BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha kecil dan menengah (UKM) pada umumnya membuka usahanya di bidang makanan dan minuman seperti usaha membuka tempat makan (restoran/rumah makan), camilan dan kuliner membuat semakin beragam produk makanan yang dapat dibeli oleh masyarakat. Masyarakat yang cenderung konsumtif dan lebih mementingkan sisi praktis menambah prospek usaha di bidang kuliner. Namun demikian kadang konsumen tidak peduli makanan yang dikonsumsi merupakan makanan yang higienis dan halal. Pelaku UKM atau pengusaha tempat makan hendaknya juga sadar terkait produk yang diproduksi dan dijual. Pengusaha kuliner beranggapan bahwa sudah memproduksi atau mengolah makanan dengan komposisi atau bahan-bahan yang aman. Perlu diketahui bahwa makanan yang aman belum tentu makanan tersebut halal, apalagi dari sisi keamanan pangan yang meliputi hygiene dan sanitasi tempat produksi makanan. Label halal dan izin edar baik P-IRT atau POM sangat penting dicantumkan dalam kemasan atau tempa usaha/rumah makan mengingat bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia adalah masyarakat muslim yang sangat sensitif terhadap kehalalan suatu produk pangan. Isu bahkan fakta lapangan yang ada bahwa banyak para pengusaha bakso yang melakukan kecurangan terhadap baksonya. Olahan bakso yang menggunakan daging babi padahal untuk sebagian besar masyarakat diharamkan 1
untuk dikonsumsi. Selain pada olahan bakso, banyak juga sampel makanan lain yang ditemukan mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti minyak babi. Kecurangan-kecurangan yang dilakukan pelaku UKM kuliner seperti menambahkan zat-zat berbahaya seperti paracetamol pada makanan yang mereka jual dan mengoplos masakan daging sapi dengan daging celeng dan daging anjing pada masakan yang mereka jual. 1 Sebagai salah satu kota tujuan wisata terfavorit di Indonesia, Kota Yogyakarta memiliki ragam makanan khas yang sering dijadikan oleh-oleh bagi wisatawan yang rata-rata dikelola industri skala mikro, kecil dan menengah. Banyak sekali makanan khas Yogyakarta yang telah terkenal luas, salah satu contohnya adalah bakpia dan gudeg. Selain makanan khas tersebut, Kota Yogyakarta juga terkenal dengan istilah jajanan pinggir jalan seperti warung lesehan, angkringan, dan sebagainya. Setiap hari dapat dijumpai warung-warung makan di sepanjang Jalan Malioboro, seputar kampus-kampus yang juga menjadi ciri khas kotayogyakarta, dan juga sekitar tempat wisata lain seperti daerah sekitar Keraton Yogyakarta. 2 Dengan berbagai variasi menu yang ditawarkan dan berbagai desain interior yang ditampilkan, perkembangan bisnis ini sangat membanggakan. Di sisi yang lain masih ada kita jumpai pengelola rumah makan yang mengabaikan aspek kualitas makanan yang disajikan (dari segi higienitas) dan kemampuan manajerial 1 https://hendraxsap.wordpress.com/2013/09/23/pentingnya-sertifikasi-halal-dalam-bisniskuliner-bagi-ukm. Diakses pada 8November 2015. 2 Di Kota Yogyakarta dan sebagian wilayah Sleman terdapat industri dengan skala mikro, kecil dan menengah yang bergerak di bidang usaha kuliner (pengelolaan pangan).berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakartaterdapat 943 UKM pengelolaan pangan. 2
pengelola rumah makan dalam menghadapi masalah-masalah tersebut serta aspek kualitas pelayanan. Referensi mahasiswa di Yogyakarta dalam memilih tempat makan menurut artikel Kompasiana (2012) yaitu rumah makan yang memberikan harga yang murah namun dengan porsi yang banyak, sementara cita rasa dinomortigakan. Di sisi yang lain, adanya fenomena kasus hepatitis A di Yogyakarta mencerminkan masyarakat kurang mencermati kehigienisan makanan yang dikonsumsi. Laporan tahunan Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2007 menyebutkan bahwa masih sebagian kecil tempat pengelolaan makanan yang memenuhi kategori sehat, yaitu hanya sejumlah 6,7 persen 3. Pada periode Maret sampai Agustus tahun 2008 di Yogyakarta pernah merebak penyakit hepatitis A. Penularan penyakit tersebut umumnya berasal dari sanitasi yang tidak baik serta kurangnya kebersihan makanan dan minuman. Jumlah penderitanya pada saat itu melonjak tajam, tercacat ada sebanyak 221 kasus selama periode tersebut (Harian Kompas.com, 2008). Setiap minggu ditemukan 6-12 kasus baru. Pada artikel tersebut disebutkan bahwa kelompok usia yang terjakit penyakit tersebut paling banyak pada usia 25-55 tahun, kemudian diikuti kelompok usia 18-24 tahun dan terakhir usia 7-17 tahun. Penderitanya didominasi oleh kalangan mahasiswa sebanyak 38 persen, pegawai swasta 24 persen, pelajar 15 persen, wiraswasta 11 persen, pegawai negeri 7 persen, dan 3 http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/09/29/hidup-prihatin-mahasiswauntuk-menghemat-uang-makan-497107.html, diakses pada 20 Oktober 2015. 3
lain-lain 5 persen. Dari data tersebut terungkap bahwa mahasiswa dan anak muda yang paling banyak terjangkit penyakit hepatitis A 4. Usaha kuliner di Kota Yogyakarta masih berbentuk usaha rumah tangga dengan skala usaha kecil dan menengah. Gambaran UKM bidang kuliner di Yogyakarta biasanya berupa kios kecil sampai rumah makan yang menjual makanan spesifik, seperti gudeg, soto dan lain-lain; dan/atau makanan sehari-hari. Usaha kuliner di Yogyakarta memiliki tenaga kerja kurang atau sama dengan 20 orang tenaga kerja. Tenaga kerja ini biasanya merupakan tenaga kerja rumah tangga, famili atau dari sekitar tempat usaha. Bahan baku tersedia dan diperoleh secara lokal, baik dari distributor dan dari pasar tradisional yang ada di Yogyakarta. Pengolahan bahan baku menjadi produk biasanya mengikuti resep turun temurun dari keluarga atau berdasarkan pengalaman dari pemilik usaha. Manajemen usaha kuliner di Yogyakarta dilakukan dengan sederhana didukung dengan modal pribadi. Pola pemasaran pun sederhana mengandalkan reputasi yang beredar dari mulut-ke-mulut (word of mouth). Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang bergerak di bidang kuliner dan menjual berbagai makanan khas daerah masing-masing tersebut memiliki kelemahan di bidang finansial dan manajemen (Tambunan, 2011). Hal tersebut yang kemudian membuat banyak UKM kuliner dan makanan itu kurang memperhatikan aspek pengawasan kualitas sehingga kepercayaan konsumen pada kualitas produk UKM dalam negeri rendah (Najib, 2006). Ketentuan dan 4 http://health.kompas.com/read/2008/08/29/10182551/hepatitisameningkatdrasti s, diakses pada 20 Oktober 2015 4
peraturan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengenai kewajiban para pelaku industri dalam menjual produk, seperti standar kandungan gizi, kebersihan, kehalalan, dan sebagainya masih kurang diperhatikan meskipun pada setiap produk produsen harus mencantumkan label keterangan kandungan gizi, kebersihan dan label halal. Hal tersebut dapat ditemukan pada fenomena yang sering terjadi disekitar kita bahwa UKM yang bergerak di usaha kuliner masih banyak yang belum mencantumkan keterangan standar sesuai ketentuan dari BPOM, meskipun belum tentu produk yang dijual dan dijajakan oleh UKM ini memiliki kualitas yang rendah atau tidak sesuai dengan aspek kualitas yang selayaknya hanya karena tidak mencantumkan label gizi, higienis, dan halal. Sertifikasi halal adalah fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam. Sertifikasi halal ini merupakan syarat untuk pencantuman label halal MUI, bukan sekedar tulisan halal karena menurut UU 69 Tahun 1999 label halal adalah label yang dikeluarkan dari MUI Pusat atau Provinsi. Kriteria suatu produk makanan yang memenuhi syarat kehalalan adalah: 1. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi. 2. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan, seperti bahanbahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dan lain sebagainya. 3. Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut syariat Islam. 5
4. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat pengolahan dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi. 5. Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar (minuman beralkohol). BPOM juga mengeluarkan peraturan Cara Produksi Pangan Yang Baik Untuk Industri Rumah Tangga pada tahun 2012. Dalam peraturan tersebut setelah disebutkan bahwa pangan yang aman dan bermutu merupakan hak asasi setiap manusia, tidak terkecuali pangan yang dihasilkan oleh Industri Rumah Tangga Pangan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 pasal 111 ayat (1) menyatakan bahwa makanan dan minuman yang digunakan oleh masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan. Terkait dengan hal tersebut di atas, Undang-Undang tersebut mengamanahkan bahwa makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar, persyaratan kesehatan, dan/atau membahayakan kesehatan dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia juga harus makanan dan minuman yang baik dan bermanfaat bagi tubuh serta halal (bagi yang beragama Islam). Halal dan haram adalah bagian dari keyakinan umat Islam yang tidak dapat ditawar. Ketika dihadapkan pada produk-produk pangan yang dijual di pasaran, keyakinan itu berbenturan dengan ketidakmampuan konsumen untuk menilai kehalalan produk yang akan dikonsumsi, tidak terkecuali produk makanan dan minuman yang dijual di UKM rumah makan. 6
Pada pasal 4 huruf a dan huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa: Hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa dan Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis dapat merumuskan dari masalah-masalah yang ada yaitu: 1. Masih terdapat UKM kuliner yang menjual makanan dan minuman yang kurang higienis dan aman. 2. Masih terdapat pengetahuan pengusaha UKM kuliner yang rendah tentang standar mutu makanan terkait dengan sertifikasi kualitas halal dan higienis. Hal ini berkaitan dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 pasal 111 ayat (1) tentang makanan dan minuman yang mengharuskan produsen makanan dan minuman menjual produknya sesuai dengan standar dan/atau persyaratan kesehatan. 3. Masih terdapat pengusaha UKM kuliner yang belum memahami peraturan perundang-undangan tentang perlindungan konsumen 7
1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, terdapat pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apa yang dipersepsikan pengusaha UKM rumah makan di Yogyakarta terkait kualitas produk yang diproduksi dan dijual? 2. Bagaimana kesadaran UKM kuliner terkait dengan sertifikasi dan manajemen kualitas berdasarkan omzet, lama usaha dan jenis layanan? 3. Apa yang dilakukan pengusaha UKM rumah makan di Yogyakarta dalam mengembangkan kualitas dan layanan usaha kuliner? 4. Apa manfaat pelaksanaan manajemen kualitas di UKM kuliner terkait dampaknya terhadap usaha kuliner? 1.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi atribut-atribut yang dipersepsikan pengusaha UKM kuliner di Yogyakarta terkait kualitas produk yang diproduksi dan dijual. 2. Mengidentifikasi tingkat kesadaran UKM kuliner terkait dengan sertifikasi dan manajemen kualitas berdasarkan omzet, lama usaha dan jenis layanan. 3. Mengidentifikasi upaya pengusaha UKM kuliner di Yogyakarta dalam pengembangan kualitas dan layanan usaha kuliner. 8
4. Mengidentifikasi manfaat pelaksanaan manajemen kualitas di UKM kuliner terkait dampaknya terhadap usaha kuliner. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan manfaat, yaitu: 1. Bagi akademisi Untuk kalangan akademisi, penelitian ini akan memberikan pemahaman tentang seberapa penting sertifikasi-sertifikasi kualitas pada kinerja dan kelangsungan hidup UKM rumah makan di Yogyakarta, serta memahami pentingnya penerapan manajemen kualitas yang baik bagi para pelaku UKM rumah makan di Yogyakarta sehingga dapat memberikan produk dan pelayanan yang baik bagi pelanggan, meningkatkan daya saing bisnisnya, dan bertahan di industri kuliner Yogyakarta yang sudah sangat ketat persaingannya. 2. Bagi praktisi Untuk kalangan praktisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para pelaku UKM rumah makan di Yogyakarta tentang bagaimana penerapan manajemen kualitas yang baik, terutama dalam hal pentingnya menjaga kualitas produk dan pelayanan agar dapat terus bersaing industri kuliner yang berskala lebih besar. 9
1.6 Batasan Penelitian Dari penelitian yang penulis lakukan serta fokus dalam meneliti objeksecara mendalam, penulis membatasihal-hal sebagai berikut : 1. Batasan penelitian ini dilakukan pada unit usaha kecil dan menengah rumah makan yang berlokasi daerah pusat pelajar/mahasiswa dan wisatawan di wilayah Kota Yogyakarta dan Sleman. 2. Pemilihan usaha rumah makan yang banyak dijumpai sebagai objek penelitian. 1.7 Sistematika Penulisan Bab pertama dalam penelitian ini mencakup latar belakang penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian, dan sistematika penulisan. Pada bab kedua dalam penelitian ini berisi landasan teori atau kajian literatur yang berhubungan dengan penelitian, diantaranya mengenai kesadaran pada kualitas di industri makanan beserta faktor-faktornya, terutama pada sektor Usaha Kecil dan Menengah. Pada bab ketiga ini akan dibahas mengenai metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian, yaitu metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis. Penelitian ini mengambil obyek unitusaha-usaha kecil menengah bidang kuliner di Kota Yogyakarta dengan metode (desain) penelitian yang disesuaikan dengan data primer yang diperoleh secara acak dari lingkungan kampus-kampus yang ada di kota tersebut. 10
Metode pengumpulan data diperoleh dengan cara observasi dan wawancara langsung kepada pemilik atau pengelola usaha tersebut yang kemudian data tersebut dianalisis. Pada bab keempat penulis memaparkan tentang gambaran umum objek penelitian, yaitu profil usaha kuliner dan makanan diteliti di Yogyakarta. Selain itu juga membahas penerapan manajemen kualitaspada sektor UKM rumah makan dan dampak penerapannya. Pada bab kelima berisi kesimpulan dari hasil penelitian, masalah, dan kelemahan-kelamahan dari penelitian yang dilakukan serta implikasi dari penelitian-penelitian sebelumnya serta bagi penelitian-penelitian selanjutnya. 11