BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS PEMAKAIAN JASA DARI PELAKU USAHA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN [LN 1999/42, TLN 3821]

PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI KOTA

TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

BUKU SEDERHANA MEMAHAMI PRINSIP-PRINSIP PERLINDUNGAN KONSUMEN

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

STIE DEWANTARA Perlindungan Konsumen Bisnis

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : Mengingat :

PERLINDUNGAN KONSUMEN ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI, ANISAH SE.,MM.

WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI

BAB III KERANGKA TEORITIS. orang yang memiliki hubungan langsung antara pelaku usaha dan konsumen.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Konsumen Dan Pelaku Usaha Menurut Undang undang

BAB III TINJAUAN UMUM. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

5 Mei (Muhammad, 2010) Ini merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi: Pembelajaran

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

TINJAUAN YURIDIS TANGGUNGJAWAB PRODUK TERHADAP UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia

BAB III. A. Jual Beli Fashion Hijab Secara Online di Instagram #tashaproject Jual beli telah dipraktekkan oleh masyarakat primitif ketika uang

Menteri Perdagangan Republik Indonesia

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.

BAB 2 TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PELAKU USAHA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN KONSUMEN. iklan, dan pemakai jasa (pelanggan dsb).

A. Pengertian konsumen dan perlindungan konsumen. Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat

WALIKOTA SORONG PERATURAN DAERAH KOTA SORONG NOMOR 27 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN BARANG BEREDAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SORONG,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : 634/MPP/Kep/9/2002

BAB III IKLAN PANCINGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Perlindungan Konsumen. Akan tetapi dalam Undang-undang Republik

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

BAB I PENDAHULUAN. Banyak makanan import yang telah masuk ke Indonesia tanpa disertai

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

ASPEK PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PROMOSI BARANG DALAM PERDAGANGAN 1 Oleh: Steven Kanter Posumah 2

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perlindungan Konsumen, Konsumen, dan Pelaku Usaha

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 58 TAHUN 2001 (58/2001) TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

Hukum Perlindungan Konsumen yang Berfungsi sebagai Penyeimbang Kedudukan Konsumen dan Pelaku Usaha dalam Melindungi Kepentingan Bersama

Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

LEMON LAW, SUATU UPAYA HUKUM BAGI PEMILIK KENDARAAN DI AMERIKA (STUDI PERBANDINGAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA)

ANALISIS HUKUM TENTANG UNDANG-UNDANG RAHASIA DAGANG DAN KETENTUAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

PERILAKU KONSUMEN. Maya Dewi Savitri, MSi.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya

Oleh George Edward Pangkey ABSTRAK

BAB II PENGATURAN LAYANAN PURNA JUAL DI INDONESIA. yaitu tahap pra transaksi, tahap transaksi konsumen, tahap purna transaksi.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN JASA PERBANKAN. A. Pengaturan Perlindungan Konsumen Dalam Undang-Undang Nomor 8

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen atau biasa disingkat dengan UUPK dan mulai diberlakukan pada tanggal 20 April UUP

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

Majelis Perlindungan Hukum (MPH) Ikatan Laboratorium Kesehatan Indonesia (ILKI) BAB I KETENTUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. setelah dikirim barang tersebut mengalami kerusakan. Kalimat yang biasanya

BAB I PENDAHULUAN. membawa dampak cukup pesat bagi perkembangan pertumbuhan dan perekonomian dunia usaha

BAB II. A. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dan Konsumen. kemungkinan penerapan product liability dalam doktrin perbuatan melawan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN (PELAKU USAHA) DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan dan perkembangan perekonomian pada umumnya dan

BAB II BEBERAPA ASPEK HUKUM TERKAIT DENGAN UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. 1. Pengertian Dasar Dalam Hukum Perlindungan Konsumen

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN MELALUI KONTEN LABEL PRODUK ROKOK MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NO. 109 TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB DAN PERJANJIAN JUAL BELI. konsumen. Kebanyakan dari kasus-kasus yang ada saat ini, konsumen merupakan

BAB IV PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI ONLINE MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 8

BAB V PENUTUP. Berdasarkan analisis di atas penulis akan memberikan kesimpulan dari

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN. variasi produk barang dan jasa yang dapat dikonsumsi. 27 Kemajuan di bidang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN, PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERJANJIAN PADA PROGRAM INVESTASI

ANALISIS KETENTUAN PIDANA DALAM UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Supriyanta Dosen Fak. Hukum UNISRI Surakarta

Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dan Hukum Islam Dalam Jual Beli

BAB I PENDAHULUAN. modern di satu pihak membawa dampak positif, di antaranya tersedianya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. Penelitian tentang perlindungan konsumen terhadap periklanan diantaranya:

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen memiliki

Pedoman Klausula Baku Bagi Perlindungan Konsumen

BAB I PENDAHULUAN. yang melindungi kepentingan konsumen 1. Adapun hukum konsumen diartikan

BAB I PENDAHULUAN. barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya pada. ditangguhkan sampai waktu yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. usaha jasa pencucian pakaian atau yang lebih dikenal dengan jasa laundry.

AKIBAT HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG MENJUAL MAKANAN KADALUWARSA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA JASA LAUNDRY DI KELURAHAN KADIPIRO KECAMATAN BANJARSARI KOTA SURAKARTA

Prodi Manajemen Industri Katering Universitas Pendidikan Indonesia PELAYANAN PRIMA

PELAKSANAAN PENGAWASAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU OLEH BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI KOTA PADANG SKRIPSI

Transkripsi:

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS PEMAKAIAN JASA DARI PELAKU USAHA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Perlindungan konsumen sebelum terbentuknya undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen didasarkan kepada kesalahan yang terdapat pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata mengenai perbuatan melawan hukum dan kelalaian yang mengakibatkan wanrestasi berdasarkan ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata. Kedua dasar tuntutan tersebut menempatkan unsur kesalahan dan itikad tidak baik dari produsen. Pada prakteknya gugatan berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata belum mampu memberikan perlindungan yang maksimal bagi konsumen karena tuntutan tersebut tetap mendasarkan pada tiga faktor yang menjadi titika lemah prinsip tanggung jawab berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dari perspektif kepentingan konsumen yaitu adanya unsur kesalahan, adanya hubungan kontrak dan beban pembuktian pada pihak konsumen. A. Pengertian Perlindungan Konsumen Kegiatan bisnis selalu menimbulkan saling membutuhkan antara pelaku usaha dan konsumen. Kepentingan pelaku usaha adalah memperoleh laba dari transaksi dengan konsumen adalah memperoleh kepuasan melalui pemenuhan kebutuhannya terhadap produk tertentu. Dalam hubungan yang demikian sering kali terdapat ketidaksetaraan antara keduanya. Konsumen biasanya berada dalam

posisi yang lemah dan karenanya dapat menjadi sasaran eksploitasi dari pelaku usaha yang secara sosial dan ekonomi mempunyai posisi yang kuat. Dengan kata lain, konsumen adalah pihak yang rentan diekspolitasi oleh pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Untuk melindungi atau memberdayakan konsumen diperlukan seperangkat aturan hukum, oleh karenanya diperlukan adanya campur tangan negara melalui penetapan sistem perlindungan hukum terhadap konsumen. Berkaitan dengan itu ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Sesuai dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.adapun tujuan dari perlindungan ko nsumen, antara lain: 1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; 2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-hak sebagai konsumen;

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum, keterbukaan informasi serta akses untuk memperoleh informasi; 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha, sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab dalam oenyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen sedangkan hukum konsumen adalah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup 16. Oleh karena itu pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan: 17 1. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum; 2. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha pada umumnya; 3. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa; 4. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yangmenipu dan menyesatkan; 5. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya. 16 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia edisi Revisi 2006, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006), hal. 11 17 Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen: Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, (Nusa Media, Bandung, 2008), hal.8

Kerangka umum tentang sendi-sendi pokok pengaturan perlindungan konsumen yaitu: 18 1. Kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha; 2. Konsumen mempunyai hak; 3. Pelaku usaha mempunyai kewajiban; 4. Pengaturan tentang perlindungan konsumen berkontribusi pada pembangunan nasional; 5. Perlindungan konsumen dalam iklim bisnis yang sehat; 6. Keterbukaan dalam promosi barang atau jasa; 7. Pemerintah perlu berperan aktif; 8. Masyarakat juga perlu berperan serta; 9. Perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam berbagai bidang; 10. Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap. Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat pada Pasal 1 di atas sudah cukup memadai. Kalimat yang menyatakan segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi kepentingan perlindungan konsumen. 19 Meskipun undang-undang ini disebut sebagai undang-undang perlindungan konsumen, namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut 18 Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Visimedia,, 2008), hal. 5 19 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 2

menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha. Bahwa kunci pokok perlindungan konsumen adalah bahwa konsumen dan pengusaha (produsen atau pengedar produk) saling membutuhkan. Produksi tidak ada artinya kalau tidak ada yang mengkonsumsinya dan produk yang dikonsumsi secara aman dan memuaskan, pada gilirannya akan merupakan promosi gratis bagi pengusaha. 20 Disamping terdapat tujuan perlindungan konsumen, terdapat pula lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu: 21 1. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan 2. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipan seluruh rakyat bisa diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh hakbya dan melaksanakan kewajibannuya secara adil 3. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam 20 Abdul Halim Barkatulah, Op.Cit, hal, 47 21 Abdul Rahman R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, cetakan ke-5 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 210

penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan 5. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha dan konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaran perlindungan konsumen serta negara Di indonesia dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan konsumen adalah: 1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 dan Pasal 23. 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak usaha tidak sehat. 4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 5. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. 6. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Noor 235/DJPDN/VII/2001 tentang Penangananan Pengaduan Konsumen yang dtiujukan kepada Seluruh Dinas Indag Prop/Kab/Kota. 7. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor 795/DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen. B. Ruang Lingkup Perlindungan Konsumen

Ruang lingkup perlindungan konsumen pada dasarnya meliputi hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen. Seperti halnya dengan prestasi yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak, disaat pelaku usaha memiliki hak disaat yang bersamaan pula konsumen memiliki kewajiban. Disaat konsumen memiliki hak disaat yang bersamaan pula pelaku usaha memiliki kewajiban. Berikut ruang lingkup perlindungan konsumen yang diatur sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen : 1. Hak dan kewajiban Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan hak-hak dan kewajiban yang dimiliki konsumen, antara lain: a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai konsidi dan jaminan barang dan/atau jasa. d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. 22 h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Sebagai kontra prestasi atas hak-hak dari konsumen, Pasal 5 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur dengan rinci kewajiban yang harus dipenuhi oleh konsumen, antara lain: a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. 2. Perbuatan yang dilarang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan batasan larangan yang tegas kepada pelaku usaha sebagai bentuk perlindungan atas hak-hak dari konsumen dalam menggunakan barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 22 Penjelasan Pasal 4 huruf g UUPK: Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin, dan status social lainnya.

tentang Perlindungan Konsumen secara eksplisit mengatur larangan bagi pelaku usaha dari Pasal 8 sampai dengan Pasal 17. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa menjelaskan bahwa pada pasal ini tertuju pada dua hal yaitu larangan memproduksi barang dan/atau jasa dan larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa yang dimaksud. Larangan-larangan tersebut agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label, etiket, iklan dan lain sebagainya. 23 Berbeda dengan produk-produk lainnya, terhadap barang-barang yang berupa sediaan farmasi mendapat perlakuan khusus, karena kalau barang jenis ini rusak, cacat atau bekas, tercemar maka dilarang untuk diperdagangkan, walaupun disertai dengan informasi yang lengkap dan benar tentang barang tersebut. Sedangkan barang lainnya tetap dapat diperdagangkan asal disertai dengan informasi yang lengkap dan benar atas barang tersebut. Larangan-larangan yang tertuju pada produk sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 8 adalah untuk memberikan perlindungan terhadap kesehatan/harta konsumen dari penggunaan barang dengan kualitas yang di bawah standar atau kualitas yang lebih rendah dari pada nilai harga yang dibayar. Dengan adanya perlindungan yang demikian, maka konsumen tidak akan diberikan barang dengan kualitas yang lebih rendah daripada harga yang dibyarnya atau yang tidak sesuai dengan informasi yang diperolehnya. 23 Husni Syawili dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar maju, 2000), hal,18

Secara garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat dibagi ke dalam dua larangan pokok, yaitu: a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen; b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak akurat, yang menyesatkan konsumen. Ada larangan-larangan yang diberlakukan kepada pelaku usaha sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa: a. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah: 1) Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; 2) Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru; 3) Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciriciri kerja, atau aksesori tertentu; 4) Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi; 5) Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;

6) Barang tersbut tidak mengandung cacat tersembunyi; 7) Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; 8) Barang tersebut berasal dari daerah tertentu; 9) Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain; 10) Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko, atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap; 11) Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. b. Barang dan/atau jasa sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan kembali karena bertentangan dengan ketentuan yang telah dibuat. c. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang untuk melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut. Dalam substansi ketentuan Pasal 9, pada intinya merupakan bentuk larangan yang tertuju pada perilaku produsen farmasi atau pelaku usaha. Pasal 9 ini melarang bagi produsen produk farmasi membohongi konsumen seolah-olah bahwa produk farmasi yang diedarkan sudah mempunyai standar yang layak, kegunaan yang mujarab tanpa efek samping, kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak beresiko, tanpa efek samping, dibuat dari bahan alami tanpa keterangan yang lengkap. Intinya bahwa produsen produk farmasi diwajibkan untuk jujur dalam berusaha dan tidak membohongi konsumen dengan produk

yang seolah-olah sudah memenuhi standar kelayakan untuk diproduksi dan diedarkan Pasal 10 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai: a. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; b. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa; c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa; d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; e. Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa. Pasal 10 di atas berisi larangan menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan terhadap barang dan/atau jasa tertentu, maka secara otomatis larangan dalam Pasal 10 juga menyangkut persoalan larangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9. Pasal 11 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan: a. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu; b. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;

c. Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain; d. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain; e. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain; f. Menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral. Pasal 12 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, apabila pelaku usaha tidak memiliki niat untuk melaksanakannya sesuai dengan yang telah ditawarkan, dipromosikan atau diiklankan. Pasal 13 ayat (1) UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha dilarang untuk mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang secara cuma-cuma dengan maksud untuk tidak merealisasikan apa yang telah dijanjikan sebelumnya atau pun tidak seperti yang telah dijanjikan oleh pelaku usaha tersebut. Pasal 13 ayat (2) UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.

Pasal 14 UUPK menyatakan bahwa, adanya beberapa larangan yang diberikan kepada pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, seperti: a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa; c. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan; d. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan. Pasal 15 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha dilarang melakukan pemaksaan yang menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen dalam hal menawarkan barang dan/atau jasa. Pelaku usaha dilarang keras melakukan kekerasan dalam melakukan penawaran barang dan/atau jasa karena melanggar ketentuan yang telah dibuat dan dapat beresiko dijatuhi hukuman pidana karena telah melakukan pemaksaan dengan unsur kekerasan. Pasal 16 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha dilarang menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan apabila tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan dan tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi yang telah dijanjikan. Pasal 17 ayat (1) UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang: a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;

b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa; c. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa; d. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; e. Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan; f. Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan. Pasal 17 ayat (2) UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1). 3. Ketentuan pencantuman klausula baku Istilah klausula baku atau perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris yaitu standard contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak terutama pihak eonomi kuat terhadap ekonomi lemah. 24 Pasal 1 angka 10 UUPK menyatakan bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. 24 H. Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di lur KUHPerdata, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hal, 145

Mariam Badrulzaman mengemukakan bahwa standard contract merupakan perjanjian yang telah dibakukan dan ia juga mengemukakan bahwa ciri-ciri perjanjian baku yaitu: 25 a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat b. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian c. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu d. Bentuk tertentu (tertulis) e. Dipersiapkan secara masal dan kolektif Gunawan menyebutkan bahwa dengan penggunaan perjanjian standar menyebabkan asas kebebasan berkontrak kurang atau bahkan tidak dapat diwujudkan. 26 Senada dengan itu, Mariam Darus Badrulzaman juga menyatakan bahwa perjanjian baku itu secara teoritis yuridis tidak memenuhi dalam Pasal 1320 jo Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. 27 Pelaku usaha ekspedisi pada umumnya menjalankan kegiatan usaha pengiriman ekspedisi menggunakan suatu kontrak yang isinya sudah dibakukan secara sepihak untuk mempermudah dan menghemat waktu serta biaya yang diperlukan untuk merancang suatu kontrak. 25 Ibid., Salim HS. Halaman 146. 26 Johannes Gunawan. Penggunaan Perjanjian Standard dan Implikasinya Pada Asas Kebebasan Berkontrak Majalah Ilmu Hukum dan Pengetahuan Masyarakat No. 3,. 1987. Jilid XVII, Bandung PT. Alumni. Halaman 55; dalam Djaja S. Meliala. 2008. Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan, cetakan kedua. Bandung: Penerbit Nuansa Aulia. Halaman 97. 27 Ibid. Mariam Darus Badrulzaman. 1980. Perjanjian Baku (standar), Perkembangannya di Indonesia (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar), Medan:. Halaman 13 dan 17; dalam Ibid. Djaja S. Meliala. Halaman 98.

Klausul dari suatu kontrak yang sudah dibakukan, pada umumnya ditentukan secara sepihak oleh pihak yang lebih dominan posisinya, dalam hal ini pelaku usaha ekspedisi, sehingga konsumen sebagai pemakai jasa tidak mempunyai kekuatan untuk bernegosiasi lagi (bargaining power), sehingga rentan dirugikan oleh klausul yang ditentukan sepihak oleh pelaku usaha. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah payung hukum yang melindungi kepentingan konsumen, memberikan batasan bagi pelaku usaha dalam mencantumkan klausula baku di dalam kontrak bisnis yang mereka terbitkan dalam menjalankan kegiatan usaha. Pasal 18 UUPK menyatakan, bahwa: a. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila 28 : 1) Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (pelaku usaha tidak bisa melepaskan hak dan tanggung jawabnya kepada pihak ketiga). 2) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen (pelaku usaha harus tetap bertanggung jawab atas barang yang telah dijualnya karena suatu waktu barang tersebut bisa dikembalikan karena tidak sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan). 28 Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK : Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.

3) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen (atas ganti rugi terhadap barang yang telah dijual tidak sesuai dengan apa yang telah diperjanjiakan, pelaku usaha berkewajiban mengembalikan uang konsumen) 4) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran (setiap pemberian kuasa merupakan ha dari setiap orang termasuk konsumen dalam menjalankan aktivitasnya termasuk dalam hal jual beli). 5) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen (terkait dengan pembuktian, badan peradilan ataupun badan lain yang memiliki kewenangan dalam melakukan pembuktian adalah badan yang memiliki hak atas pembuktian yang ada dalam mencari kebenaran yang ada). 6) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa (pelaku usaha untuk merugikan konsumen dalam hal pemanfaatan apa yang telah diperjual belikan oleh pelaku usaha termasuk mengurangi manfaat produk-produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha).

7) Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya (setiap peraturan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, maka apabila aturan baru yang dibuat oleh pelaku usaha dengan mengenyampingkan Pasal 1320 KUHPerdata, maka aturan yang dibuat oleh pelaku usaha batal demi hukum). 8) Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran (pembebanan ini sangat dilarang karena hak pelaku usaha untuk melakukannya sama sekali tidak ada). 9) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas agar dapat lebih mudah untuk dimengerti (pelaku usaha dilarang untuk membuat hal-hal yang merugikan konsumen dengan cara mengelabuinya). 10) Apabila ketentuan klausula baku yang dibuat memenuhi unsur yang terdapat pada ayat (1) dan ayat (2), maka dinyatakan batal demi hukum. 11) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.

4. Tanggungjawab pelaku usaha Dalam hal menjalankan kegiatan usaha, hubungan antara pelaku usaha dan konsumen tidak selalu berjalan mulus tanpa halangan. Jikalau ada hak dari konsumen yang dilanggar oleh pelaku usaha, maka timbul sengketa konsumen. Sengketa konsumen timbul karena ada tanggung jawab dari pelaku usaha yang tidak dipenuhi sehingga mengakibatkan kerugian pada hak konsumen. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sudah mengatur juga secara eksplisit dan rinci tanggung jawab pelaku usaha dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28. Pasal 19 UUPK menyatakan bahwa, a. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. d. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

e. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen Pasal 20 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha periklanan diwajibkan untuk bertanggung jawab apabila iklan yang diproduksi tersebut menimbulkan akibat yang merugikan. Misalnya melakukan produksi iklan yang bersifat mengintimidasi ataupun menjatuhkan produk milik orang lain. Pasal 21 UUPK menyatakan bahwa, importir barang wajib bertanggung jawab selaku pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri. Importir juga bertanggung jawab dalam penyediaan jasa apabila penyedia jasa tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan dari penyedia jasa asing. Pasal 22 UUPK menyatakan bahwa, pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian. 29 Pasal 23 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Pasal 24 UUPK menyatakan bahwa: 29 Penjelasan Pasal 22 UUPK: Ketentuan ini dimaksudkan untuk menerapkan sistem beban pembuktian terbaik.

a. Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila : 1) Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut. 2) Pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi. b. Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa yang tersebut. Pasal 25 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurangkurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan. Pelaku usaha juga harus bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut : a. Tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan. b. Tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.

Pasal 26 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau diperjanjikan sebelum menyepakati perjanjian dengan konsumen agar konsumen memiliki pegangan yang kuat setelah melakukan hubungan kerja dengan pelaku usaha. Pasal 27 UUPK, merupakan pasal yang sangat membantu bagi pelaku usaha yang melepaskannya dari tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen. Pasal 27 UUPK menyatakan bahwa, pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila : a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan; b. Cacat barang timbul pada kemudian hari; 30 c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; 31 d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen; e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. 32 Pasal 28 UUPK menyatakan bahwa, pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 memang merupakan beban dan tanggung jawab pelaku 30 Penjelasan Pasal 27 huruf b UUPK: Cacat timbul di kemudian hari adalah sesudah tanggal yang mendapat jaminan dari pelaku usaha sebagaimana diperjanjikan, baik tertulis maupun lisan. 31 Penjelasan Pasal 27 huruf b UUPK: Yang dimaksud dengan kualifikasi barang adalah ketentuan standarisasi yang telah ditetapkan pemerintah berdasarkan kesepakatan semua pihak. 32 Penjelasan Pasal 27 huruf e UUPK: Jangka waktu yang diperjanjikan itu adalah masa garansi.

usaha karena telah diatur dan menjadi kewajiban pelaku usaha untuk bertanggungjawab. Pasal 28 ini menentukan bahwa beban pembuktian berada di tangan produsen (pelaku usaha). Inilah prinsip pembuktian terbalik, jadi setiap produsen atau pelaku usaha yang dapat membuktikan bahwa kesalahan yang timbul dalam sengketa konsumen bukan merupakan kesalahannya, maka dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen. Hal-hal yang harus dibuktikan oleh produsen atau pelaku usaha agar dapat bebas dari pertanggungjawaban atas kerugian yang diderita oleh konsumen ialah dengan membuktikan hal-hal yang telah disebut dalam Pasal 27 UUPK, yaitu karena faktor-faktor pencurian, cacat yang timbul dikemudian hari, kesalahan konsumen dan kadaluwarsa hak untuk menuntut. 5. Pembinaan dan pengawasan Pemerintah selain memiliki fungsi legilasi, dalam hal ini pembentukan dan pengesahan UUPK, juga mempunyai fungsi untuk membina dan mengawasi penyelenggaran perlindungan konsumen serta menjamin terlaksananya ketentuan UUPK dalam lalu lintas usaha barang dan/atau jasa antara konsumen dengan pelaku usaha. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaran perlindungan konsumen dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait pada bidang dan/atau jasa yang berkaitan dengan bidang yang dibawah pengawasan kementerian tersebut. Dalam hal pembinaan, dapat dilihat ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 29 UUPK yang menyatakan bahwa:

a. Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha b. Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait c. Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen. d. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk: 1) Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; 2) Berkembangnya lembaga perlidungan konsumen swadaya masyarakat; 3) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen. e. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dalam hal pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen, dapat dilihat di dalam pasal 30 UUPK yang menjelaskan bahwa melalui pemberdayaan setiap unsur yang ada yaitu

Masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat disamping pemerintah sendiri melalui menteri dan/atau menteri teknis yang terkait. Apabila diperhatikan isi Pasal 30 tersebut, maka akan terlihat bahwa pengawasan lebih banyak menitikberatkan pada peran masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dibanding dengan peran pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh menteri dan /atau menteri teknis yang terkait. Dalam Pasal 30 tersebut juga terlihat pemerintah diberikan tugas melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya C. Perlindungan Konsumen Atas Pemakaian Jasa Dari Pelaku Usaha Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pelaku usaha ekpedisi pengiriman barang melalui kapal dan konsumen pengirim barang selaku pengguna jasa ekpedisi mempunyai ikatan hukum yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Beberapa hal yang dapat dipahami mengenai hubungan hukum antara pelaku usaha ekpedisi dengan konsumen pengirim barang jikalau terjadi sengketa diantara pihak tersebut, antara lain: 1. Pelaku usaha ekpedisi dan konsumen pengirim barang tidak berbeda dengan pelaku usaha dan konsumen pada umumnya, sehingga kedua pihak tersebut mempunyai hak-hak, kewajiban, tanggung jawab dan larangan yang telah diatur secara rinci dan tegas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2. Hak-hak dan kewajiban konsumen merupakan bentuk kontra prestasi dengan hak-hak dan kewajiban pelaku usaha, dengan kata lain bahwa hak dari konsumen adalah kewajiban dari pelaku usaha serta sebaliknya. 3. Klausula-klausula dalam kontrak perjanjian ekpedisi umumnya ditentukan secara sepihak oleh pelaku usaha (kontrak baku/standard contract). Klausula baku sering kali merugikan hak-hak konsumen sehingga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan batasan sebagaimana kontrak baku yang wajar untuk dipergunakan dalam lalu lintas jasa pengiriman ekspedisi. 4. Pemerintah selain mempunyai fungsi legislasi untuk membentuk dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, juga mempunyai fungsi pengawasan dalam pelaksanaan perlindungan konsumen sehingga tujuan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen itu diharapkan dapat tercapai. 5. Jikalau ada hak-hak dari konsumen yang dilanggar oleh pelaku usaha ekspedisi, maka timbul sengketa konsumen. Sengketa konsumen dapat diselesaikan dengan 3 (tiga) cara, antara lain: a. Dengan cara kekeluargaan antara pelaku usaha dengan konsumen. b. Dengan menempuh penyelesaian sengketa non-litigasi yang dapat berupa menggugat ke BPSK, mediasi, negosiasi, konsiliasi dan arbitrase. c. Dengan menempuh penyelesaian sengketa jalur litigasi melalui mendaftarkan gugatan konsumen ke pengadilan negeri tempat kedudukan konsumen.

Pada dasarnya perlindungan atas konsumen terhadap pemakaian jasa atau produk dari pelaku usaha telah dijelaskan pada Pasal 19 UUPK dimana pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa yang dihasilkan. Sudah sangat jelas bentuk tanggung jawab yang dibebankan undang-undang kepada pelaku usaha terhadap konsumen tersebut. Dan apabila pelaku usaha menolak untuk mengganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen, maka konsumen dapat mengajukan gugatan kepada BPSK atau ke badan peradilan.