I. PENDAHULUAN. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun Kebijkan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memperkenalkan kebijakan otonomi daerah. Keseriusan pemerintah Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa orde baru, pembangunan yang merata di Indonesia sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

BAB I PENDAHULUAN. bertumpu pada penerimaan asli daerah. Kemandirian pembangunan baik di tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004

I. PENDAHULUAN. berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah. Tujuannya adalah memungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

I. PENDAHULUAN. kepedulian terhadap potensi dan keanekaragaman daerah. daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

BAB I PENDAHULUAN. dengan kata lain Good Governance, terdapat salah satu aspek di dalamnya yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 23Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. pemungutan yang dapat dipaksakan oleh pemerintah berdasarkan ketentuan

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Bhayangkara Jaya

I. PENDAHULUAN. tersebut dibutuhkan sumber-sumber keuangan yang besar. Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam era globalisasi dan

I. PENDAHULUAN. Penerimaan Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. baik dapat mewujudkan pertanggungjawaban yang semakin baik. Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar pembangunan tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar.

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara terbesar, dimana sampai saat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak sedikit. Dana tersebut dapat diperoleh dari APBN. APBN dihimpun dari semua

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. pada meningkatnya dana yang dibutuhkan untuk membiayai pengeluaranpengeluaran. pemerintah di bidang pembangunan dan kemasyarakatan.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah, namun di sisi lain memberikan implikasi tanggung jawab yang

BAB I PENDAHULUAN. (Diana Sari, 2013:40). Selanjutnya Diana Sari menyatakan, sebagai sumber

BAB 1 PENDAHULUAN. yang meliputi seluruh kehidupan manusia, bangsa dan negara, untuk. Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil makmur

BAB I PENDAHULUAN. semua itu kita pahami sebagai komitmen kebijakan Pemerintah Daerah kepada. efisien dengan memanfaatkan sumber anggaran yang ada.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB I PENDAHULUAN. dikelola dengan baik dan benar untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

BAB I PENDAHULUAN` dengan diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah. Pemerintah Pusat dan Daerah, setiap daerah otonom diberi wewenang yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat dengan daerah, dimana pemerintah harus dapat mengatur dan mengurus

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur dalam naungan

BAB I PENDAHULUAN. bernegara di Republik Indonesia. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang

BAB I PENDAHULUAN. pusat mengalami perubahan. Jika sebelumnya pemerintah bersifat sentralistik

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasan dan kesejahteraan seluruh rakyat. Dalam rangka mewujudkan tujuan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

EVALUASI PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KOTA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

I. PENDAHULUAN. sekaligus mendukung terciptanya suatu tujuan nasional. Pembangunan nasional. rakyat serta kemakmuran yang adil dan merata bagi publik.

2014 ANALISIS POTENSI PENERIMAAN PAJAK PENERANGAN JALAN DI KOTA BANDUNG TAHUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pemerintah daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus rumah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan yang sebaik mungkin. Untuk mencapai hakekat dan arah dari

EFEKTIVITAS PAJAK RESTORAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PADA PEMERINTAH DAERAH KOTA KEDIRI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mulai menerapkan otonomi daerah pada tahun 1999, yaitu sejak

PENGARUH DESENTRALISASI BPHTB TERHADAP PENERIMAAN DAERAH KABUPATEN BADUNG. Komang Yogi Wirasatya Made Yenni Latrini

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan usaha terencana dan terarah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Adanya otonomi daerah membuat pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah. kabupaten dan kota dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. dampak yang negatif. Dampak ini dapat dilihat dari ketidakmerataan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan nasional, Indonesia menganut

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan senantiasa memerlukan sumber penerimaan yang memadai dan

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah. Otonomi membuka kesempatan bagi daerah untuk mengeluarkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

I. PENDAHULUAN. meningkatkan nilai tambah sumber daya alam. Sumber daya potensial yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

BAB I PENDAHULUAN. wilayah sebesar km². Dari total luas keseluruhan tersebut, sebesar

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan wujud partisipasi dari masyarakat dalam. pembangunan nasional. Pajak merupakan salah satu pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintah Daerah (Pemda) dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU No.28 Tahun 2007). Secara umum pemungutan pajak yang teratur dan permanen telah dikenakan pada masa kolonial. Tetapi pada masa kerajaan dahulu juga telah ada pungutan seperti pajak, pungutan seperti itu dipersembahkan kepada raja sebagai wujud rasa hormat dan upeti kepada raja, yang disampaikan rakyat di wilayah kerajaan maupun di wilayah jajahan, figur raja dalam hal ini dapat dipandang sebagai manifestasi dari kekuasaan tunggal kerajaan (negara) (Lumbantoruan, 1996). Pada awal kemerdekaan pernah dikeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar bagi pajak peredaran (barang), yang dalam tahun 1951 diganti dengan pajak penjualan (PPn) 1951 Pengenaan pajak secara sitematis dan permanen, dimulai dengan pengenaan pajak terhadap tanah, hal ini telah ada pada zaman kolonial (Lumbantoruan, 1996).

2 Pajak ini disebut Landrent (sewa tanah) oleh Gubernur Jenderal Raffles dari Inggris. Pada masa penjajahan Belanda disebut Landrente. Peraturan tentang Landrente dikeluarkan tahun 1907 yang kemudian diubah dan ditambah dengan Ordonansi Landrente. Pada tahun 1932, dikeluarkan Ordonansi Pajak Kekayaan (OPKk) yang beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1964. Pada tahun 1960 dikeluarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 yang mengemukakan bahwa hukum atas tanah berlaku atas semua tanah di Indonesia, ditegaskan lagi dengan Keputusan Presidium Kabinet Tanggal 10 Februari Tahun 1967 Nomor 87/Kep/U/4/1967. Dengan pemberian otonomi dan desentralisasi kepada pemerintah Daerah, Pajak Hasil Bumi kemudian namanya diubah menjadi IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Iuran Negara No.PM.PPU 1-1-3 Tanggal 29 November 1965 yang berlaku mulai 1 November 1965. Pengenaan pajak langsung sebagai cikal bakal dari pajak penghasilan sudah terdapat pada zaman Romawi Kuno, antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku sampai dengan tahun 167 Sebelum Masehi (Lumbantoruan, 1996). Saat ini Indonesia sebagai negara berkembang mengandalkan perpajakan sebagai pendanaan pembangunannya. Hal ini terlihat di dalam struktur Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia, dimana pada setiap sektor pajak pada setiap tahunnya mencapai sekitar 60 % dari total pendapatan negara (Nuryanah dan Christine, 2009). Pasca diberlakukannya otonomi daerah secara otomatis menjadi tanggung jawab penuh masingmasing pejabat daerah yang melaksanakan pembangunan di segala aspek

3 kehidupan masyarakat. Dengan adanya otonomi daerah penggolongan pajak berdasarkan lembaga pemungutannya di Indonesia dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah (UU Nomor 28 Tahun 2009). Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian besar dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Kementerian keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Otonomi daerah adalah suatu penyerahan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang mana pelakasanaan otonomi daerah salah satu bentuk harapan yang positif bagi perekonomian Indonesia, dimana dengan adanya otonomi daerah maka masing masing daerah di Indonesia memiliki kesempatan untuk mengelola, mengembangkan dan membuat daerah tersebut untuk dapat lebih maju dari sebelumnya sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki oleh setiap masing-masing daerah (Sutedi, 2009). Di era otonomi daerah sekarang ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua Undang-Undang ini merupakan perwujudan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara sebanding diwujudkan dalam bentuk, pembagian dan pemanfaatan sumber

4 daya nasional yang berkeadilan serta adanya perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pajak daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai penyelenggaraan daerah dan pembangunan daerah untuk menetapkan otonomi daerah. Namun, hal ini belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan karena perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah. Sumber : BPS Provinsi Lampung (data diolah) Gambar 1. Rasio PAD Terhadap Total Pendapatan Pemerintah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Lampung Tahun 2009-2013 Pembentukan pemekaran daerah kabupaten/kota merupakan wujud pelaksanaan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kebutuhan masyarakat setempat. Dengan asumsi bahwa semakin dekat pusat pengambilan keputusan dengan masyarakat, semakin memahami kebutuhan

5 masyarakat setempat, yang pada akhirnya akan meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat (BPS, 2012). Berdasarkan Gambar 1 pada tahun 2009 Provinsi Lampung mengalami pemekaran daerah kabupaten/kota dengan bertambahnya Kabupaten Pringsewu, Kabupaten Mesuji, Dan Kabupaten Tulang Bawang Barat sehingga jumlah Kabupaten/Kota Provinsi Lampung menjadi 14 kabupaten/kota. Dengan bertambahnya pegawai terutama untuk mengisi formasi pegawai di kabupaten baru, maka penerimaan kabupaten/kota se-provinsi Lampung juga mengalami peningkatan. Dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 pada Gambar 1 menunjukan Kota Bandar Lampung memiliki kemandirian paling tinggi dibandingkan tiga belas kabupaten lainnya dengan rasio sebesar 8,80 persen pada tahun 2009 dan terus mengalami peningkatan pada setiap tahunnya hingga pada tahun 2013 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bandar Lampung berhasil mencapai rasio sebesar 21,36 persen dari total penerimaan daerah. Kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana dari luar. Semakin tinggi tingkat kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal semakin rendah dan demikian sebaliknya (Irsutami, 2011). Kemudian Kota Metro juga mengalami peningkatan pada setiap tahunnya walaupun rasio yang dihasilkan tidak sebesar rasio yang dimiliki Kota Bandar Lampung yaitu dengan rasio sebesar 5,54 persen pada tahun 2009 dan terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2013 dengan rasio sebesar 9,80 persen. Kabupaten Tulang Bawang Barat adalah kabupaten yang memiliki rasio paling kecil dibanding dengan

6 kabupaten/kota lainya yaitu dengan rata rata rasio sebesar 0,96 persen hal itu dikarenakan Kabupaten Tulang Bawang Barat belum memiliki potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi. Kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu indikator penting untuk mengukur keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah. Tujuan otonomi daerah yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, akan terwujud jika daerah mampu meningkatkan pelayanan dan membiayai pembangunan dari sumber pembiayaan sendiri. Dengan adanya pemekaran wilayah, pemerintah kabupaten/kota optimis mampu meningkatkan PAD, hal ini terlihat dari pos penerimaan PAD yang naik hingga 46,97 persen dibandingkan dengan tahun 2011 yaitu dari 508,09 milyar rupiah menjadi 747,93 milyar rupiah. Akan tetapi dengan rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total pendapatan yang hanya mencapai 6,15 persen menunjukan bahwa tingkat kemandirian pemerintah kabupaten/kota masih bergantung dari dana transfer dari pemerintah pusat. Dengan demikian pemekaran lebih menyedot APBD karena pemerintah kabupaten/kota masih mengandalkan transfer pemerintah pusat sebagai sumber pendapatannya. Dari empat belas kabupaten yang ada di Provinsi Lampung (Anggaran Kabupaten Pesisir Barat masih bergabung dengan Kabupaten Lampung Barat). Kota Bandar Lampung memiliki rasio PAD tertinggi yaitu 20,60 persen sementara Kabupaten Tulang Bawang Barat rasio PAD-nya paling rendah (Gambar 1). Hal ini menunjukan bahwa kota Bandar Lampung memiliki kemandirian yang paling baik dibandingkan

7 kabupaten/kota lain. Tingginya kemandirian Kota Bandar Lampung dikarenakan oleh tingginya sumber-sumber PAD khususnya dari pajak daerah dan retribusi daerah. 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% Pajak Daerah Retribusi Daerah Laba BUMD Lain-lain 10.00% 0.00% 2009 2010 2011 2012 2013 Sumber : BPS Provinsi Lampung (Data Diolah) Gambar 2. Rasio Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Laba BUMD, dan Lain-Lain Terhadap Total PAD Kota Bandar Lampung Tahun 2009 2013 Berdasarkan Gambar 2 dapat terlihat bahwa penerimaan pajak daerah memiliki rasio paling tinggi atau dapat dikatakan menyumbang lebih besar pada setiap tahunnya dari seluruh jenis pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan asli daerah Kota Bandar Lampung dari tahun 2009 sampai dengan 2013, yaitu sebesar 66,78 persen pada tahun 2009 hingga pada tahun 2013 menjadi 67,27 persen. Walaupun pada tahun 2012 mengalami penurunan rasio dari 69,13 persen menjadi 61,01 persen pada tahun 2012, namun secara agregat penerimaan pajak daerah pada tahun 2011 sebesar Rp.112.557.355,47 dan meningkat pada tahun 2012 menjadi Rp. 183.463.575,29. Hal tersebut

8 dikarenakan pada tahun 2012 pada jenis pendapatan lain-lain mengalami meningkatan yang cukup baik yaitu sebesar 3,81 persen dan meningkat menjadi 13,35 persen pada tahun 2012. Walaupun secara agregat dari berbagai jenis pendapatan lainnya yang dimiliki Kota Bandar Lampung yaitu Retribusi Daerah, Laba BUMD dan Pendapatan Lain-lain yang sah mengalami peningkatan pada setiap tahunnya namun memiliki share yang cukup kecil dibandingkan dengan penerimaan pajak Kota Bandar Lampung. Hal ini menunjukan bahwa pendapatan asli daerah Kota Bandar Lampung lebih ditopang oleh penerimaan pajaknya. Salah satu jenis pajak kabupaten/kota adalah pajak penerangan jalan. Kemajuan pesat Kota Bandar Lampung ditandai dengan kemajuan di bidang pendidikan, iptek, dan kepariwisataan. Ketiga hal tersebut mendorong terjadinya peningkatan penduduk, objek wisata, hotel, restoran dan tempat hiburan lainnya (Fadhilah dan Sari, 2012). Hal tersebut ditujukan pada Tabel di bawah ini : Tabel 1. PDRB Sektor Perhotelan, Sektor Restoran, Dan Sektor Jasa Hiburan Dan Rekreasi Kota Bandar Lampung Tahun 2009 2013 (Rp 000) TAHUN SEKTOR HOTEL RESTORAN JASA HIBURAN & REKREASI 2009 22.168,90 212.925,82 8.131,92 2010 22.909,34 225.933,05 8.607,20 2011 23.692,84 240.053,86 9.111,58 2012 24.581,33 255.345,29 9.673,76 2013 25.869,27 271.791,99 10.314,50 Sumber : BPS Provinsi Lampung (Data Diolah)

9 Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa PDRB sektor perhotelan, sektor restoran, dan sektor jasa hiburan dan rekreasi pada setiap tahunnya mengalami peningkatan seperti pada tahun 2009 sektor perhotelan sebesar Rp.22.168.900 terus meningkat pada setiap tahunnya sehingga pada tahun 2013 mencapai Rp.25.869.270. Kemudian pada sektor restoran dan sektor jasa hiburan dan rekreasi juga mengalami peningkatan pada setiap tahunnya dimana pada tahun 2009 sektor restoran memperoleh sebesar Rp.212.925.820 dan pada sektor jasa hiburan dan rekreasi sebesar Rp.8.131.920 kedua sektor tersebut terus meningkat hingga pada tahun 2013 mencapai sebesar Rp.271.791.990 pada sektor restoran dan Rp.10.314.500 pada sektor jasa hiburan dan rekreasi. Peningkatan PDRB pada ketiga sektor tersebut di setiap tahunnya menunjukan bahwa industri perhotelan, industri restoran serta industri jasa hiburan dan rekreasi di Kota Bandar Lampung mengalami peningkatan pada setiap tahunnya. Peningkatan di beberapa sektor tersebut sejalan dengan peningkatan pemakaian listrik Kota Bandar Lampung, yang kemudian berdampak pada peningkatan potensi pajak penerangan jalan. Jika pemerintah mampu merealisasikan potensi pajak penerangan jalan tersebut sebesar mungkin, maka hal ini akan berdampak pada kenaikan realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bandar Lampung. Perbedaan antara realisasi pajak penerangan jalan dan potensi pajak penerangan jalan yang tersedia disebut dengan celah pajak (Tax Gap) pajak penerangan jalan. Hal ini yang menjadi ukuran keberhasilan pajak penerangan jalan dimana seharusnya realisasi yang dihasilkan sama dengan potensi yang tersedia.

10 Pada penerimaan pajak penerangan jalan ada dua hal yang menjadi bahasan sehubungan dengan pengoptimalan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yakni potensi pajak penerangan jalan dan realisasi pajak penerangan jalan yang keduanya dapat menjadi penentu dalam mengoptimalkan penerimaan pajak daerah yang menjadi komponen dari pendapatan asli daerah. Selisih dari potensi pajak dan realisasi pajak disebut dengan celah pajak (tax gap) ini yang menjadi patokan kinerja sistem perpajakan itu sendiri. Optimalisasi PAD ini sehubungan dengan perannya terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan pelaksanaan Undang Undang Nomor 34 tahun 2000 sebagai penguat PAD. Celah pajak (tax gap) merupakan selisih antara potensi pajak dan realisasi pajak sebagai masalah yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Sehingga solusi untuk celah pajak adalah dengan cara mengoptimalkan realisasi pajak. Ide dasar dari penelitian ini adalah untuk daerah yang pendapatan daerahnya ditopang oleh penerimaan pajaknya namun memiliki realisasi lebih kecil dibandingkan dengan potensi pajaknya, maka Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dihasilkan sekiranya tidak terlalu besar, namun sebaliknya apabila realisasi pajak yang dihasilkan sama dengan potensi pajaknya, maka Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dihasilkan relatif lebih besar. Jadi realisasi pajak ini dapat dijadikan acuan atau mewakili kemampuan suatu daerah dalam melaksanakan semua kewenangan wajibnya dalam melaksanakan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya mengingat Pendapatan Asli Daerah (PAD) didominasi oleh penerimaan pajaknya.

11 B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas bahwa dengan kemajuan di bidang pendidikan, iptek, dan kepariwisataan mendorong terjadinya peningkatan penduduk, objek wisata, hotel, restoran dan tempat hiburan lainnya. Peningkatan di beberapa sektor tersebut sejalan dengan peningkatan pemakaian listrik Kota Bandar Lampung, yang kemudian berdampak pada peningkatan potensi pajak penerangan jalan. Jika pemerintah mampu merealisasikan potensi pajak penerangan jalan tersebut sebesar mungkin, maka hal ini akan berdampak pada kenaikan realisasi PAD Kota Bandar Lampung. Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang permasalahannya adalah Apakah terjadi celah pajak (tax gap) pajak penerangan jalan Kota Bandar Lampung dan Bagaimana dampak dari celah pajak (tax gap) yang terjadi? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian di atas tujuan dari penelitian ini yang ingin dicapai oleh penulis adalah untuk mengetahui apakah terjadi celah pajak (tax gap) pada penerimaan pajak penerangan jalan Kota Bandar Lampung dan mengetahui bagaimana dampak dari celah pajak (tax gap) yang terjadi.

12 D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi refrensi bagi penulis lainnya yang akan melakukan penelitian dengan masalah yang serupa, serta dapat memberikan kontribusi bagi Pemerintah Daerah yang bersangkutan dalam melaksanakan Otonomi Daerah, serta dalam mengelola potensi pajak yang yang terdapat pada daerah tersebut untuk dapat lebih berkembang lagi. Dengan adanya perhitungan dan analisis dalam penelitian ini, semua pihak yang menjadi otonomi daerah Provinsi Lampung khususnya kota Bandar Lampung akan lebih mudah mengukur kinerja pemerintah daerah serta tingkat partisipasi dan responbilitas masyarakat. E. Kerangka Pemikiran Sejak 1 januari 2000 dilaksanakannya kebijakan otonomi daerah dengan berlandaskan Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 dan sebagaimana telah diganti terakhir dengan Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, maka pemerintah daerah memiliki kewenangan yang luas dan nyata untuk mengatur, mengelola dan mengembangkan potensi yang ada di daerahnya sendiri. Tujuan otonomi daerah yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, akan terwujud jika daerah mampu meningkatkan pelayanan dan membiayai pembangunan dari sumber pembiayaan sendiri. Bertambahnya kewenangan yang diserahkan kepada daerah saat ini, secara otomatis merubah sistem pemerintahan, kebijakan, program serta cara pandang dan sikap para pelaksana pemerintahan di daerah. Peralihan dari

13 sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi diartikan sebagai adanya suatu pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sejalan dengan itu maka daerah dengan sendirinya menentukan semua kewenangan terkait pengaturan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dari hasil Pendapatan Asli Daerahnya sendiri. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 yaitu sumber keuangan daerah yang digali dari wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) memiliki peran yang cukup signifikan dalam menentukan kemampuan daerah untuk melakukan aktivitas pemerintahan dan program-program pembangunan. Dana untuk pembiayaan pembangunan daerah terutama digali dari sumber kemampuan sendiri dengan prinsip peningkatan kemandirian dalam pelaksanaan pembangunan. Dengan kata lain, pemerintah daerah dipacu untuk meningkatkan kemampuan seoptimal mungkin di dalam membelanjai urusan rumah tangga sendiri, dengan cara menggali segala sumber dana potensial yang ada di daerah. Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dimaksud adalah pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba BUMD, penerimaan dari dinas-dinas dan penerimaan lain-lain, juga penerimaan dari bagi hasil bukan pajak, sumbangan dan bantuan baik pemerintah pusat maupun dari pemerintah provinsi sebagai atasannya serta penerimaan

14 pembangunan berupa pinjaman. Dalam hal ini Pendapatan Asli Daerah (PAD) tersebut sangat bergantung pada potensi yang dimiliki daerahnya. Salah satunya adalah penerimaan pajak daerah. Berdasarkan UU No 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah pasal 2 disebutkan bahwa pajak daerah dikelompokkan menjadi dua yaitu pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota. Salah satu jenis pajak kabupaten/kota adalah pajak penerangan jalan. Pada penerimaan pajak penerangan jalan ada dua hal yang menjadi bahasan sehubungan dengan pengoptimalan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yakni potensi pajak penerangan jalan dan realisasi pajak penerangan jalan yang keduanya dapat menjadi penentu dalam mengoptimalkan penerimaan pajak daerah yang menjadi komponen dari pendapatan asli daerah. Selisih dari potensi pajak dan realisasi pajak disebut dengan celah pajak (tax gap) ini yang menjadi patokan kinerja sistem perpajakan itu sendiri. Optimalisasi PAD ini sehubungan dengan perannya terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan pelaksanaan Undang Undang Nomor 34 tahun 2000 sebagai penguat PAD. Celah pajak (tax gap) merupakan selisih antara potensi pajak dan realisasi pajak sebagai masalah yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Sehingga solusi untuk celah pajak adalah dengan cara mengoptimalkan realisasi pajak.

15 Mengenai angka realisasi pajak yang berbeda dengan potensi pajak yang dimiliki daerah dapat menimbulkan opini negatif bahwa pemerintah daerah tidak dapat mengelola potensi yang dimiliki daerahnya. Tidak hanya itu celah pajak juga dapat berdampak terhadap daerah, baik secara ekonomi maupun non-ekonomi. Dan untuk melihat dampak yang terjadi dari celah pajak penerangan jalan secara ekonomi dapat dilihat dari keuangan daerah atau pendapatan asli daerah Kota Bandar Lampung dan secara non-ekonomi dapat dilihat dengan berdasarkan jumlah unit Lampu jalan yang dapat direalisasikan, mengingat berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 01 Tahun 2011 Pasal 37 ayat 3 yaitu Hasil penerimaan Pajak Penerangan Jalan sebagian dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan.

16 Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 (Otonomi Daerah) Pendapatan Asli Daerah (PAD) 1. Penerimaan Pajak 2. Retribusi Daerah 3. Laba BUMD 4. Pendapatan Lain-Lain Yang Sah Penerimaan Pajak daerah (Pajak Penerangan Jalan) 1. Potensi Pajak Penerangan Jalan 2. Realisasi Pajak Penerangan Jalan Celah Pajak (Tax Gap) Pajak Penerangan Jalan Dampak Celah Pajak (Tax Gap) Gambar 3. Kerangka Pemikiran