Lex et Societatis, Vol. IV/No. 9/Okt-Des/2016. Kata kunci: Alat bukti, petunjuk, Hakim, putusan, perkosaan.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN BAGI PENUNTUT UMUM DALAM MELAKUKAN PENUNTUTAN DILIHAT DARI PERAN KORBAN DALAM TERJADINYA TINDAK PIDANA

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

ANALISIS PUTUSAN TERHADAP KETERANGAN SAKSI YANG MEMILIKI HUBUNGAN DARAH DENGAN KORBAN DALAM TINDAK PIDANA PENCABULAN DI PENGADILAN NEGERI GORONTALO

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

P U T U S A N NOMOR : 445 /PID/2011/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

P U T U S A N Nomor : 400/PID/2012/PT-Mdn.

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

P U T U S A N Nomor : 78/PID/2015/PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

P U T U S A N Nomor :76/Pid/2011/PT-MDN

Oleh : Didit Susilo Guntono NIM. S BAB I PENDAHULUAN

PENGADILAN TINGGI MEDAN

P U T U S A N. NOMOR 382 /Pid.Sus/2013/PT.BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHUULUAN. terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan pengguna jalan raya berkeinginan untuk segera sampai. terlambat, saling serobot atau yang lain. 1

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

P U T U S A N. Nomor : 459/PID/2015/PT.MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor 342/Pid/2013/PT.Bdg.

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

P U T U S A N NOMOR : 687/PID.SUS/2014/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Setelah dilakukan analisis terhadap data yang diperoleh dalam Penulisan

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

P U T U S A N Nomor : 108/Pid.B./2013/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana diatur dalam. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

I. PENDAHULUAN. Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

P U T U S A N NOMOR : 529/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

P U T U S A N. Nomor : 30 /PID/2013/PT-MDN.

P U T U S A N No. 39/PID/2012/PT-MDN

I. PENDAHULUAN. kebijakan sosial baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

P U T U S A N Nomor : 99/Pid.B./2013/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

PENGADILAN TINGGI MEDAN

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

PENGADILAN TINGGI MEDAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kongkrit. Adanya peradilan tersebut akan terjadi proses-proses hukum

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses

P U T U S A N Nomor : 14 /PID.A/2013/PT-MDN.-

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

P U T U S A N NOMOR : 91/PID/2013/PT- MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

P U T U S A N Nomor : 103/Pid.Sus/2013/PT.Bdg.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

P U T U S A N NOMOR : 32 / PID.SUS.Anak / 2014 / PT- Mdn. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PENGADILAN TINGGI MEDAN GADILAN TINGGI MEDAN P U T U S A N. Nomor : 686 /PID/2011/PT-MDN.- DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB III IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN TERHADAP KEKUATAN ALAT BUKTI

Transkripsi:

PENERAPAN ALAT BUKTI PETUNJUK OLEH HAKIM DALAM PENJATUHAN PUTUSAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN 1 Oleh : Mutiara Manaroinsong 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui cakupan tentang penerapan alat bukti petunjuk dan kekuatan pembuktiannya, serta penerapan alat bukti petunjuk pada penjatuhan putusan tindak pidana perkosaan oleh hakim. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapatlah disimpulkan bahwa : 1. Pada prinsipnya, semua alat bukti sama nilainya dan pentingnya namun dalam praktek penerapannya alat bukti petunjuk tetap tergantung pada peristiwa yang bersangkutan. Karena apabila alat bukti keterangan saksi ataupun alat bukti lainnya belum mencukupi untuk membuktikan kesalahan, maka alat bukti petunjuk merupakan sarana yang efektif untuk diterapkan sehingga dapat memenuhi batas minimum pembuktian yang dirumuskan Pasal 183 KUHAP. Jadi, mengingat sulitnya proses dalam tindak pidana perkosaan, maka keberadaan alat bukti petunjuk sangat dibutuhkan dalam rangka memperjelas dan membuat terang, tentang suatu keadaan tertentu yang terkait dengan tindak pidana sehingga hakim dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa. 2. Dalam kedua putusan tersebut (Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 057/Pid.B/1984/PN/KTB dan Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 50/Pid.B/2001/PN Kray) terlihat penggunaan dan penerapan alat bukti petunjuk yang diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Jadi, keterangan saksi diperoleh dari beberapa saksi, sedangkan keterangan surat diperoleh dari visum et repertum, dan untuk keterangan terdakwa di dapat dari keterangan terdakwa sendiri. Dari ketiga alat bukti tersebut dapat diperoleh petunjuk telah terjadi tindak pidana perkosaan dan kepada terdakwa telah dijatuhi pidana penjara. Kata kunci: Alat bukti, petunjuk, Hakim, putusan, perkosaan. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beberapa tahun terakhir ini bangsa Indonesia banyak menghadapi berbagai masalah kekerasan seksual seperti perkosaan, baik yang dilakukan secara massal maupun yang dilakukan secara individual. Kondisi seperti tersebut diatas telah membuat masyarakat mulai merasa resah dengan adanya berbagai kekerasan seksual yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, karena telah membuat perempuan dan anakanak menjadi lebih rentan untuk menjadi korban kekerasan. Dengan demikian, bentuk kekerasan terhadap perempuan bukan hanya kekerasan secara fisik, akan tetapi dapat juga meliputi kekerasan terhadap perasaan atau psikologis, kekerasan ekonomi, dan juga kekerasan seksual. Jadi, tindak kekerasan terhadap perempuan mempunyai cakupan yang luas seperti kekerasan fisik, psikologis, seksual dan pembatasan kebebasan secara sosial. Hal ini sesuai dengan pendapat Romany Sihite dalam Budiawati Supangkat menegaskan bahwa: kekerasan terhadap perempuan yang umumnya dialami adalah kekerasan seksual, tindakan pemerkosaan maupun pelecehan seksual. 3 Akibat dari perlakuan perkosaan tersebut, dalam berbagai fakta empiris bahwa terhadap perempuan yang mengalami perkosaan dapat menjadikan sebagai pengalaman yang buruk bahkan tidak jarang mengakibatkan munculnya masalah-masalah seperti stress, rasa rendah diri, menderita, hingga tidak menutup kemungkinan ada yang bunuh diri. 4 Hal senada juga dikemukakan oleh Nursyahbandi Katjasungkana, bahwa: Masalah perkosaan yang dialami perempuan merupakan contoh kerendahan posisi perempuan terhadap kepentingan seksual laki-laki. Citra seksual perempuan yang telah menempatkan dirinya sebagai objek seksual laki-laki ternyata berimplikasi 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Frans Maramis, SH, MH; Kenny R. Wijaya, SH, MH 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 13071101232 3 M. Munandar Sulaeman dan Siti Homzah (editor), Kekerasan Terhadap Perempuan: Tinjauan Dalam Berbagai Disiplin Ilmu & Kasus Kekerasan, PT. Refika Aditama, Bandung, 2010, hal. 12. 4 Ibid. 5

jauh. Dalam kehidupan keseharian, perempuan senantiasa berhadapan dengan kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan fisik dan psikis. Oleh karena itulah, perkosaan bukan hanya cerminan dari citra perempuan sebagai objek seks, melainkan sebagai objek kekuasaan laki-laki. 5 Berangkat dari pendapat Romany Sihite dan Nursyabandi Katjasungkana tersebut diatas, maka dapatlah dikatakan bahwa perkosaan telah menjadi salah satu jenis kejahatan di bidang seksual yang membutuhkan perhatian yang serius dari semua pihak terutama pemerintah, mengingat kasus perkosaan dapat mengakibatkan persoalan komplitatif (serius dan beragam) dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan, terutama kehidupan kaum perempuan, anak-anak dan masa depan suatu keluarga. Jadi, dinamika kejahatan kesusilaan di Indonesia, dalam hal ini kasus perkosaan sudah memasuki tahap yang memprihatinkan kalau tidak dibilang menggenaskan. Dari aspek historis kejahatan perkosaan adalah suatu perbuatan seksual atau persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan secara paksa dan merupakan tindak pidana kekerasan. Sedangkan dari efek yuridis, sebagaimana dikatakan oleh Andi Hamzah dalam bukunya mengatakan bahwa : Tindak pidana perkosaan yang dirumuskan secara limitative dalam Pasal 285 KUHPidana, yang berbunyi: barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara selama-lamanya duabelas tahun. 6 Tindak pidana perkosaan yang dimaksud dalam KUHP hanyalah merupakan tindakan pidana persetubuhan yang dilakukan terhadap seseorang perempuan yang tidak terikat perkawinan yang sah dengan laki-laki. Jadi, 5 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), Refika Aditama, Bandung, 2011, hal. 13-14. 6 Andi Hamzah, Delik-delik Tertentu (Speciale Delictum) di Dalam KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal. 15. yang dimaksud dengan tindakan perkosaan adalah tindakan yang melanggar hukum, karena tindakan perkosaan tersebut telah merugikan orang lain yaitu orang yang telah diperkosa tersebut. Selama ini masyarakat cukup peka terhadap praktek penegakan hukum (law enforcement) yang dinilai tidak banyak berpihak pada korban kejahatan perkosaan, namun lebih sering melindungi tersangka atau terdakwa, dan sepertinya ada kesan bahwa penegakan hukum terhadap kasus-kasus kejahatan kesusilaan seperti perkosaan belum mencapai tingkatan optimal, karena penjatuhan pidana (hukuman) yang cukup ringan terhadap pelaku kejahatan perkosaan itu dinilai dapat mendorong atau menstimulasi oknum-oknum sosial lainnya untuk melakukan praktik-praktik peniruan kejahatan perkosaan. Pada prinsipnya ada 2 (dua) bentuk pekerjaan hakim dalam menjatuhkan putusan (penentuan berat ringan pemidanaan), yang pertama adalah membuat pertimbangan berdasarkan logika penalaran hukum mengenai terbukti dan tidaknya perbuatan yang didakwakan kepadanya dan jika terdakwa terbukti bersalah, maka tugas hakim selanjutnya adalah menentukan seberapa berat hukuman yang akan dijatuhkan kepada terdakwa dengan cara memilih nilai pidana dalam rentang batas terendah sampai dengan batas tertinggi yang diancamkan oleh pasal yang dianggap terbukti. 7 Seperti dalam perkara kesusilaan (perkosaan) yang minim dengan alat bukti, maka hakim akan menggunakan penelaahan dengan menggunakan petunjuk. Jadi, perbuatan materiil yang tersembunyi dibalik minimnya alat-alat bukti akan diterobos dengan penelaahan logika. Tidak semua perkara pidana (perkosaan) itu mudah pembuktiannya karena terkadang suatu perkara perkosaan yang telah terjadi dalam kehidupan masyarakat sangat minim dengan pembuktian, dimana alat-alat bukti yang diajukan tidak ada yang dapat menunjuk siapa pelaku dari tindak pidana perkosaan yang terjadi. Dalam kondisi seperti demikian, 7 Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, Diskresi Hakim (Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif Dalam Perkara-perkara Pidana), Alfabeta, Bandung, 2013, hal. 99-100. 6

undang-undang memberikan suatu kemudahan kepada hakim untuk dapat menentukan kerumitan itu dengan bukti petunjuk. Dimana menurut Frans Maramis dan Jolly K. Pongoh, mengatakan: Mengenai ketentuan bukti petunjuk yang diatur pada Pasal 188 ayat (1) KUHAP, berbunyi:petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. 8 Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian khususnya penerapan alat bukti petunjuk dengan mengambil judul Penerapan Alat Bukti Petunjuk Oleh Hakim Dalam Penjatuhan Putusan Tindak Pidana Perkosaan. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah penerapan alat bukti petunjuk dan kekuatan pembuktiannya? 2. Bagaimana pula dengan penerapan alat bukti petunjuk pada penjatuhan putusan tindak pidana perkosaan? C. Metode Penelitian Tulisan ilmiah ini merupakan penulisan ilmiah di bidang hukum, dengan demikian penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum, 9 yang merupakan suatu kegiatan know how dalam ilmu hukum. Jadi, dalam tulisan ilmiah ini telah dilakukan dengan melalui berbagai tahap kegiatan seperti: 1. Jenis penelitian 2. Sumber bahan hukum 3. Teknik pengumpulan bahan hukum 4. Pengolahan dan analisis bahan hukum Pembahasan A. Penerapan Alat Bukti Petunjuk Dan Kekuatan Pembuktiannya Banyak ahli hukum mengatakan bahwa sangat sulit untuk menjelaskan pengertian alat 8 Frans Maramis dan Jolly K. Pongoh, Hukum Acara dan Praktik Peradilan Pidana, Unsrat Press, Manado, 2016, hal. 121. 9 Peter Machmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hal. 41. bukti petunjuk itu secara konkrit, bahkan dalam praktek peradilan pun sering mengalami kesulitan untuk menerapkannya. Jadi, karena kekurang hati-hatian dalam menerapkan alat bukti petunjuk itu, maka putusan yang bersangkutan bisa mengambang pertimbangannya dalam suatu keadaan yang samar. Akibatnya putusan itu lebih dekat kepada sifat penerapan hukum secara sewenang-wenang atau seolah-olah putusan tersebut didominasi oleh penilaian subjektif yang berlebihan. Dengan demikian, untuk menghindari dominasi subjektif hakim yang tak wajar, barangkali yang mendorong pembuat undang-undang sedini mungkin memperingatkan hakim supaya dalam penerapan dan penilaian terhadap alat bukti petunjuk harus dilakukan hakim dengan arif lagi bijaksana, serta harus lebih dahulu mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. 10 Demikian peringatan Pasal 183 ayat (3) KUHAP ini mesti benar-benar dipedomani oleh hakim. Karena apabila hakim hendak mempergunakan alat bukti petunjuk ini sebagai dasar penilaian pembuktian kesalahan terdakwa, undang-undang sungguh-sungguh menuntut kesadaran tanggung jawab hati nurani hakim yang bersangkutan. Oleh karena itu, dengan adanya tuntutan tanggung jawab hati nurani inilah, telah memperingatkan agar hakim tetap bersikap arif dan bijaksana, tidak sembrono dan sewenang-wenang. Harapan kita, seandainya hakim akan mempergunakan alat bukti petunjuk dalam pembuktian suatu perkara pidana, maka hakim harus mampu dan jeli mempertautkan setiap persesuaian yang ditemukan. Berkaitan dengan alat bukti petunjuk itu, maka sekarang bagaimanakah cara memperolehnya? Disamping hakim diajak dan diperingati menarik petunjuk dengan arif dan bijaksana serta harus lebih dahulu mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan seksama berdasarkan hati nuraninya, Pasal 188 ayat (2) KUHAP membatasi kewenangan hakim dalam cara memperoleh alat bukti petunjuk itu. Jadi, hakim tidak boleh sesuka hati mencari 10 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jilid II), Pustaka Kartini, Jakarta, 1988, hal. 838. 7

bukti petunjuk dari segala sumber. Karena sumber satu-satunya yang dapat dipergunakan hakim mengkonstruksikan suatu alat bukti petunjuk, terbatas dari alat-alat bukti yang secara terperinci telah ditentukan dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP, dimana petunjuk sebagai alat bukti hanya dapat diperoleh dari: a. Keterangan saksi; b. Surat; c. Keterangan terdakwa. Karena keterangan saksi, surat, atau keterangan terdakwa itu dapat berisi berbagai hal, maka undang-undang merasa perlu untuk membatasi hal-hal tersebut hanya pada: 1. Perbuatan-perbuatan; 2. Kejadian-kejadian; 3. Keadaan-keadaan yang disebutkan di dalam keterangan saksi, surat atau keterangan terdakwa itu sendiri. Jadi, penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Selanjutnya apabila diperhatikan bahwa Pasal 188 ayat (1) KUHAP tersebut mengandung maksud bahwa tidak ada kepastian yang mutlak bagi terdakwa yang benar-benar telah bersalah melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan. Oleh karena itu, perbuatan, kejadian atau keadaan baru dianggap sebagai petunjuk apabila ada persesuaian baik antara satu dengan yang lain, maupun tindak pidana itu sendiri, yang menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelaku tindak pidana tersebut. Dengan alat bukti petunjuk dapat dinilai mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang sah, selain itu alat bukti petunjuk baru mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang sah apabila ada persesuaian yang diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa sebagaimana pada Pasal 188 ayat (2) KUHAP. Dalam menilai kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk, seorang penuntut umum harus bersikap hati-hati dan teliti serta melakukan secara cermat. Begitu pula dengan hakim, seorang hakim harus bersikap arif dan bijaksana dalam menilai pembuktian, agar tidak terjadi anggapan bahwa petunjuk itu merupakan pendapat pribadi maupun sangkaan atau rekaan belaka. Peranan alat bukti petunjuk sebagai pemegang kunci dapat tidaknya terdakwa dijatuhi hukuman tidak dapat diabaikan dari alat-alat bukti lain, misalnya alat bukti keterangan ahli, alat bukti surat maupun dengan alat bukti keterangan terdakwa. Oleh karena itu, harus diperhatikan pula aturanaturan atau dasar hukum dari keterangan saksi seperti yang tercantum dalam Pasal 185 KUHAP, 11 yang berbunyi: 1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. 2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap ketentuan yang didakwakan kepadanya. 3) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. 4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan lainnya sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. 5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. 6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan: a) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya; b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu; d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. 11 R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP (dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hogeraad), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 428-429. 8

7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lainnya tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah yang lain. Semua alat bukti itu pada prinsipnya adalah sama nilainya dan pentingnya, namun pada praktek penerapannya alat bukti petunjuk tetap tergantung kepada peristiwa pidana yang bersangkutan. Karena apabila alat bukti keterangan saksi ataupun alat bukti lain belum mencukupi untuk membuktikan kesalahan terdakwa, maka alat bukti petunjuk merupakan sarana yang efektif sehingga dapat memenuhi batas minimum pembuktian yang dirumuskan Pasal 183 KUHAP. Oleh karena itu, mengingat sulitnya proses pembuktian dalam tindak pidana perkosaan dan tindak pidana pembunuhan, maka keberadaan alat bukti petunjuk sangat dibutuhkan dalam rangka memperjelas dan membuat terang tentang suatu keadaan tertentu yang terkait dengan tindak pidana, sehingga hakim dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Harapan kita semua, bahwa seandainya hakim akan mempergunakan atau menerapkan alat bukti petunjuk dalam pembuktian suatu perkara pidana, petunjuk dalam pembuktian suatu perkara pidana, maka hakim tersebut haruslah mampu dan jeli dalam mempertautkan setiap persesuaian yang telah ditemukan. Jadi, benar-benar persesuaianpersesuaian itu mampu mewujudkan suatu petunjuk yang nyata dan utuh tentang terjadinya tindak pidana, dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. B. Penerapan Alat Bukti Petunjuk Pada Penjatuhan Putusan Tindak Pidana Perkosaan Sekalipun semua alat bukti pada prinsipnya adalah sama nilainya dan pentingnya, namun pada praktek penerapannya tetap tergantung kepada peristiwa pidana yang bersangkutan. Jadi, apabila alat bukti keterangan saksi ataupun alat bukti lain belum mencukupi untuk membuktikan kesalahan terdakwa, maka alat bukti petunjuk merupakan sarana yang efektif untuk dapat memenuhi batas minimum pembuktian yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP. Dengan demikian, mengingat sulitnya proses pembuktian dalam tindak pidana perkosaan, maka keberadaan alat bukti petunjuk sangat dibutuhkan dalam rangka memperjelas dan membuat terang tentang suatu keadaan tertentu yang terkait dengan tindak pidana itu, sehingga hakim dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Kalau begitu, alat bukti petunjuk pada umumnya baru diperlukan apabila alat bukti yang lain belum mencukupi batas minimum pembuktian yang digariskan pada Pasal 183 KUHAP. Lagi pula, bukanlah alat bukti petunjuk baru bisa dipergunakan jika telah ada alat bukti lain? Karena petunjuk sebagai alat bukti, baru mungkin dicari dan ditemukan jika telah ada alat bukti yang lain, sebab petunjuk sebagai alat bukti bukanlah alat bukti yang memiliki bentuk substansi tersendiri. Demikianlah bahwa tidak semua perkara pidana mudah pembuktiannya, terkadang suatu perkara sangat minim dengan pembuktian, dimana alat-alat bukti yang diajukan tidak ada yang dapat menunjuk siapa pelaku dari tindak pidana yang terjadi. Dalam kondisi seperti demikian, undang-undang memberikan suatu fasilitas kepada hakim untuk dapat menentukan kerumitan itu dengan bukti petunjuk. Dimana menurut ketentuan Pasal 188 ayat (1) KUHAP bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. 12 Kalau kita simak ketentuan di atas ada 3 (tiga) indikator yang dapat menjadi petunjuk, antara lain: 1) perbuatan, 2) kejadian, 3) keadaan, 13 yang mana ketiga indikator itu memiliki persesuaian antara yang satu dengan yang lain atau persesuaian itu terjadi dengan tindak pidananya sendiri. Selanjutnya, Pasal 188 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari: a. Keterangan saksi, b. Surat, 12 Ibid, hal. 440. 13 Darmoko, Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, Op Cit, hal. 184. 9

c. Keterangan terdakwa. 14 Melalui kajian di bawah ini akan penulis utarakan 2 (dua) contoh kasus yang memberikan prioritas atas penggunaan alat bukti petunjuk dalam praktek peradilan pidana dan bagaimana hakim menerapkan suatu peraturan perundangan kepada kasus konkrit yang dihadapinya. Dengan demikian, apa yang akan diutarakan dibawah ini tentunya tidak dapat mewakili seluruh hakim di Indonesia, atau pandangan secara umum hakim atas proses merumuskan hukum dalam suatu perkara. Karena putusan yang diberikan telah dipilih secara purposive yang dapat memberikan gambaran tentang penerapan peraturan perundangan pada kasus tindak pidana kesusilaan (tindak pidana perkosaan) dari perspektif perempuan. Jadi dalam penerapan alat bukti petunjuk, kepada hakimlah diletakkan kepercayaan untuk menetapkan apakah suatu perbuatan, kejadian atau keadaan merupakan petunjuk. Semuanya harus dipertimbangkan secara cermat, teliti, arif dan bijaksana berdasarkan hati nurani (Pasal 188 ayat (3) KUHAP). Selanjutnya, untuk mengetahui diperlukannya kekuatan pembuktian dari alat bukti petunjuk dalam peradilan pidana, maka penulis ajukan 2 (dua) kasus yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri, yaitu: 1. Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 057/Pid.B/1984/P.N/KTB, tentang Tindak Pidana Perkosaan. 15 Putusan ini dibuat atas kasus perkosaan seorang gadis dibawah umur oleh ayah kandungnya sendiri. Perbuatan dilakukan berulang kali dengan disertai ancaman kekerasan sampai suatu hari gadis itu melarikan diri dan memberitahukan kejadian tersebut kepada pamannya. Pamannya melaporkan kepada Kepolisian dan kemudian melakukan visum et repertum atas korban. Atas kasus tersebut hakim berpendapat bahwa pemeriksaan kasus penuh dengan keraguan. Karena menurut hakim, jaksa hanya sanggup mendatang satu 14 Riduan Syahrani., Beberapa Hal Tentang Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, 1983, hal. 133. 15 Niken Savitri, HAM Perempuan-Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 137. alat bukti yaitu alat bukti surat berupa Berita Acara Pemeriksaan di Kepolisian, padahal Pasal 183 KUHAP mensyaratkan adanya minimal dua alat bukti dan adanya keyakinan hakim untuk menjatuhkan putusan bersalah kepada terdakwa. Adapun visum et repertum yang dibuat atas korban dianggap tidak memberikan keyakinan bahwa telah terjadi perkosaan, karena dinyatakan dalam visum tersebut tidak tampak luka atau kemerahan pada bibir kemaluan atau vagina yang membuat hakim berpendapat bahwa tidak terbukti adanya perkosaan pada kasus tersebut. Selain dari itu, kesaksian korban dan paman korban, tidak dipertimbangkan memiliki nilai sebagai alat bukti oleh hakim, tanpa alasan apapun. Sehingga hakim memutuskan untuk menyatakan bahwa dalam kasus ini tidak terdapat cukup bukti dan terdakwa dinyatakan bebas. Dalam kasus ini terlihat hakim tidak mempertimbangkan kasus ini secara menyeluruh, melainkan hanya mempertimbangkan alat bukti sebagai suatu yang secara prosedural harus dipenuhi untuk terbuktinya suatu tindak pidana. Padahal kasus perkosaan harus dilihat secara terintegrasi satu sama lain, kondisi korban yang masih anak-anak, hubungan korban dengan pelaku serta trauma atas perbuatan itu dalam diri korban. Keseluruhan faktor tersebut akan saling berkaitan dalam hal adanya bukti yang dituntut oleh peraturan perundangundangan sebagai suatu prosedur formal pembuktian. Dalam kasus ini usia dan hubungan korban dengan pelaku akan sangat berpengaruh pada tersedianya alat bukti yang diminta oleh pengadilan. Sehingga apabila kemudian hasil pemeriksaan melalui visum et repertum tidak menemui perlukan yang baru, maka tidak serta merta dapat disimpulkan bahwa telah tidak terjadi suatu perkosaan. Karena hubungan ayah-anak antara pelaku dan korban, sangat dimungkinkan kejahatan perkosaan ini dilakukan berulang kali tanpa korban memiliki keberanian untuk melapor, sehingga pada saat korban akhirnya berani atau berhasil melaporkan kejadian tersebut 10

kepada pihak Kepolisian, hasil visum menyatakan tidak didapati adanya luka baru. Dalam hal tersebut, keterangan dalam visum tersebut tidak dapat serta merta digunakan untuk menyimpulkan bahwa kekerasan telah tidak terjadi. Demikian pula pada waktu menilai alat bukti petunjuk. Alat bukti tersebut seharusnya dapat dirangkai dan didalami melalui keadaan-keadaan yang muncul dari kasus itu sendiri. Alat bukti petunjuk seharusnya bisa didapatkan melalui rangkaian kejadian dan beberapa faktor yang dikemukakan di atas. Bila si korban adalah anak dari pelaku atau seseorang yang berada dalam kondisi tersubordinasi, maka hal itu harus menjadi salah satu pertimbangan dalam menilai alat bukti petunjuk dalam kasus perkosaan. Tindak pidana perkosaan sendiri adalah tindak pidana yang paling sukar pembuktiannya, dikarenakan perbuatan tersebut lebih sering dilakukan dalam tempat tersembunyi dimana tidak didapati adanya saksi-saksi. Apalagi apabila perbuatan itu dilakukan antara pelaku dan korban yang memiliki hubungan kekuasaan (majikan dengan karyawan atau ayah dengan anak), maka sangat dimungkinkan bukti-bukti tidak mudah didapatkan. Hal ini harus menjadi pertimbangan hakim yang memeriksa setiap perkara perkosaan, utamanya perkosaan yang dilakukan atas hubungan kekuasaan tersebut. Penafsiran hakim atas alat bukti dan nilai buktinya untuk setiap kasus seharusnya tidak bisa diseragamkan. Dalam menilai alat bukti suatu kasus seharusnya hakim selalu dapat berdiri sebagai penafsir yang melihat persyaratan di dalam suatu peraturan perundangan sebagai sesuatu yang harus dapat disesuaikan dengan setiap kasus yang dihadapi. Utamanya dalam suatu kasus yang mengharapkan adanya kajian lebih mendalam, hakim dapat menilai alat bukti secara menyeluruh, namun juga secara spesifik kasus per kasus. Terhadap kasus ini kemudian diajukan pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Dimana Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi akhirnya menyatakan Pengadilan Negeri telah salah dalam menerapkan Pasal 185 ayat (7) KUHAP dengan tidak mempertimbangkan kesaksian-kesaksian yang saling berkaitan dan berkesusilaan sebagai alat bukti petunjuk. Selain itu Pengadilan Negeri telah salah dalam menafsirkan kesimpulan yang dibuat dalam visum et repertum sehingga menyebabkan visum tersebut tidak dianggap memiliki nilai bukti sama sekali. Dengan demikian atas pengajuan kasasi tersebut, Mahkamah Agung menyatakan membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan akhirnya menjatuhkan pidana penjara selama tiga tahun kepada terdakwa. 16 2. Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 50/Pid.B/2001/PN.Kray, pada tanggal 12 September 2001, tentang Tindak Pidana Perkosaan 17 a. Kasus Posisi tentang Tindak Pidana Perkosaan 18 Pada hari Sabtu tanggal 5 Mei 2001, sekitar jam 01.30 WIB di kamar No. 3 Losmen Tlogodhuwur, Kalisoro, Tawangmangu, Karanganyar, Edi Setiawan alias Gendon, Pekerjaan pengemudi Pabrik Agung Tex, Agama Islam, telah memperkosa Kana Anggraini yang mengakibatkan: Hymen atau selaput darah tidak utuh, robekan baru sampai dasar pukul 6 (enam). Erosi bagian depan hymen kanan, kiri dan belakang karena tusukan benda tumpul sebesar alat kelamin laki-laki dalam keadaan tegang sesuai dengan visum et repertum dari Rumah Sakit Umum Karanganyar No. 370/013- tanggal 12 Mei 2001, yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. R. Sumaryadi, Sp.OG. Perbuatan terdakwa tersebut oleh Jaksa Penuntut Umum didakwa diancam pidana dalam Pasal 56 Juncto Pasal 285 KUHP. Di dalam kasus ini telah diajukan enam orang saksi yang masing-masing saksi sebelum memberikan keterangan disumpah terlebih dahulu, untuk 16 Ibid, hal. 138. 17 Kadi Sukarna, Alat Bukti Petunjuk Dalam Proses Peradilan Pidana, Majalah Prosiding Seminar Nasional (ISBN 978-602-72446-0-3), Jakarta, 2015, hal. 365. 18 Ibid. 11

19 Ibid. mengetahui kekuatan pembuktian para saksi yaitu apakah saksi-saksi tersebut benar-benar dinilai sebagai saksi ataukah saksi-saksi tersebut merupakan petunjuk, demikian pula dengan penilaian dari keterangan terdakwa. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan tersebut, maka sampailah kepada pembuktian mengenai unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan dalam Pasal 55 KUHP dan Pasal 285 KUHP. b. Analisis Penerapan Alat Bukti Petunjuk oleh Hakim 19 Putusan Pengadilan Negeri Karanganyar dalam perkara pidana tindak pidana perkosaan, register nomor: 50/Pid.B/2001/PN.Kray, tanggal 12 September 2001, atas nama terdakwa Eli Setiawan adalah sudah tepat dan sesuai dalam mengambil pertimbangan dari segi pembuktian dengan dasar-dasar hukum yang ada dalam KUHAP yaitu hakim dalam pertimbangannya Majelis Hakim sependapat dengan Penuntut Umum. Berdasarkan fakta-fakta di persidangan telah diajukan enam orang saksi disamping keterangan terdakwa yaitu Edi Setiawan dan alat bukti visum et repertum atas nama Ketua Anggraini, di tambah dengan barang bukti di persidangan. Dari keenam saksi tersebut yang dapat dinilai sebagai saksi, alat bukti yang sah adalah saksi yang bernama Kana Anggraini, karena saksi tersebut yang menjadi korban dan mengalami sendiri dari akibat perbuatan terdakwa Edi Setiawan, melakukan perbuatan amoral yang mengakibatkan merendahkan derajat wanita khususnya Kana Anggraini. Setelah dikaji penuh kecermatan dan keseksamaan dari hasil pemeriksaan dalam sidang saksi yang dinilai sebagai alat bukti petunjuk, adalah dari keterangan Terdakwa, saksi Korban dan dari saksi Ny. Dalyono alias Muji Lestari (Ibu Korban), mengingat bahwa petunjuk yang dapat diperoleh antara lain, dari keterangan saksi, surat dan terdakwa. Berdasarkan uraian-uraian tersebut dalam menilai suatu petunjuk berdasarkan dari fakta-fakta dari hasil pemeriksaan dalam sidang, terhadap para saksi dan terdakwa adalah sudah tepat dan benar, apabila dihubungkan dengan dasar hukum tentang alat bukti petunjuk sebagaimana dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP). Saksi-saksi yang diperiksa dan didengar keterangan dalam sidang tersebut merupakan petunjuk adalah diperoleh dari kesaksian yang bernama, Saksi Ny. Dalyono alias Muji Lestari, dan Kana Anggraini, sedang petunjuk yang lain diperoleh dari terdakwa Edi Setiawan, yang mana dari keterangan itu suatu perbuatan, kejadian atau keadaan, terdapat persesuaian baik antara yang satu dengan yang lainnya maupun tindak pidana dan sebagai pelakunya adalah terdakwa Edi Setiawan, selain itu Majelis Hakim dalam menilai atau meneliti kekuatan pembuktian dari petunjuk dalam setiap keadaan tertentu sudah dilakukan dalam setiap keadaan tertentu sudah dilakukan secara penuh kecermatan, keseksamaan dan arif lagi bijaksana. Demikianlah bahwa dari hasil pengamatan penulis pada kedua putusan tentang tindak pidana perkosaan tersebut diatas, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 057/Pid.B/1984/PN/KTB dan Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 50/Pid.B/2001/PN/Kray, terlihat adanya penerapan bukti petunjuk oleh hakim. Terhadap kedua kasus tersebut kemudian diajukan kasasi pada tingkat Mahkamah Agung dan pada akhirnya menyatakan Pengadilan Negeri telah salah dalam menerapkan Pasal 185 ayat (7) KUHAP dengan tidak mempertimbangkan kesaksian-kesaksian yang saling berkaitan dengan kesesuaian sebagai alat bukti petunjuk. Selain itu, pengadilan telah salah dalam menafsirkan kesimpulan yang dibuat dalam visum et repertum, sehingga menyebabkan visum et repertum tersebut tidak 12

dianggap memiliki nilai bukti sama sekali. Dengan demikian, atas pengajuan kasasi tersebut, Mahkamah Agung menyatakan membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan akhirnya menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pada prinsipnya, semua alat bukti sama nilainya dan pentingnya namun dalam praktek penerapannya alat bukti petunjuk tetap tergantung pada peristiwa yang bersangkutan. Karena apabila alat bukti keterangan saksi ataupun alat bukti lainnya belum mencukupi untuk membuktikan kesalahan, maka alat bukti petunjuk merupakan sarana yang efektif untuk diterapkan sehingga dapat memenuhi batas minimum pembuktian yang dirumuskan Pasal 183 KUHAP. Jadi, mengingat sulitnya proses dalam tindak pidana perkosaan, maka keberadaan alat bukti petunjuk sangat dibutuhkan dalam rangka memperjelas dan membuat terang, tentang suatu keadaan tertentu yang terkait dengan tindak pidana sehingga hakim dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa. 2. Dalam kedua putusan tersebut (Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 057/Pid.B/1984/PN/KTB dan Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 50/Pid.B/2001/PN Kray) terlihat penggunaan dan penerapan alat bukti petunjuk yang diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Jadi, keterangan saksi diperoleh dari beberapa saksi, sedangkan keterangan surat diperoleh dari visum et repertum, dan untuk keterangan terdakwa di dapat dari keterangan terdakwa sendiri. Dari ketiga alat bukti tersebut dapat diperoleh petunjuk telah terjadi tindak pidana perkosaan dan kepada terdakwa telah dijatuhi pidana penjara. B. Saran 1. Para penegak hukum dalam hal ini hakim harus dengan hati-hati, cermat dan menggunakan hati nurani dalam menerapkan alat bukti petunjuk supaya tidak menimbulkan kerugian pada terdakwa dan mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia karena bukti petunjuk adalah satu-satunya alat bukti yang berbentuk abstrak atau tidak jelas bentuknya. 2. Dalam penerapan aturan hukum (alat bukti petunjuk) khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana perkosaan, selama masih digunakan KUHAP hendaknya penegak hukum (hakim) dapat melakukan pertimbangan melalui metode-metode penafsiran yang ada secara seksama. DAFTAR PUSTAKA Hamzah, Andi., Delik-delik Tertentu (Speciale Delictum) di Dalam KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2014. Harahap, M. Yahya., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jilid II), Pustaka Kartini, Jakarta, 1988. Maramis, Frans., dan Jolly K. Pongoh., Hukum Acara dan Praktik Peradilan Pidana, Unsrat Press, Manado, 2016. Marzuki, Peter Machmud., Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006. Savitri, Niken., HAM Perempuan-Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008. Soerodibroto, R. Soenarto., KUHP dan KUHAP (Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad), PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011. Sukarna, Kadi., Alat Bukti Petunjuk Dalam Proses Peradilan Pidana, Majalah Prosiding Seminar Nasional (ISBN 978-602-72446-0-3), Jakarta, 2015. Sulaeman, M. Munandar dan Siti Homzah (editor)., Kekerasan Terhadap Perempuan: Tinjauan Dalam Berbagai Disiplin Ilmu & Kasus Kekerasan, PT. Refika Aditama, Bandung, 2010. Syahrani, Riduan., Beberapa Hal Tentang Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, 1983. Wahid, Abdul dan Muhammad Irfan., Perlindungan Terhadap Korban 13

Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), Refika Aditama, Bandung, 2011. Witanto, Darmoko Yuti dan Arya Putra Negara Kutawaringin., Diskresi Hakim (Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif Dalam Perkara-perkara Pidana), Alfabeta, Bandung, 2013. 14