BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi menunjukkan bahwa peranan bahasa sangatlah penting bagi masyakat penuturnya. Pemakaian bahasa menuntut penguasaan semua hal dalam bahasa misalnya menguasai ketepatan dalam penggunaan bahasa tersebut dalam berkomunikasi dengan masyarakat lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Wardaugh (1988) bahwa pengetahuan tentang bagaimana mengucapkan sama pentingnya dengan apa yang diucapkan. Sebagai alat komunikasi bahasa terdiri atas dua bagian yaitu bentuk dan makna atau isi. Bentuk bahasa adalah bagian dari bahasa yang diserap panca indra entah dengan mendengar atau membaca. Sedangkan makna adalah isi yang terkandung di dalam bentuk-bentuk tadi, yang dapat menimbulkan reaksi tertentu. Hubungan antara bahasa dengan sistem sosial dan sistem sistem komunikasi sangat erat. Sebagai sistem sosial pemakaian bahasa dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial seperti usia, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi dan profesi. Sedangkan dalam sistem komunikasi, pemakaian bahasa dipengaruhi oleh faktor situasional bagaiman, dengan tujuan apa, jalur apa (tulisan, lisan) dan ragam bagaimana. (Nababan, 1986:7) Masyarakat atau kelompok tertentu dan beberapa wilayah lain di propinsi utama tersebut mempunyai pedoman yang berupa adat, kebiasaan, norma, nilai, dan peraturan yang ditetapkan bersama oleh para anggota masyarakat yang 1
bersangkutan untuk mengatur warganya dalam berkomunikasi dan berhubungan(kartomiharjo, 1988, 2). Begitu juga pemakaian bahasa Jawa yang digunakan untuk komunikasi pembelajaran bahasa Jawa di SMP Negeri 1 Sambi yang mempunyai kebiasaan, ciri khas, dan tingkat tuturnya sendiri. Tatanan kehidupan dalam proses globalisasi telah membawa perubahan dam kehidupan masyarakat. Keadaan ini mengakibatkan masuknya bahasa-bahasa asing misalnya bahasa Inggris, Arab dan sebagainya dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat maupun di dunia pendidikan sehingga mempengaruhi perkembangan bahasa dan bahkan bahasa daerah tertentu misalnya bahasa Jawa. Bahasa Jawa merupakan bahasa daerah yang digunakan di propinsi Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. Keberadaan bahasa Jawa akibat pengaruh budaya global terutama pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa asing sehingga bahasa Jawa mulai dilupakan dan bahkan ditinggalkan, mengakibatkan masyarakat mulai kurang menghargai dan bahkan siswa juga kurang mengerti Bahasa Jawa. Kondisi seperti ini memberikan pendidikan bahasa yang salah terhadap pemakaian Bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka terbiasa menggunakan bahasa Jawa yang salah dan tidak tepat, padahal Bahasa Jawa merupakan Bahasa jati diri suku Jawa, untuk itu bahasa Jawa harus didukung oleh semua penggunanya atau penuturnya dan dikembangkan dalam masyarakat dan dunia pendidikan agar tidak mengalami kepunahan. Bahasa jawa harus tetap mampu memperkokoh jati diri dan kepribadian orang Jawa. Walaupun pada sisi lain, sebagai bagian dari masyarakat global, bahasa Jawa harus bersikap lentur dan luwes dalam menerima pengaruh dari bahasa-bahasa asing. Dalam dunia pendidikan khususnya di propinsi Jawa 2
Tengah, Yogjakarta dan Jawa Timur dalam pembelajaran diadakan pelajaran bahasa Jawa yang bertujuan untuk menjaga bahasa Jawa tidak mengalami kepunahan dan untuk mengajarkan sopan santun pada para anak didik. Bahasa Jawa dalam dunia pendidikan masih banyak mengalami permasalahan dan kendala. Salah satu contoh masalah yang perlu mendapat perhatian adalah fenomena alternasi yaitu keadaan diman seorang penutur menggunakan dua bahasa atau lebih dalam tuturnya. Thaha (1985:6) mengatakan bahwa bahasa merupakan sarana perekat yang mempertalikan orang-orang dalam sistem kemasyarakatan selain sebagai unsur pendukung kebudayaan. Sehubungan dengan hal ini dapat disebutkan bahwa masalah bahasa adalah masalah sosiolinguistik yang menyangkut beraneka ragam kepentingan di dalam suatu masyarakat. Koentjaraningrat (1967) mengatakan bahwa bahasa merupakan satu unsur yang paling penting dalam suatu kebudayaan. Suatu kebudayaan yang tinggi derajatnya didukung oleh suatu bahasa yang berfungsi sebagai alat komunikasi praktis diantara masyarakat penutur. Dilihat fungsinya bahasa dapat dengan jelas bahwa bahasa-bahasa daerah yang menyokong bahasa nasional itu sendiri. Bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari sudah pasti menjadi faktor yang penting dalam kemajuan bahasa nasional. Pada saat berkomunikasi, masyarakat Indonesia mempunyai dua bahasa yaitu bahasa daerah dan nasional. Bahasa daerah merupakan bahasa pertama yang dimiliki sejak lahir dan bahasa kedua yaitu bahasa yang kemudian dikuasai setelah bahasa pertama, bahasa kedua bahkan bahasa ketiga dan seterusnya. Untuk lebih lanjut dapat dikatakan bahwa pada saat berkomunikasi masyarakat yang bilingual harus memilih bahasa mana yang digunakan dalam berkomunikasi. 3
Pemilihan bahasa atau peralihan bahasa sering disebut sebagai alih kode atau campur kode. Alih kode ialah penggunaan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain, sedangkan campur kode adalah penggunaan satu bahasa tertentu dengan dicampuri serpihan bahasa-bahasa lain (Chaer, 1995:2003). yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Suwito dalam Chaer dan Agustina (2010:114) juga membagi alih kode menjadi dua jenis yaitu, alih kode intern dan alih kode ekstern. Alih kode intern yaitu alih kode yang berlangsung antarbahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya. Sedangkan alih kode ekstern yaitu alih kode yang terjadi antara bahasa (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing.contohnya bahasa Indonesia ke bahasa Jepang, atau sebaliknya. Permasalahan pemakaian bahasa termasuk permasalahan dalam bidang sosiolinguistik, di dalam masyarakat yang bilingual sering terjadi, sehingga masalah campur kode kerap dilakukan sebagai akibat dari penguasaan bahasa lebih dari satu. Contohnya murid A dan B berkomunikasi dalam terjadi sebelum pelajaran bahasa Jawa yaitu murid A bertanya kepada murid B yang sedang sibuk didalam kelas, Contoh (1) A : Kowe lagi ngapa? B : Aku lagi mengerjakan PR bahasa Jawa? B : Kowe wis nggarap? A : Durung aku lagi kerjakan bahasa Inggris. 4
Sesuai dengan percakapan diatas terjadi sebuah peristiwa campur kode antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia yang terdapat pada kata mengerjakan merupakan kata yang terdapat dalam bahasa Indonesia yang mempunyai arti baru mengerjakan, sedangkan dalam bahasa Jawa mengerjakan itu sama dengan kata nggarap sehingga terjadinya pemakaian campur kode. Dialog pada contoh 1 terdapat campur kode dalam bahasa Indonesia yaitu mengerjakan dan aku lagi kerjakan, yaitu menggunakan bahasa Jawa yang didalamnya terdapat serpihaserpihan bahasa Indonesia. Contoh (2) Pak Guru Murid Pak Guru Murid : Kowe wis padha mudheng? : Dereng pak, kula dereng mengerti. : Sing durung mudheng sing endi? : Pak, tentang nulis jawa. Pada contoh 2 disitu terjadi percakapan guru dengan siswa, dalam percakapan itu terdapat campur kode yang dilakukan siswa, yaitu campur kode bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia. Campur kode yang terjadi menggunakan bahasa Indonesia yaitu mengerti yang memiliki padanan dalam bahasa Jawa mangertos. Selain itu, campur kode juga terjadi pada kata tentang nulis. Bahasa Jawa dalam masyarakat Jawa itu mempunyai pedoman atau tuntunan yang digunakan sebagai dasar penggunaan bahasa Jawa, karena bahasa Jawa itu mempunyai dua kiblat, yaitu dialek Surakarta dan dialek Yogyakarta yang digunakan sebagai pedoman untuk penggunaan bahasa Jawa. Dalam hal ini Boyolali merupakan kabupaten yang berada di Karisidenan Surakarta sehingga dalam penggunaan bahasa Jawa setiap harinya menggunakan dialek Surakarta. 5
SMP Negeri 1 Sambi merupakan salah satu sekolah yang berada di Kabupaten Boyolali sehingga dalam berkomunikasi sehari-hari didunia pendidikan menggunakan dialek Surakarta. Bahasa Jawa merupakan salah satu pelajaran yang diajarkan di SMP Negeri 1 Sambi, tetapi dalam proses pembelajarannya kurang disenangi oleh siswa sehingga pembelajaran bahasa Jawa dalam kenyataanya banyak kendalakendala yang menghambat misalnya siswa tidak senang bahasa Jawa, kurang mengerti kosa kata bahasa jawa dan kuranganya pengertian tentang arti-arti kata dalam bahasa Jawa, sehingga banyak siswa yang menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dan dalam pelajaran bahasa Jawa guru harus mengerti kendala-kendala yang dihadapi oleh siswa didiknya, salah satunya dengan menggunakan campur kode maupun alih kode dalam setiap proses belajar mengajar yang digunakan untuk penyampaiannya sehingga siswa diharapakan tertarik untuk mengikuti proses belajar mengajar bahasa Jawa. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan fenomena yang telah disebutkan di atas, penelitian ini hanya mengkhususkan pada kajian campur kode Bahasa Jawa dengan bahasa-bahasa apa saja yang digunakan pada siswa SMP Negeri 1 Sambi Kabupaten Boyolali. Dirumuskan sebagai berikut: 1. Jenis Kode apa saja yang ada dalam proses belajar mengajar bahasa Jawa di SMP Negeri 1 Sambi Kabupaten Boyolali? 2. Bagaimana bentuk dan jenis campur kode dalam proses belajar mengajar bahasa Jawa di SMP Negeri 1 Sambi Kabupaten Boyolali? 6
3. Apa faktor-faktor eksternal, alasan campur kode dan fungsi alih kode dalam proses proses belajar mengajar bahasa Jawa di SMP Negeri 1 Sambi Kabupaten boyolali? 1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang diungkapkan diatas, maka penelitian ini mempunya tujuan yaitu; 1. Mendeskripsikan Jenis Kode yang terjadi dalam proses belajar mengajar bahasa Jawa di SMP Negeri 1 Sambi Kabupaten Boyolali. 2. Mendeskripsikan bentuk dan jenis campur kode yang terjadi dalam proses belajar menngajar bahasa Jawa di SMP Negeri 1 Sambi Kabupaten Boyolali. 3. Mendeskripsikan faktor-faktor eksternal terjadinya campur kode, alas an campur kode dan fungsi alih kode apa saja yang mempengaruhi terjadinya campur kode dan alih kode dalam proses belajar mengajar bahasa Jawa di SMP Negeri 1 Sambi Kabupaten Boyolali. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis Manfaat Penelitian ini untuk menambah pengetahuan tentang penelitian dibidang sosiolinguistik. 2. Manfaat Teoritis Sebagai acuan bagi peneliti lain untuk meneliti lebih dalam tentang kebahasaan khususnya di bidang sosiolinguistik. 7
1.5 Tinjauan Pustaka Penelitian tentang alih kode atau campur kode telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnnya, tetapi hal tersebut masih banyak hal yang bisa diteliti, baik penelitian yang bersifat melengkapi ataupun yang bersifat baru atau belum pernah diteliti. Adapun beberapa penelitian terdahulu yang sudah melakukan penelitian yang relevan denga penelitian ini adalah Siti Maslikhah (2004), Booni Tauhid (2008), Risa Dwi Ariyanti (2009). Siti Maslikhah dalam Tesisnya (2004) melakukan penelitian yang berjudul Bahasa Jawa dalam Ketoprak Humor RCTI tinjauan Sosiolinguitik dalam tesisnya Siti Maslikhah menjelasakan tentang pemakaian bahasa, alih kode dan campur kode yang terjadi dalam Ketoprak Humor RCTI. Booni Tauhid (2008) menulis tesis berjudul analisis Alih kode pada mahasiswa jurusan menejemen perhotelan dan menejemen pariwisata akademi medan, hasil penelitiannya bahwa terjadi campur kode dan alih kode antara mahasiswa perhotelan dan akademi pariwisata. Booni Tauhid menjelaskan terjadinya campur kode dan alih kode yang terjadi antara bahasa dengan bahasa asing yaitu bahasa Inggris. Riza Dwi Ariyanti (2009) dalam skripsinya yang berjudul analisis Alih Kode dan Campur Kode penggunaan Bahasa pada acara Empat Mata. Di sini diketahui wujud alih kode dan wujud campur kode pada bahasa dalam acara empat mata. Hasil dari penelitian ini bahwa terjadi alih kode dan campur kode bahasa Indonesia, Bahasa Jawa dan Bahasa Inggris. 8
Penelitian yang akan dilaksanakan ini dibandingkan dengan penelitian yag terdahulu ada bedanya, yaitu penelitian ini dilaksanakan dalam proses belajar mengajar yang terjadi dalam dunia pendidikan dan mendeskripsikan campur kode dan alih kode. Bahasa yang dijadikan penelitian ini adalah campur kode bahasa Jawa. 1.6 Landasan Teori Campur kode yang dikaji dalam penelitian ini menggunakan berbagai teori yang dijadikan pedoman untuk mendukung penelitian ini. Pemakaian bahasa dalam sebuah interaksi atau komunikasi sering disebut bentuk interaksi yang terjadi dalam situasi kongkret. Sebagai gejala sosial, bahasa, dan pemakaian bahasa ditentukan oleh faktor-faktor linguistik dan non-linguistik, antara lain faktor sosial penutur tersebut. Adapun faktor-faktor sosial yaitu status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya. Menurut pendapat (Suwito, 1985:2 3) pemakain bahasa sering dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional, yaitu siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai apa. Ini relevan dengan bahasa Jawa yang masih menggunakan tingkatan-tingkatan kedudukan dalam pemilihan bahasa yang digunakan dalam tuturan, karena bahasa Jawa masih menggunakan unggah-ungguh basa. Fasold (1984) di dalam Chaer (1995 : 152) menjelaskan bahwa kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase satu bahasa dan dia memasukkan kata tersebut kedalam bahasa yang digunakannya dalam berkomunikasi, maka dia telah melakukan campur kode. 9
Di dalam campur kode terdapat hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Yang dimaksud dengan peranan adalah siapa yang menggunakan bahasa itu, sementara fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Campur kode dapat menunjukan juga identifikasi peranan tertentu, identifikasi register, keinginan dan tafsiran tertentu. Campur kode dengan unsur-unsur bahasa daerah menunjukkan kekhasan daerah tersebut. Menurut Chaer (1995) bahwa setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan namun masih memiliki keotonomian masing-masing dan dilakukan secara sadar dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu maka disebut dengan alih kode, sedangkan campur kode adalah percampuran bahasa atau kode namun ada sebuah kode yang utama atau dominan yang memiliki funsi dan tingkat korespodensi yang tinggi sebagai sebuah kode, sedangkan bahasa lain hanyalah berupa serpiha-serpihan (kata, frasa atau klausa) saja. Rahardi (2006: 24-25) menyebutkan bahwa komunikasi multilingual atau multibahasa akan mengalami berbagai macam kode kebahasaan dan pergeseran kebahasaan dalam setiap pertuturan antar warganya; peristiwa pergeseran kebahasaan itu bisa terjadi di dalam aneka macam ranah (domain) dan kesempatan (chance) sebagai akibat kompleksitas dalam pembelajaran dan pemahaman bahasa bersangkutan. Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalam campur kode dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain (a) penyisipan unsur-unsur yang berujud kata, (b) penyisipan unsur-unsur yang berujud bentuk baster, (c) penyisipan unsur-unsur frasa, (d) penyisipan unsur-unsur yang berujud perulangan 10
kata, (e) penyisipan unsur-unsur yang berujud ungkapan atau idom, dan (f) penyisipan unsur-unsur yang berujud klausa. 1.6.1 Bahasa dalam konteks sosial Bahasa merupakan suatu bentuk perilaku sosial yang digunakan sebagai sarana komunikasi dengan melibatkan sekurang-kurangnya dua orang peserta. Oleh karena itu berbagai faktor sosial yang berlaku dalam komunikasi, seperti hubungan peran di antara peserta komunikasi, tempat komunikasi berlangsung, tujuan komunikasi, situasi komunikasi, status sosial, pendidikan, usia dan jenis kelamin juga dapat mempengaruhi dalam penggunaan bahasa. Didalam pemakaian bahasa tidak hanya dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor linguistik, tetapi jug dipengaruhi faktor-faktor non linguistik misalnya faktor sosial dan faktor situasional. Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi, berkomunikasi berarti menyampaikan pesan dari orang lain ke pihak lain dengan menggunakan bahasa. Setiap berkomunikasi dengan bahasa harus mengetahui tentang kaidah bahasa, seperti tata bahasa, sistem bunyi, dan leksikon. Selain itu harus mengerti juga aspek-aspek sosial budaya atau kebudayaan masyarakat bahasa yang akan kita pelajari. Troike (1982:25) menyatakan bahwa kompetensi komunikatif tidak hanya mencakup pengetahuan tentang bahasa, tetapi juga mencakup pengetahuan tentang bahasa, tetapi juga mencakup kemampuan menggunakan bahasa itu sesuai dengan konteks sosial budaya. Dari pendapat itu kompetensi komunikatif tidak hanya berisi pengetahuan tentang masalah kegramatikalan suatu ujaran, tetapi 11
juga berisi pengetahuan tentang patut atau tidaknya suatu ujaran itu digunakan menurut status penutur dan pendengar, ruang dan waktu pembicaraan, dan ranah yang melingkupi situasi pembicaraan itu. 1.6.2 Kontak bahasa Apabila dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh seorang penutur yang sama, maka dapat dikatakan bahwa bahasa tersebut saling kontak. Terjadinya peristiwa saling kontak ini karena penutur mampu menguasai dua bahasa atau lebih sehingga didalam komunikasi dia dapat menggunakan bahasa yang diketahui. Mackay (1977:554) dalam Rohmana (2000:13) memberikan pengertian kontak bahasa sebagai pengaruh bahasa yang satu kepada bahasa yang lain baik langsung maupun tidak langsung. Suwito (1985:39) mengemukakan bahwa kontak bahasa terjadi dalam situasi kontak sosial, yaitu situasi dimana seseorang belajar bahasa kedua didalam masyarakat. Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa kontak bahasa menyebabkan adanya pengaruh terhadap bahasa pertama yang dimiliki dwibahasawan. Berdasarkan pandangan diatas, jelas bahwa kontak bahasa meliputi segala peristiwa persentuhan bahasa. Peristiwa ini mengakibatkan adanya kemungkinan pergantian pemakaian bahasa oleh penutur dalam kontak sosialnya. Fenomena semacam ini terjadi dalam wujud campur kode dan alih kode. 12
1.6.3 Campur Kode Di antara sesama penutur yang bilingual atau multilingual sering dijumpai suatu gejala yang dapat dipandang sebagai suatu kekacauan berbahasa. Fenomena ini berbentuk penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa tertentu dalam satu kalimat. Dengan demikian campur kode dapat didefenisikan sebagai penggunaan lebih dari satu bahasa atau kode dalam satu wacana (Ohoiwutun, 1996:69). Chaer dan Agustina (1995:114) menjelaskan bahwa campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian dari sebuah bahasa dalam suatu masyarakat tutur, di mana salah satu merupakan kode utama atau kode dasar yang digunakan yang memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja. Dalam campur kode terdapat serpihan-serpihan suatu bahasa yang digunakan oleh seorang penutur. Serpihan di sini dapat berupa kata, frasa, atau unit bahasa yang lebih besar. Menurut Fasold campur kode ialah fenomena yang lebih lembut daripada fenomena alih kode. Dalam campur kode terdapat serpihan-serpihan suatu bahasa yang digunakan oleh seorang penutur, tetapi pada dasarnya dia menggunakan satu bahasa yang tertentu. Serpihan disini dapat berbentuk kata, frasa atau unit bahasa yang lebih besar. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (2005: 190) campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, dimana pemakaianya berupa kata, klausa, idiom, sapaan dan sebagainya. 13
Campur kode memiliki ciri-ciri yakni tidak ditentukan oleh pilihan kode, tetapi berlangsung tanpa hal yang menjadi tuntutan seseorang untuk mencampurkan unsur suatu varian bahasa ke dalam bahasa lain, campur kode berlaku pada bahasa yang berbeda, terjadi pada situasi yang informal maupun situasi formal terjadi hanya kalau tidak tersedia kata atau ungkapan dalam bahasa yang sedang digunakan. Perbedaan antara alih kode dengan campur kode ialah pertama alih kode itu mengarah pada terjemahan dan padanan istilah code switching, sedangkan campur kode merupakan terjemahan dan padanan istilah kode mixing dalam bahasa Inggris. Kedua dalam alih kode ada kondisi yang menuntut penutur beralih kode, dan hal itu menjadi kesadaran penutur, sedangkan campur kode terjadi tanpa ada kondisi yang menuntut pencampuran kode itu. Dan ketiga pada alih kode penutur menggunakan dua varian baik dalam bahasa yang sama maupun dalam bahasa yang berbeda. Pada campur kode yang terjadi bukan peralihan kode, tetapi bercampurnya unsur suatu kode ke kode yang sedang digunakan oleh penutur. 1.6.4 Bentuk Campur Kode Dalam berkomunikasi, seringkali penutur menggunakan dua bahasa (campur kode). Campur kode yang digunakan dapat berupa penyisipan kata, frasa, atau klausa. Campur kode bentuk kata adalah penyusupan unsur bahasa asing yang berbentuk kata. Kata merupakan satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal atau gabungan morfem (Kridalaksana, 2001:98-99). Campur kode bentuk frase adalah kelompok kata yang merupakan bagian fungsional dari tuturan yang lebih panjang (Veerhar, 2004: 291-292). Frase 14
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif. Frase adalah satuan konstruksi yang terdiri atas dua kata atau lebih yang membentuk satu kesatuan (Keraf, 1984:138). Frase juga didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonprediktif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat (Chaer, 1991:222). Menurut Prof. M. Ramlan, frase adalah satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau lebih dan tidak melampaui batas fungsi atau jabatan (Ramlan, 2001:139). Abreviasi adalah proses penanggalan atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga jadilah bentuk baru yang berstatus kata. Istilah lain untuk abreviasi adalah pemendekan, sedang hasil prosesnya disebut kependekan (Kridalaksana, 1996:162). 1.6.5 Alih Kode Alih kode adalah penggunaan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa lain pada keperluan lain (Chaer, 1995:203). Alih kode atau code switching adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain dalam suatu peristiwa tutur. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa daerah. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat multilingual dimana masing-masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi masingmasing dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya. Apple (1976:79 melalui Chaer dan Agustina,2010: 107-108) mendefinisikan alih kode itu sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubah situasi. Berbeda dengan Apple yang menyatakan alih kode itu antarbahasa, maka Hymes (1875) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi 15
antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam suatu bahasa.. Dengan demikian, alih kode merupakan gejala peralihan pemakaian bahasa, ragam dan gaya karena perubahan peran dan situasi dalam tuturan. Adapun contoh Alih kode terdapat pada dialog dibawah ini. Contoh 3 (3a) Guru : Dina iki ulangan bahasa Jawa bab siji. (Hari ini ulangan bahasa Jawa bab satu). (3b) Siswa : Nggih pak. (Iya Pak) (3c) Guru : Ulangan saiki open book. (Ulangan sekarang buka buku). Contoh 3. Alih kode yang digunakan guru dalam proses belajar mengajar adalah Sekarang kita ulangan bahasa Jawa, ulangan kita sekarang no (3c) open book, jadi kalian boleh melihat buku catatan atau buku paket. Open book adalah bahasa Inggris yang artinya sistem ujian yang boleh melihat buku catatan atau buku paket. 1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Pendekatan Penelitian Kajian bahasa memperlakukan bahasa sebagai bahasa yang tidak statis, karena bahasa setiap saat terjadi perkembangan yang terus maju sejalan dengan perkembangan sosial budaya pemakai bahasa atau seorang penutur. Pendekatan kepada bahasa dapat dilakukan dengan dua pendektan yaitu dengan pendekatan deskritif ( sinkronis) dan pendekatan historis (diakronis). Sinkronis yaitu dengan 16
mempelajari berbagai aspek pada suatu masa tertentu, sedangkan menurut historis yaitu dengan mempelajari perkembangan dari waktu ke waktu (Kridalaksana 2005 : 12). Di dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode diskritif kualitatif, dimana akan dipaparkan secara diskripsi yang sistematis dan akurat mengenai data yang diteliti. Metode ini yang dipilih karena peneliti yang dilakukan bertujuan menggambarkan dengan jelas dan tepat sebuah objek yang diteliti secara alamiah. (Djajasudarman 1993 : 8-9) Kajian deskritif menurut Chaer (1980 : 139) kajian deskritif biasanya dilakukan terhadap struktur internala bahasa, yakni struktur bunyi (fonologi), struktur kata (morfologi), struktur kalimat (sintaksis), struktur wacana dan struktur semantik. Kajian deskriptif ini dilakukan dengan mula-mula mengumpulkan data, mengklasifikasi data kemuadian merumuskan kaidah-kaidah terhadap keteraturan yang terdapat data tersebut. Sugiyono (2005:23) menyebutkan bahwa metode kualitatif paling cocok digunakan untuk mengembangkan teori yang dibangun melalui data yang diperoleh melalui lapangan, dengan metode kualitatif peneliti melakukan pengumpulan data selanjutnya. Kajian kualitatif menurut Chaer (2007 : 11) pada dasarnya menyusun teori, bukan untuk menguji teori. Kajian kualitatif ini untuk menemukan pengetahuan baru, atau merumuskan teori berdasarkan data yang dikumpulkan. 17
1.7.2 Data dan Sumber data Data yang diperoleh dalam penelitian ini bersumber dari bahasa lisan yang secara langsung dan empiris terjadinya campur kode yang dituturkan oleh siswa SMP Negeri 1 Sambi Kabupaten Boyolali yaitu kelas 9A dan kelas 8A, dimana kelas tersebut dijadikan respondent untuk penelitian ini. Chaer (2000 : 134-135) menyatakan bahwa bahasa itu dipakai atau digunakan dalam berbagai tindak kegiatan dan kehidupan, maka kiranya objek, topik, atau materi yang bisa dijadikan sumber data bisa yang dijadikan kajian secara umum. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tuturan siswa SMP Negeri 1 Sambi kabupaten Boyolali, khususnya kelas 8A dan 9A yang masingmasing berjumlah kelas 8A sebanyak 30 anak dan kelas 9A sebanyak 30 anak, jadi jumlah sampel yang digunakan sejumlah 60 anak. Pengambilan data dilaksanakan pada waktu pembelajaran bahasa Jawa dengan waktu selama tiga minggu, selama tiga minggu peneliti mengikuti 6 kali pertemua,karena dalam pembelajaran bahasa Jawa di SMP Negeri 1 Sambi dilaksanakan dua kali pertemuan dalam satu minggunya. Jumlah data yang didapat dalam pengambilan data sebanyak kurang lebih sekitar 250 dan digunakan sebagai data sekitar 50 sapai 55 data. Karena data yang diambil tidak semua terdapat campur kode yang dimaksut oleh peneliti, sehingga hanya mengambil sebagian sebagai data penelitian ini. 18
1.7.3 Teknik pengumpulan data Pada penelitian ini pengumpulan data alamiah dilakukan dengan cara merekam, mencatat, dan mengelompokkan data menurut ciri-ciri, faktor dan jenis yang ada kaitanya dengan perumusan masalah dalam penelitian ini. Moleong (2000) menyatakan bahwa pengamatan tidak bisa berdiri sendiri, artinya peneliti tidak dapat melakukan penelitian tanpa mencatat data-datanya. Oleh karena itu selain pengamatan penulis melakukan pengumpulan data dengan cara merekam, mencatat dan mengamti tuturan dimana terjadinya campur kode dalam situasi tutur, mengidentifikasi serta mengelompokkan faktor-faktor campur kode dan jenis campur kode yang paling dominan. 1.7.4 Teknik Pengolahan Data Setelah semua data sudah terkumpul, pengolahan data dilakukan dengan beberapa tahap. Tahap pertama menuliskan tuturan lisan ke dalam tulisan sehingga akan tergambarkan terjadi campur kode pada siswa SMP Negeri 1 Sambi Kabupaten Boyolali. Kemudian dipilih tuturan-tuturan yang akan dianalisis. Tahap kedua adalah analisis jenis kode, bentuk, jenis campur kode, faktor, fungsi alih kode dan alasan campur kode. Tahap ketiga adalah menyimpulkan hasil penelitian campur kode pada siswa SMP Negeri 1 Sambi Kabupaten Boyolali. 1.7.5 Analisis Data Metode kajian yang dipakai dalam pengolahan data adalah dengan mengunakan analisis induktif. Menurut Sugiyono (2005 :89) analisis data kualitatif bersifat induktif dengan suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh 19
selanjutnya dikembangkan oleh si peneliti tersebut dengan menambahi dengan data-data lain. Dajajasudarman (1993:60-61) menyatakan metode kajian dengan teknik pemilihan data berdasarkan kategori (kriteria) tertentu dari segi kegramatikalan. Berdasarkan uraian diatas, data sebagai objek penelitian ini dianalisis dengan metode kajian padan, khususnya metode kajian padan translasional karena dengan metode ini menjadikan objek penelitian sebagai standar baku berdasarkan kesepadanan, dan kesamaanya. Semua data yang diperoleh diseleksi sesuai landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini dari mulai menuliskan tuturan lisan ke dalam tulisan sehingga tergambarkan terjadinya campur kode, mengelompokkan sesuai dengan analisis jenis kode, bentuk, jenis campur kode, faktor, fungsi dan alasan campur kode yang sesuai dengan landasan teori, dan menjelaskan fungsi campur kode di dalam proses belajar mengajar di SMP Negeri 1 Sambi. 1.8 Sistematika penulisan BAB I : Pada bab ini berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian, tinjauan pustaka landasan teori, metode, dan sistematika penulisan. BAB II : Mendeskripsikan jenis kode yang terjadi dalam proses belajar mengajar bahasa Jawa di SMP Negeri 1 Sambi Kabupaten Boyolali? 20
BAB III: Mendeskripsikan bentuk dan jenis campur kode yang mempengaruhi terjadinya campur kode dalam proses belajar mengajar bahasa Jawa di SMP Negeri 1 Sambi Kabupaten boyolali. BAB IV : Mendeskripsikan faktor, fungsi dan alasan alih kode yang mempengaruhi terjadinya campur kode dan alih kode dalam proses belajar mengajar bahasa Jawa di SMP Negeri 1 Sambi Kabupaten boyolali. BAB V : Penutup Simpulan dan Saran 21