Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (

PENGEMBANGAN METODE PENGELOLAAN AIRTANAH DENGAN TEORI PERMAINAN (Studi Kasus Cekungan Air Tanah Salatiga) TESIS

BAB I PENDAHULUAN. Airtanah merupakan salah satu komponen dari siklus hidrologi yang ada di

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II DESKRIPSI WILAYAH PERENCANAAN 2.1. KONDISI GEOGRAFIS DAN ADMINISTRASI

3,28x10 11, 7,10x10 12, 5,19x10 12, 4,95x10 12, 3,10x xviii

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Cekungan Air Tanah Magelang Temanggung meliputi beberapa wilayah

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Perumusan Masalah

Gambar 3 Hidrostratigrafi cekungan airbumi Jakarta (Fachri M, Lambok MH dan Agus MR 2002)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB IV HIDROGEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Bab III Geologi Daerah Penelitian

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MANUSIA. Cekungan. Air Tanah. Penyusunan. Pedoman.

BAB I PENDAHULUAN. ini, ketidakseimbangan antara kondisi ketersediaan air di alam dengan kebutuhan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

MORFOLOGI DAN KARAKTERISTIK SUNGAI SEBAGAI PENDUKUNG PANAS BUMI DI DAERAH LERENG SELATAN GUNUNG API UNGARAN

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

Jurnal APLIKASI ISSN X

BAB I PENDAHULUAN. pembangkit tenaga listrik. Secara kuantitas, jumlah air yang ada di bumi relatif

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... x

BAB III TINJAUAN WILAYAH

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

KERANGKA ACUAN KERJA ( TERM OF REFERENCE TOR )

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. modern ini, baik untuk kebutuhan sehari-hari yang bersifat individu maupun

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB IV KONDISI HIDROGEOLOGI

GAMBARAN UMUM WILAYAH

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daerah penelitian termasuk dalam lembar Kotaagung yang terletak di ujung

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

POTENSI AIR TANAH DANGKAL DAERAH KECAMATAN NGEMPLAK DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SLEMAN, D.I. YOGYAKARTA

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Tugas Akhir Pemodelan Dan Analisis Kimia Airtanah Dengan Menggunakan Software Modflow Di Daerah Bekas TPA Pasir Impun Bandung, Jawa Barat

GEOLOGI DAERAH KLABANG

DAFTAR ISI. Kata Pengantar... i. Daftar Isi... ii. Daftar Tabel... vii. Daftar Gambar... ix. Daftar Lampiran... xiv. Intisari... xv. Abstract...

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan Embung Logung Dusun Slalang, Kelurahan Tanjungrejo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus

DAFTAR ISI. BAB III TEORI DASAR Lereng repository.unisba.ac.id. Halaman

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. butiran batuan atau rekahan batuan yang dibutuhkan manusia sebagai sumber air

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TINJAUAN LOKASI

BAB IV PENGOLAHAN DATA dan ANALISIS

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terhadap barang ini pun kian meningkat seiring bertambahnya jumlah

Ahli Hidrogeologi Muda. Ahli Hidrogeologi Tingkat Muda. Tenaga ahli yang mempunyai keahlian dalam Hidrogeologi Tingkat Muda

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Wai Selabung secara administratif termasuk ke dalam wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN UMUM

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9

BAB II TINJAUAN UMUM

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB V PEMBAHASAN. menentukan tingkat kemantapan suatu lereng dengan membuat model pada

Transkripsi:

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan IV.1 Geomorfologi Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anwar dan Sukisno (1999) bentang alam daerah Salatiga dan sekitarnya dapat dibedakan menjadi 5 (lima) satuan morfologi yaitu morfologi dataran, morfologi berlereng landai, morfologi berlereng agak terjal, morfologi berlereng terjal, morfologi berlerang sangat terjal. Untuk daerah Kabupaten Semarang bentuk bentang alam dapat dikelompokan menjadi empat satuan geomorfologi yaitu pegunungan, perbukitan bergelombang terjal, perbukitan bergelombang landai dan satuan geomorfologi dataran (Wahib dkk, 1999) Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Tengah (2005), secara umum Cekungan Airtanah (CAT) Salatiga merupakan bentang alam kerucut gunung api dari Gunung Merbabu di bagian barat daya yang terbagi atas beberapa tekuk lereng yang memisahkan bagian puncak, tubuh/lereng, dan kaki gunung api. Keadaan medan daerah penyelidikan di Cekungan Airtanah (CAT) Salatiga dikelompokkan kedalam 3 (tiga) satuan morfologi yaitu satuan satuan morfologi puncak gunungapi, tubuh gunungapi dan kaki gunungapi seperti yang terdapat pada Gambar IV.1. (1) Satuan Morfologi Puncak Gunungapi Satuan ini dicirikan oleh bentuk kerucut gunungapi pada bagian puncak, yang menempati daerah penyelidikan bagian barat daya berupa puncak Gunung Merbabu dan bagian barat puncak Gunung Telomo. Ketinggian tempat umumnya lebih dari 1400 maml, dengan kemiringan lereng lebih dari 35 o. Batuan penyusun satuan morfologi daerah ini adalah endapan volkanik muda hasil kegiatan dari Gunung Merbabu yang terdiri atas lava basal dan andesit. Pola aliran sungainya menunjukkan pola radial yang divergen. 23

(2) Satuan Morfologi Tubuh Gunungapi Satuan ini menempati bagian barat daya daerah penyelidikan, melampar dari tenggara ke barat laut sepanjang lereng Gunung Merbabu dan Gunung Telomo dan menempati bagian kecil di baratlaut sebagai lereng Gunung Ungaran. Ketinggiannya antara 500-1400 maml dan kemiringan lereng antara 10 o 60 o. Satuan ini tersusun oleh endapan volkanik muda, lahar dan lava. Sungaisungai yang mengalir di daerah ini umumnya mempunyai pola aliran sub paralel dan subradial. (3) Satuan Morfologi Kaki Gunungapi Satuan ini menempati bagian besar daerah penyelidikan yang melampar mulai dari bagian tengah ke utara, timurlaut, timur dan tenggara sebagai bagian dari kaki-kaki Gunung Merbabu, Gunung Ungaran, dan Gunung Telomo. Ketinggiannya kurang dari 500 maml dan kemiringan lereng antara 5 o 30 o. Satuan morfologi ini tersusun oleh endapan-endapan volkanik dan batuan sedimen tersier. Sungai-sungai yang mengalir di daerah ini umumnya mempunyai pola aliran sub-dendritik dan radial yang konvergen di sekitar Rawa Pening. 24

Gambar IV.1 Peta Morfologi CAT Salatiga (Distamben Jateng, 2005) 25

IV.2 Geologi Berdasarkan Peta Geologi Lembar Magelang Semarang (Thanden dkk, PPPG, 1996) dan Lembar Salatiga (Sukardi dkk, PPPG, 1992) skala 1 : 100.000 dan Penelitian oleh Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Semarang (2005), maka tatanan geologi daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar IV.2, mempunyai urutan dari muda ke tua adalah sebagai berikut : (1) Batuan Gunungapi Merbabu (Qme) Terdiri dari breksi gunungapi, lava, tuf dan breksi lahar. Basal olivin dan andesit augit ditemukan sebagai kerucut utama. (2) Formasi Kaligetas (Qpkg) Terdiri dari breksi vulkanik, aliran lava, tuf, batupasir tufan dan batulempung. Breksi aliran dan lahar dengan sisipan lava dan tuf halus sampai kasar. Setempat di bagian bawahnya ditemukan batu lempung mengandung moluska dan batu pasir tufan. Batuan gunungapi yang melapuk berwarna coklat kemerahan dan sering membentuk bongkah-bongkah besar. Ketebalan berkisar 50 m sampai 200 m. Formasi ini pernah disebut sebagai lapisan Notopuro. 26

Gambar IV.2 Peta Geologi CAT Salatiga (Distamben Jateng, 2005) 27

IV.3 Hidrologi Secara umum berdasarkan posisi geografis, daerah penelitian mempunyai iklim tropis yang terbagi menjadi dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Secara garis besar sungai-sungai di CAT Salatiga bermuara di dua sungai yaitu Sungai Tuntang dan Sungai Serang. Sungai sungai tersebut alurnya berkelokkelok membentuk meander, dengan cabang-cabangnya membentuk pola aliran sejajar dan kondisi airnya selalu berair setiap musim (Anwar dan Sukisno, 1999). Berdasarkan penelitian Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Tengah (2005), CAT Salatiga mempunyai rata-rata curah hujan bulanan 186,7 mm. Sedangkan bulan kering antara bulan Mei sampai Oktober dan bulan basah antara bulan November sampai April. Suhu udara rata-rata berkisar antara 23,4 C sampai dengan 25,1 C. Besarnya aliran air permukaan (run-off) dari DAS yang berada di sekitar CAT Salatiga diperkirakan sebesar 42,2 cm atau sebesar 142,6 juta m 3 /tahun. Nilai evapotranspirasi di wilayah CAT Salatiga diperkirakan sebesar 759,3 mm/tahun atau 27,64% dari curah hujan. Sehingga dapat diperkirakan jumlah airtanah tahunan yang masuk ke dalam tanah pada CAT Salatiga yaitu sebesar 156,6 cm atau 57 % dari curah hujan (Distamben Jateng,2005). Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel IV.1. Sedangkan berdasarkan hasil pencatatan curah hujan dari 19 (sembilan belas) stasiun curah hujan di sekitar CAT Salatiga menunjukan curah hujan rata-rata tahunan adalah 2219,2 mm. Data stasiun curah hujan dapat dilihat pada Lampiran 1. Sebaran curah hujan di daerah penelitian seperti pada gambar IV.3 Tabel IV.1 Neraca air CAT Salatiga NO PARAMETER JUMLAH mm/tahun 1 Curah hujan 2747 2 Evapotranpirasi 759,3 3 Run-Off 422 4 Infiltrasi 1566 Sumber : Distamben Jateng (2005) 28

Gambar IV.3 Peta curah hujan CAT Salatiga ( DPU Pengairan Jateng dan DPU Kabupaten Semarang, 2008) 29

IV.4 Hidrogeologi Mengacu kepada Peta Hidrogeologi Lembar VII Semarang Skala 1:250.000 (Said dan Sukrisno, 1988) dan Peta Hidrogeologi Lembar IX Yogyakarta Skala 1:250.000 (Djaendi,1982), berdasarkan jenis litologi berikut kelulusannya, maka daerah CAT Salatiga termasuk dalam sistem aliran akuifer melalui celahan dan ruang antar butir dengan komposisi litologi batuan merupakan hasil endapan vulkanik muda, terdiri dari tufa, lahar, breksi dan lava andesit sampai basal. Kelulusan tinggi hingga sedang. Di daerah sekitar Puncak Gunung Merbabu termasuk dalam daerah airtanah langka. Di daerah tubuh gunungapi pada ketinggian 1000 mapl-1500 mapl merupakan akuifer produktif terdapat setempat setempat dengan keterusan sangat beragam. Pada bagian tubuh gunungapi di bawah ketinggian 1000 mapl dan kaki gunung api termasuk dalam akuifer dengan produktivitas sedang dengan penyebaran luas. Akuifer ini mempunyai keterusan sangat beragam. Sedangkan pada bagian kaki gunungapi termasuk dalam akuifer produktivitas kecil, setempat-setempat berarti, terdapat. Umumnya keterusan rendah sampai sedang, setempat-setempat airtanah dengan jumlah terbatas terdapat pada daerah lembah. Berdasarkan penelitian Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Tengah (2005), di wilayah CAT Salatiga terdapat sistem akuifer tak tertekan dan akuifer tertekan. Penyusun akuifer umumnya berupa lapisan tuf pasiran yang di beberapa lokasi berselingan dengan lapisan lahar dan lava, terutama di bagian kaki lereng Gunung Merbabu. Daerah sekitar kaki lereng Gunung Merbabu menunjukkan keterdapatan lapisan akuifer yang melalui sistem lapisan antar butir umumnya terdapat pada akuifer tak tertekan, sedangkan lapisan akuifer tertekan terdapat pada lapisan tuf pasiran yang berselingan dengan lapisan lahar dan lava. Berdasarkan hasil pengamatan dari beberapa lokasi mata air terdapat akuifer yang melalui rekahan. Sedangkan untuk wilayah bagian utara menunjukkan lapisan dari hasil gunungapi yang semakin menipis seiring dengan munculnya singkapan batuan dari Formasi Kerek yang didominasi lapisan batu lempung yang bersisipan dengan batu pasir. Batas kontak antara produk gunungapi dari Gunung Merbabu 30

dengan Formasi Kerek, merupakan batas kontak litologi CAT Salatiga di bagian utara. Penyebaran lapisan akuifer tak tertekan yaitu mulai dari kaki lereng Gunung Merbabu. Semakin ke arah utara posisi bagian bawah akuifer tak tertekan ini semakin dalam. Penyebaran lapisan akuifer tertekan semakin ke arah utara semakin menghilang mulai dari sekitar Kota Salatiga hingga Kauman Lor. Di sekitar Pabelan, lapisan akuifer tertekan mulai menghilang. Hal tersebut karena di daerah tersebut mulai ditemukan singkapan dari Formasi Kerek yang didominasi oleh lapisan batu lempung yang diduga telah mengalami pengangkatan. 31

Gambar IV.4 Peta Hidrogeologi CAT Salatiga (Peta Hidrogeologi Lembar VII dan IX) 32

IV.5 Pemanfaatan Airtanah IV.5.1 Penduduk Penelitian dilakukan pada CAT Salatiga yang meliputi sebagian besar Kota Salatiga yang meliputi 2 Kecamatan ditambah 2 kelurahan, dan sebagian Kabupaten Semarang yang terdiri dari 6 (enam) kecamatan yaitu Kecamatan Tengaran, Suruh, Pabelan, Tuntang, Bringin, dan Bancak. Jumlah penduduk di Kota Salatiga 109.770 jiwa dengan pertumbuhan penduduk berkisar 0,19 % per tahun (BPS Salatiga,2008). Sedangkan 6 kecamatan Wilayah Kabupaten Semarang mempunyai jumlah penduduk 288.570 jiwa dengan pertumbuhan penduduk berkisar 1,5 % per tahun (BPS Kabupaten Semarang, 2008). Sehingga jumlah penduduk di daerah penelitian pada tahun 2007 adalah 398.340 jiwa. Dengan data kependudukan tersebut maka dapat diperoleh perkiraan jumlah penduduk dimasa yang akan datang. Perhitungan perkiraan jumlah penduduk terdapat pada Lampiran 2. Perkiraan jumlah penduduk di CAT Salatiga pada tahun 2010 adalah berjumlah 412 ribu jiwa, sedangkan pada tahun 2020 adalah berjumlah 522 ribu, dengan rincian jumlah penduduk di CAT Salatiga pada Tabel IV.2. Tabel IV.2 Perkiraan jumlah penduduk CAT Salatiga NO LOKASI JUMLAH PENDUDUK (Jiwa) 2007 2010 2015 2020 1 Kota Salatiga 109 ribu 110 ribu 112 ribu 114 ribu 2 3 4 5 6 7 Tengaran 61 ribu 64 ribu 69 ribu 74 ribu Suruh 64 ribu 67 ribu 72 ribu 77 ribu Pabelan 37 ribu 39 ribu 42 ribu 45 ribu Tuntang 58 ribu 61 ribu 66 ribu 71 ribu Bringin 44 ribu 46 ribu 49 ribu 53 ribu Bancak 22 ribu 23 ribu 25 ribu 27 ribu Jumlah 398 ribu 412 ribu 463 ribu 522 ribu Sumber: BPS Salatiga (2008),BPS Kabupaten Semarang (2008), dan pengolahan data 33

IV.5.2 Perkiraan Kebutuhan Air Perkiraan kebutuhan air pada CAT Salatiga didasarkan atas jumlah penduduk pada wilayah tersebut dan berdasarkan standar kebutuhan air bersih yang ada. Berdasarkan standar kebutuhan air Departemen Pekerjaan Umum, secara garis besar wilayah penelitian dapat digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu kota sedang meliputi Kota Salatiga dan desa yang meliputi wilayah Kabupaten Semarang yaitu Kecamatan Tengaran, Suruh, Pabelan, Tuntang, Bringin, dan Bancak. Standar kebutuhan air domestik untuk kota sedang adalah sebesar 150 l/o/h, dan untuk desa sebesar 30 l/o/h. Sedangkan kebutuhan air nondomestik berkisar 20-30 % dari kebutuhan air domestik. Kebutuhan air di Kota Salatiga sebagian telah dipenuhi oleh PDAM Salatiga yang telah dapat melayani sekitar 66,35 % dari total kebutuhan air masyarakat Kota Salatiga (Distamben Jateng, 2005), sehingga diasumsikan sisa kebutuhan air masyarakat menggunakan airtanah. Perhitungan kebutuhan air pada CAT Salatiga secara terinci terdapat pada Lampiran 3. Perkiraan kebutuhan airtanah di CAT Salatiga pada tahun 2010 adalah berjumlah 18.851 m 3 /hari sedangkan pada tahun 2020 adalah berjumlah 22.930 m 3 /hari dengan rincian kebutuhan airtanah di CAT Salatiga pada Tabel IV.3. Tabel IV.3 Perkiraan kebutuhan airtanah CAT Salatiga NO LOKASI 1 Wilayah Kota Salatiga Wilayah Kabupaten 2 Semarang KEBUTUHAN AIR (m 3 /hari) 2007 2010 2015 2020 6.648 7.982 8.107 8.235 10.388 10.869 12.638 14.694 Jumlah 17.037 18.851 20.745 22.930 Sumber : Pengolahan Data 34

IV.6 Pemodelan Aliran Airtanah IV.6.1 Asumsi dan Batasan Dalam Pemodelan Aliran Airtanah Dalam pembuatan model aliran airtanah ini ada asumsi dan batasan, yaitu : (1) Setiap lapisan akuifer dan lapisan lempung homogen dan isotropis (2) Nilai yang dimasukan berdasarkan penelitian terdahulu (3) Kalibrasi dilakukan pada sumur gali karena tidak terdapat sumur observasi (4) Jumlah sumur bor didasarkan perkiraan kebutuhan air dan lokasi sumur bor tersebar merata (5) Debit pengambilan air didasarkan perkiraan kebutuhan air dan dilakukan pada akuifer bebas (6) Nilai nilai yang dihasilkan dalam pemodelan ini merupakan nilai relatif. (7) Interpolasi dan ekstrapolasi dari data lapangan dapat digunakan untuk melengkapi data masukan bagi pemodelan IV.6.2 Kondisi Sistem Alami Untuk mengetahui kondisi bawah pemukaan pada daerah penelitian maka dilakukan korelasi data sumur bor dan penelitian yang dilakukan oleh Distamben Jateng (2005). Pada Gambar IV.5 dan Gambar IV.6 dapat ditunjukan hasil korelasi kondisi bawah permukanan berdasarkan data log bor yang diperoleh dalam bentuk diagram pagar. Data mengenai Log Bor secara lengkap terdapat pada Lampiran 4. Berdasarkan jenis litologi dan kelulusannya di daerah penelitian terdapat Sistem akuifer dengan aliran melalui ruang antar butir dan rekahan. Penyusun akuifer di daerah penelitian merupakan sistem lapisan antar butir yang secara umum merupakan tuf pasiran yang dibeberapa lokasi berselingan dengan lapisan lahar dan lava pada bagian kaki Gunung Merbabu. Sedangkan wilayah bagian utara menunjukan lapisan dari hasil gunung berapi yang semakin menipis seiring munculnya singkapan batuan dari Formasi Kerek yang didominasi lapisan batulempung yang bersisipan dengan batupasir. Batas kontak antara produk gunung api dari Gunung Merbabu dengan Formasi Kerek merupakan batas kontak litologi CAT Salatiga di bagian utara (Distamben Jateng,2005). 35

U Gambar IV.5 Korelasi sumur bor untuk diagram pagar sistem akuifer CAT Salatiga 36

Gambar IV.6 Diagram pagar sistem akuifer CAT Salatiga 37

IV.6.3 Model Konseptual Model konseptual adalah ilustrasi dari kondisi umum dari sistem aliran airtanah dan kondisi hidrogeologi. Tujuan dari model konseptual adalah untuk menyederhanakan kondisi asli, sehingga sistem tersebut dapat dianalisis secara mudah. Penyederhanaan tersebut adalah penting karena sangat sulit untuk menggambarkan secara detail kondisi sistem nyata. U Gambar IV.7 Model konseptual 3 (tiga) dimensi sistem akuifer CAT Salatiga Pada Gambar IV.7 menunjukan model konseptual daerah penelitian. Sistem akuifer CAT Salatiga yang menjadi objek penelitian adalah akuifer bebas karena tidak tersedianya data yang cukup pada akuifer tertekan. Ketebalan akuifer tersebut berkisar antara 50-70 meter dengan litologi penyusun utama berupa pasir yang berselingan dengan lapisan breksi, lahar dan lava. Untuk memudahkan dalam proses pemodelan aliran airtanah maka lapisan akuifer diasumsikan dsisusun oleh lapisan pasir. Semakin ke arah utara akuifer ini semakin dalam. Dibawah lapisan akuifer bebas terdapat lapisan lempung dengan ketebalan antara 10-40 meter dimana semakin ke utara dan timur laut semakin tebal. Sistem akuifer CAT Salatiga mempunyai batas pemisah air permukaan di bagian selatan dan barat, serta batas kontak litologi di bagian utara dan timur (Distamben Jateng,2005). Di daerah model terdapat 4 (empat) sungai yang mengalir, dan 38

karena keterbatasan data maka diasumsikan mengalir sepanjang waktu. Pada model konseptual tersebut hujan yang turun di daerah penelitian sebagian kembali ke atmosfer melalui proses evapotranspirasi dan sebagian menjadi imbuhan airtanah. IV.6.4 Pembuatan Model IV.6.4.1 Daerah Model Daerah pemodelan pada penelitian ini secara geografis dibatasi dari utara ke selatan 9205000 mu 9173000 mu sedangkan dari arah barat ke timur 436500 mt- 461500 mt, dengan luas wilayah sekitar 32 x 25 km 2. IV.6.4.2 Diskretisasi Daerah Model Daerah model didiskretisasi menjadi 128 x 100 grid, dimana setiap grid mewakili 62500 m 2 (250 m x 250 m). Pemodelan aliran airtanah CAT Salatiga dibuat dalam 2 (dua) layer/lapisan dimana lapisan pertama adalah akuifer bebas, sedangkan lapisan kedua merupakan lapisan lempung. Akuifer bebas mempunyai ketebalan yang bervariasi mulai dari 50 meter dan pada bagian Selatan hingga mencapai 70 meter di bagian Utara dan Barat laut. Lapisan lempung mempunyai ketebalan yang bervariasi mulai dari 15 meter pada bagian Barat dan Barat Daya sampai dengan 35 meter di bagian Timur laut dan timur. IV.6.4.3 Kondisi Batas Pada penelitian ini, penentuan kondisi batas didasarkan pada penelitian yang pernah dilakukan dan pengolahan data yang diperoleh. Kondisi batas pada daerah pemodelan aliran airtanah CAT Salatiga adalah sebagai berikut : (1) Batas Tanpa Aliran Batas Tanpa aliaran pada pemodelan aliran airtanah ini berupa batas pemisah air permukaan yaitu di bagian Barat dan Selatan, dan batas 39

litologi di bagian Utara dan Timur (Distamben Jateng,2005). Batas tanpa aliran pada daerah model dapat dilihat pada Lampiran 5. (2) River Boundary Condition Pada pemodelan aliran airtanah daerah ini terdapat 4 (empat) sungai sebagai kondisi batas yaitu Sungai Gading, Sungai Piantar, Sungai Bancak, dan Sungai Senjoyo. Data masukan pada simulasi MODFLOW untuk kondisi batas sungai diperlukan nilai Conductance. Conductance merupakan parameter yang menggambarkan aliran antara permukaan badan air dengan airtanah karena adanya lapisan seepage. Tabel IV.4 Menunjukan nilai Conductance untuk setiap sungai. Kondisi batas sungai pada model dan perhitungan nilai conductance terdapat pada Lampiran 6. Tabel IV.4 Nilai conductance sungai NO SUNGAI 1 Gading Hulu Hilir 2 Piantar Hulu Hilir 3 Bancak Hulu Hilir 4 Senjoyo Hulu Hilir Sumber : Pengolahan Data CONDUCTANCE (m 2 /hari) 864 1728 864 921 769.2 1296 864 1728 (3) Recharge Boundary Condition Recharge (imbuhan) pada daerah model umumnya didasarkan dari infiltrasi air hujan. Berdasarkan penelitian Distamben Jateng (2005), nilai infiltrasi yang masuk di CAT Salatiga sekitar 57% dari curah hujan. Pada penelitian data curah hujan yang digunakan adalah data curah hujan dari 19 (sembilan belas) stasiun curah hujan di sekitar CAT Salatiga. Berdasarkan peta isohiet curah hujan, maka imbuhan pada daerah 40

penelitian dapat dibagi menjadi 5 (lima) zona seperti pada Tabel IV.5 Penyebaran zona recharge pada daerah model terdapat pada Lampiran 7. Tabel IV.5 Zona penyebaran nilai imbuhan NO ZONA IMBUHAN IMBUHAN (mm/tahun) 1 Zona 1 2 Zona 2 3 Zona 3 4 Zona 4 5 Zona 5 Sumber : Pengolahan Data 1482 1368 1254 1140 1026 (4) Evapotranspiration Boundary Condition Berdasarkan penelitian Distamben Jateng (2005), nilai Evapotranspirasi pada CAT Salatiga sekitar 27% dari curah hujan. Pada penelitian data curah hujan yang digunakan adalah data curah hujan dari 19 (sembilan belas) stasiun curah hujan di sekitar CAT Salatiga. Berdasarkan peta isohiet curah hujan, maka Evapotranspirasi pada daerah penelitian dapat dibagi menjadi 5 (lima) zona seperti pada Tabel IV.6 Penyebaran zona Evapotranspiration pada daerah model terdapat pada Lampiran 8. Tabel IV.6 Zona penyebaran nilai evapotranspirasi NO ZONA EVAPOTRANSPIRASI EVAPOTRANSPIRASI (mm/tahun) 1 Zona 1 702 2 Zona 2 648 3 Zona 3 594 4 Zona 4 540 5 Zona 5 486 Sumber : Pengolahan data 41

IV.6.5 Parameter Hidraulik Akuifer IV.6.5.1 Konduktivitas Hidrolik Nilai konduktivitas hidrolik pada pemodelan aliran airtanah CAT Salatiga diperoleh berdasarkan data pumping tes dan hasil penelitian terdahulu. Berdasarkan penelitian Distamben Jateng(2005), CAT Salatiga dibagi menjadi 3 (tiga) zona yaitu daerah lereng gunung dengan konduktivitas hidraulik berkisar antara 2 x 10-6 meter/detik - 6 x 10-5 meter/detik, daerah tubuh Gunung Merbabu dengan konduktivitas hidraulik berkisar antara 2 x 10-6 meter/detik - 4 x 10-4 meter/detik, dan daerah kaki Gunung Merbabu/dataran dengan konduktivitas hidraulik berkisar antara 2 x 10-6 meter/detik - 4 x 10-4 meter/detik. Nilai-nilai tersebut dijadikan acuan pertama dalam penentuan nilai konduktivitas hidraulik dan penyebaran konduktivitas hidraulik untuk pemodelan aliran airtanah CAT Salatiga. Sedangkan nilai konduktivitas hidraulik untuk lapisan lempung adalah sebesar 1x10-10 4,7x10-9 meter/detik (Morris dan Jhonsons, 1967 dalam Spitz dan Moreno, 1996). Nilai konduktivitas hidraulik untuk arah vertikal untuk lapisan pasir dan lempung mempunyai nilai 0,1 dari konduktivitas hidraulik arah horisontal (Papadopulos dan Larson,1978 dalam Spitz dan Moreno, 1996) Berdasarkan data tersebut dibuat zona konduktivitas hidraulik dengan nilai awal seperti pada Tabel IV.7 dan peta zona konduktivitas hidraulik terdapat pada Lampiran 9. NO Tabel IV.7 Zona konduktivitas hidraulik ZONA 1 Tubuh Gunung Merbabu 2 Kaki Gunung Merbabu 3 Lereng Gunung Merbabu 4 Lapisan Lempung Sumber : Distamben Jateng (2005) Konduktivitas Hidraulik (meter/detik) 8 x 10-5 4 x 10-5 1 x 10-5 1 x 10-9 42

IV.6.5.2 Specific Yield Nilai specific yield pada pemodelan aliran airtanah CAT Salatiga didasarkan pada nilai teoritis karena tidak adanya data nilai tersebut. Dengan asumsi penyusun akuifer adalah pasir, maka nilai specific yield mengacu pada nilai seperti pada Tabel IV.8 sebagai berikut Tabel IV.8 Nilai acuan specific yield NO MATERIAL Specific Yield (%) REFERENSI 1 Pasir Halus 0,01-0,46 Morris & Johnson, 1967 2 Pasir Sedang 0,16 0,46 Morris & Johnson, 1967 3 Pasir Kasar 0,18 0,43 Morris & Johnson, 1967 4 Lempung 0,01-0,18 Morris & Johnson, 1967 Sumber : Spitz & Moreno, 1996 IV.6.5.3 Porositas Nilai porositas pada pemodelan aliran airtanah CAT Salatiga didasarkan pada nilai teoritis karena tidak adanya data nilai tersebut. Dengan asumsi penyusun akuifer adalah pasir, maka nilai porositas mengacu pada nilai seperti pada Tabel IV.9 sebagai berikut Tabel IV.9 Nilai acuan porositas NO MATERIAL Porositas REFERENSI 1 Pasir Halus 0,26-0,53 Morris & Johnson, 1967 2 Pasir Halus Sedang 0,30-0,35 Morris & Johnson, 1967 3 Pasir Kasar 0,31-0,46 Todd, 1980 4 Lempung 0,30-0,35 Gisak & Pickens, 1967 Sumber : Spitz & Moreno, 1996 43

IV.6.6 Kalibrasi Model IV.6.6.1 Simulasi Kondisi Tunak Simulasi dalam kondisi tunak dibuat berdasarkan data Muka Airtanah (MAT) pada tahun 2005 sebagai kondisi awal dengan asumsi belum ada pemompaan. Simulasi tersebut dilakukan terhadap model awal, yaitu model yang dibuat berdasarkan data-data awal yang diperoleh dari penelitian terdahulu di CAT Salatiga. Untuk kalibrasi model ini dilakukan perbandingan antara hasil dari simulasi dengan Muka Airtanah dari sumur gali dikarenakan tidak terdapatnya sumur observasi. Untuk memperoleh model yang mendekati sistem nyata maka dilakukan perubahan nilai Konduktivitas Hidraulik dengan metode trial and error. Model aliran airtanah pada kondisi tunak dapat dilihat pada Tabel IV.10. Perubahan nilai Konduktivitas Hidraulik dilakukan untuk setiap zona secara bertahap dengan nilai parameter yang lain tetap. Hasil dari simulasi untuk kondisi tunak pada Zona 1 menunjukan bahwa Model 6 memberikan hasil yang terbaik dengan nilai Standard Error of Estimate (SEE) 10,953, nilai Standarized Root Mean Square (NRMSE) 6,276 %, dan nilai Koefisien Korelasi (r) 0,985. Nilai Konduktivitas Hidraulik Zona 1 pada model 6 ini dijadikan dasar untuk proses simulasi selanjutnya pada zona selanjutnya. Hasil dari simulasi untuk kondisi tunak pada Zona 2 menunjukan bahwa Model 13 memberikan hasil yang terbaik dengan nilai Standard Error of Estimate (SEE) 5,051, nilai Standarized Root Mean Square (NRMSE) 2,339 %, dan nilai Koefisien Korelasi (r) 0,997. Nilai Konduktivitas Hidraulik Zona 1 dan Zona 2 pada model 14 ini dijadikan dasar untuk proses simulasi selanjutnya pada zona yang lain. Hasil dari simulasi untuk kondisi tunak pada Zona 1 menunjukan bahwa Model 19 memberikan hasil yang terbaik dengan nilai Standard Error of Estimate (SEE) 5,041, nilai Standarized Root Mean Square (NRMSE) 2,333 %, dan nilai 44

Koefisien Korelasi (r) 0,997. Hasil lengkap untuk simulasi pada kondisi tunak terdapat pada Lampiran 10. Hasil terbaik yang diperoleh pada simulasi pada kondisi tunak ditunjukan pada model 19 dimana nilai Konduktivitas Hidraulik untuk Zona 1 adalah 1,4 x 10-4 meter/detik, Zona 2 adalah 1,2 x 10-4 meter/detik, Zona 3 adalah 3 x 10-5 meter/detik. Tabel IV.10 Model aliran airtanah pada kondisi tunak NO MODEL 1 Model Awal 2 Model 1 3 Model 2 4 Model 3 5 Model 4 6 Model 5 7 Model 6 8 Model 7 9 Model 8 10 Model 9 11 Model 10 12 Model 11 13 Model 12 14 Model 13 15 Model 14 16 Model 15 17 Model 16 18 Model 17 19 Model 18 20 Model 19 21 Model 20 22 Model 21 ZONA 1 K (meter/detik) ZONA 2 K (meter/detik) ZONA 3 K (meter/detik) 8 x 10-5 4 x 10-5 1 x 10-5 1 x 10-5 4 x 10-5 1 x 10-5 2 x 10-5 4 x 10-5 1 x 10-5 4 x 10-5 4 x 10-5 1 x 10-5 1 x 10-4 4 x 10-5 1 x 10-5 1,2 x 10-4 4 x 10-5 1 x 10-5 1,4 x 10-4 4 x 10-5 1 x 10-5 1,6 x 10-4 4 x 10-5 1 x 10-5 1,8 x 10-4 4 x 10-5 1 x 10-5 1,4 x 10-4 -5 1 x 10-5 2 x 10 1,4 x 10-4 -5 1 x 10-5 4 x 10 1,4 x 10-4 -5 1 x 10-5 8 x 10 1,4 x 10-4 -4 1 x 10-5 1 x 10 1,4 x 10-4 -4 1 x 10-5 1,2 x 10 1,4 x 10-4 -4 1 x 10-5 1,4 x 10 1,4 x 10-4 -4 4 x 10-6 1,2 x 10 1,4 x 10-4 -4 1,2 x 10 6 x 10-6 1,4 x 10-4 -4 1,2 x 10 8 x 10-6 1,4 x 10-4 -5 1,2 x 10 1 x 10-5 1,4 x 10-4 -4 1,2 x 10 3 x 10-5 1,4 x 10-4 -4 1,2 x 10 5x 10-5 1,4 x 10-4 -4 1,2 x 10 7 x 10-5 45

IV.6.6.2 Simulasi Kondisi Tidak Tunak Simulasi pada kondisi tidak tunak menggunakan data dari tahun 2006 sampai dengan 2008. Dikarenakan tidak adanya data lokasi sumur dan jumlah pengambilan airtanah maka pengambilan airtanah diasumsikan pada akuifer bebas dan berdasarkan standar kebutuhan air masyarakat, selain itu lokasi sumur diasumsikan menyebar diseluruh area penelitian. Jumlah pengambilan airtanah dianggap rata-rata kebutuhan air dari tahun 2006 sampai 2008 yaitu untuk Kota Salatiga 7.076,69 m 3 /hari dan Wialyah Kabupaten Semarang 10.391,67 m 3 /hari. Sebagai kondisi awal (Initial Condition) digunakan data Muka Airtanah dari hasil simulasi kondisi tunak yang telah dikalibrasi diatas. Untuk kalibrasi model kondisi tidak tunak ini dilakukan perbandingan antara hasil dari simulasi dengan Muka Airtanah dari sumur gali dikarenakan tidak terdapatnya sumur observasi. Untuk memperoleh model yang mendekati sistem nyata maka dilakukan perubahan nilai Konduktivitas Hidraulik dan Specific Yield dengan metode trial and error. Model aliran airtanah pada kondisi tidak tunak dapat dilihat pada Tabel IV.11. Perubahan nilai Konduktivitas Hidraulik dan Specific Yield dilakukan untuk setiap zona secara bertahap dengan nilai parameter yang lain tetap. 46

Tabel IV.11 Model aliran airtanah pada kondisi tidak tunak NO MODEL PARAMATER HIDRAULIK ZONA 1 ZONA 2 ZONA 3 NO MODEL PARAMATER HIDRAULIK ZONA 1 ZONA 2 ZONA 3 1 Model Awal K (m/detik) 8 x 10-5 4 x 10-5 1 x 10-5 11 Model 10 K (m/detik) 4 x 10-5 4 x 10-5 1 x 10-5 Sy 0.25 0.25 0.25 Sy 0.35 0.25 0.25 2 Model 1 K (m/detik) 8 x 10-5 4 x 10-5 1 x 10-5 12 Model 11 K (m/detik) 4 x 10-5 4 x 10-5 1 x 10-5 Sy 0.15 0.25 0.25 Sy 0.45 0.25 0.25 3 Model 2 K (m/detik) 8 x 10-5 4 x 10-5 1 x 10-5 13 Model 12 K (m/detik) 1.6 x 10-4 4 x 10-5 1 x 10-5 Sy 0.35 0.25 0.25 Sy 0.15 0.25 0.25 4 Model 3 K (m/detik) 8 x 10-5 4 x 10-5 1 x 10-5 14 Model 13 K (m/detik) 1.6 x 10-4 4 x 10-5 1 x 10-5 Sy 0.45 0.25 0.25 Sy 0.25 0.25 0.25 5 Model 4 K (m/detik) 2 x 10-5 4 x 10-5 1 x 10-5 15 Model 14 K (m/detik) 1.6 x 10-4 4 x 10-5 1 x 10-5 Sy 0.15 0.25 0.25 Sy 0.35 0.25 0.25 6 Model 5 K (m/detik) 2 x 10-5 4 x 10-5 1 x 10-5 16 Model 15 K (m/detik) 1.6 x 10-4 4 x 10-5 1 x 10-5 Sy 0.25 0.25 0.25 Sy 0.45 0.25 0.25 7 Model 6 K (m/detik) 2 x 10-5 4 x 10-5 1 x 10-5 17 Model 16 K (m/detik) 2.4 x 10-4 4 x 10-5 1 x 10-5 Sy 0.35 0.25 0.25 Sy 0.15 0.25 0.25 8 Model 7 K (m/detik) 2 x 10-5 4 x 10-5 1 x 10-5 18 Model 17 K (m/detik) 2.4 x 10-4 4 x 10-5 1 x 10-5 Sy 0.45 0.25 0.25 Sy 0.25 0.25 0.25 9 Model 8 K (m/detik) 4 x 10-5 4 x 10-5 1 x 10-5 19 Model 18 K (m/detik) 2.4 x 10-4 4 x 10-5 1 x 10-5 Sy 0.15 0.25 0.25 Sy 0.35 0.25 0.25 10 Model 9 K (m/detik) 4 x 10-5 4 x 10-5 1 x 10-5 20 Model 19 K (m/detik) 2.4 x 10-4 4 x 10-5 1 x 10-5 Sy 0.25 0.25 0.25 Sy 0.45 0.25 0.25 47

NO MODEL PARAMATER HIDRAULIK ZONA 1 ZONA 2 ZONA 3 NO MODEL PARAMATER HIDRAULIK ZONA 1 ZONA 2 ZONA 3 21 Model 20 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1 x 10-5 1 x 10-5 31 Model 30 K (m/detik) 1.6 x 10-4 4 x 10-5 1 x 10-5 Sy 0.45 0.15 0.25 Sy 0.45 0.35 0.25 22 Model 21 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1 x 10-5 1 x 10-5 32 Model 31 K (m/detik) 1.6 x 10-4 4 x 10-5 1 x 10-5 Sy 0.45 0.25 0.25 Sy 0.45 0.45 0.25 23 Model 22 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1 x 10-5 1 x 10-5 33 Model 32 K (m/detik) 1.6 x 10-4 8 x 10-5 1 x 10-5 Sy 0.45 0.35 0.25 Sy 0.45 0.15 0.25 24 Model 23 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1 x 10-5 1 x 10-5 34 Model 33 K (m/detik) 1.6 x 10-4 8 x 10-5 1 x 10-5 Sy 0.45 0.45 0.25 Sy 0.45 0.25 0.25 25 Model 24 K (m/detik) 1.6 x 10-4 2 x 10-5 1 x 10-5 35 Model 34 K (m/detik) 1.6 x 10-4 8 x 10-5 1 x 10-5 Sy 0.45 0.15 0.25 Sy 0.45 0.35 0.25 26 Model 25 K (m/detik) 1.6 x 10-4 2 x 10-5 1 x 10-5 36 Model 35 K (m/detik) 1.6 x 10-4 8 x 10-5 1 x 10-5 Sy 0.45 0.25 0.25 Sy 0.45 0.45 0.25 27 Model 26 K (m/detik) 1.6 x 10-4 2 x 10-5 1 x 10-5 37 Model 36 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 1 x 10-5 Sy 0.45 0.35 0.25 Sy 0.45 0.15 0.25 28 Model 27 K (m/detik) 1.6 x 10-4 2 x 10-5 1 x 10-5 38 Model 37 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 1 x 10-5 Sy 0.45 0.45 0.25 Sy 0.45 0.25 0.25 29 Model 28 K (m/detik) 1.6 x 10-4 4 x 10-5 1 x 10-5 39 Model 38 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 1 x 10-5 Sy 0.45 0.15 0.25 Sy 0.45 0.35 0.25 30 Model 29 K (m/detik) 1.6 x 10-4 4 x 10-5 1 x 10-5 40 Model 39 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 1 x 10-5 Sy 0.45 0.25 0.25 Sy 0.45 0.45 0.25 48

NO MODEL PARAMATER HIDRAULIK ZONA 1 ZONA 2 ZONA 3 NO MODEL PARAMATER HIDRAULIK ZONA 1 ZONA 2 ZONA 3 41 Model 40 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 2.5 x 10-6 51 Model 50 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 1 x 10-5 Sy 0.45 0.45 0.15 Sy 0.45 0.45 0.35 42 Model 41 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 2.5 x 10-6 52 Model 51 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 1 x 10-5 Sy 0.45 0.45 0.25 Sy 0.45 0.45 0.45 43 Model 42 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 2.5 x 10-6 53 Model 52 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 2 x 10-5 Sy 0.45 0.45 0.35 Sy 0.45 0.45 0.15 44 Model 43 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 2.5 x 10-6 54 Model 53 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 2 x 10-5 Sy 0.45 0.45 0.45 Sy 0.45 0.45 0.25 45 Model 44 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 5 x 10-6 55 Model 54 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 2 x 10-5 Sy 0.45 0.45 0.15 Sy 0.45 0.45 0.35 46 Model 45 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 5 x 10-6 56 Model 55 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 2 x 10-5 Sy 0.45 0.45 0.25 Sy 0.45 0.45 0.45 47 Model 46 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 5 x 10-6 57 Model 56 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 4 x 10-5 Sy 0.45 0.45 0.35 Sy 0.45 0.45 0.15 48 Model 47 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 5 x 10-6 58 Model 57 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 4 x 10-5 Sy 0.45 0.45 0.45 Sy 0.45 0.45 0.25 49 Model 48 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 1 x 10-5 59 Model 58 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 4 x 10-5 Sy 0.45 0.45 0.15 Sy 0.45 0.45 0.35 50 Model 49 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 1 x 10-5 60 Model 59 K (m/detik) 1.6 x 10-4 1.6 x 10-4 4 x 10-5 Sy 0.45 0.45 0.25 Sy 0.45 0.45 0.45 49

Hasil dari simulasi untuk kondisi tidak tunak pada Zona 1 menunjukan bahwa Model 15 memberikan hasil yang terbaik dengan nilai Absolut Residual Mean (ARM) 19,922, Standard Error of Estimate (SEE) 8,843, nilai Standarized Root Mean Square (NRMSE) 4,536 %, dan nilai Koefisien Korelasi (r) 0,993. Nilai Konduktivitas Hidraulik dan Specific Yield Zona 1 pada model 6 ini dijadikan dasar untuk proses simulasi selanjutnya pada zona berikutnya. Hasil dari simulasi untuk kondisi tidak tunak pada Zona 2 menunjukan bahwa Model 39 memberikan hasil yang terbaik dengan nilai Absolut Residual Mean (ARM) 13,431, Standard Error of Estimate (SEE) 5,3, nilai Standarized Root Mean Square (NRMSE) 2,511 %, dan nilai Koefisien Korelasi (r) 0,998. Nilai Konduktivitas Hidraulik dan Specific Yield zona 1 dan Zona 2 pada model 39 ini dijadikan dasar untuk proses simulasi selanjutnya pada zona berikutnya. Hasil dari simulasi untuk kondisi tidak tunak pada Zona 3 menunjukan bahwa Model 56 memberikan hasil yang terbaik dengan nilai Absolut Residual Mean (ARM) 13,385, Standard Error of Estimate (SEE) 5,286, nilai Standarized Root Mean Square (NRMSE) 2,503 %, dan nilai Koefisien Korelasi (r) 0,998. Hasil lengkap untuk simulasi pada kondisi tidak tunak terdapat pada Lampiran 11. Hasil terbaik yang diperoleh pada simulasi pada kondisi tidak tunak ditunjukan pada model 56 dimana nilai Konduktivitas Hidraulik untuk Zona 1 adalah 1,6 x 10-4 meter/detik dengan Specific Yield 0,45, Zona 2 adalah 1,6 x 10-4 meter/detik dengan Specific Yield 0,45, Zona 3 adalah 4 x 10-5 meter/detik dengan Specific Yield 0,15. Sehingga model 56 tersebut merupakan Model Akhir (Final Model) pada kondisi tidak tunak 50

IV.6.7 Hasil Pemodelan Setelah dilakukan simulasi pada daerah model sistem CAT Salatiga, pada kondisi tunak diperoleh hasil terbaik dimana nilai Konduktivitas Hidraulik untuk Zona 1 adalah 1,4 x 10-4 meter/detik, Zona 2 adalah 1,2 x 10-4 meter/detik, Zona 3 adalah 3 x 10-5 meter/detik. Hasil simulasi pada kondisi tunak ini menjadi initial condition bagi proses simulasi selanjutnya yaitu pada kondisi tidak tunak. Pada kondisi tidak tunak diperoleh hasil terbaik nilai Konduktivitas Hidraulik untuk Zona 1 adalah 1,6 x 10-4 meter/detik dengan Specific Yield 0,45, Zona 2 adalah 1,6 x 10-4 meter/detik dengan Specific Yield 0,15, Zona 3 adalah 8 x 10-5 meter/detik dengan Specific Yield 0,15. Dari model akhir yang telah dikalibrasi tersebut dapat diperoleh nilai Keseimbangan Airtanah (groundwater balance) pada CAT Salatiga. Sistem akuifer bebas pada CAT Salatiga paremeter sebagai berikut Storage input 76561,36 m 3 /hari dan Storage output 193,87 m 3 /hari, wells input 0 m 3 /hari dan wells output 18.078 m 3 /hari, river leakage input 10.753,57 m 3 /hari dan river output 957.476,2 m 3 /hari, evapotranspirasi input 0 m 3 /hari dan evapotranspirasi output 241.940 m 3 /hari, recharge input 1.130.861 m 3 /hari dan recharge output 0 m 3 /hari. Sehingga pada akuifer bebas CAT Salatiga aliran input sebesar 1,22 x 10 6 m 3 /hari dan output 1,22 x 10 6 m 3 /hari. Model akhir pada kondisi tidak tunak ini digunakan sebagai dasar dalam proses simulasi selanjutnya yaitu untuk memperkirakan pengaruh pengambilan airtanah terhadap penurunan Muka Airtanah di CAT Salatiga IV.7 Kebijakan Pengelolaan Airtanah Secara garis besar pengelolaan airtanah mencakup pada pengelolaan kuantitas dan kualitas air. Pengelolaan dari segi kuantitas sangat dipengaruhi oleh ketersediaan airtanah itu sendiri. Pada penelitian ini kebijakan pengelolaan yang akan dibahas adalah dari segi kuantitas airtanah. Pembahasan akan dilakukan untuk jangka waktu 5 (lima), 10 (sepuluh) dan 20 (duapuluh) tahun kedepan. Data mengenai pengambilan airtanah di daerah penelitian terbatas, oleh karena itu pengambilan airtanah diasumsikan sama dengan perhitungan standar kebutuhan air. Selain itu, 51

data mengenai jumlah, lokasi, dan pengambilan air oleh sumur bor sangat terbatas. Oleh karena itu lokasi sumur diasumsikan menyebar dan pengambilan pada akuifer bebas. Pada penelitian ini untuk menganalisis kebijakan pengelolaan airtanah di CAT Salatiga menggunakan pendekatan Teori Permainan IV.7. 1 Kerangka Teori Permainan Untuk Kebijakan Pengelolaan Airtanah (1) Pemain (Players) Pemain adalah pihak yang mempunyai kepentingan. Pemain dapat berupa individu, kelompok individu, atau organisasi. Pemain dapat ditulis dengan simbol i. Dalam penelitian ini yang bertindak sebagai pemain adalah Kota/Kabupaten yang mempunyai wilayah adminitratif berada dalam CAT Salatiga, yaitu Kota Salatiga untuk selanjutnya disebut sebagai pemain baris, dan Kabupaten Semarang untuk selanjutnya disebut sebagai pemain kolom. (2) Jenis Permainan (Game) Jenis Permainan merupakan suatu aturan yang menjelaskan bagaimana cara pemain dalam memilih strategi. Jenis permainan untuk menggambarkan kondisi di dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Two Person Non Constant-Sum Games. Jenis permainan ini menggambarkan pihak yang memiliki kepentingan berjumlah 2 (dua) pihak dimana untuk setiap strategi yang dipilih oleh salah satu pihak akan memberikan hasil yang tidak tetap (non constant). Yang dimaksud tidak tetap disini adalah hasil keuntungan yang diperoleh dari salah satu pihak tidak sama dengan hasil kerugian yang dialami pihak yang lain. Misalkan, untuk suatu strategi yang dilakukan oleh Kota Salatiga akan memberikan pengaruh sampai wilayah Kabupaten Semarang dengan hasil yang diperoleh oleh Kota Salatiga berbeda dengan hasil yang diperoleh Kabupaten Semarang. 52

(3) Strategi Strategi adalah tindakan pilihan yang mungkin dilakukan oleh para pemain. Dalam penelitian ini strategi merupakan kebijakan pengelolaan airtanah yang diambil oleh masing-masing pihak. Kebijakan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah berupa kebijakan standar yaitu kebijakan dimana masing-masing pihak melakukan pengambilan airtanah diasumsikan sama dengan standar kebutuhan air. Untuk selanjutnya disebut Kebijakan Pertama, sedangkan kebijakan yang kedua yaitu mengurangi pengambilan airtanah. Penurunan tersebut dapat memenuhi kebutuhan air berdasarkan asumsi perhitungan perubahan standar kebutuhan domestik dari yang sebelumnya 150 l/o/h menjadi 130 l/o/h untuk Kota Salatiga, dan perubahan standar kebutuhan non domestik dari sebelumnya 20 % menjadi 10 % dari kebutuhan domestik untuk Wilayah Kabupaten Semarang. Sehingga terjadi penurunan pengambilan air ratarata 10 %. Kebutuhan airtanah untuk CAT Salatiga dapat dilihat pada Tabel IV.12. Tabel IV.12 Perkiraan kebutuhan airtanah di CAT Salatiga PENGAMBILAN AIRTANAH (m 3 /hari) NO WILAYAH 2013 2018 2028 STANDAR DITURUNKAN STANDAR DITURUNKAN STANDAR DITURUNKAN 1 Kota Salatiga 8.019,45 7.122,98 8,082.31 7,177.47 8,209.82 7,287.98 2 Kabupaten Semarang 11.372,19 10.424,46 12,262.61 11,240.72 14,694.67 13,470.12 Sumber : Pengolahan data (4) Pembayaran (Payoff) Pembayaran adalah nilai yang mencerminkan hasil yang akan diperoleh oleh pemain. Pembayaran dapat diartikan sebagai suatu ukuran keefektifan seperti uang, persentase, atau utilitas. Menurut Kuchanur dan Uddameri (2006), pada penelitian airtanah perhitungan Pembayaran (Payoff) dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan perbandingan (ratio) antara 53

jumlah air yang diambil di suatu wilayah (Q dalam m 3 ) dengan penurunan Muka Airtanah di wilayah tersebut ( h dalam meter). Jumlah Airtanah yang diambil merupakan indikator dari keuntungan ekonomi sedangkan penurunan MAT (draw down) mencerminkan dampak terhadap lingkungan. Payoff = Jumlah Air Tanah yang Diambil( Q) Draw Down( h) Dari komponen-komponen tersebut diatas, maka akan terbentuk suatu kerangka pendekatan Teori Permainan untuk kebijakan pengelolaan CAT Salatiga. Komponen-komponen diatas membentuk suatu Permainan (Game), dimana Pemain (Players) adalah Kota Salatiga sebagai Pemain Baris dan Kabupaten Semarang sebagai Pemain Kolom. Setiap pemain memiliki 2 (dua) alternatif strategi berupa kebijakan pengambilan airtanah dengan debit standar dan pengambilan airtanah dengan debit yang diturunkan. Kerangka teori permainan tersebut dapat digambarkan dalam suatu matrik seperti pada Tabel IV.13. Tabel IV. 13 Matriks payoff untuk two person non constant-sum games Pemain j S j S j Pemain i S i U i (S i, S j ), U j (S i, S j ) U i (S i, S j ), U j (S i, S j ) S i U i (S i, S j ), U j (S i, S j ) U i (S i, S j '), U j (S i,s j ') Dimana Pemain i adalah Kota Salatiga Pemain j adalah Kabupaten Semarang S i S i : Kebijakan Kota Salatiga untuk Pengambilan Airtanah Standar : Kebijakan Kota Salatiga untuk Pengambilan Airtanah Diturunkan 54

S j : Kebijakan Kabupaten Semarang untuk Pengambilan Airtanah Standar S j : Kebijakan Kabupaten Semarang untuk Pengambilan Airtanah Diturunkan U i (S i, S j ) U i (S i, S j ') U i (S i, S j ) U i (S i, S j ) : Nilai Pay Off Kota Salatiga jika Kota Salatiga melakukan Pengambilan Airtanah Standar dan Kabupaten Semarang melakukan Pengambilan Airtanah Standar : Nilai Pay Off Kota Salatiga jika Kota Salatiga melakukan Pengambilan Airtanah Standar dan Kabupaten Semarang melakukan Pengambilan Airtanah Diturunkan : Nilai Pay Off Kota Salatiga jika Kota Salatiga melakukan Pengambilan Airtanah Diturunkan dan Kabupaten Semarang melakukan Pengambilan Airtanah Standar : Nilai Pay Off Kota Salatiga jika Kota Salatiga melakukan Pengambilan Airtanah Turun dan Kabupaten Semarang melakukan Pengambilan Airtanah Diturunkan U j (S i, S j ) : Nilai Pay Off Kabupaten Semarang jika Kota Salatiga melakukan Pengambilan Airtanah Standar dan Kabupaten Semarang melakukan Pengambilan Airtanah Standar U j (S i, S j ) : Nilai Pay Off Kabupaten Semarang jika Kota Salatiga melakukan Pengambilan Airtanah Diturunkan dan Kabupaten Semarang melakukan Pengambilan Airtanah Standar U j (S i, S j ) : Nilai Pay Off Kabupaten Semarang jika Kota Salatiga melakukan Pengambilan Airtanah Standar dan Kabupaten Semarang melakukan Pengambilan Airtanah Diturunkan U j (S i, S j ') : Nilai Pay Off Kabupaten Semarang jika Kota Salatiga melakukan Pengambilan Airtanah Diturunkan dan Kabupaten Semarang melakukan Pengambilan Airtanah Diturunkan Untuk menentukan nilai payoff pada Permainan diatas dilakukan dengan menggunakan simulasi dari pemodelan airtanah di CAT Salatiga. Model yang digunakan adalah Model Akhir pada kondisi tidak tunak dan dilakukan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun kedepan yaitu dari tahun 2009 sampai 2013, 10 (sepuluh) tahun kedepan sampai dengan 2018, dan 20 (duapuluh) tahun kedepan sampai dengan 2028. Dengan pemodelan airtanah tersebut dapat dilakukan simulasi untuk setiap Kebijakan yang diambil oleh masing-masing pihak sehingga akan diperoleh perkiraan jumlah air yang diambil dan juga penurunan MAT (draw down) yang dialami oleh masing-masing pihak. 55

IV.7.2 Simulasi Alternatif Kebijakan Pengelolaan Airtanah Untuk mengetahui pengaruh alternatif kebijakan maka dilakukan simulasi dalam kondisi tidak tunak dengan perangkat lunak MODFLOW dengan model akhir (Final Model) yang telah diperoleh. Simulasi dilakukan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun kedepan yaitu dari tahun 2009 sampai 2013, 10 (sepuluh) tahun kedepan sampai dengan 2018, dan 20 (duapuluh) tahun kedepan sampai dengan 2028. Jumlah pengambilan sesuai dengan perkiraan pengambilan airtanah pada Tabel IV.12. Lokasi dan jumlah sumur sama dengan pada Model Akhir tersebut, sedangkan penambahan debit pengambilan airtanah dilakukan pada beberapa sumur hingga memenuhi perkiraan kebutuhan air yang telah dihitung. IV.7.2.1 Simulasi Alternatif Kebijakan Pengelolaan Airtanah Sampai 2013 (1) Pengambilan airtanah Kota Salatiga standar sebesar 8019 m 3 /hari, Kabupaten Semarang standar sebesar 11372 m 3 /hari Dari simulasi selama 5 (lima) tahun dapat diperoleh bahwa dengan kebijakan pengambilan airtanah standar untuk kedua pihak maka Kota Salatiga mengambil airtanah sebesar 14,64 juta m 3 dengan interval penurunan airtanah antara 1 sampai 4 meter, dan dapat diperoleh nilai Pay Off sebesar 5.193.798. Sedang wilayah Kabupaten Semarang pengambilan airtanah 20,75 juta m 3 dengan interval penurunan airtanah antara 1 sampai 4 meter, dan dapat diperoleh nilai Pay Off sebesar 16.028.367. Simulasi airtanah pada kebijakan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 12. (2) Pengambilan airtanah Kota Salatiga standar sebesar 8019 m 3 /hari, Kabupaten Semarang turun menjadi sebesar 10424 m 3 /hari Dari simulasi selama 5 (lima) tahun dapat diperoleh bahwa dengan kebijakan pengambilan airtanah yang tetap, Kota Salatiga mengambil airtanah sebesar 14,64 juta m 3 dengan interval penurunan airtanah antara 1 sampai 4 meter, dan dapat diperoleh nilai Pay Off sebesar 5.228.777. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa Kota Salatiga mengalami kenaikan nilai Pay Off, hal tersebut disebabkan adanya penurunan nilai draw down 56

sebagai pengaruh dari berkurangnya debit pengambilan air di wilayah Kabupaten Semarang. Sedang wilayah Kabupaten Semarang dengan pengambilan airtanah yang diturunkan maka jumlah airtanah yang diambil 19,02 juta m 3 dengan interval penurunan airtanah antara 1 sampai 4 meter, dan dapat diperoleh nilai Pay Off sebesar 14.672.848. Dengan kebijakan ini terjadi penurunan nilai Pay Off yang diperoleh akibat berkurangnya debit air yang diambil, walaupun terjadi penurunan nilai drawdown. Simulasi airtanah pada kebijakan ini secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 13. (3) Pengambilan airtanah Kota Salatiga turun menjadi sebesar 7123 m 3 /hari, Kabupaten Semarang standar sebesar 11372 m 3 /hari Dari simulasi selama 5 (lima) tahun dapat diperoleh bahwa dengan kebijakan pengambilan airtanah yang diturunkan, Kota Salatiga mengambil airtanah sebesar 13 juta m 3 dengan interval penurunan airtanah antara 1 sampai 4 meter, dan dapat diperoleh nilai Pay Off sebesar 4.886.734. Dengan kebijakan ini terjadi penurunan nilai Pay Off yang diperoleh akibat berkurangnya debit air yang diambil, walaupun terjadi penurunan nilai drawdown. Sedang wilayah Kabupaten Semarang pengambilan airtanah 20,75 juta m 3 dengan interval penurunan airtanah antara 1 sampai 4 meter, sehingga dapat diperoleh nilai Pay Off sebesar 16.064.106. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa Kabupaten Semarang mengalami kenaikan nilai Pay Off, hal tersebut disebabkan adanya penurunan nilai draw down sebagai pengaruh dari berkurangnya debit pengambilan air di wilayah Kota Salatiga. Simulasi airtanah pada kebijakan ini secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 14. (4) Pengambilan airtanah Kota Salatiga turun menjadi sebesar 7123 m 3 /hari, Kabupaten Semarang turun menjadi sebesar 10424 m 3 /hari Dari simulasi selama 5 (lima) tahun dapat diperoleh bahwa dengan kebijakan pengambilan airtanah di kedua belah pihak yang diturunkan, Kota Salatiga mengambil airtanah sebesar 13 juta m 3 dengan interval penurunan airtanah antara 1 sampai 3 meter, sehingga dapat diperoleh 57

nilai Pay Off sebesar 4.897.380. Dengan kebijakan ini terjadi penurunan nilai Pay Off yang diperoleh berkurang akibat berkurangnya debit air yang diambil, walaupun terjadi penurunan nilai drawdown. Sedang wilayah Kabupaten Semarang pengambilan airtanah 19,02 juta m 3 dengan interval penurunan airtanah antara 1 sampai 4 meter, sehingga dapat diperoleh nilai Pay Off sebesar 14.744.327. Dengan kebijakan ini terjadi penurunan nilai Pay Off yang diperoleh berkurang akibat berkurangnya debit air yang diambil, walaupun terjadi penurunan nilai drawdown. Akan tetapi apabila dibandingkan dengan penurunan pengambilan airtanah hanya pada satu pihak, maka penurunan pengambilan airtanah secara bersamaan akan memberikan hasil yang lebih baik akibat terjadi penurunan drawdown yang lebih besar. Simulasi airtanah pada kebijakan ini secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 15. IV.7.2.2 Simulasi Alternatif Kebijakan Pengelolaan Airtanah Sampai 2018 (1) Pengambilan airtanah Kota Salatiga standar sebesar 8082 m 3 /hari, Kabupaten Semarang standar sebesar 12267 m 3 /hari Dari simulasi selama 10 (sepuluh) tahun dapat diperoleh bahwa dengan kebijakan pengambilan airtanah standar untuk kedua pihak maka Kota Salatiga mengambil airtanah sebesar 29,39 juta m 3 dengan interval penurunan airtanah antara 1 sampai 5 meter, dan dapat diperoleh nilai Pay Off sebesar 8.836.256. Sedang wilayah Kabupaten Semarang pengambilan airtanah 43,13 juta m 3 dengan interval penurunan airtanah antara 1 sampai 6 meter, dan dapat diperoleh nilai Pay Off sebesar 28.626.348. Simulasi airtanah pada kebijakan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 12. (2) Pengambilan airtanah Kota Salatiga standar sebesar 8082 m 3 /hari, Kabupaten Semarang turun menjadi sebesar 11241 m 3 /hari Dari simulasi selama 10 (sepuluh) tahun dapat diperoleh bahwa dengan kebijakan pengambilan airtanah yang tetap, Kota Salatiga mengambil airtanah sebesar 29,39 juta m 3 dengan interval penurunan airtanah antara 1 sampai 5 meter, dan dapat diperoleh nilai Pay Off sebesar 8.843.944. 58

Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa Kota Salatiga mengalami kenaikan nilai Pay Off, hal tersebut disebabkan adanya penurunan nilai draw down sebagai pengaruh dari berkurangnya debit pengambilan air di wilayah Kabupaten Semarang. Sedang wilayah Kabupaten Semarang dengan pengambilan airtanah yang diturunkan maka jumlah airtanah yang diambil 39,54 juta m 3 dengan interval penurunan airtanah antara 1 sampai 6 meter, dan dapat diperoleh nilai Pay Off sebesar 28.028.277. Dengan kebijakan ini terjadi penurunan nilai Pay Off yang diperoleh akibat berkurangnya debit air yang diambil, walaupun terjadi penurunan nilai drawdown. Simulasi airtanah pada kebijakan ini secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 13. (3) Pengambilan airtanah Kota Salatiga turun menjadi sebesar 7177 m 3 /hari, Kabupaten Semarang standar sebesar 12262 m 3 /hari Dari simulasi selama 10 (sepuluh) tahun dapat diperoleh bahwa dengan kebijakan pengambilan airtanah yang diturunkan, Kota Salatiga mengambil airtanah sebesar 26,1 juta m 3 dengan interval penurunan airtanah antara 1 sampai 5 meter, dan dapat diperoleh nilai Pay Off sebesar 8.642.423. Dengan kebijakan ini terjadi penurunan nilai Pay Off yang diperoleh akibat berkurangnya debit air yang diambil, walaupun terjadi penurunan nilai drawdown. Sedang wilayah Kabupaten Semarang pengambilan airtanah 43,13 juta m 3 dengan interval penurunan airtanah antara 1 sampai 6 meter, sehingga dapat diperoleh nilai Pay Off sebesar 30.472.633. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa Kabupaten Semarang mengalami kenaikan nilai Pay Off, hal tersebut disebabkan adanya penurunan nilai draw down sebagai pengaruh dari berkurangnya debit pengambilan air di wilayah Kota Salatiga. Simulasi airtanah pada kebijakan ini secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 14. (4) Pengambilan airtanah Kota Salatiga turun menjadi sebesar 7177 m 3 /hari, Kabupaten Semarang turun menjadi sebesar 11241 m 3 /hari Dari simulasi selama 10 (sepuluh) tahun dapat diperoleh bahwa dengan kebijakan pengambilan airtanah di kedua belah pihak yang diturunkan, 59

Kota Salatiga mengambil airtanah sebesar 26,1 juta m 3 dengan interval penurunan airtanah antara 1 sampai 5 meter, sehingga dapat diperoleh nilai Pay Off sebesar 8.724.045. Dengan kebijakan ini terjadi penurunan nilai Pay Off yang diperoleh berkurang akibat berkurangnya debit air yang diambil, walaupun terjadi penurunan nilai drawdown. Sedang wilayah Kabupaten Semarang pengambilan airtanah 39,54 juta m 3 dengan interval penurunan airtanah antara 1 sampai 6 meter, sehingga dapat diperoleh nilai Pay Off sebesar 28.146.634. Dengan kebijakan ini terjadi penurunan nilai Pay Off yang diperoleh berkurang akibat berkurangnya debit air yang diambil, walaupun terjadi penurunan nilai drawdown. Akan tetapi apabila dibandingkan dengan penurunan pengambilan airtanah hanya pada satu pihak, maka penurunan pengambilan airtanah secara bersamaan akan memberikan hasil yang lebih baik akibat terjadi penurunan drawdown yang lebih besar. Simulasi airtanah pada kebijakan ini secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 15. IV.7.2.3 Simulasi Alternatif Kebijakan Pengelolaan Airtanah Sampai 2028 (1) Pengambilan airtanah Kota Salatiga standar sebesar 8203 m 3 /hari, Kabupaten Semarang standar sebesar 14695 m 3 /hari Dari simulasi selama 20 (duapuluh) tahun dapat diperoleh bahwa dengan kebijakan pengambilan airtanah standar untuk kedua pihak maka Kota Salatiga mengambil airtanah sebesar 59,23 juta m 3 dengan interval penurunan airtanah antara 1 sampai 6 meter, dan dapat diperoleh nilai Pay Off sebesar 15.228.448. Sedang wilayah Kabupaten Semarang pengambilan airtanah 94,08 juta m 3 dengan interval penurunan airtanah antara 1 sampai 8 meter, dan dapat diperoleh nilai Pay Off sebesar 56.322.150. Simulasi airtanah pada kebijakan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 12. 60