BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk berpikir, kemampuan afektif merupakan respon syaraf simpatetik atau

BAB I. Pendahuluan. I.A Latar Belakang. Remaja seringkali diartikan sebagai masa perubahan. dari masa anak-anak ke masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah merupakan

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Mengingat pentingnya pendidikan pemerintah membuat undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

PEDOMAN OBSERVASI FENOMENA KORBAN PERILAKU BULLYING PADA REMAJA DALAM DUNIA PENDIIDKAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sekolah merupakan lembaga formal yang dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

I. PENDAHULUAN. pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal

DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

BULLYING. I. Pendahuluan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas, sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada masa remaja, terjadi proses pencarian jati diri dimana remaja banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN. Bullying juga didefinisikan sebagai kekerasan fisik dan psikologis jangka

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku dan segala sifat yang membedakan antara individu satu dengan individu

BAB II TINJUAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN. suatu keadaan atau situasi. Jenis penelitian eksplanatori tersebut sama

BAB I PENDAHULUAN. Anak usia sekolah (6-12 tahun) disebut juga sebagai masa anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence)

BAB V PENUTUP 5.1 Bahasan

BAB I PENDAHULUAN. Berita mengenai kekerasan anak di sekolah belakangan ini semakin

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. remaja dihadapkan pada konflik dan tuntutan social yang baru, termasuk. dirinya sesuai dengan perkembangannya masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tempat yang terdekat dari remaja untuk bersosialisasi sehingga remaja banyak

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya layanan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saat ini berbagai masalah tengah melingkupi dunia pendidikan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

BAB I PENDAHULUAN. yang menunjukkan kebaikan dan perilaku yang terpuji. Akan tetapi, banyak kita

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah

BAB I PENDAHULUAN. terjadi akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Perilaku Agresi sangat

BAB I PENDAHULUAN. penuh dengan kenangan yang tidak mungkin akan terlupakan. Menurut. dari masa anak ke masa dewasa yang mengalami perkembangan semua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2010). Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan

Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita

Setiap individu berhak mendapatk:an pendidikan yaitu dengan cara. orangtua tentang pentingnya sekolah, banyak orangtua memasukkan anak mereka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan kekerasan, terutama pada remaja. Sekolah seharusnya menjadi

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang ringan seperti mencontek saat ujian, sampai pada perkelahian

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain. Untuk mewujudkannya digunakanlah media

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. karena remaja akan berpindah dari anak-anak menuju individu dewasa yang akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami

Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kesehatan mental individu. Bullying bisa berupa berbagai bentuk dan

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak

BAB I PENDAHULUAN. Merokok dapat mengganggu kesehatan bagi tubuh, karena banyak. sudah tercantum dalam bungkus rokok. Merokok juga yang menyebabkan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial, individu di dalam menjalin hubungan dengan individu lain perlu

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan sekolah. Perkelahian tersebut sering kali menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai bekal untuk hidup secara mandiri. Masa dewasa awal atau early health

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kegiatan belajar dengan aman dan nyaman. Hal tersebut dapat terjadi, karena adanya

BAB I PENDAHULUAN. lain, saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain dan ingin

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

I. PENDAHULUAN. Keluarga adalah sekelompok individu yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. langsung maupun tidak langsung seperti pada media massa dan media cetak. Seorang

2016 HUBUNGAN ANTARA CYBERBULLYING DENGAN STRATEGI REGULASI EMOSI PADA REMAJA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Pada masa ini, remaja menaruh minat dan perhatian yang cukup besar terhadap relasi dengan teman sebaya. Remaja berusaha meluangkan waktu untuk berelasi dengan teman-teman sebaya (Santrock, 2002: 44). Monks (2002: 275) memperkuat pernyataan Santrock. Ia mengatakan bahwa masa remaja merupakan sebuah masa bagi individu untuk menjalin hubungan yang erat dengan teman sebaya. Pada masa ini, remaja membentuk perkumpulan untuk bermain atau membuat rencana bersama, misalnya: untuk berkemah, saling tukar pengalaman, dan merencanakan aktivitas bersama. Pemaparan pendapat kedua tokoh di atas mempertegas bahwa pada masa remaja, individu menaruh minat dan perhatian pada relasi dengan teman sebaya dan individu lebih bergantung pada teman sebaya atau teman kelompoknya. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan siswa SMP X. Berikut penuturan yang dikemukakan oleh salah satu siswa SMP X : Saya senang berada di SMP X ini, karena saya bisa punya banyak teman, bisa ngobrol-ngobrol bareng. Selain itu, kalau beraktivitas bisa sama-sama teman-teman kelompok. Jadi kalau teman-teman kelompok pergi mall, ya saya ikut ke mall. (D, 14 tahun) Pada kenyataanya, tidak semua aktivitas yang dilakukan remaja bersifat positif. Ada kecenderungan remaja untuk melakukan aktivitas yang 1

2 bersifat agresif, salah satunya adalah melakukan bullying (Monks, 2002: 275). Bullying sendiri didefinisikan sebagai suatu bentuk perilaku agresif yang ditandai dengan adanya penindasan terhadap individu secara berulang dan dari waktu ke waktu (Smith dan Brain dalam Randall, 2001: 9; Olweus dalam Cowie dan Jennifer, 2008: 2; Stephenson, Smith, dan Lane dalam Byrne, 1993: 13; Venstra, 2005: 672-682). Kasus bullying yang melibatkan remaja dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Kasus bullying terdokumentasikan oleh media massa, salah satunya terjadi di kota Padang, Sumatera Barat pada tanggal 12 Maret 2015. Kejadian tersebut berawal ketika FA (14 tahun) dimintai uang sebesar Rp 1000 oleh KV (14 tahun) pada saat pulang sekolah. FA menolak memberikan uang kepada KV. Akibatnya, KV memukul FA, dan FA sempat membalasnya. Namun, karena FA tidak memiliki kekuatan yang lebih besar dari KV, maka FA pun pasrah terhadap pukulan yang diberikan oleh KV. KV kembali menyerang FA dan memukul kepala belakangnya. Akibat dari bullying yang ia terima secara berulang, FA pun mengalami pecah pembuluh darah di bagian kepala belakangnya sehingga mengalami pendarahan dan harus menjalani operasi di bagian kepala (http://www.infosumbar.net/berita/berita-sumbar/kasus-bullying-oleh-siswasmp-terjadi-di-kota-padang/, Kasus bullying oleh siswa SMP terjadi di kota Padang, par 2-3). Menurut Veenstra (2005: 672), bullying terbagi dalam tiga bentuk, yaitu bullying secara fisik, verbal dan psikologis. Bentuk bullying fisik antara lain: mendorong, menendang, memukul dan mengambil barang seseorang. Bentuk bullying verbal antara lain: memanggil seseorang dengan julukan tertentu, mengancam dan mengolok-olok. Bentuk bullying

3 psikologis antara lain: menggosipkan, menyisihkan seseorang dalam pergaulan, dan mengucilkan. Kasus bullying yang terjadi di kota Padang tersebut adalah salah satu contoh bullying fisik. Bullying fisik tersebut berupa tindakan pemukulan kepada korban secara berulang. Dampaknya adalah korban mengalami pecah pembuluh darah di bagian kepala belakang, sehingga mengalami pendarahan dan harus menjalani operasi. Dari kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa bullying memberikan dampak negatif dan merugikan korban. Kasus ini menjadi salah satu data bahwa kasus bullying adalah kasus yang memprihatinkan dan oleh karena itu, penting untuk diteliti. Hymel, Nickerson, dan Swearer (2012: 12) lebih lanjut memberikan ulasan detail mengenai dampak bullying. Bullying tidak hanya memberikan dampak bagi korban, tetapi juga pada pelaku. Dampak negatif bagi korban bullying adalah: remaja akan memiliki harga diri yang rendah, remaja akan menarik diri dari lingkungan, remaja akan merasa kesepian, cemas, depresi, dan pada akhirnya bunuh diri; sedangkan, dampak negatif dari remaja yang melakukan perilaku bullying adalah: remaja akan sering terlibat dalam perkelahian, remaja akan terluka akibat perkelahian, remaja akan dikeluarkan dari sekolah. Pada akhirnya, remaja akan memiliki kecenderungan untuk menjadi seorang kriminal. Dengan demikian adalah penting untuk mengendalikan perilaku bullying. Bila kasus bullying teratasi, maka remaja akan dapat melewati tahapan perkembangan secara optimal, remaja akan dapat bersosialisasi dengan teman sebaya secara tepat, dan perkelahian antar remaja akan dapat terhindarkan. Penelitian ini sebagai langkah preventif untuk bisa mencegah perilaku bullying pada remaja awal mengingat bahwa pola asuh adalah hal yang dipelajari dari orangtua.

4 Hymel, Nickerson, Swearer (2012: 13) mencatat beberapa faktor yang mempengaruhi bullying, yaitu: faktor pola asuh orangtua dan faktor anak. Faktor pola asuh orangtua berupa kurangnya kehangatan dan perhatian dari orangtua, adanya modeling atas perilaku kekerasan yang dilakukan orangtua, sedangkan faktor anak berupa adanya penindasan yang dilakukan oleh kakak perempuan atau kakak laki-laki. Faktor-faktor tersebut dapat menjadi pemicu bagi kecenderungan seseorang untuk melakukan bullying. Hasil wawancara peneliti dengan guru BK SMP X dan SMP Y mendapatkan data bahwa perilaku bullying yang terjadi di SMP X dan SMP Y disebabkan karena faktor pola asuh orangtua. Faktor pola asuh berupa kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orangtua, serta adanya konfrontasi verbal berupa kata-kata kasar yang diucapkan orangtua kepada remaja. Kondisi ini menyebabkan remaja awal berusaha mencari perhatian dari temannya dengan melakukan perilaku bullying. Berdasarkan teori pola asuh orangtua yang dikemukakan oleh Baumrind (dalam Robinson, 2001: 319-321) disebutkan bahwa kurangnya kehangatan dari orangtua dan adanya tindakan menghukum berupa kata-kata kasar yang diucapkan orangtua pada remaja (seperti yang dijelaskan oleh guru BK SMP X) merupakan salah satu dimensi dari pola asuh otoriter, sehingga dapat diasumsikan bahwa pola asuh otoriter mempengaruhi perilaku bullying siswa SMP X. Olweus dalam Swearer dan Doll (2001: 13) mengatakan bahwa lingkungan keluarga turut mempengaruhi pembentukan perilaku bullying. Olweus menyatakan bahwa kurangnya kehangatan dalam keluarga meningkatkan resiko anak menjadi agresif melakukan bullying pada orang

lain. Olweus berpendapat bahwa anak-anak akan melakukan bullying bila orangtua menggunakan hukuman fisik dengan emosi yang meledak-ledak pada saat mendisiplinkan anak atau dalam pengertian lainnya, anak-anak melakukan bullying bila orangtua menerapkan pola asuh otoriter dalam mendisiplinkan anak. Hasil wawancara dengan siswa SMP X mendukung pendapat Olweus. Berikut penuturan yang dikemukakan oleh salah satu siswa SMP X : Di rumah saya sering dimarahin ortu dan dikata-katain begitu. Kebetulan di sekolah ada teman saya yang bernama L dan dia bau orangnya. Jadi, saya sering bersama S mengejek L berulangkali. Dia cengeng juga orangnya dan ga membalas sama sekali kalau diejek begitu. (D, 14 tahun) Berdasarkan hasil wawancara, dapat disimpulkan bahwa D bersama S sering mengejek L secara berulang, akibatnya L menangis. Tindakan mengejek secara berulang yang dilakukan oleh D dan S termasuk salah satu karakteristik dari perilaku bullying, yaitu berulang-ulang dan mempunyai tujuan. Robinson (2001: 319-321) mengadaptasi konsep pola asuh otoriter Baumrind dalam bentuk kuesioner pola asuh otoriter orangtua. Beliau menjelaskan bahwa pola asuh otoriter dapat dimengerti sebagai gaya pengasuhan orangtua yang kurang hangat, bersifat membatasi, serta menghukum anak-anak secara fisik maupun verbal. Hasil penelitian Ferussya (2014: 29) senada dengan pendapat Olweus yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi perilaku bullying adalah pola asuh otoriter orangtua. Penelitian tersebut menyatakan bahwa sumbangan efektif pola asuh otoriter terhadap kecenderungan 5

6 bullying sebesar 66,4 % atau dengan kata lain pola asuh otoriter mempengaruhi kecenderungan bullying sebesar 66,4%. Berdasarkan data di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara pola asuh otoriter dengan kecenderungan bullying pada siswa SMP X dan SMP Y. Variabel pola asuh otoriter orangtua dilihat dari sudut pandang remaja awal, sehingga hal ini berkaitan dengan persepsi yang dimiliki oleh remaja awal. Oleh karena itu, variabel dalam penelitian ini adalah persepsi terhadap pola asuh otoriter orangtua dan kecenderungan bullying pada siswa SMPX dan SMP Y. Pertimbangan peneliti melakukan penelitian ini adalah karena bullying merupakan sebuah fenomena yang jarang dibahas, namun dalam kenyataannya dampak yang ditimbulkan dari perilaku bullying sangat luas, terutama bagi korban dan pelaku. Kekhasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, subjek penelitian masih berada dalam usia remaja awal, sehingga orangtua secara dini dapat mengembangkan pola asuh yang tepat bagi anak remaja. Kedua, kuesioner persepsi terhadap pola asuh otoriter orangtua yang digunakan dalam penelitian ini sudah terstandarisasi, sehingga dapat memastikan bahwa subjek menerima pola asuh otoriter dari orangtua. Ketiga, penelitian ini berfungsi sebagai langkah preventif atau pencegahan terhadap perilaku bullying yang terjadi di kalangan remaja awal. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keterkaitan antara pola asuh otoriter dengan kecenderungan bullying pada siswa SMP X dan SMP Y.

7 1.2 Batasan Masalah Masalah bullying sangat luas di kalangan remaja. Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pada hubungan antara persepsi terhadap pola asuh otoriter orangtua dengan kecenderungan bullying pada siswa SMP X dan SMP Y. Batasan masalah dalam penelitian ini adalah: a. Penelitian ini adalah penelitian korelasional atau studi hubungan untuk melihat keterkaitan antara persepsi terhadap pola asuh otoriter dengan kecenderungan bullying. b. Subjek penelitian ini adalah siswa SMP X dan SMP Y kelas 7-9 yang berusia 12-15 tahun, sesuai dengan kriteria usia remaja awal. c. Subjek penelitian ini adalah remaja awal yang memperoleh pengasuhan jenis otoriter dari orangtua. Dimensi dari pengasuhan jenis otoriter ini adalah adanya hukuman fisik, konfrontasi verbal, dan irasionalitas yang dilakukan oleh orangtua terhadap remaja awal. 1.3 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah ada hubungan antara persepsi terhadap pola asuh otoriter orangtua dengan kecenderungan bullying pada siswa SMP X dan SMP Y?

8 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap pola asuh otoriter orangtua dengan kecenderungan bullying pada siswa SMP X dan SMP Y. 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi perkembangan ilmu psikologi pendidikan, khususnya untuk mengetahui keterkaitan antara persepsi terhadap pola asuh otoriter orangtua dengan kecenderungan bullying pada siswa SMP X dan SMP. 1.5.2 Manfaat praktis a. Bagi lembaga pendidikan Memberikan wawasan pada pihak pengelola dan pengajar mengenai keterkaitan antara persepsi terhadap pola asuh otoriter orangtua dengan kecenderungan bullying pada siswa SMP X dan SMP Y. Dengan demikian, pihak pengelola dan pengajar dapat memberikan wawasan tentang pola asuh yang tepat bagi perkembangan remaja pada orangtua.

9 b. Bagi orangtua Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pada orangtua mengenai dampak perilaku bullying dan pola asuh otoriter pada remaja, terkhusus pada siswa SMP X dan SMP Y. c. Bagi remaja awal Hasil penelitian akan diinformasikan kembali pada subjek penelitian (remaja awal), sehingga subjek dapat mengenali pola pengasuhan yang diberikan orangtua pada diri mereka. Apabila subjek menerima pola asuh otoriter dari orangtua, maka subjek dapat mengetahui bahwa subjek memiliki kecenderungan melakukan bullying. Dengan demikian, subjek dapat mengontrol dirinya untuk tidak melakukan bullying pada teman sebaya.