa :
3 Saya merasa banyak tekanan dari teman-teman saya supaya merokok dan mencuri dan hal-hal lain seperti itu. Orang tua saya tidak memperbolehkan saya untuk merokok, tapi sahabat-sahabat dekat saya benar-benar mendorong saya untuk melakukannya. Meraka memanggil saya banci dan anak mami jika saya tidak mau. Saya sangat tidak suka merokok. Teman baik saya, Steve, mengejek saya di depan teman-teman saya yang lain. Kevin, kamu bodoh dan kamu pengecut. Saya tidak tahan lagi, jadi saya merokok dengan mereka. Saya batuk dan hampir muntah, tapi saya tetap berkata, Ini sangat menyenangkan-yeah, saya suka ini. Saya merasa saya benar-benar bagian dari kelompok. Perasaan tertekan yang ditimbulkan dari kelompok sebaya membuat remaja mengikuti atau meniru perilaku yang dilakukan kelompok yang menjadi acuan remaja. Seperti kasus yang terjadi di Martapura, menurut Suhartoyo, Kepala Kejaksaan Negeri Martapura, kasus pidana umum selama tahun 2015 berjumlah 285 perkara dan 26 perkara kasus pencurian dan perampokan dengan pelaku anak-anak di bawah 18 tahun (Hendra, 5 Januari 2016) Berdasarkan wawancara awal yang dilakukan kepada beberapa siswa sebuah Sekolah Menengah Pertama di Belitang terdapat kecenderungan awal siswa membutuhkan dukungan dari teman sebaya. Remaja sering kali menanyakan pendapat dari teman, mengikuti gaya dari kelompok yang diikuti. Kelompok yang memberi pengaruh positif akan memberikan hasil yang positif juga, begitu juga sebaliknya. Ada seorang siswa melakukan kenakalan secara individual, seperti kebutkebutan di jalan dan sering membolo, contoh lain yang terjadi di SMP ada siswa yang berkelahi dengan teman sekelas sampai pintu kelas
4 lepas, adapula siswa yang berkelahi sampai papan tulis pecah karena siswa tersebut membanting meja kearah papan tulis. Masih banyak remaja yang kurang bisa memanfaatkan energi yang dimilikinya untuk melakukan kegiatan positif. Kelebihan energi tersebut sering digunakan untuk perkelahian atau menyerang orang lain. Dari hasil wawancara dengan salah seorang guru sebuah Sekolah Menengah Pertama di Belitang beberapa waktu lalu terdapat siswa yang dikeluarkan dari sekolah dikarenakan terbukti mencuri dan sering membolos sekolah, ada beberapa siswa yang dikeluarkan karena terbukti sedang ngelem di lingkungan sekolah, dan tak jarang wali murid dipanggil kesekolah karena anaknya terlibat kasus perkelahian. Menurut Berkowitz (2003, hal.4) agresivitas adalah segala bentuk perilaku manusia yang dilakukan dengan tujuan untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun mental. Arah dari perilaku agresif biasanya akan berdampak negatif bagi orang lain. Agresi juga bisa dikatakan sebagai tingkah laku yang dapat merugikan atau melukai orang lain. Agresi juga merupakan bentuk perlawanan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, bahkan membunuh. Agresivitas pada remaja saat ini terjadi karena remaja tidak bisa mengelola emosi secara positif, sehingga tidak jarang remaja meluapkan emosi dengan cara melakukan tindakan agresif. Saat ini remaja dituntut untuk bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan, di pihak lain remaja harus mengembangkan identitas diri.
5 Muncul krisis identitas yang dapat menimbulkan ketegangan dan kecemasan pada remaja. Menurut Martono (Agung dan Matulessy, 2012, hal.101) ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi agresivitas, antara lain faktor keluarga. Keluarga merupakan lingkungan pendidikan utama dan pertama bagi anak. Suasana keluarga yang kurang mendukung dapat mengganggu perkembangan kejiwaan anak. Selain faktor pribadi dan keluarga, lingkungan kelompok sebaya juga dapat menyebabkan perilaku agresif. Jika kondisi rumah kurang menunjang, anak mencari perhatian dan identitas diri di luar. Pengaruh kelompok atau teman sebaya ini sangat besar. Selain keluarga, lingkungan sekolah juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan munculnya perilaku agresif. Kondisi sekolah yang tidak kondusif, keadaan guru dan sistem pengajaran yang tidak menarik menyebabkan anak cepat bosan. Untuk menyalurkan rasa tidak puasnya, remaja meninggalkan sekolah atau membolos dan bergabung dengan kelompok anak-anak yang tidak sekolah (Agung dan Matulessy, 2012, hal.101). Remaja saat ini berani melakukan tindak kekerasan tersebut karena dukungan dari lingkungan peer group. Menurut Santrock (2003, hal.219) peer group adalah individu-individu yang memiliki umur yang sama atau maturasi yang sama. Bisa dikatakan bahwa peer group memiliki arti kelompok sebaya. Kelompok bermain atau pergaulan ini juga dapat memengaruhi pembentukan kepribadian seorang individu.
6 Jika ia memiliki kelompok bermain yang positif maka perilaku cenderung positif. Jika seorang remaja memiliki kelompok bermain yang negatif maka perilaku cenderung negatif pula, dapat dikatakan bahwa semua tergantung dari kelompok yang menjadi acuan seorang remaja (Dhohiri dkk; 2007, hal.107). Krahe (2005, hal.89) menyatakan bahwa hubungan teman sebaya merupakan sumber pengaruh sosial lain yang sangat relevan dengan agresi. Teman sebaya adalah sekumpulan remaja yang mempunyai hubungan erat dan saling menggantungkan. Kesamaan ini tidak hanya dapat dilihat dari usia dan kedewasaan saja tetapi juga dilihat dari latar belakang sosial, ekonomi dan lainnya. Remaja sering mencoba hal baru dan sering kali nekat melakukan hal-hal yang kadang-kadang kurang diterima dalam masyakarat supaya mendapatkan pengakuan dari kelompok sebaya. Sarwono (2009, hal.127) menjelaskan faktor yang menyebabkan munculnya tingkah laku remaja yang buruk adalah kuatnya ikatan emosi dan konformitas pada remaja. Berdasarkan uraian di atas tingkat kenakalan remaja setiap tahun semakin meningkat dan dari hasil wawancara yang telah dilakukan memberikan hasil bahwa kelompok dapat memberikan pengaruh bagi remaja dalam perilaku atau pengambilan keputusan. Pertanyaannya adalah apakah ada hubungan dari konformitas teman sebaya (peer group) dengan perilaku agresif remaja?
7 B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku agresif remaja. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan memberikan sumbangan ilmiah bagi perkembangan Psikologi Sosial khususnya tentang perilaku agresif remaja ditinjau dari konformitas teman sebaya. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para remaja untuk mengendalikan perilaku agresif dalam kaitannya dengan konformitas teman sebaya.