KEDUDUKAN HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT FIQIH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA SERTA PRAKTEK PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB II TINJAUAN UMUM HARTA BERSAMA DAN TATA CARA PEMBAGIAN HARTA BERSAMA

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DAN ANAK YANG PERKAWINANNYA TIDAK TERCATAT DI INDONESIA. Sukma Rochayat *, Akhmad Khisni **

BAB I PENDAHULUAN. Demikian menurut pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang. manusia dalam kehidupannya di dunia ini. 1

BAB 5 PENUTUP. Universitas Indonesia

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

LEGEM PUTUSAN NOMOR:71/ Pdt.G/ 2013/ PA.Sda

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA. A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin

BAB I PENDAHULUAN. menjadi khalifah Allah di bumi, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur an surat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial manusia mempunyai naluri untuk bisa hidup

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM MENOLAK GUGATAN REKONVENSI DALAM. PUTUSAN No: 1798 / Pdt.G/2003/PA.Sby

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA MALANG DALAM MENETAPKAN GUGATAN REKONVENSI MENGENAI HARTA GONO GINI DAN HADHANAH

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB IV. A. Analisis hukum formil terhadap putusan perkara no. sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN MUT AH DALAM PUTUSAN MA RI NO. REG. 441 K/ AG/ 1996

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP BAGIAN ISTRI LEBIH BESAR DALAM PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DI PENGADILAN AGAMA GRESIK

BAB II HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB IV. dalam perkara nomor : 1517/Pdt.G/2007/PA.Sda mengenai penolakan gugatan

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA (Analisis Putusan No. 0488/Pdt.G/2012/PA.Ska.

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah.

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan masyarakat diatur oleh hukum termasuk mengenai

1 Hilman Hadikusuma, Hukum perkawinan Indinesia(Bandung: Mandar Maju, 2003), 7.

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP HAK ASUH ANAK DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG

BAB II PERJANJIAN DALAM PERKAWINAN

BAB II LANDASAN TEORI

AKIBAT PERCERAIAN DISEBABKAN TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Studi Kasus Putusan Nomor : 1098/Pdt.G/2008/PA.Dmk Di Pengadilan Agama Demak

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

HAK JANDA/DUDA ATAS PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA LUBUK-LINGGAU SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan

BAB II HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN. A. Pengertian Harta Bersama Dalam Perkawinan. adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan.

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suatu perkawinan yang di lakukan oleh manusia bukanlah persoalan nafsu

BAB VI ANALISIS DATA. PELAKSANAAN EKSEKUSI HARTA BERSAMA DALAM PERKARA PERDATA NO 0444/Pdt.G/2012/PA.Tnk

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan. Banyuwangi) perspektif UU No.

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

PUTUSAN FASAKH ATAS CERAI GUGAT KARENA SUAMI MURTAD (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten)

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. untuk akad nikah.nikah menurut syarak ialah akad yang membolehkan seorang

BAB 1 PENDAHULUAN. dan perempuan dari kedua jenis tersebut Allah menjadikan mereka saling

BAB I PENDAHULUAN. mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling

A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Perkara Perceraian Putusan. mediator yang tujuannya agar dapat memberikan alternatif serta solusi yang terbaik

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak mampu. Walaupun telah jelas janji-janji Allah swt bagi mereka yang

ANALISIS YURIDIS PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN PASCA PERCERAIAN (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BUKIT TINGGI NOMOR 618/PDT.

Prinsip Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Undang-undang No. 1/1974 (Study analisis tentang Monogami dan poligami) Siti Ropiah

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, melakukan perkawinan adalah untuk menjalankan kehidupannya dan

Harta Bersama dalam Perkawinan Poligami Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERCERAIAN DAN EKSEKUSI

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. Hampir dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law, maupun

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

Gono Gini dalam Perspektif Hukum Islam Oleh Drs. H. Abd. Rasyid As ad, M.H. (Hakim Pengadilan Agama Kraksaan)

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan

BAB I PENDAHULUAN. menghilangkan nikah yang mengandung banyak kemashlahatan yang. dianjurkan, maka perceraian hukumnya makruh. 1

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kamus bahasa arab, diistilahkan dalam Qadha yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. Hukum acara di peradilan agama diatur oleh UU. No. 7 Tahun yang diubah oleh UU. No. 3 tahun 2006, sebagai pelaku kekuasaan

PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA KELAS IA PADANG

BAB I PENDAHULUAN. berpasang-pasangan agar hidup berdampingan, saling cinta-mencintai dan. berkasih-kasihan untuk meneruskan keturunannya.

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. Allah SWT. menciptakan manusia berpasang-pasangan. Dalam Al Qur an, Allah SWT. berfirman :

BAB I PENDAHULUAN. serta membutuhkan manusia lainnya untuk hidup bersama dan kemudian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup

P U T U S A N. Nomor: 1294/Pdt.G/2014/PA Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

HAK ASUH ANAK DALAM PERCERAIAN

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. masalah Penyelesaian Pembagian Sepertiga Harta Bersama yang

BAB I PENDAHULUAN. makhluk-nya, baik pada manusia, hewan, maupun, tumbuh-tumbuhan. Ia adalah

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB IV MUTAH DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA. A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Menggunakan atau Tidak

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. Artinya : Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q.S.Adz-Dzariyat: 49).

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA DALAM PERKAWINAN ISLAM. harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta

P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada kodratnya adalah sebagai makhluk sosial (zoon politicon)

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN MAJELIS HAKIM ATAS PENCABUTAN AKTA KESEPAKATAN DI BAWAH TANGAN YANG DIBUAT

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB IV. Agama Surabaya Tentang Pembatalan Putusan Pengadilan Agama Tuban. itu juga termasuk di dalamnya surat-surat berharga dan intelektual.

STATUS HUKUM PERKAWINAN TANPA AKTA NIKAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN RELEVANSINYA DENGAN HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir batin ini harus ada, karena

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI. A. Pengertian Umum Tentang Hak dan Kewajiban Suami Istri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan dalam agama Islam disebut Nikah yang berarti

Transkripsi:

Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 2 Juni 2017 Kedudukan Harta Bersama Dalam Perkawinan (Arifah S. Maspeke) KEDUDUKAN HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT FIQIH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA SERTA PRAKTEK PUTUSAN PENGADILAN AGAMA Arifah S. Maspeke *, Akhmad Khisni ** * Mahasiswa Magister (S-2) Ilmu Hukum UNISSULA Semarang, email : ifahmaspeke@gmail.com ** Dosen Fakultas Hukum UNISSULA Semarang ABSTRACT Property in marriage is one important factor, because it can be said as a mover of a married life. The property consists of inherited property, acquisition and joint property. In the fiqih is not known the term joint treasure, but the study of Indonesian scholars on joint property has given birth to the opinion that the joint property can be analogous to shirkah. The provisions on joint property in Indonesian positive law are regulated in Law Number 1 Year 1974 concerning Marriage and Compilation of Islamic Law. In Articles 96 and 97 of KHI, joint property is divided by two, each husband shall receive half of the common property as long as it is not specified otherwise in the marriage agreement. The Decision of the Religious Courts does not always adhere to the provisions of Article 97 of the Compilation of Islamic Law, but it can be casuistically different based on the principle of justice and usefulness. Keywords: Marriage, Joint Property, Religious Court Judgment I. Pendahuluan Istilah perkawinan dalam Islam disebut dengan kata Nikah yang artinya melakukan suatu aqad nikah atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan dasar sukarela dan keridhoan, untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan tentram dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah. 1 Menurut Sayuti Talib, pernikahan adalah suatu perjanjian yang suci dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia. Sedangkan menurut Imam Syafi i, pernikahan adalah suatu akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita. 2 1 Soemiyati, 1999, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, h. 8 2 Moh. Idris Ramulyo, 1996, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, h. 2 173

Jurnal Hukum Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 2 Juni 2017 : 173-184 Menurut Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. 3 Setiap orang atau pasangan (pria dan wanita) jika sudah melakukan perkawinan maka terhadapnya ada ikatan kewajiban dan hak diantara mereka berdua dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan), bukan hanya merupakan suatu perbuatan perdata saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu perkawinan tolak ukurnya sepenuhnya ada pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianutnya. 4 Sebelum lahirnya UU Perkawinan, mengenai ketentuan, tatacara dan sahnya suatu perkawinan bagi orang Indonesia pada umumnya didasarkan pada hukum agama dan hukum adat masing-masing. Menurut hukum adat, perkawinan adalah suatu ikatan antara seorang lakilaki dengan seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga yang dilaksanakan secara adat dan agamanya dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak, saudara maupun kerabat. 5 Harta kekayaan merupakan salah satu faktor yang penting dalam perkawinan karena dapat dikatakan sebagai penggerak suatu kehidupan perkawinan. Dalam perkawinan memang sepantasnyalah suami yang berkewajiban memberikan nafkah bagi hidup rumah tangga, dalam arti harta kekayaan dalam perkawinan ditentukan oleh kondisi dan tanggung jawab suami. Namun di masa sekarang ini, dimana wanita telah hampir sama memiliki kesempatan dalam pergaulan sosial, wanita juga sering berperan dalam kehidupan ekonomi rumah tangga. Hal ini pastinya akan membawa pengaruh bagi harta kekayaan suatu perkawinan, baik selama perkawinan berlangsung ataupun jika suatu saat terjadi perceraian. Harta di dalam perkawinan dibedakan atas harta bersama dan harta asal atau bawaan. Hal ini diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu sebagai berikut: 1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama 3 Ibid 4 Abdurrahman, 1978, Masalah-masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia, Alumni, Bandung, hal 9 5 Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung,, hal. 5. 174

Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 2 Juni 2017 Kedudukan Harta Bersama Dalam Perkawinan (Arifah S. Maspeke) 2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masingmasing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Dari pengertian Pasal 35 diatas dapat dipahami bahwa harta bersama adalah segala harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan di luar harta warisan, hibah. Karena itu, harta yang diperoleh suami atau istri sejak akad nikah dilangsungkan merupakan milik bersama suami istri. Lain halnya harta yang diperoleh sebelum akad nikah, yaitu harta asal atau harta bawaan, harta tersebut merupakan harta milik pribadi masing-masing suami istri. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin mengetahui bagaimana kedudukan harta bersama dalam perkawinan menurut fiqih dan menurut hukum positif indonesia serta bagaimana praktek putusan pengadilan agama dalam pembagian harta bersama dalam bentuk tesis yang berjudul : Kedudukan Harta Bersama Dalam Perkawinan menurut Fiqih dan Hukum Positif Indonesia serta Praktek Putusan Pengadilan Agama. 2. Pembahasan 2.1 Kedudukan Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Fiqih Hukum Islam memberi hak kepada masing-masing suami istri untuk memiliki harta benda secara perseorangan, yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain. Suami yang menerima pemberian, warisan, dan sebagainya tanpa ikut sertanya istri, berhak menguasai sepenuhnya harta yang diterimanya itu. Demikian pula halnya istri yang menerima pemberian, warisan, mahar dan sebagainya tanpa ikut sertanya suami berhak menguasai sepenuhnya harta benda yang diterimanya itu. Harta bawaan yang telah mereka miliki sebelum terjadi perkawinan juga menjadi hak masing-masing. Dalam Al-Qur an dan hadits serta kitab-kitab fiqih, khususnya kitab fiqih perkawinan yang disusun oleh para ulama terdahulu, tidak ada yang membicarakan harta bersama dalam rumah tangga. Permasalahan harta dalam perkawinan yang dikenal dan dibahas panjang adalah kewajiban suami untuk memberikan mahar dan nafkah kepada istrinya. Permasalahan mengenai harta bersama mulai muncul belakangan di sebagian dunia Islam selepas penjajahan barat. Sedangkan di sebagian dunia Islam lainnya hal ini tetap tidak dikenal dan tidak berlaku. 6 Di dalam Al Qur an maupun Hadist tidak memberikan ketentuan dengan tegas bahwa harta benda yang diperoleh suami selama perkawinan berlangsung sepenuhnya 6 Dedi Sutanto, 2011, Kupas Tuntas Harta Gana Gini, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h. 129 175

Jurnal Hukum Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 2 Juni 2017 : 173-184 menjadi hak suami, dan hak istri hanya terbatas atas nafkah yang diberikan suami. Dalam waktu yang sama Al Qur an dan Hadits juga tidak menegaskan bahwa harta benda yang diperoleh suami dalam perkawinan, secara langsung istri juga ikut berhak atasnya. Dalam menentukan apakah harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung menjadi harta bersama atau tidak, termasuk masalah ijtihadiah, masalah yang termasuk dalam daerah wewenang manusia untuk menentukannya, bersumber kepada jiwa ajaran Islam. 7 Tentang harta bersama dalam Islam menurut Ismail Muhammad Syah, sebagaimana dikutip oleh Yahya Harahap, beliau mengatakan bahwa pencaharian bersama suami istri mestinya masuk dalam rubu ul mu amalah, tetapi ternyata secara khusus tidak dibicarakan. Lebih lanjut beliau mengatakan, mungkin hal ini disebabkan oleh karena pada umumnya pengarang dari kitab-kitab tersebut adalah orang Arab, sedangkan adat Arab tidak mengenal adanya pencaharian bersama suami istri itu. Tetapi di sana ada dibicarakan tentang masalah perkongsian yang dalam bahasa Arab disebut syarikah atau syirkah. Mungkin perkataan syarikah dalam bahasa Indonesia sekarang itu juga berasal dari bahasa Arab. Selanjutnya beliau mengatakan, oleh karena masalah pencaharian bersama suami istri ini adalah termasuk perkongsian atau syirkah. Dalam hal syirkah, beliau katakan bahwa harta bersama masuk pada pembahasan syirkah muwafadah dan abdan. 8 Harta bersama didefinisikan sebagai harta yang dihasilkan pasangan suami istri selama perkawinan berlangsung. Maka harta bersama dikategorikan sebagai syirkah muwafadlah karena perkongsian suami istri dalam harta bersama itu bersifat tidak terbatas, semua harta yang dihasilkan selama dalam perkawinan menjadi harta bersama, kecuali warisan dan pemberian atau hadiah. Sedangkan harta bersama disebut sebagai syirkah abdaan dikarenakan sebagian besar dari suami istri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja untuk nafkah hidup keluarganya. Para perumus Kompilasi Hukum Islam melakukan pendekatan dari jalur syirkah abdan dengan hukum adat. Cara pendekatan ini tidak bertentangan dengan kebolehan menjadikan urf sebagai sumber hukum dan sejiwa dengan kaidah al adatu al muhakkamah. 9 Pendapat tersebut memang bisa dibenarkan bahwasanya sebuah kebiasaan atau urf bisa dijadikan sebagai dasar pengambilan hukum Islam. Jadi meskipun dalam kitab-kitab fiqih tidak 7 Ahmad Azhar Basyir, M.A, 2000, Hukum Perkawinan Islam, UII Pres, Yogyakarta, h.66 8 Yahya Harahap, 2009, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989, Cet 5, Sinar Grafika, Jakarta, h. 270-271 9 Moh. Idris Ramulyo, 1995, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat, Cet. I, Sinar Grafika, Jakarta, h. 33 176

Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 2 Juni 2017 Kedudukan Harta Bersama Dalam Perkawinan (Arifah S. Maspeke) dibahas tentang adanya harta bersama, namun dalam Kompilasi Hukum Islam yang juga sebagai fiqih Indonesia telah diatur tentang harta bersama yang merupakan acuan bagi hakim Pengadilan Agama untuk memutuskan perkara pembagian harta bersama bagi yang beragama Islam. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa harta bersama merupakan bentuk syirkah karena pengertian bentuk kerjasama atau perkongsian antara suami dan istri, hanya saja bukan dalam bentuk syirkah pada umumnya yang bersifat bisnis atau kerjasama dalam kegiatan usaha, syirkah dalam harta bersama merupakan bentuk kerjasama antara suami dan istri untuk membangun sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah termasuk di dalamnya harta dalam perkawinan. Di dalam Islam tidak ada aturan secara khusus tentang pembagian harta bersama. Islam hanya memberikan rambu-rambu secara umum di dalam penyelesaian masalah harta bersama. Pembagian harta bersama didasarkan atas kesepakatan suami istri, yang di dalam Al-Qur an disebut dengan istilah ash Shulhu yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri) setelah mereka berselisih. 2.2 Kedudukan Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Hukum Positif Indonesia Salah satu akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah adalah terciptanya harta benda perkawinan. Harta atau kekayaan perkawinan diperlukan guna memenuhi segala keperluan yang dibutuhkan dalam kehidupan berkeluarga. 10 Harta tersebut ada yang diperoleh sebelum perkawinan dan sesudah dilangsungkannya perkawinan. Mengenai harta kekayaan dalam perkawinan telah diatur dalam hukum positif Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam. Namun dalam tulisan ini hanya akan membahas pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Ketentuan tentang harta kekayaan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur pada bab VII dengan judul harta benda dalam perkawinan yang terdiri dari tiga pasal yaitu pasal 35, 36 dan 37. Dalam ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa harta dalam perkawinan itu terdiri atas harta bersama, harta bawaan dan harta perolehan. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan oleh 10 Sonny Dewi Judiasih, 2015, Kajian Terhadap Kesetaraan Hak dan Kedudukan Suami dan Istri atas Kepemilikan Harta Dalam Perkawinan, PT.Refika Aditama, Bandung, h. 23 177

Jurnal Hukum Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 2 Juni 2017 : 173-184 karena itu ia menjadi milik bersama suami dan istri. Karena demikian sifatnya, maka terhadap harta bersama suami istri dapat bertindak hanya atas persetujuan bersama. Harta bawaan adalah harta yang dimiliki oleh masing-masing suami atau istri sebelum perkawinan sedangkan harta perolehan adalah harta yang diperoleh masing-masing suami istri berupa hibah atau warisan selama dalam ikatan perkawinan. Terhadap harta bawaan dan harta perolehan menjadi hak dan dikuasai sepenuhnya oleh masing-masing suami atau istri. 11 Berdasarkan bunyi Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 pada dasarnya menyatakan bahwa harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung antara suami istri. Dalam Pasal 35 ayat (1) tersebut tidak disebutkan secara jelas tentang atas jerih payah atau hasil kerja siapa harta bersama itu diperoleh, apakah hasil kerja suami atau istri. Dalam pasal tersebut yang jelas adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama yang dimiliki bersama oleh suami istri tanpa memperhitungkan siapa yang bekerja menghasilkan harta benda tersebut. 12 Dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah ditegaskan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan adalah harta bersama, ini berarti bahwa harta bersama itu terbentuk sejak tanggal terjadinya perkawinan atau sejak akad nikah dilangsungkan sampai perkawinan itu putus baik putus karena kematian atau perceraian. Ketentuan tentang suatu barang atau benda termasuk harta bersama atau tidak ditentukan oleh faktor selama perkawinan antara suami dan istri berlangsung, semua barang atau harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung menjadi harta bersama kecuali harta yang didapatkan oleh masingmasing suami istri berupa warisan, wasiat dan hibah oleh satu pihak, harta ini menjadi harta pribadi yang menerimanya. Berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, suami ataupun istri dapat bertindak terhadap harta benda milik bersama berdasarkan atas persetujuan kedua belah pihak. Dengan demikian, jika salah satu pihak, baik suami atau istri tidak setuju dengan suatu tindakan terhadap harta bersama, maka tindakan atau perbuatan hukum tersebut tidak dapat dilakukan. Hal ini berarti bahwa persetujuan kedua belah pihak yaitu suami dan istri menjadi syarat dapat dilakukannya suatu tindakan terhadap harta benda milik bersama. Keadaan harta milik bersama yang demikian itu dapat dijadikan sebagai barang jaminan Bandung 11 Slamet Abidin dan Aminuddin, 1999, Fiqh Munakahat I, Pustaka Setia, Bandung, h. 182 12 Abdurrahman dan Riduan Syahrani, 1978, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Alumni, 178

Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 2 Juni 2017 Kedudukan Harta Bersama Dalam Perkawinan (Arifah S. Maspeke) (agunan) oleh suami atau istri atas persetujuan pihak lainnya. Persetujuan tersebut tidak harus dinyatakan dengan tegas, tapi dapat saja diberikan secara diam-diam. 13 Adanya hak bagi suami dan istri untuk menggunakan harta bersama atau melakukan perbuatan hukum atas harta bersama harus berdasarkan atas persetujuan keduanya (secara timbal balik) adalah sudah sewajarnya. Hal tersebut mengingat bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat. Masing-masing suami maupun istri memiliki hak dan kedudukan yang seimbang dan berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang hak dan kewajiban suami istri. Berbeda halnya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang harta bersama secara singkat hanya dalam tiga pasal, pasal 35 sampai pasal 37, dalam Kompilasi Hukum Islam masalah harta bersama diatur secara lebih lengkap mulai pasal 85 sampai pasal 97. Ketentuan mengenai harta kekayaan dalam perkawinan yaitu Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, pada akhirnya menjelaskan tentang tanggung jawab masing-masing suami atau istri, baik antara mereka sendiri ataupun terhadap pihak ketiga. Dalam Pasal 89 dan 90 Kompilasi Hukum Islam djelaskan bahwa suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri. Istripun juga turut bertanggung jawab terhadap harta bersama ataupun harta suami yang ada padanya. Dari ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa suami istri mempunyai tanggung jawab bersama dalam hal pemeliharaan harta bersama. Hal ini semata dimaksudkan sebagai wujud atas penegakan kehidupan keluarga menuju kehidupan yang bahagia dan sejahtera. Tanggung jawab suami istri terhadap pihak ketiga adalah berkaitan dengan penggunaan harta perkawinan. Dalam penggunaan harta perkawinan tersebut dimungkinkan terdapat hutang, baik hutang bersama maupun hutang pribadi. Pertanggungjawaban terhadap hutang pribadi dibebankan kepada harta masing-masing suami istri. Sedangkan terhadap hutang bersama yaitu semua hutang baik yang dibuat oleh suami maupun istri atau bersama-sama untuk kebutuhan hidup keluarga dibebankan kepada harta bersama. Apabila harta bersama Jakarta 13 Rachmadi Usman, 2006, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika, 179

Jurnal Hukum Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 2 Juni 2017 : 173-184 tidak mencukupi, maka dapat diambilkan dari harta suami, dan apabila tetap tidak mencukupi dibebankan kepada harta istri. Pembebanan terhadap suami untuk menggunakan harta pribadinya dalam hal pelunasan hutang bersama adalah terkait dengan kedudukan suami sebagai kepala keluarga. Dengan kedudukan tersebut, suami berkewajiban melindungi istri dan memenuhi kebutuhan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Artinya suami dengan penghasilannya menanggung biaya nafkah, tempat kediaman bagi istri, biaya rumah tangga seperti biaya pengobatan dan biaya pendidikan untuk anak. Harta bersama antara suami istri dapat dibagi ketika hubungan perkawinan telah berakhir atau telah terputus. Hubungan perkawinan tersebut dapat terputus karena kematian, perceraian dan juga putusan pengadilan. 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 37 mengatakan : Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing dijelaskan dalam penjelasan Pasal 37 yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. 15 Dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak ditentukan berapa bagian masing-masing suami atau istri atas harta bersama bila terjadi perceraian, baik cerai mati maupun cerai hidup. Sebaliknya dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 96 dan 97 diatur tentang pembagian harta bersama atau syirkah ini apabila terjadi perceraian baik cerai hidup maupun cerai mati, yaitu masing-masing mendapat separuh dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan dalam perjanjian kawin. Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa harta bersama akan dibagi sama banyak atau seperdua untuk suami dan seperdua untuk istri, dan hal ini dapat dilakukan langsung atau melalui bantuan pengadilan. 2.3 Praktek Putusan Pengadilan Agama Dalam Pembagian Harta Bersama Pengajuan gugatan harta bersama di Pengadilan Agama dapat dilakukan melalui lima jalur. Pertama, perkara yang murni gugatan harta bersama. Perkara ini dapat diajukan oleh bekas suami atau bekas istri ke Pengadilan Agama setelah putusan perceraian berkekuatan hukum tetap, baik cerai talak maupun cerai gugat. 14 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum acara Peradilan Agama dan Zakat, op.cit, h. 35 15 UU No. 1 Tahun 1974, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI tahun 2001 180

Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 2 Juni 2017 Kedudukan Harta Bersama Dalam Perkawinan (Arifah S. Maspeke) Kedua, gugatan harta bersama digabungkan dengan gugatan cerai yang diajukan oleh istri. Istri mengajukan gugatan perceraian sekaligus digabungkan/dikumulasikan dengan masalah hak asuh anak, mut ah, nafkah istri dan harta bersama. Ketiga, gugatan harta bersama digabungkan dengan pemohonan cerai talak yang diajukan oleh suami. Suami mengajukan permohonan perceraian sekaligus digabungkan/dikumulasikan dengan masalah siapa yang berhak atas hak asuh anak dan harta bersama. Keempat, istri mengajukan gugatan rekonpensi ketika suami mengajukan cerai talak. Ketika istri selaku termohon mengajukan jawaban atas dalil-dalil suami selaku pemohon, istri sekaligus juga dapat mengajukan gugatan balik (rekonpensi) terhadap suami terkait soal penguasaan anak, nafkah anak, mut ah, nafkah istri dan harta bersama. Kelima, suami mengajukan gugatan rekonpensi ketika istri mengajukan cerai gugat. Suami selaku tergugat menyampaikan jawaban atas dalil-dalil istri selaku penggugat, kemudian suami sekaligus juga dapat mengajukan gugatan balik (rekonpensi) terhadap istri terkait soal penguasaan anak dan harta bersama. Untuk mengetahui tentang praktek putusan Pengadilan Agama dalam perkara pembagian harta bersama, akan dikemukakan beberapa putusan tentang pembagian harta bersama. Pertama, putusan Pengadilan Agama Ambarawa Nomor 0830/Pdt.G/2013/PA. Amb. Perkara ini adalah perkara cerai talak, dimana yang mengajukan permohonan cerai adalah suami sebagai pemohon, kemudian dalam jawaban, istri selaku termohon sekaligus mengajukan gugatan rekonpensi tentang nafkah, harta bersama, hak asuh anak dan nafkah anak. Mengenai pembagian harta bersama dalam perkara di atas, majelis hakim menerapkan ketentuan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam yang membagi harta bersama masing-masing mendapat bagian separuh atau seperdua dari harta bersama dan menghukum tergugat rekonpensi/pemohon untuk menyerahkan seperdua harta bersama tersebut kepada penggugat rekonvensi (termohon). Kedua, putusan Pengadilan Agama Demak Nomor 1708/Pdt.G/2014/PA. Dmk tentang perkara harta bersama. Perkara ini merupakan perkara murni gugatan harta bersama yang diajukan oleh bekas suami selaku penggugat terhadap bekas istri selaku tergugat. Dalam perkara tersebut majelis hakim tidak memutus pembagian harta bersama menurut ketentuan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak 181

Jurnal Hukum Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 2 Juni 2017 : 173-184 seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian lain dalam perkawinan. Setelah majelis hakim menetapkan harta-harta yang menjadi harta bersama berdasarkan bukti-bukti yang telah diajukan baik oleh penggugat maupun oleh tergugat, kemudian majelis hakim menetapkan pembagian harta bersama tersebut dengan perbandingan 2 (dua) berbanding 1(satu) yaitu tergugat atau bekas istri mendapat 2 bagian atau 2/3 dari harta bersama dan 1 bagian atau 1/3 dari harta bersama menjadi bagian penggugat atau bekas suami. Pertimbangan majelis hakim menyebutkan bahwa dalam Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam mengatur harta bersama ½ untuk suami dan ½ untuk istri, didasarkan atas suatu kenyataan bahwa pada umumnya rumah tangga masyarakat Indonesia terdiri dari suami sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Suami sebagai kepala rumah tangga berkewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan rumah tangganya, sedangkan istri bertugas mengurus rumah tangga, tetapi dalam perkara a quo rumah tangga penggugat dan tergugat justru sebaliknya, tergugat (istri) yang bersusah payah memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, sementara penggugat (suami) lebih banyak menganggur tidak mempunyai pekerjaan, bahkan yang memberi gaji penggugat adalah tergugat. Pertimbangan majelis hakim selanjutnya bahwa berdasarkan fakta tersebut, maka penerapan Pasal 97 KHI terhadap perkara a quo majelis hakim berpendapat kurang adil, untuk itu majelis berpegang pada azaz keadilan dan kemanfaatan sebagai tujuan hukum dan firman Allah SWT dalam Al-Qur an Surat An Nisaa ayat 58 yang artinya : Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Dari kedua putusan di atas dapat dilihat bahwa dalam memutuskan pembagian harta bersama hakim Pengadilan Agama tidak sepenuhnya menggunakan ketentuan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 97 KHI. Dalam putusan yang pertama, penulis berpendapat bahwa penerapan pasal 97 KHI sudah tepat, yaitu membagi harta bersama untuk suami seperdua dan istri seperdua. Karena meskipun istri tidak bekerja dan mendapatkan penghasilan seperti suami, namun karena istri telah melaksanakan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga, maka istri berhak mendapatkan separuh dari harta bersama. Demikian pula dalam putusan perkara nomor 1708/Pdt.G/2014/PA. Dmk, pertimbangan hakim untuk tidak menerapkan ketentuan pasal 97 KHI sudah tepat berdasarkan asas keadilan. Karena seharusnya suami yang berkewajiban memberi nafkah dan mencukupi kebutuhan 182

Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 2 Juni 2017 Kedudukan Harta Bersama Dalam Perkawinan (Arifah S. Maspeke) rumah tangga, namun ternyata yang lebih banyak berperan dalam mencari nafkah dan mendapatkan harta bersama adalah istri. Maka putusan majelis hakim dengan membagi harta bersama untuk bekas istri (tergugat) 2/3 bagian dan bekas suami (penggugat) 1/3 bagian sudah tepat dan mencerminkan nilai keadilan. 3. Penutup 3.1 Kesimpulan 1. Kedudukan harta bersama dalam perkawinan menurut fiqih tidak diatur, karena dalam Al- Qur an, hadits ataupun kitab-kitab fiqih tidak ditemukan pembahasan tentang harta bersama. Kajian ulama tentang harta bersama telah melahirkan pendapat bahwa harta bersama dapat diqiyaskan dengan syirkah, karena istri juga dapat dihitung sebagai pasangan (kongsi) yang bekerja, meskipun tidak ikut bekerja dalam pengertian sesungguhnya. Di dalam Islam tidak ada aturan secara khusus tentang pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian. Pembagian harta bersama tergantung kepada kesepakatan suami istri yang di dalam Al-Qur an disebut dengan ash shulhu yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri) setelah mereka berselisih. 2. Kedudukan harta bersama dalam perkawinan menurut hukum positif Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Masing-masing suami istri berkewajiban untuk menjaga harta bersama. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya dan tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama tanpa persetujuan bersama. Apabila terjadi perceraian maka harta bersama dibagi dua, masing-masing suami istri mendapat separuh bagian harta bersama, sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. 3. Praktek putusan Pengadilan Agama tentang pembagian harta bersama tidak semuanya menerapkan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 97 KHI, secara kasuistik ada pembagiannya yang tidak berdasarkan ketentuan Pasal 97 KHI, karena seharusnya suami yang berperan penting dalam mencari nafkah dan mencukupi kebutuhan rumah tangga tidak menjalankan perannya dengan baik, tetapi istrilah yang lebih berperan dalam mencari nafkah dan mendapatkan harta bersama. Sehingga hakim berdasarkan asas keadilan menetapkan pembagian untuk istri 2/3 bagian dan suami 1/3 bagian. 183

Jurnal Hukum Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 2 Juni 2017 : 173-184 DAFTAR PUSTAKA Soemiyati, 1999, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta Moh. Idris Ramulyo, 1996, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta Abdurrahman, 1978, Masalah-masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia, Alumni, Bandung Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung Dedi Sutanto, 2011, Kupas Tuntas Harta Gono Gini, Pustaka Yustisia, Yogyakarta Ahmad Azhar Basyir, M.A, 2000, Hukum Perkawinan Islam, UII Pres, Yogyakarta Yahya Harahap, 2009, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989, Cet 5, Sinar Grafika, Jakarta Moh. Idris Ramulyo, 1995, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat, Cet. I, Sinar Grafika, Jakarta Slamet Abidin dan Aminuddin, 1999, Fiqh Munakahat I, Pustaka Setia, Bandung Abdurrahman dan Riduan Syahrani, 1978, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Alumni, Bandung Rachmadi Usman, 2006, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta Sonny Dewi Judiasih, 2015, Kajian Terhadap Kesetaraan Hak dan Kedudukan Suami dan Istri atas Kepemilikan Harta Dalam Perkawinan, PT.Refika Aditama, Bandung Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 184