BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap anak diharapkan tumbuh dan berkembang secara sehat, baik fisik, mental, dan sosial. Proses pertumbuhan dan perkembangan setiap anak tidak selalu sama satu dengan yang lainnya. Proses tumbuh kembang ini akan menjadi sebuah pondasi yang membentuk kepribadian anak dan mempengaruhi sikap maupun perilaku anak dalam menjalani hidup kedepannya. Namun pada kenyataannya tidak semua anak dapat melalui masa tumbuh kembangnya dengan optimal karena mengalami gangguan. Gangguan perkembangan anak bermacammacam ragamnya, salah satunya adalah gangguan perkembangan retardasi mental. Menurut WHO, retardasi mental adalah kemampuan mental yang tidak mencukupi. Sedangkan menurut American Association on Menthal Retardation (AAMR) dalam Soetjiningsih (2006) retardasi mental merupakan kelemahan atau ketidakmampuan kognitif muncul pada masa kanak-kanak (sebelum 18 tahun) ditandai dengan fase kecerdasan dibawah normal (IQ 70-75 atau kurang), dan disertai keterbatasan lain pada sedikitnya dua area, yaitu berbicara dan berbahasa, ketrampilan merawat diri, ketrampilan sosial, penggunaan sarana masyarakat, kesehatan dan keamanan, akademik fungsional, bekerja dan rileks, dan lain-lain (Elfira, 2012). Insiden retardasi mental sulit untuk dihitung karena kesulitan mengenali onsetnya. Insiden tertinggi adalah pada pria anak usia sekolah dengan puncak usia 1
2 10 sampai 14 tahun. Retardasi mental 1,5 kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan pada anak perempuan (Kaplan, 1997). Menurut catatan WHO, di Amerika 3% dari penduduknya mengalami keterbelakangan mental, di Belanda 2,6%, di Inggris 1-8%, dan di Asia ± 3%. Insiden retardasi mental di Indonesia merupakan masalah yang cukup besar, karena 1-3% dari jumlah penduduk Indonesia menderita retardasi mental, yang berarti dari 1000 penduduk diperkirakan 30 penduduk menderita retardasi mental dengan kriteria retardasi mental ringan 80%, retardasi mental sedang 12%, retardasi mental berat 1%. Insiden tertinggi didapatkan pada kelompok usia sekolah dengan puncak umur 10-14 tahun (Soetjiningsih, 1999). Berdasarkan data pendidikan kecacatan (SDLB/SMPLB/SMALB) Dinas Pendidikan Pemuda Dan Olahraga Provinsi Bali tahun 2012/2013, prevalensi anak retardasi mental di Provinsi Bali sebanyak 264 siswa ditingkat Sekolah Dasar (SD), 354 siswa ditingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan ditingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 62 siswa yang tersebar diseluruh daerah Bali. Tanggapan negatif masyarakat tentang anak retardasi mental menimbulkan berbagai reaksi pada orang tua mereka, seperti ada orang tua yang mengucilkan anaknya atau tidak mau mengakui anak yang mengalami retardasi mental. Disisi lain, ada pula orang tua yang berusaha memberikan perhatian lebih dan memberikan yang terbaik kepada anaknya dengan mencari bantuan pada ahli yang dapat menangani anak retardasi mental. Orang tua yang paham dan menyadari akan kelemahan anak dengan retardasi mental merupakan faktor utama untuk membantu perkembangan anak dengan lingkungan (Suryani 2005). Oleh sebab
3 itu, orang tua perlu mekanisme koping dalam mengasuh anak retardasi mental yang berbeda dengan anak lainnya. Mekanisme koping adalah cara penyesuaian diri yang digunakan seeorang untuk menghadapi perubahan yang diterima. Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi dua (Stuart dan Sundeen, 1995), yaitu mekanisme koping adaptif dan maladaptif. Dimana koping menghasilkan dua tujuan, yaitu pertama indvidu mencoba untuk mengubah hubungan antara dirinya dengan lingkungannya agar menghasilkan dampak yang lebih baik, dan kedua individu biasanya berusaha untuk meredakan atau menghilangkan beban koping dan stress emosional yang dirasakan. Peran serta orang tua sangat menentukan keberhasilan anak retardasi mental dalam bersosialisasi dengan masyarakat umum dan mampu menjalin hubungan interpersonal dengan anggota masyarakat. Bimbingan dan dorongan agar anak dapat hidup mandiri merupakan salah satu bantuan yang dapat diberikan. Dengan demikian sangat diperlukan pola asuh orang tua yang berbeda dengan anak normal lainnya terhadap anak retardasi mental. Sikap yang penuh cinta kasih dan penerimaan terhadap apapun keadaan anak merupakan hal yang dibutuhkan oleh anak permasalahan ini yang menarik peneliti untuk diteliti lebih dalam. Hasil penelitian Suri dan Daulay (2012), menunjukkan mekanisme koping pada orang tua yang memiliki anak Down Syndrome di SDLB Negeri 107708 Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang, menyimpulkan bahwa koping yang digunakan oleh orang tua yang memiliki anak Down Syndrome mayoritas menggunakan koping adaptif. Hasil tersebut menunjukkan bahwa mekanisme
4 koping adaptif (positif) memang sangat diperlukan oleh orang tua dalam mendidik anaknya. Penelitian lainnya oleh Suriyani (2012), mengenai hubungan pola asuh orang tua dengan tingkat prestasi akademik anak retardasi mental ringan di Sekolah Luar Biasa C (SLB-C) Sumber Dharma Malang, menyimpulkan bahwa pola asuh otoriter dan permisif lebih berpengaruh positif dibandingkan dengan pola asuh demokratis terhadap tingkat prestasi akademik. Namun pola asuh yang digunakan masih dalam batas-batas yang masih ditolerin oleh anak dan tidak mengakibatkan efek negatif bagi prestasi belajar anak, atau dapat diartikan bahwa pola asuh otoriter yang diterapkan pada anak retardasi mental dapat diterima anak secara wajar dalam tataran menekankan aspek pendidikan dan peningkatan kedisiplinan belajar. Sekolah berkebutuhan khusus di Provinsi Bali menurut data dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga tahun 2012/2013 terdapat 16 sekolah yang tersebar disetiap kabupaten. Salah satunya adalah Sekolah Luar Biasa C Negeri yang terletak di Denpasar. Denpasar merupakan kota yang padat penduduk dan salah satu kabupaten yang memiliki angka anak penyandang retardasi mental ringan tertinggi di Provinsi Bali. Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Sekolah Luar Biasa C Negeri Denpasar pada bulan September 2013, peneliti mendapatkan data dari pihak sekolah anak yang mengalami retardasi mental ringan pada tingkat Sekolah Dasar (SD) sebanyak 102 siswa. Peneliti memlilih lokasi penelitian di Sekolah Luar Biasa C Negeri Denpasar tersebut karena sekolah merupakan sekolah negeri milik pemerintah yang terdiri dari siswa yang mayoritas mengalami retardasi mental ringan, dan sebelumnya belum pernah
5 dilakukan penelitian yang serupa di Sekolah Luar Biasa C tersebut. Selain itu, tingginya tingkat kesibukan penduduk di Denpasar juga akan sangat mempengaruhi mekanisme koping dengan pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya. Berdasarkan hasil wawancara peneliti kepada beberapa orang tua dari anak retardasi mental ringan di Sekolah Luar Biasa C Negeri Denpasar menunjukkan mekanisme koping orang tua pada awalnya merasa sedih, malu, marah dengan keadaan, dan tidak menyangka bahwa anak mereka mengalami gangguan mental. Namun setelah beberapa waktu, para orang tua mulai bisa menerima dan mencoba memberikan perhatian terbaik untuk anaknya. Hal itu bisa ditunjukkan dari perhatian orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah berkebutuhan khusus. Dari hasil ini peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang hubungan mekanisme koping dengan pola asuh orang tua anak retardasi mental ringan di Sekolah Luar Biasa C Negeri Denpasar. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka bisa ditarik rumusan masalah sebagai berikut Adakah Hubungan Mekanisme Koping dengan Pola Asuh Orang Tua Anak Retardasi Mental Ringan di Sekolah Luar Biasa C Negeri Denpasar? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui hubungan mekanisme koping dengan pola asuh orang tua anak retardasi mental ringan di Sekolah Luar Biasa C Negeri Denpasar.
6 1.3.2 Tujuan Khusus A. Memperoleh gambaran tentang karakteristik subyek penelitian B. Memperoleh gambaran tentang mekanisme koping orang tua anak retardasi mental ringan di Sekolah Luar Biasa C Negeri Denpasar C. Memperoleh gambaran tentang pola asuh orang tua anak retardasi mental ringan di Sekolah Luar Biasa C Negeri Denpasar D. Menganalisis hubungan mekanisme koping dengan pola asuh orang tua anak retardasi mental ringan di Sekolah Luar Biasa C Negeri Denpasar. 1.4 Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian yang nantinya akan diperoleh, peneliti berharap hal tersebut memberikan manfaat, antara lain: 1.4.1 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pendidik dan orang tua untuk meningkatkan dan memberikan pengasuhan yang tepat bagi anak retardasi mental ringan dan dapat meningkatkan kemandirian dalam bersosialisasi anak dengan retardasi mental di masyarakat. 1.4.2 Manfaat Teoritis A. Bagi tenaga kesehatan Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu keperawatan anak dan memberikan informasi tentang mekanisme koping dengan pola asuh yang tepat untuk diterapkan orang tua dalam mengasuh anak retardasi mental ringan.
7 B. Bagi orang tua dan masyarakat Memberikan informasi tentang pentingnya mekanisme koping dengan pola asuh yang tepat pada anak retardasi mental ringan. C. Bagi anak penyandang retardasi mental ringan Penelitian ini dapat dijadikan acuan orang tua dalam membimbing dan mendorong agar anak dapat hidup mandiri, bersosialisasi dengan masyarakat dan menjalin hubungan interpersonal dengan anggota masyarakat. D. Bagi pihak sekolah Terkait penelitian yang dilakukan di Sekolah Luar Biasa C Negeri Denpasar, penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi tenaga pendidik dalam memberikan pengasuhan di sekolah dengan tepat untuk perkembangan mental dan sosial anak retardasi mental ringan. E. Bagi peneliti Dapat menambah wawasan bagi mahasiswa dan memberikan informasi atau data dasar bagi peneliti selanjutnya dan sebagai sumber informasi bahwa pentingnya mekanisme koping dengan pola asuh orang tua anak retardasi mental ringan.