Bab V Analisa dan Diskusi

dokumen-dokumen yang mirip
Bab IV Metodologi dan Konsep Pemodelan

APLIKASI GELOMBANG KINEMATIS DAN DINAMIS PADA MODEL HUJAN LIMPASAN STUDI KASUS DAS CITARUM HULU TESIS

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Hasil dan Analisis. Simulasi Banjir Akibat Dam Break

Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003

Bab III Studi Kasus. Daerah Aliran Sungai Citarum

BAB V ANALISA DATA. Dalam bab ini ada beberapa analisa data yang dilakukan, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH. curah hujan ini sangat penting untuk perencanaan seperti debit banjir rencana.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Program Rehabilitasi DTA Saguling

Sungai dan Daerah Aliran Sungai

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung

BAB IV METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

DAERAH ALIRAN SUNGAI

STUDI PENANGGULANGAN BANJIR KAWASAN PERUMAHAN GRAHA FAMILY DAN SEKITARNYA DI SURABAYA BARAT

Bab III Metodologi Penelitian

BAB V PEMBAHASAN. menentukan tingkat kemantapan suatu lereng dengan membuat model pada

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ini adalah di saluran Ramanuju Hilir, Kecamatan Kotabumi, Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung.

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

BAB I PENDAHULUAN. DKI Jakarta terletak di daerah dataran rendah di tepi pantai utara Pulau

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum 1.2 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh

MODEL HIDROGRAF BANJIR NRCS CN MODIFIKASI

III. METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ini adalah di saluran drainase Antasari, Kecamatan. Sukarame, kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung.

BAB III METODA ANALISIS. Wilayah Sungai Dodokan memiliki Daerah Aliran Sungai (DAS) Dodokan seluas

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PERSETUJUAN... ii. PERNYATAAN... iii. LEMBAR PERSEMBAHAN... iv. KATA PENGANTAR... v. DAFTAR ISI...

PERSYARATAN JARINGAN DRAINASE

BAB III METODOLOGI 3.1 METODE ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA

BAB III METODE PENELITIAN

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV METODOLOGI. Gambar 4.1 Flow Chart Rencana Kerja Tugas Akhir

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISA DATA. Analisa Data

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Tinjauan Pustaka. Banjir pada dasarnya adalah surface runoff yang merupakan salah satu bagian dari siklus hidrologi. The Hydrologic Cycle

BAB IV ANALISA DATA. Dalam bab ini ada beberapa analisa data yang dilakukan, yaitu :

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng

Surface Runoff Flow Kuliah -3

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Data. B. Data Hujan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERENCANAAN SISTEM DRAINASE SEGOROMADU 2 GRESIK

PENERAPAN KOLAM RETENSI DALAM PENGENDALIAN DEBIT BANJIR AKIBAT PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN INDUSTRI

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL...

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

BAB III METODE PENELITIAN

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PEMBUATAN PETA TINGKAT KERAWANAN BANJIR SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENGURANGI TINGKAT KERUGIAN AKIBAT BENCANA BANJIR 1 Oleh : Rahardyan Nugroho Adi 2

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Perbandingan Peta Topografi

SOBEK Hidrodinamik 1D2D (modul 2C)

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... iii. LEMBAR PENGESAHAN... iii. PERNYATAAN... iii. KATA PENGANTAR... iv. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL...

BAB VI ANALISIS KAPASITAS DAN PERENCANAAN SALURAN

Ariani Budi Safarina ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi

Pemodelan Aliran Permukaan 2 D Pada Suatu Lahan Akibat Rambatan Tsunami. Gambar IV-18. Hasil Pemodelan (Kasus 4) IV-20

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

KAJIAN ANALISIS HIDROLOGI UNTUK PERKIRAAN DEBIT BANJIR (Studi Kasus Kota Solo)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISA DATA. = reduced mean yang besarnya tergantung pada jumlah tahun pengamatan. = Standard deviation dari data pengamatan σ =

I. PENDAHULUAN. Pengelolaan Sumber Daya Air (SDA) di wilayah sungai, seperti perencanaan

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum

Bab IV Pengembangan Model

Gambar 2.1.Komponen Drainase Sistem Polder yang Ideal

Vol.14 No.1. Februari 2013 Jurnal Momentum ISSN : X

STUDI PERBANDINGAN ANTARA HIDROGRAF SCS (SOIL CONSERVATION SERVICE) DAN METODE RASIONAL PADA DAS TIKALA

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI DAN PERHITUNGANNYA

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Perencanaan Sistem Drainase Perumahan Grand City Balikpapan

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB V ANALISIS HIDROLIKA DAN PERHITUNGANNYA

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI

BAB I PENDAHULUAN. dengan aliran sungai mempunyai masalah dengan adanya air tanah. Air tanah

BAB III METODA ANALISIS. desa. Jumlah desa di setiap kecamatan berkisar antara 6 hingga 13 desa.

TUGAS AKHIR Perencanaan Pengendalian Banjir Kali Kemuning Kota Sampang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dan mencari nafkah di Jakarta. Namun, hampir di setiap awal tahun, ada saja

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang akan dilakukan bertempat di kolam retensi taman lansia kota bandung.

BAB I PENDAHULUAN. lereng, hidrologi dan hidrogeologi perlu dilakukan untuk mendapatkan desain

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1

Transkripsi:

Bab V Analisa dan Diskusi V.1 Pemilihan data Pemilihan lokasi studi di Sungai Citarum, Jawa Barat, didasarkan pada kelengkapan data debit pengkuran sungai dan data hujan harian. Kalibrasi pemodelan debit akan dilakukan dengan menggunakan data dari sungai tersebut pada Stasiun Debit Nanjung. Pada DAS Citarum terdapat 11 stasiun pengamatan curah hujan jam-jaman yang digunakan untuk menghitung debit aliran Sungai Citarum, sehingga dapat dihitung nilai rata-rata untuk mendapatkan nilai curah hujan wilayah pad atiap sub das. Perhitungan curah hujan wilayah pada tiap sub das di DAS Citarum dilakukan dengan menggunakan Poligon Thiessen. Letak dan daerah pengaruh dari masing-masing pos pengamatan curah hujan DAS Citarum dapat dilihat pada Gambar III.9. Pos Hujan DAS Citarum. Perhitungan hujan-limpasan adalah penyederhanaan dari proses terjadinya debit pada suatu DAS. Debit merupakan fungsi dari hujan, tanpa adanya tampungan. Dengan demikian, jika hujan = 0, maka debit hasil perhitungan pun akan = 0. Hal seperti ini tidak terjadi di lapangan. Dalam kondisi aktual di lapangan, data debit pengamatan di Nanjung menunjukkan bahwa meskipun tidak terjadi hujan, debit sungai tidak pernah menunjukkan harga nol. Selain itu, dalam kondisi aktual di lapangan, suatu kejadian hujan tidak selalu diikuti oleh timbulnya debit, dan demikian pula sebaliknya. Perhitungan curah hujan wilayah untuk tiap sub das didasarkan pada kejadian hujan yang berbeda-beda untuk tiap sub das dan disediakannya input hujan untuk tiap sub das dalam model penelitian ini. V-1

V.2 Analisa Topografi V.2.1 Pendekatan DEM Dari analisa data topografi berdasarkan peta titik elevasi, elevasi lahan di catchment area DAS Citarum dengan outlet di Stasiun Debit Nanjung bervariasi antara sekitar +2400 hingga + 600 di atas permukaan laut rata-rata. a) Gambar 3D Kondisi Topografi DAS Citarum b) Topografi DAS Citarum dalam format DEM Gambar V.1. Kondisi Topografi DAS Citarum V-2

V.2.2 Analisa Outlet, dan Pit Pemodelan dalam penelitian ini tidak mengakomodasi adanya detensi aliran pada anak sungai. Hal tersebut disebabkan penyederhanaan yang dilakukan dan untuk penyesuaian terhadap skema teoritis yang digunakan dalam pemodelan. Skema teoritis Kinematic Wave tidak mengakomodasi adanya detensi aliran. Ketidakmampuan skema Kinematic Wave dalam perhitungan aliran dinamis seperti fenomena backwater menjadi kelemahan dari skema ini. Pertimbangan pemakaian skema Kinematic Wave dalam perhitungan overland flow dan channel flow pada anak sungai disebabkan oleh faktor kemiringan lahan yang sangat dominan dalam perhitungan aliran pada anak-anak sungai di lokasi studi. Selain itu, penyederhanaan yang dilakukan dalam pemodelan ini berkaitan dengan keterbatasan data elevasi yang tersedia sehingga ukuran grid terkecil yang bisa dihasilkan adalah 1 km 2. Apabila diterapkan mass balance equation akan terhambat pada ukuran grid yang ada. Akumulasi aliran dari grid sebelumnya hanya akan mengisi genangan pada grid yang ditinjau dan tidak sampai mengalir ke arah grid terendah di sekeliling grid yang ditinjau. Dua hal tersebut di atas menyebabkan perlunya penghilangan pit atau grid yang memiliki elevasi terendah dibandingkan dengan delapan grid yang mengelilinginya. Grid ini menyebabkan putusnya akumulasi aliran ke hilir. Sebagai contoh penyesuaian elevasi untuk menghilangkan pit digunakan Sub Das Cimahi yang mempunyai dua buah pit. Dari analisa data DEM, didapatkan arah aliran sebagai berikut: V-3

6.00 6.00 6.00 6.00 5.00 2.00 6.00 6.00 6.00 6.00 4.00 5.00 6.00 6.00 6.00 6.00 5.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 4.00 6.00 6.00 6.00 5.00 6.00 4.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 5.00 6.00 4.00 5.00 6.00 6.00 6.00 6.00 4.00 5.00 6.00 5.00 6.00 4.00 5.00 6.00 6.00 4.00 5.00 4.00 4.00 4.00 4.00 5.00 6.00 3.00 3.00 3.00 3.00 9.00 7.00 4.00 5.00 6.00 5.00 6.00 6.00 6.00 6.00 4.00 9.00 7.00 4.00 5.00 6.00 6.00 5.00 6.00 4.00 5.00 6.00 4.00 5.00 6.00 6.00 5.00 4.00 5.00 5.00 6.00 4.00 4.00 5.00 6.00 Gambar V.2. Arah aliran hasil analisa DEM Pada Gambar V.2. Arah aliran hasil analisa DEM terlihat bahwa terdapat dua titik pada ruang lingkup data yang menunjukkan kode arah aliran yang bernilai 9 yang merupakan jalur channel flow dari Sungai Cimahi. V-4

Karena dua titik tersebut berada dalam jalur channel flow Sungai Cimahi, maka titik-titik tersebut merupakan pit, yang terjadi pada proses perata-rataan harga elevasi pada saat pembentukan DEM. 6.00 6.00 6.00 6.00 5.00 2.00 6.00 6.00 6.00 6.00 4.00 5.00 6.00 6.00 6.00 6.00 5.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 4.00 6.00 6.00 6.00 5.00 6.00 4.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 5.00 6.00 4.00 5.00 6.00 6.00 6.00 6.00 4.00 5.00 6.00 5.00 6.00 4.00 5.00 6.00 6.00 4.00 5.00 4.00 4.00 4.00 4.00 5.00 6.00 3.00 3.00 3.00 3.00 9.00 7.00 4.00 5.00 6.00 5.00 6.00 6.00 6.00 6.00 4.00 9.00 7.00 4.00 5.00 6.00 6.00 5.00 6.00 4.00 5.00 6.00 4.00 5.00 6.00 6.00 5.00 4.00 5.00 5.00 6.00 4.00 4.00 5.00 6.00 Gambar V.3. Arah aliran, outlet, pit, dan batas sub das Cimahi (grid 1000 m x 1000 m) Pada Gambar V.3. Arah aliran, outlet, pit, dan batas sub das Cimahi (grid 1000 m x 1000 m) terlihat jelas dua titik tersebut merupakan pit. Pada gambar di atas, secara sederhana terlihat bahwa pit dapat teridentifikasi melalui letak dalam daerah pemodelan. V-5

Untuk menghilangkan pit tersebut dilakukan beberapa prosedur sebagai berikut: 1. Cek elevasi lahan berdasarkan analisa DEM. 2. Cek peta elevasi berdasarkan peta sub das dan cek kemungkinan arah aliran berdasarkan peta tersebut. 3. Penyesuaian harga elevasi lahan pada DEM untuk menghilangkan pit. Berikut ditampilkan penyesuaian data elevasi pada titik DEM (i=2, j=12) dan (i=1, j=14). i j 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 j i 10 724.00 719.00 726.00 743.00 725.00 742.00 10 724.00 719.00 726.00 743.00 725.00 742.00 11 711.00 708.00 706.00 726.00 705.00 704.00 11 711.00 708.00 706.00 726.00 705.00 704.00 12 702.00 689.00 707.00 717.00 716.00 715.00 12 702.00 698.50 707.00 717.00 716.00 715.00 13 692.00 691.00 696.00 697.00 695.00 706.00 13 692.00 691.00 696.00 697.00 695.00 706.00 14 677.00 685.00 688.00 690.00 703.00 697.00 14 684.50 685.00 688.00 690.00 703.00 697.00 15 678.00 680.00 681.00 679.00 685.00 690.00 15 678.00 680.00 681.00 679.00 685.00 690.00 16 672.00 674.00 677.00 673.00 679.00 679.00 16 672.00 674.00 677.00 673.00 679.00 679.00 17 665.00 667.00 671.00 668.00 670.00 668.00 17 665.00 667.00 671.00 668.00 670.00 668.00 a) Sebelum modifikasi b) Setelah modifikasi Gambar V.4. Ilustrasi penyesuaian data DEM (i=2, j=12) dan (i=1, j=14) Sesuai prosedur sederhana yang telah disebutkan sebelumnya, maka penyesuaian data untuk menghilangkan pit tersebut dilakukan sebagai berikut untuk titik (i=2, j=12): 1. Cek elevasi lahan berdasarkan analisa DEM. Dari Gambar V.4. a). terlihat bahwa pada titik (i=2, j=12) terjadi akumulasi aliran yang diidentifikasi sebagai pit. Elevasi lahan pada titik tersebut adalah +689,00 yang merupakan titik terendah dibandingkan dengan delapan titik yang terdapat di sekelilingnya. Aliran pada titik tersebut tidak dapat mengalir ke titik di sekelilingnya dan seakan-akan aliran air terkumpul dalam suatu sumur atau pit. V-6

2. Cek peta elevasi berdasarkan peta sub das dan cek kemungkinan arah aliran berdasarkan peta tersebut. Dari peta titik elevasi yang dioverlapkan dengan peta sub das pada Gambar V.3. Arah aliran, outlet, pit, dan batas sub das Cimahi (grid 1000 m x 1000 m) titik (i=2, j=12) merupakan bagian dari sub das Sungai Cimahi, dengan kecenderungan bergerak ke arah selatan. 3. Penyesuaian harga elevasi lahan pada DEM untuk menghilangkan pit. Penyesuaian dilakukan untuk mengakomodasi kondisi yang lebih mungkin terjadi di lapangan, yakni arah aliran dari titik (i=2, j=12) menuju selatan. Dari Gambar V.4. a) terlihat bahwa di sekeliling titik (i=2, j=12) kita tinjau dua titik yang berpengaruh terhadap arah aliran yakni: Titik (i=3, j=11), dengan elevasi lahan +706,00 Titik (i=2, j=13), dengan elevasi lahan +691,00 Diperkirakan air dari titik (i=2, j=12) akan mengalir menuju titik (i=2, j=13). Dengan demikian, penyesuaian elevasi lahan DEM dilakukan pada titik (i=2, j =12) yakni dengan memberi nilai elevasi dengan ketentuan +691,00< elevasi < +706,00. Secara sederhana, elevasi titik (i=2, j=12) diambil dari harga ratarata antara +691,00 dan +706,00, yakni +698,50. Hasil penyesuaian ini dapat dilihat pada Gambar V.4. b), dimana arah aliran dari titik (i=15, j =10) mengarah ke barat daya, dan sudah tidak terdapat lagi pit. V.2.3 Karakteristik Sub Das/Pengaruh Parameter DAS Parameter utama yang digunakan dalam perhitungan model penelitian ini antara lain persamaan dan perbedaan karakteristik antara sub das yang terlihat pada aspek-aspek sebagai berikut: 1. Pengaruh jaringan sungai pada sub das Model yang disusun ini dapat mengakomodasi pengaruh jaringan sungai pada suatu sub das. Pengaruh adanya beberapa cabang akumulasi aliran sebelum outlet terlihat dari adanya beberapa puncak pada hidrograf akhir. V-7

Sementara itu pada outlet sub das dimana mempunyai jaringan sungai yang lebih sederhana menghasilkan hidrograf outlet dengan jumlah puncak debit satu buah akibat akumulasi aliran yang relatif terus-menerus dalam satu cabang aliran. 2. Pengaruh kondisi topografi Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, model ini menggunakan Metoda Kinematic Wave sebagai aplikasi untuk menghitung overland flow dan channel flow pada anak sungai. Sementara untuk perhitungan channel flow di sungai utama digunakan dynamic wave. Beberapa asumsi yang digunakan sehubungan dengan perhitungan overland flow dan channel flow pada anak sungai serta channel flow di sungai utama dalam penelitian ini antara lain adalah: Koefisien aliran (C) yang berupa harga konstan, merupakan perbandingan antara hujan yang menjadi limpasan dan hujan yang jatuh tidak digunakan dalam model ini. Hujan yang terjadi sudah diperhitungkan sebagai hujan efektif yang akan menjadi limpasan. Harga koefisien kekasaran lahan untuk overland flow (N) diakomodasi sebagai input untuk tiap grid. Harga koefisien kekasaran saluran untuk channel flow (n) di anak sungai maupun sungai utama digunakan harga rata-rata untuk kekasaran dasar sungai di lokasi studi yang berupa saluran alami berkecenderungan lurus berbatu dan banyak tumbuhan. Harga koefisien kemiringan lahan untuk overland flow (S 0 ) diakomodasi sebagai input untuk tiap grid. Harga koefisien kemiringan dasar saluran untuk channel flow (S 0 ) di anak sungai digunakan harga rata-rata pada kemiringan dasar saluran tiap anak sungai. Harga koefisien kemiringan dasar saluran untuk channel flow (S 0 ) di sungai utama digunakan harga rata-rata pada kemiringan dasar saluran pada sungai utama. V-8

Pada model ini, penggunaan Metoda Kinematic Wave sebagai metoda routing terdistribusi antar grid pada anak sungai memberikan volume kumulatif yang tidak selalu sama dengan volume hujan efektif yang turun. Faktor-faktor yang mengakibatkan selisih jumlah volume antara hasil perhitungan model dengan volume hujan efektif antara lain adalah sebagai berikut: Debit perhitungan Metoda Kinematic Wave merupakan fungsi dari besaran intensitas hujan dan durasi hujan. Routing Kinematic Wave pada overland flow maupun channel flow merupakan fungsi dari kondisi topografi/kemiringan lahan/saluran. Untuk ukuran grid yang sama, semakin besar kemiringan lahan/saluran, semakin kecil pula harga waktu travel time yang berkaitan dengan waktu konsentrasi. Secara umum, pada grid dengan harga kemiringan lahan/saluran tinggi (curam) perhitungan menghasilkan debit puncak yang besar. Begitu pula sebaliknya, pada grid dengan harga kemiringan lahan/saluran rendah (landai) perhitungan menghasilkan debit puncak yang kecil. Faktor kekasaran Manning (n) untuk overland flow dan (N) untuk channel flow sangat berpengaruh terhadap kecepatan aliran dan debit yang dihasilkan. Kondisi lahan/saluran yang kasar dan berisikan benda-benda yang dapat menghalangi aliran seperti sampah, potongan dahan-dahan, dan lain sebagainya dapat mengurangi kecepatan aliran sehingga menghasilkan nilai debit yang relatif rendah. 3. Pengaruh Koefisien Corak Koefisien corak merupakan perbandingan antara luas DAS dengan panjang sungai. Secara umum koefisien corak menggambarkan proporsi overland flow dibandingkan dengan channel flow. Semakin besar proporsi overland flow dibandingkan dengan channel flow, harga debit puncak semakin kecil, namun waktu resesi hidrograf semakin panjang. (hidrograf lama naik dan lama turun). Sementara itu, semakin kecil proporsi overland flow dibandingkan dengan channel flow, harga debit puncak semain besar, dan waktu resesi hidrograf semaikin pendek (hidrograf cepat naik dan cepat turun). V-9

Pada model ini tiap sub das perhitungan debit dilakukan dengan overland flow sebagai lateral inflow untuk tiap grid dan dirouting dengan channel flow sampai dengan muara tiap anak di sungai utama. Kemudian routing dilakukan sepanjang sungai utama (Citarum) sebagai channel flow. Berikut adalah hasil model untuk visualisasi 2-D, 3-D, dan arah aliran untuk masing-masing sub das. Gambar V.5. Kondisi 3-D Sub Das Cimahi Gambar V.6. Kondisi 2-D Sub Das Cimahi Gambar V.7. Arah aliran di Sub Das Cimahi V-10

Gambar V.8. Kondisi 3-D Sub Das Cibeureum Gambar V.9. Kondisi 2-D Sub Das Cibeureum Gambar V.10. Arah aliran di Sub Das Cibeureum V-11

Gambar V.11. Kondisi 3-D Sub Das Citepus Gambar V.12. Kondisi 2-D Sub Das Citepus Gambar V.13. Arah aliran di Sub Das Citepus V-12

Gambar V.14. Kondisi 3-D Sub Das Cikapundung Gambar V.15. Kondisi 2-D Sub Das Cikapundung Gambar V.16. Arah aliran di Sub Das Cikapundung V-13

Gambar V.17. Kondisi 3-D Sub Das Cicadas Gambar V.18. Kondisi 2-D Sub Das Cicadas Gambar V.19. Arah aliran di Sub Das Cicadas V-14

Gambar V.20. Kondisi 3-D Sub Das Cidurian Gambar V.21. Kondisi 2-D Sub Das Cidurian Gambar V.22. Arah aliran di Sub Das Cidurian V-15

Gambar V.23. Kondisi 3-D Sub Das Cipamokolan Gambar V.24. Kondisi 2-D Sub Das Cipamokolan Gambar V.25. Arah aliran di Sub Das Cipamokolan V-16

Gambar V.26. Kondisi 3-D Sub Das Cikeruh Gambar V.27. Kondisi 2-D Sub Das Cikeruh Gambar V.28. Arah aliran di Sub Das Cikeruh V-17

Gambar V.29. Kondisi 3-D Sub Das Ciwidey Gambar V.30. Kondisi 2-D Sub Das Ciwidey Gambar V.31. Arah aliran di Sub Das Ciwidey V-18

Gambar V.32. Kondisi 3-D Sub Das Cibolerang Gambar V.33. Kondisi 2-D Sub Das Cibolerang Gambar V.34. Arah aliran di Sub Das Cibolerang V-19

Gambar V.35. Kondisi 3-D Sub Das Cisangkuy Gambar V.36. Kondisi 2-D Sub Das Cisangkuy Gambar V.37. Arah aliran di Sub Das Cisangkuy V-20

Gambar V.38. Kondisi 3-D Sub Das Citarum Hulu Gambar V.39. Kondisi 2-D Sub Das Citarum Hulu Gambar V.40. Arah aliran di Sub Das Citarum Hulu V-21

Gambar V.41. Kondisi 3-D Sub Das Citarik Gambar V.42. Kondisi 2-D Sub Das Citarik Gambar V.43. Arah aliran di Sub Das Citarik V-22

Berikut adalah rekapitulasi luas masing-masing sub das berdasarkan pemodelan dalam penelitian ini dalam format DEM yang telah dibuat. NO Tabel V.1. Perbandingan luas sub das existing dan pemodelan SUB DAS Luas Existing (km 2 ) Luas dalam pemodelan (km 2 ) 1 CIMAHI 32,61 31 2 CIBEUREUM 61,31 70 3 CITEPUS 36,52 38 4 CIGEDE/CIKAPUNDUNG 145,40 142 5 CICADAS 29,72 27 6 CIDURIAN 33,95 33 7 CIPAMOKOLAN 42,23 42 8 CIKERUH 190,33 194 9 CIWIDEY 228,37 227 10 CIBOLERANG 60,87 60 11 CISANGKUY 280,95 277 12 CITARUM HULU 363,44 364 13 CITARIK 257,49 260 TOTAL 1.763,19 1.765 V.3 Kalibrasi dan Verifikasi Model V.3.1 Kalibrasi dan Verifikasi I (dengan 1 orde sungai dynamic wave) Koefisien-koefisien dalam aliran, seperti N kekasaran lahan, C koefisien pengaliran lahan, dan n Manning kekasaran dasar saluran, mempunyai range nilai untuk suatu kondisi. Misalnya koefisien kekasaran dasar saluran n, pada kondisi sungai kecil, berkelok-kelok, bertebing, dengan tanaman pengganggu dan berbatu, mempunyai nilai antara 0,06 sampai dengan 0,08. Pada tahap ini dilakukan running model untuk mendapatkan koefisien-koefisien dalam aliran yang sesuai sehingga debit model yang didapat sesuai dengan hasil debit observasi. V-23

Berikut adalah data koefien-koefisien dalam aliran yang dihasilkan: NO Kondisi lahan Tabel V.2. Nilai-nilai koefisien lahan yang dipakai Kekasaran lahan (N) Koefisien Pengaliran (C) 1 PEMUKIMAN 0,04 0,80 2 PERKEBUNAN 0,10 0,52 3 KEBUN CAMPUR 0,10 0,52 4 HUTAN PRIMER 0,60 0,25 5 HUTAN SEKUNDER 0,60 0,25 6 SAWAH 0,20 0,50 7 TANAH KOSONG 0,09 0,60 8 LADANG 0,20 0,50 9 PERTAMBANGAN 0,08 0,80 10 KAW. INDUSTRI 0,06 0,60 11 PADANG RUMPUT 0,20 0,51 12 SEMAK BELUKAR 0,20 0,51 Pada tahap ini dilakukan running model selama 15x24 jam sesuai dengan data hujan dan debit observasi. Data intensitas hujan yang digunakan sebagai input adalah data hujan jam-jaman tiap sub das. Hasil pemodelan dapat dilihat pada gambar-gambar di bawah ini. Q (m3/s) 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Inflow Lateral Masing-masing Sub DAS 0 2 4 6 8 10 12 14 Waktu (jam) Gambar V.44. Inflow lateral dari masing-masing sub das hasil verifikasi Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 Q7 Q8 Q9 Q10 Q11 Q12 Q13 V-24

Pada Gambar V.44. terlihat inflow lateral yang terjadi dari Sungai Citarik jauh di atas anak-anak sungai lainnya. Hal ini dikarenakan selain luas sub das Citarik yang besar (260 km 2 ), hujan yang terjadi di sub das ini jauh di atas hujan yang terjadi di sub das-sub das lain. Hasil Debit Perhitungan dan Observasi Q (m3/s) 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 0 5 10 15 Perhitungan Observasi Waktu (hari) Gambar V.45. Debit pada Sungai Citarum hasil verifikasi I Terlihat pada Gambar V.45. Debit pada Sungai Citarum hasil debit di Nanjung mempunyai nilai debit yang secara keseluruhan lebih kecil dari debit observasi. Perbedaan yang terjadi disebabkan oleh pemakaian kinematic wave pada perhitungan di tiap sub das. Slope dari alur anak sungai di daerah mendekati muara tiap sub das di Sungai Citarum (sungai utama) cenderung datar. Skema kinematic wave yang mengabaikan suku-suku dinamis menyebabkan momentum yang membawa massa dari air cenderung kecil (hanya mengandalkan slope, sukusuku dinamis diabaikan). Volume DRO hasil perhitungan adalah 1,87x10 7 m 3 atau sekitar 44% dari volume DRO debit observasi yaitu 4,25x10 7 m 3. Menurut Woolhiser dan Liggett (1967) yang menganalisa karakteristik dari hidrograf naik hasil kinematic wave dan memberikan suatu kajian bahwa sukusuku dinamis dari dynamic wave dapat diabaikan jika: V-25

SL 0 SLg 0 k = 10, atau 10 2 2 yfr > v > dimana: L = panjang dari bidang grid, Fr = bilangan Froude, y = kedalaman air di akhir grid, S 0 k = kemiringan lahan/saluran, = bilangan aliran kinematis tak berdimensi. Gambar V.46. Efek nilai k pada hidrograf naik (Woolhiser dan Liggett, 1967) Untuk routing DAS besar seperti Citarum dengan jumlah grid perhitungan yang besar, error perhitungan akan terakumulasi dari tiap grid ke grid seterusnya sampai ke grid paling hulu menghasilkan debit hasil perhitungan seperti pada Gambar V.45. Debit pada Sungai Citarum. Selain itu perbedaan bentuk hidrograf hasil model dan observasi disebabkan bentuk aliran sungai di masing-masing sub das yang kurang sesuai kondisi existing akibat grid yang diaplikasikan dalam model terlalu besar (1x1 km) dan juga pada model ini tidak memperhitungkan debit yang diambil atau ditambahkan pada sungai selain dari hujan. V-26

Pengambilan atau penambahan debit pada sungai sebagai lokasi studi dapat menyebabkan perubahan debit pada suatu saat di titik tertentu sepanjang sungai. V.3.2 Kalibrasi dan Verifikasi II (dengan 2 orde sungai dynamic wave) Untuk mengatasi permasalahan slope yang kecil di daerah muara, dilakukan penambahan 1 orde sungai lagi yang dihitung menggunakan dynamic wave. Hasil pemodelan dapat dilihat pada gambar-gambar di bawah ini. Debit Hasil Perhitungan dan Observasi Q (m3/s) 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 0 5 10 15 Perhitungan Observasi Waktu (hari) Gambar V.47. Debit pada Sungai Citarum hasil verifikasi II Terlihat pada Gambar V.47. Debit pada Sungai Citarum hasil verifikasi II hasil debit di Nanjung dengan penambahan 1 orde sungai yang dihitung dengan dynamic wave mempunyai nilai debit yang mirip dengan debit observasi. Slope dari alur anak sungai di daerah mendekati muara tiap sub das di Sungai Citarum (sungai utama) yang cenderung datar tidak terlalu berpengaruh lagi karena suku-suku dinamis dari persamaan momentum diperhitungkan semua. V-27

Volume DRO hasil perhitungan adalah 3,51x10 7 m 3 atau sekitar 83% dari volume DRO debit observasi yaitu 4,25x10 7 m 3. Pengaruh pengabaian suku-suku dinamis untuk perhitungan grid di luar orde ke-2 masih terlihat dengan adanya deviasi volume DRO hasil perhitungan dan observasi. V-28

Bab V... 1 Analisa dan Diskusi... 1 V.1 Pemilihan data... 1 V.2 Analisa Topografi... 2 V.2.1 Pendekatan DEM... 2 V.2.2 Analisa Outlet, dan Pit... 3 V.2.3 Karakteristik Sub Das/Pengaruh Parameter DAS... 7 V.3 Kalibrasi dan Verifikasi Model... 23 V.3.1 Kalibrasi dan Verifikasi I (dengan 1 orde sungai dynamic wave) 23 V.3.2 Kalibrasi dan Verifikasi II (dengan 2 orde sungai dynamic wave) 27 Gambar V.1. Kondisi Topografi DAS Citarum... 2 Gambar V.2. Arah aliran hasil analisa DEM... 4 Gambar V.3. Arah aliran, outlet, pit, dan batas sub das Cimahi (grid 1000 m x 1000 m)... 5 Gambar V.4. Ilustrasi penyesuaian data DEM (i=2, j=12) dan (i=1, j=14)... 6 Gambar V.5. Kondisi 3-D Sub Das Cimahi... 10 Gambar V.6. Kondisi 2-D Sub Das Cimahi Gambar V.7. Arah aliran di Sub Das Cimahi 10 Gambar V.8. Kondisi 3-D Sub Das Cibeureum... 11 Gambar V.9. Kondisi 2-D Sub Das Cibeureum... 11 Gambar V.10. Arah aliran di Sub Das Cibeureum... 11 Gambar V.11. Kondisi 3-D Sub Das Citepus... 12 Gambar V.12. Kondisi 2-D Sub Das Citepus... 12 Gambar V.13. Arah aliran di Sub Das Citepus... 12 Gambar V.14. Kondisi 3-D Sub Das Cikapundung... 13 Gambar V.15. Kondisi 2-D Sub Das Cikapundung... 13 Gambar V.16. Arah aliran di Sub Das Cikapundung... 13 Gambar V.17. Kondisi 3-D Sub Das Cicadas... 14 Gambar V.18. Kondisi 2-D Sub Das Cicadas... 14 Gambar V.19. Arah aliran di Sub Das Cicadas... 14 Gambar V.20. Kondisi 3-D Sub Das Cidurian... 15 Gambar V.21. Kondisi 2-D Sub Das Cidurian... 15 Gambar V.22. Arah aliran di Sub Das Cidurian... 15 Gambar V.23. Kondisi 3-D Sub Das Cipamokolan... 16 Gambar V.24. Kondisi 2-D Sub Das Cipamokolan... 16 Gambar V.25. Arah aliran di Sub Das Cipamokolan... 16 Gambar V.26. Kondisi 3-D Sub Das Cikeruh... 17 Gambar V.27. Kondisi 2-D Sub Das Cikeruh... 17 Gambar V.28. Arah aliran di Sub Das Cikeruh... 17 Gambar V.29. Kondisi 3-D Sub Das Ciwidey... 18 Gambar V.30. Kondisi 2-D Sub Das Ciwidey... 18 Gambar V.31. Arah aliran di Sub Das Ciwidey... 18 Gambar V.32. Kondisi 3-D Sub Das Cibolerang... 19 Gambar V.33. Kondisi 2-D Sub Das Cibolerang... 19 Gambar V.34. Arah aliran di Sub Das Cibolerang... 19 V-29

Gambar V.35. Kondisi 3-D Sub Das Cisangkuy... 20 Gambar V.36. Kondisi 2-D Sub Das Cisangkuy... 20 Gambar V.37. Arah aliran di Sub Das Cisangkuy... 20 Gambar V.38. Kondisi 3-D Sub Das Citarum Hulu... 21 Gambar V.39. Kondisi 2-D Sub Das Citarum Hulu... 21 Gambar V.40. Arah aliran di Sub Das Citarum Hulu... 21 Gambar V.41. Kondisi 3-D Sub Das Citarik... 22 Gambar V.42. Kondisi 2-D Sub Das Citarik... 22 Gambar V.43. Arah aliran di Sub Das Citarik... 22 Gambar V.44. Inflow lateral dari masing-masing sub das hasil verifikasi... 24 Gambar V.45. Debit pada Sungai Citarum hasil verifikasi I... 25 Gambar V.46. Efek nilai k pada hidrograf naik (Woolhiser dan Liggett, 1967).. 26 Gambar V.47. Debit pada Sungai Citarum hasil verifikasi II... 27 Tabel V.1. Perbandingan luas sub das existing dan pemodelan... 23 Tabel V.2. Nilai-nilai koefisien lahan yang dipakai... 24 V-30