BAB I PENDAHULUAN. pendidikan merupakan salah satu pondasi dasar suatu bangsa, sehingga pendidikan merupakan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan pada jaman ini sangat berkembang di berbagai negara. Sekolah sebagai

BAB I PENDAHULUAN. yang cacat, termasuk mereka dengan kecacatan yang berat di kelas pendidikan umum,

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dan berkualitas agar mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dapat membantu suatu negara dalam mencetak SDM (Sumber

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peran penting dalam pembangunan nasional. Melalui pendidikan yang baik, akan lahir manusia Indonesia yang mampu

BAB I PENDAHULUAN. tingkat dasar, menengah dan perguruan tinggi (Kemendiknas, 2010). Pendidikan yang disediakan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan adanya globalisasi yang berpengaruh pada bidang-bidang

BAB I PENDAHULUAN. dipergunakan/dimanfaatkan; serta (3) Siswa memiliki kesulitan untuk memahami

Studi Deskriptif School Engagement Siswa Kelas X, XI Dan XII IPS SMA Mutiara 2 Bandung

Studi Deskriptif Student Engagement pada Siswa Kelas XI IPS di SMA Pasundan 1 Bandung

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Sistem pendidikan nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan elemen penting bagi pembangunan bangsa. Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003, merupakan usaha sadar dan

BAB I PENDAHULUAN. penting dan sangat strategis. Sumber manusia yang berkualitas merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sarana yang menjadi jembatan penghubung peradaban bangsa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. terpenting dalam suatu perkembangan bangsa. Oleh karena itu, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu cara mencerdaskan kehidupan bangsa adalah dengan

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan dari proses pembelajaran di sekolah tersebut. Pendidikan dapat

BAB I PENDAHULUAN. manusia, karena tujuan pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan

ABSTRAK Pearson Alpha Cronbach

BAB I PENDAHULUAN. rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan belajar yang menjadi acuan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah cara yang dianggap paling strategis untuk mengimbangi

BAB I PENDAHULUAN. SMPN T Kota Bandung merupakan salah satu SMP Negeri yang. mendapat nilai akreditasi A dari pemerintah melalui Dinas Pendidikan Kota

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Tinggi Theologia adalah suatu lembaga pendidikan setingkat

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman yang maju mengikuti pertumbuhan ilmu

School Engagement pada Siswa SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang ada di dalamnya tentu perlu membekali diri agar benar-benar siap

1 2

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

BAB II KAJIAN TEORI. ada yang menyebutnya dengan istilah school engagement. Meskipun. terdapat suatu kesepakatan umum bahwa student engagement atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Batasan Usia Remaja (Hurlock 1980:206)

BAB I PENDAHULUAN. wajib mengikuti pendidikan dasar. Pendidikan dasar ditempuh selama

BAB I PENDAHULUAN. siswa SMP kelas VII. Siswa SMP kelas VII memasuki tahap remaja awal.

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. dalam ruang lingkup sekolah konsep engagement meliputi beberapa bagian, yang

Pengaruh Parent Autonomy Support terhadap School Engagement pada Siswa Kelas IV-VI SD X di Kota Bandung

ABSTRAK. iii. Universitas Kristen Maranatha

Studi Deskriptif Mengenai School Engagement pada Siswa Kelas X SMA X Bandung

BAB V. SIMPULAN, KONTRIBUSI, KETERBATASAN DAN IMPLIKASI PADA PENELITIAN BERIKUTNYA. 5.1 Simpulan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dalam dunia medis, telah membawa banyak

BAB II LANDASAN TEORI. Bab ini menguraikan definisi dan teori-teori yang dijadikan landasan berpikir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam dunia pendidikan. Keterikatan siswa oleh beberapa peneliti, pendidik dan

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan dirinya sehingga mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi.

BAB II LANDASAN TEORI. dimensi, yaitu behavioral engagement (partisipasi, tidak adanya perilaku yang

BAB I PENDAHULUAN. spesialis, dan doktor. Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha mewujudkan suasana belajar bagi peserta

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

kemampuan yang dimiliki oleh siswa semakin meningkat. Peningkatan tersebut Upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan kegiatan pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke

UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN ANTARA PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR PSIKOLOGIS DAN KETERLIBATAN SISWA DALAM BELAJAR

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya, menurut beberapa tokoh psikologi Subjective Well Being

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar perkembangan pendidikannya (Sanjaya, 2005). Menurut UU RI No

BAB I PENDAHULUAN. perubahan di berbagai bidang kehidupan, seperti bidang ilmu pengetahuan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik, untuk membentuk Sumber Daya Manusia yang berkualitas.

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan positif di berbagai bidang kehidupan baik dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. rendah. Data laporan pembangunan manusia yang dikeluarkan United Nation

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH. kerja, mendorong perguruan tinggi untuk membekali lulusannya dengan kemampuan

2015 PENGARUH MOTIVASI BELAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN SOSIOLOGI DI KELAS X IIS SMA KARTIKA XIX-2 BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui pengolahan data

Perkembangan Sepanjang Hayat

Kata Kunci: Sekolah Engagement, metode deskriptif, Convenience sampling.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keterikatan siswa pada sekolah didefinisikan seberapa terlibat dan tertarik

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui pengolahan data

Hubungan antara Parent Involvement dengan Student Engagement pada Siswa Kelas XI di SMK TI Garuda Nusantara Cimahi

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Melalui pendidikan individu diharapkan mampu untuk

ABSTRAK. ii Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membantu individu

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL i. LEMBAR PENGESAHAN ii. LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN iii

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan semakin lama semakin berkembang sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu faktor yang menentukan perkembangan suatu bangsa ke arah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kasus perceraian di Indonesia saat ini bukanlah menjadi suatu hal yang asing

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu cara untuk mengembangkan diri adalah melalui dunia

BAB I PENDAHULUAN. organisasi yang bernama Gallup pada tahun 1990-an. Menurut survei Global,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang masalah. Pendidikan merupakan sesuatu yang tidak terlepas dan bersifat sangat

BAB I PENDAHULUAN. Bagi masyarakat modern saat ini memperoleh pendidikan merupakan

Orientasi masa depan domain higher education dengan keterlibatan siswa terhadap siswa/i kelas X dan XI SMA

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan Diploma, Sarjana, Magister dan Spesialis. Berdasarkan website resmi Universitas X

BAB I PENDAHULUAN. Pengetahuan banyak diperoleh melalui pendidikan, terutama sekolah. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan di dunia industri saat ini semakin tinggi. Tidak heran jika

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

I. PENDAHULUAN. belajar yang baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi dasar

LAMPIRAN I KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, sehingga terus berusaha untuk memajukan kualitas pendidikan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi merupakan suatu pengaturan individu yang sengaja dibentuk untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kurikulum. Oleh karena itu, pendidikan harus membekali mereka dengan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia diharapkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam perkembangan remaja dalam pendidikan formal seperti di sekolah,

BAB I PENDAHULUAN. sekedar persaingan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) saja, tetapi juga produk dan

BAB I PENDAHULUAN. bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa, mengembangkan pengendalian

BAB I PENDAHULUAN. oleh mahasiswa. Prestasi adalah hasil dari usaha mengembangkan bakat secara

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu faktor yang memengaruhi kemajuan suatu bangsa adalah pendidikan karena pendidikan merupakan salah satu pondasi dasar suatu bangsa, sehingga pendidikan merupakan hal yang penting untuk diperoleh segenap individu. Pendidikan yang diterima oleh individu dapat berupa pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Dalam pendidikan formal, individu menerima pendidikan secara berjenjang, mulai dari tingkat dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Pada tingkat dasar, individu diajarkan akan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya dan dipersiapkan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat menengah pertama (Suharjo, 2006 dalam tesis Perhatian Orangtua pada Pendidikan Anak di Sekolah Dasar (Kasus Tingginya Angka Putus Sekolah di SD Negeri Supulessy Desa Supulessy Kecamatan Tehoru Kabupaten Maluku Tengah)). Pada tingkat menengah pertama, individu lebih diajarkan mengenai pembentukan karakter. Sebagai salah satu sekolah menengah pertama yang mengajarkan pembentukan karakter, SMP X di kota Bandung menerapkan peranan tersebut dalam visi, misi, dan tujuan dari sekolah. Adapun visi dari SMP X adalah menjadi sekolah yang unggul dalam prestasi dan menghasilkan siswa yang berkarakter Kristiani. Misi dari SMP X adalah mengembangkan dan mewadahi potensi siswa secara optimal melalui pendidikan yang berkarakter Kristiani sedangkan tujuan yang dimiliki SMP X adalah menghasilkan lulusan yang kompetitif dan berkarakter Kristiani. Berdasarkan hasil wawancara dengan delapan guru yang mengajar di SMP X, diperoleh hasil bahwa secara umum, terdapat dua tipe siswa saat mengikuti pembelajaran yang 1

2 dilakukan di sekolah. Di satu sisi, terdapat siswa yang aktif bertanya, tertarik untuk mengikuti pembelajaran yang dilakukan, memiliki keinginan untuk mencapai nilai terbaik dan memertahankan prestasi yang telah diraihnya, dan memiliki keinginan untuk memelajari materi dengan sungguh-sungguh hingga ia paham akan materi tersebut. Ketika siswa memerlihatkan hal-hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa siswa termasuk dalam tipe yang terlibat dalam pembelajaran atau yang dikenal dengan istilah engagement. Di sisi lain, terdapat pula siswa yang senang mengobrol dengan teman-temannya saat guru sedang menerangkan di kelas, merasa bosan dengan cara guru mengajarkan materi; kurang memiliki keinginan untuk memerdalam materi yang diajarkan oleh guru, siswa hanya menghafal materi yang diberikan saja, bukan memahami materi; dan siswa mengerjakan tugas yang diberikan seadanya saja, tidak secara maksimal. Ketika siswa memerlihatkan hal-hal tersebut, maka dapat dikatakan siswa termasuk dalam tipe yang kurang terlibat dalam pembelajaran yang dilakukan di sekolah atau yang dikenal dengan istilah disengagement. Perlu diperhatikan bahwa dalam pembelajaran, engagement merupakan hal yang penting untuk dimiliki karena engagement dapat menjadi kunci untuk menghilangkan sikap apatis siswa dan akan meningkatkan kualitas pembelajaran (Fredricks J. A., Blumenfeld, P. C., & Paris, A. H., 2004). Salah satu bagian dari engagement adalah school engagement yang didefinisikan sebagai usaha siswa melibatkan dirinya dalam aktivitas akademik maupun nonakademik (sosial dan ekstrakurikuler) (Fredricks et al., 2004). School engagement itu sendiri terdiri atas tiga komponen, yaitu behavioral engagement, emotional engagement, dan cognitive engagement (Fredricks et al., 2004). Perilaku siswa yang senang berbicara dengan temannya saat guru sedang menerangkan merujuk pada tidak adanya komponen behavioral engagement dari school engagement. Komponen behavioral engagement itu sendiri berkaitan dengan perilaku positif siswa, seperti mengikuti aturan dan norma-norma yang berlaku dalam kelas; terlibat aktif dalam pembelajaran di kelas dan dalam tugas-tugas

3 yang diberikan, seperti memerhatikan dan mengajukan pertanyaan; dan ikut berpartisipasi dalam aktivitas yang berkaitan dengan sekolah, seperti mengikuti organisasi sekolah (Fredricks et al., 2004). Adanya perasaan bosan pada diri siswa atas cara guru mengajar merujuk pada tidak adanya komponen emotional engagement dari school engagement. Komponen emotional engagement itu sendiri berkaitan dengan reaksi emosi positif dan negatif siswa dalam kelas dan reaksi emosi siswa terhadap sekolah dan guru (Fredricks et al., 2004). Kurangnya keinginan siswa untuk memerdalam materi yang diajarkan oleh guru sehingga siswa hanya menghafal materi yang diberikan saja, bukan memahami materi dan perilaku siswa yang mengerjakan tugas seadanya saja, tidak secara maksimal merujuk pada tidak adanya komponen cognitive engagement dari school engagement. Hal ini disebabkan komponen cognitive engagement berkaitan dengan keinginan siswa untuk memberikan hasil yang lebih tinggi daripada yang diminta dan strategi belajar yang dimiliki siswa (Fredricks et al., 2004). Berdasarkan hasil wawancara dengan guru koordinator bagian kurikulum SMP X di Bandung, diperoleh informasi bahwa dalam mengajar maupun menyusun kurikulum, diharapkan siswa dapat lebih memerhatikan penjelasan guru selama di kelas, mencapai nilai yang bagus, menyukai mata pelajaran yang diikuti, dan memahami materi pelajaran dengan optimal. Harapannya agar siswa dapat menerapkan apa yang telah dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berperilaku, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Secara tidak langsung, harapan guru di atas berkaitan dengan komponen-komponen dalam school engagement, yaitu siswa memerhatikan penjelasan guru selama di kelas berkaitan dengan behavior engagement, menyukai mata pelajaran yang diikuti siswa berkaitan dengan komponen emotional engagement, dan pemahaman siswa akan pelajaran tersebut berkaitan

4 dengan komponen cognitive engagement yang pada akhirnya akan berdampak pada prestasi akademik siswa. Terbentuknya school engagement pada siswa dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah kebutuhan individu (Fredricks et al., 2004). Kebutuhan itu sendiri merupakan suatu konstruk yang bersifat mendasar pada diri individu, universal, dan penting untuk kesejahteraan individu (Deci dan Ryan, 2000). Kebutuhan bersifat universal, sehingga kebutuhan akan dimiliki oleh setiap individu, termasuk siswa SMP yang pada umumnya berada dalam tahap perkembangan remaja awal. Dalam Self Determination Theory (SDT), kebutuhan ini dispesifikasi lebih lanjut sebagai makanan dasar psikologis yang penting untuk pertumbuhan psikologis yang berkesinambungan, integritas, dan kesejahteraan. Secara khusus, SDT mengungkapkan terdapat tiga kebutuhan dasar yang dimiliki individu, yaitu need for autonomy, need for competence, dan need for relatedness. Need for autonomy adalah kebutuhan psikologis yang merujuk pada perasaan bebas dan beraktivitas dengan perasaan diri terintegrasi (Deci & Ryan, 2000). Need for competence adalah kebutuhan yang merujuk pada perasaan berhasil dan mampu melakukan tugas-tugas dengan tingkat kesulitan yang bervariasi (Ryan & Deci, 2002). Need for relatedness adalah kebutuhan yang merujuk pada keterhubungan individu dengan orang lain, didukung atau diperhatikan oleh orang lain (Deci & Ryan, 2002). Berdasarkan hasil wawancara dengan 20 siswa SMP X, diperoleh hasil bahwa 75% siswa merasa memiliki kebebasan dalam belajar sesuai dengan cara yang diminati siswa, 95% siswa merasa mampu untuk mengerjakan tugas maupun ulangan yang diberikan oleh guru dan 95% siswa merasa dirinya diperhatikan oleh orang lain saat ia tidak mengerti akan materi yang diajarkan. Terpenuhinya need for autonomy, need for competence, dan need for relatedness yang dimiliki siswa merupakan hal yang penting karena ketiga kebutuhan dasar tersebut memengaruhi terbentuknya motivasi siswa. Motivasi adalah sesuatu yang melibatkan energi,

5 persistensi, arah, dan tujuan akhir (Deci & Ryan, 2000). Menurut Ryan dan Connell (1989), motivasi yang dimiliki siswa merupakan determinan paling penting dari keberhasilan atau kegagalan siswa di sekolah sehingga motivasi merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Deci & Ryan (2000) menjelaskan bahwa saat ketiga kebutuhan dasar tersebut terpenuhi, maka individu akan merasa tertarik untuk melakukan aktivitas yang terarah pada tujuan yang telah ditetapkannya. Dilakukannya aktivitas karena adanya perasana tertarik untuk melakukannya berkaitan dengan definisi dari motivasi intrinsik. Sebaliknya, motivasi ekstrinsik terjadi bila salah satu dari need for autonomy, need for competence, atau need for relatedness tidak terpenuhi, sehingga individu tidak akan melakukan suatu aktivitas secara optimal atau aktivitas dilakukan hanya karena tidak ingin menerima konsekuensi yang akan diterimanya bila ia tidak melakukan aktivitas tersebut. Dalam pendidikan, motivasi yang diharapkan dimiliki oleh setiap siswa dalam pembelajaran adalah motivasi intrinsik karena ketika siswa memiliki motivasi intrinsik dalam pembelajaran, mereka merasa tertarik dan senang dalam mengikuti pembelajaran sehingga mereka menjadi terlibat dalam aktivitas pembelajaran (Ryan & Deci, 2009) dan dapat terbentuk school engagement. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang ditemukan oleh Connell dan Wellborn (1991), yaitu ketika need for competence, need for autonomy, dan need for relatedness siswa terpenuhi, maka dapat memprediksi school engagement pada siswa. Appleton, Christenson & Furlong (2008) mengungkapkan kerangka teoretis yang menggambarkan bahwa autonomy, competence, dan relatedness dapat menjelaskan engagement. Adanya kerangka teoretis ini berimplikasi untuk dilakukannya berbagai penelitian empirik untuk menguji lebih lanjut hubungan langsung maupun tidak langsung dari variabelvariabel terkait. Selain itu, mengingat pentingnya peran pemenuhan kebutuhan dasar dan school engagement dalam bidang pendidikan, namun masih minim penelitian yang telah dilakukan di Indonesia mengenai kedua hal tersebut dalam bidang pendidikan menyebabkan peneliti tertarik

6 untuk mengetahui secara empiris pengaruh pemenuhan kebutuhan dasar terhadap school engagement, khususnya pada siswa jenjang SMP di SMP X di Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Dari penelitian ini, ingin diketahui pengaruh pemenuhan kebutuhan dasar terhadap school engagement pada siswa SMP X di Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemenuhan kebutuhan dasar terhadap school engagement pada siswa SMP X di Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemenuhan ketiga kebutuhan dasar terhadap school engagement dan komponennya pada siswa SMP X di Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis Kegunaan teoretis penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Memberikan sumbangan informasi bagi pengembangan ilmu psikologi, terutama dalam bidang psikologi pendidikan, mengenai tiga kebutuhan dasar, yaitu need for autonomy, need for competence, dan need for relatedness dan school engagement.

7 2) Menjadi rujukan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lanjutan mengenai kebutuhan dasar dan school engagement. 1.4.2 Kegunaan Praktis Kegunaan praktis penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Memberikan informasi kepada guru mengenai pengaruh pemenuhan kebutuhan dasar terhadap school engagement pada siswa SMP X di Bandung. 2) Memberikan informasi kepada orang tua mengenai pengaruh pemenuhan kebutuhan dasar terhadap school engagement pada siswa SMP X di Bandung. 1.5 Kerangka Pemikiran Sebagai makhluk hidup, setiap manusia memiliki kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan tersebut tetaplah ada seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan individu, yang dalam penelitian ini berupa siswa SMP X yang secara umum berada pada tahap perkembangan remaja awal. Hal ini dikarenakan kebutuhan merupakan suatu konstruk yang bersifat mendasar pada diri individu, universal, dan penting untuk kesejahteraan individu. Lebih lanjut, Self Determination Theory (SDT) memspesifikasi kebutuhan sebagai makanan dasar psikologis yang penting untuk pertumbuhan psikologis yang berkesinambungan, integritas, dan kesejahteraan (Deci dan Ryan, 2000). SDT mengungkapkan bahwa terdapat tiga kebutuhan dasar yang dimiliki oleh individu, yaitu need for autonomy, need for competence, dan need for relatedness, meskipun setiap siswa SMP X memiliki kebutuhan yang berbeda. Need for autonomy adalah kebutuhan yang merujuk pada perasaan bebas dan beraktivitas dengan diri terintegrasi (Deci & Ryan, 2000). Need for competence adalah kebutuhan yang merujuk pada perasaan berhasil dan mampu

8 melakukan tugas-tugas dengan tingkat kesulitan yang bervariasi (Ryan & Deci, 2002). Need for relatedness adalah kebutuhan yang merujuk pada keterhubungan individu dengan orang lain, didukung atau diperhatikan oleh orang lain (Deci & Ryan, 2002). Adapun konteks sosial yang dapat memenuhi kebutuhan yang dimiliki individu dapat berupa konteks keluarga seperti orang tua dan konteks sekolah serta konteks kelas, seperti guru dan teman sebaya (Connell & Wellborn, 1991; Appleton, James J., Christenson, Sandra L., Furlong, Michael J., 2008). Ketika need for autonomy siswa SMP X terpenuhi, maka siswa akan merasa bebas untuk dapat memilih melakukan aktivitas pembelajaran dengan cara yang disukai oleh mereka dan dalam melakukan hal tersebut, siswa juga merasa perilaku yang mereka lakukan mencerminkan diri mereka. Sebaliknya, ketika need for autonomy pada siswa SMP X tidak terpenuhi, maka mereka merasa dirinya harus melakukan aktivitas pembelajaran dengan cara yang diinginkan oleh guru dan orang tua serta mereka merasa terpaksa dalam melakukannya sehingga hasil yang diperlihatkan oleh mereka pun menjadi tidak optimal. Ketika need for competence pada siswa SMP X terpenuhi, maka siswa merasa mampu mengerjakan setiap tugas yang diberikan oleh guru, merasa mampu menyelesaikan soal-soal sulit yang dihadapinya saat mengerjakan tugas, dan merasa diri berhasil menyelesaikan tugas tersebut. Sebaliknya, ketika need for competence pada siswa SMP X tidak terpenuhi, maka siswa merasa tidak mampu mengerjakan setiap tugas yang diberikan, merasa tidak mampu menyelesaikan soal-soal sulit yang dihadapinya saat mengerjakan tugas, dan merasa diri gagal untuk menyelesaikan tugas tersebut. Ketika need for relatedness pada siswa SMP X terpenuhi, yaitu ketika siswa merasa dirinya diperhatikan dan dipedulikan oleh guru yang mengajar, maka mereka merasa tertarik dengan materi yang diajarkan oleh guru tersebut sehingga mereka pun mau memerhatikan penjelasan guru, mau menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru, dan mau mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Sebaliknya, apabila siswa SMP X merasa dirinya tidak

9 diperhatikan dan dipedulikan oleh guru yang mengajar, maka mereka merasa tidak tertarik dengan materi yang diajarkan oleh guru tersebut sehingga mereka pun asyik melakukan kegiatan sendiri seperti mengobrol dengan teman sebangku, tidak mau memerhatikan penjelasan guru, merasa malas untuk menjawab pertanyaan yang diajukan guru meski mereka mengetahui jawabannya, dan merasa malas untuk mengerjakan tugas yang diberikan. Terpenuhinya need for autonomy, need for competence, dan need for relatedness pada siswa SMP X memengaruhi penetapan tujuan pembelajaran mereka serta proses mereka dalam mengerahkan energi yang terarah untuk mencapai prestasi. Lebih lanjut, berkaitan dengan penjelasan Deci & Ryan (2000), saat ketiga kebutuhan dasar tersebut terpenuhi, maka individu, yang khususnya dalam penelitian ini adalah pada siswa SMP X akan merasa tertarik untuk melakukan aktivitas yang terarah pada tujuan untuk mencapai prestasi karena tujuan tersebut muncul dari dalam dirinya sendiri. Akan tetapi, bila salah satu dari need for autonomy, need for competence, atau need for relatedness yang dimiliki siswa SMP X tidak terpenuhi, maka siswa SMP X akan memiliki motivasi ekstrinsik sehingga mereka tidak akan melakukan suatu aktivitas secara optimal atau aktivitas dilakukan karena tidak ingin menerima konsekuensi bila tidak melakukan aktivitas tersebut. Ryan dan Deci (2009) menemukan bahwa ketika siswa memiliki motivasi intrinsik dalam pembelajaran, mereka menjadi terlibat dalam pembelajaran karena adanya perasaan tertarik dan senang dalam mengikuti pembelajaran tersebut. Keterlibatan siswa SMP X dalam pembelajaran berkaitan dengan pengertian school engagement. School engagement itu sendiri terdiri dari tiga komponen, yaitu behavioral engagement, emotional engagement, dan cognitive engagement (Fredricks J. A., Blumenfeld, P. C., & Paris, A. H., 2004). Behavioral engagement berkaitan dengan perilaku positif siswa SMP X, seperti mengikuti aturan dan norma-norma yang berlaku dalam kelas; terlibat aktif dalam pembelajaran di kelas dan dalam tugas-tugas yang diberikan, seperti memerhatikan dan mengajukan

10 pertanyaan; dan ikut berpartisipasi dalam aktivitas yang berkaitan dengan sekolah, seperti mengikuti organisasi sekolah (Fredricks et al., 2004). Emotional engagement berkaitan dengan reaksi emosi positif dan negatif siswa SMP X dalam kelas dan reaksi emosi siswa terhadap sekolah dan guru (Fredricks et al., 2004). Cognitive engagement berkaitan dengan keinginan siswa SMP X untuk memberikan hasil yang lebih tinggi daripada yang diminta dan strategi belajar yang dimiliki siswa (Fredricks et al., 2004). Berkaitan dengan hasil penelitian yang ditemukan oleh Deci dan Ryan (2009) bahwa basic need satisfaction bersifat universal, yang khususnya dalam penelitian ini adalah pada siswa SMP X, saat need for autonomy siswa SMP X terpenuhi, yaitu saat mereka merasa memiliki kebebasan untuk dapat memilih melakukan aktivitas yang disukai oleh mereka dan merasa perilaku yang dilakukan mencerminkan diri mereka, maka akan terbentuk school engagement pada siswa SMP X, yang ditandai dengan adanya perilaku aktif dalam pembelajaran seperti, mentaati aturan dan norma-norma yang berlaku di sekolah tersebut, memerhatikan dan mengajukan pertanyaan; merasa tertarik dengan pembelajaran yang dilakukan; memiliki keinginan untuk memberikan hasil yang lebih tinggi daripada yang diminta serta siswa memiliki strategi belajar yang efektif untuk memahami materi yang diberikan oleh guru. Saat need for competence siswa SMP X terpenuhi, yaitu saat mereka merasa mampu dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dan dalam menghadapi tantangan saat mengerjakan tugas serta merasa diri berhasil mengerjakan tugas tersebut, maka akan terbentuk school engagement pada siswa SMP X, yang ditandai dengan adanya perilaku aktif dalam pembelajaran seperti, mentaati aturan dan norma-norma yang berlaku di sekolah tersebut, memerhatikan dan mengajukan pertanyaan; merasa tertarik dengan pembelajaran yang dilakukan; memiliki keinginan untuk memberikan hasil yang lebih tinggi daripada yang diminta

11 serta siswa memiliki strategi belajar yang efektif untuk memahami materi yang diberikan oleh guru. Saat need for relatedness siswa SMP X terpenuhi, yaitu saat mereka merasa diri diperhatikan oleh guru dalam pembelajaran, maka akan terbentuk school engagement pada siswa SMP X, yang ditandai dengan adanya perilaku aktif dalam pembelajaran seperti, mentaati aturan dan norma-norma yang berlaku di sekolah tersebut, memerhatikan dan mengajukan pertanyaan; merasa tertarik dengan pembelajaran yang dilakukan; memiliki keinginan untuk memberikan hasil yang lebih tinggi daripada yang diminta serta siswa memiliki strategi belajar yang efektif untuk memahami materi yang diberikan oleh guru. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang ditemukan oleh Connell dan Wellborn (1991), yaitu ketika perceived competence, perceived autonomy, dan perceived relatedness siswa terpenuhi, maka dapat memprediksi school engagement pada siswa. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Reeve, Deci, dan Ryan (2004) didapatkan hasil bahwa terpenuhinya need for competence dan need for autonomy menimbulkan ketertarikan, perasaan senang dalam melakukan aktivitas, dan dapat menyebabkan ia belajar melalui aktivitas tersebut, bertumbuh, dan menghasilkan sesuatu. Berkaitan dengan need for relatedness yang dimiliki siswa, Ryan, Stiller, dan Lynch (1994) menemukan hasil bahwa orang tua, guru, dan teman sebaya memiliki hubungan yang signifikan terhadap fungsi adaptif siswa di sekolah. Meski demikian, hubungan siswa dengan orang tua dan guru dapat secara signifikan memprediksi hasil yang relevan dengan sekolah sedangkan hubungan siswa dengan teman sebaya secara umum tidak memprediksi hasil tersebut. Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya, Fortier, Vallerand, dan Guay (1995), mendapatkan hasil bahwa persepsi siswa mengenai terpenuhinya need for autonomy dan need for competence adalah prediktor paling penting terhadap performasi siswa. Begitu pula dalam

12 penelitian yang dilakukan Hardre dan Reeve (2003), ditemukan hasil bahwa di antara ketiga kebutuhan dasar tersebut, persepsi siswa mengenai terpenuhinya need for auotnomy dan need for competence merupakan prediktor paling penting terhadap prestasi siswa. Meski demikian, dalam penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Legault, Green-Demers, dan Pelletier (2006), didapati hasil bahwa rendahnya dukungan terhadap ketiga kebutuhan dasar tersebut menyebabkan rendahnya performasi siswa di sekolah, adanya perilaku bermasalah pada siswa, dan meningkatnya jumlah siswa yang keluar dari sekolah (dropout). Selain penelitian-penelitian di daerah Barat, terdapat pula hasil penelitian di daerah Asia mengenai hubungan antara terpenuhinya ketiga kebutuhan dasar yang dimiliki siswa dan engagement. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hardre, dkk. (2006) di Taiwan, didapati hasil bahwa siswa yang melihat teman sebaya dan guru sebagai invidu yang mendukung pembelajaran mereka, maka siswa menjadi belajar lebih giat dan menjadi lebih engaged. Meski demikian, guru memiliki pengaruh yang lebih besar daripada teman sebaya. Dalam penelitian lainnya yang dilakukan oleh Bao dan Lam (2008) berkaitan dengan adanya perdebatan mengenai pentingnya autonomy untuk motivasi siswa, didapati hasil bahwa terpenuhinya need for autonomy dan need for relatedness antara siswa dengan guru dan orang tua menyebabkan terbentuknya engagement. Untuk mengetahui lebih jelas, dapat dilihat pada bagan kerangka pikir sebagai berikut :

13 Need for autonomy Siswa SMP X Bandung Basic Need Satisfaction Need for competence School Engagement Need for relatedness Terdiri atas komponen : Behavioral engagement Emotional engagement Cognitive engagement Bagan 1.1 Bagan Pemikiran 1.6 Asumsi Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan di atas, peneliti memiliki asumsi sebagai berikut : 1) Basic need satisfaction pada siswa SMP X Bandung berdasarkan pada pemenuhan terhadap tiga kebutuhan dasar, yaitu need for autonomy, need for competence, dan need for relatedness. 2) School engagement yang dimiliki siswa SMP X Bandung terdiri atas tiga komponen, yaitu behavioral engagement, emotional engagement, dan cognitive engagement. 3) Terdapat hubungan yang positif antara basic need satisfaction dan school engagement.

14 1.7 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan di atas, diperoleh pula hipotesis sebagai berikut : 1) Terdapat pengaruh yang signifikan antara terpenuhinya need for autonomy, need for competence, dan need for relatedness secara bersama-sama terhadap school engagement pada siswa SMP X Bandung. 2) Terdapat pengaruh yang signifikan antara terpenuhinya need for autonomy terhadap school engagement pada siswa SMP X Bandung. 3) Terdapat pengaruh yang signifikan antara terpenuhinya need for competence terhadap school engagement pada siswa SMP X Bandung. 4) Terdapat pengaruh yang signifikan antara terpenuhinya need for relatedness terhadap school engagement pada siswa SMP X Bandung.