BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Pasal 1 Undang- Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999). Ayat dan Tarigan (2010) mengatakan hutan sebagai sumber daya alam yang tidak ternilai harganya karena dapat menjadi sumber kehidupan bagi manusia. Namun, telah terjadi tekanan terhadap sumber daya hutan yang semakin meningkat disebabkan oleh deforestasi dan degradasi (Wibowo dan Ginting, 2010). Berdasarkan data Forest Watch Indonesia (FWI) (2014), tekanan tersebut ditunjukkan oleh luasan tutupan hutan yang menurun dari 87 juta hektar menjadi 82 juta hektar dalam kurun waktu 2009 2013. Penurunan luas dan kualitas hutan akan memberi dampak bagi keberlangsungan suatu ekosistem dan tidak terpenuhinya manfaat hutan secara seimbang (Kauri, 2015). Tutupan hutan atau tutupan kanopi hutan merupakan bagian atas dari vegetasi yang memberikan perlindungan pada lingkungan di bawahnya (Lund, 2002). Tutupan kanopi yang merujuk pada proporsi keseluruhan kanopi terhadap satuan luas per bidang permukaan disebut kerapatan kanopi. Keberadaan informasi kerapatan kanopi sangat penting untuk dinilai karena kanopi pada tutupan hutan dapat menilai status hutan atau indikator intervensi dalam manajemen sumber daya hutan seperti indikasi penurunan kualitas tegakan, walaupun kelas penutupan lahan hutan tidak berubah (Tohir et al., 2014). Menurut Panta (2003), informasi tentang kerapatan kanopi hutan secara langsung ataupun tidak langsung dapat terkait tentang permasalahan lingkungan seperti erosi, degradasi sumber daya, hilangnya keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim. Pohon bagian dari struktur hutan yang memiliki ketinggian kanopi yang paling tinggi sangat berperan melindungi bagian bawahnya seperti sebagai habitat fauna (APOEC.org, 2003). Oleh karena itu, informasi kerapatan kanopi khususnya kerapatan kanopi pohon dianggap penting untuk mendukung kajian selanjutnya. 1
Inventaris hutan seperti informasi kerapatan kanopi pohon memerlukan waktu yang lama dan biaya tinggi, khususnya pada liputan hutan yang luas. Teknologi penginderaan jauh yang merekam secara langsung karakter vegetasi di permukaan (Campbell et al., 2011) dengan liputan perekaman pandangan yang luas (synoptic view) (Matthews, 2013), dapat digunakan sebagai alternatif untuk melakukan kegiatan inventaris tersebut. Teknologi penginderaan jauh yang berkembang hingga saat ini menghasilkan produk citra foto dan citra digital dengan karakteristik resolusi berbeda. Produk Landsat sebagai citra digital menjadi alternatif dalam penelitian ini karena banyak kegiatan penelitian terkait bidang kehutanan oleh lembaga pemerintahan (Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2007 dan Kementerian Kehutanan dimuat dalam Peraturan menteri No. P.12/Menhut-II/2012) maupun lembaga swadaya masyarakat (FWI pada tahun 2013). Landsat-8 sebagai seri terbaru dapat digunakan dalam penelitian ini karena memiliki keunggulan yang hampir sama dengan produk Landsat sebelumnya. Keunggulannya berupa time series perekaman yang cukup panjang sehingga dapat memantau perubahan kerapatan kanopi. Kemudian resolusi spasial cukup baik untuk liputan hutan yang luas dan multi-saluran yang dapat memanfaatkan saluran biru hingga termal serta akses data yang gratis. Keunggulan lainnya pada Landsat- 8 yaitu memiliki resolusi radiometrik yang tinggi dan julat spektral yang sedikit sempit dibanding Landsat sebelumnya sehingga menarik untuk dikaji kelayakannya khususnya dalam kajian kerapatan kanopi pohon. Kajian dasar pendekatan kerapatan kanopi pohon melalui penginderaan jauh dimulai dengan memanfaatkan respon spektral vegetasi. Hal tersebut karena objek yang berbeda akan memberikan respon spektral yang berbeda pada berbagai julat gelombang elektromagnetik sehingga memungkinkan untuk menilai jenis dan kondisi objek (Lillesand et al, 2014). Khususnya vegetasi, dipengaruhi oleh kandungan pigmen daun, material organik, air, dan karakteristik struktural daun (Huete dan Glenn, 2011). Penginderaan jauh menggunakan beberapa bagian dari julat panjang gelombang atau spektrum elektromagnetik (Aggarwal, 2003). Tiap julat gelombang direkam oleh satu sensor yang menghasilkan saluran tunggal dengan satu citra. 2
Pendekatan saluran tunggal dapat dijadikan metode sederhana untuk identifikasi kerapatan kanopi dengan memanfaatkan respon pantulan spektral vegetasi, terutama untuk data penginderaan jauh yang memiliki jumlah saluran yang sedikit. Saluran tunggal yang memberikan kemampuan yang baik untuk mengukur permukaan bumi tanpa gangguan atmosfer yang berarti, khususnya membedakan vegetasi dan non-vegetasi dapat memanfaatkan julat gelombang hijau, merah dan inframerah dekat (Eastman, 2001; TNTmips, 2012). Menurut Danoedoro (2012), ketiga saluran tersebut cukup representatif dalam menyajikan fenomena vegetasi, sebelum saluran inframerah tengah digunakan secara luas. Namun, penggunaan saluran tunggal terbatas karena nilai piksel yang ditampilkan merupakan pantulan dari seluruh objek tanpa ada yang ditonjolkan (Pambudhi, 2012). Tahun 1970-an muncul kombinasi saluran tunggal antara saluran merah dan inframerah yang telah dirumuskan dan diturunkan menjadi indeks vegetasi (Bastiaansen, 1998). Adanya indeks vegetasi memberi keuntungan yaitu kemampuannya dalam mereduksi faktor luar pada data spektral yang dapat menonjolkan aspek vegetasi dan biofisik tertentu seperti Leaf Area Index (LAI), biomassa, produktivitas, aktivitas fotosintesis atau persentase tutupan (Baret dan Guyot 1991; Pambudhi, 2012). Beberapa contoh indeks vegetasi yaitu Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Soil Adjusted Vegetation Index (SAVI), dan Modified Soil and Atmospheric Resistant Vegetation Index (MSARVI). Ketiga macam indeks vegetasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk kerapatan kanopi pohon. NDVI sebagai indeks vegetasi yang banyak digunakan (Hernandi et al., 2013) memiliki efektivitas untuk memprediksi sifat permukaan ketika kanopi vegetasi tidak terlalu rapat dan tidak terlalu jarang (Liang, 2004). Namun, kurang memperhatikan faktor luar seperti tanah dan terdapat gangguan atmosfer pada NDVI (Jensen, 2007). Indeks vegetasi lainnya yang dikembangkan dari NDVI yaitu SAVI yang memperhatikan faktor tanah dan MSARVI dimodifikasi dari Soil and Atmospheric Resistant Vegetation Index (SARVI) yang memperhatikan faktor tanah dan atmosfer. Penelitian kedua indeks ini dilakukan oleh Huete dan Liu (1994, dalam Jensen, 2007), menyatakan bahwa kedua indeks tersebut memiliki persamaan yang baik dibanding NDVI, jika terdapat koreksi atmosfer secara menyeluruh maupun parsial. 3
Pertengahan dekade 90-an, telah dikembangkan model baru yaitu model Forest Canopy Density (FCD). Model FCD ini menarik untuk dibahas karena tidak hanya menggunakan saluran merah dan inframerah seperti kebanyakan transformasi indeks vegetasi lainnya, melainkan memanfaatkan keragaman spektral yaitu gabungan saluran dari saluran biru hingga termal. Namun, model ini merupakan transformasi model yang rumit karena menyaratkan pembentukan model dari beberapa indeks (Danoedoro, 2012). Model FCD ini melibatkan empat indeks, antara lain Vegetation Index (VI), Bare Soil Index (BI), Shadow Index (SI), dan Thermal Index (TI) (Rikamaru dan Miyatake 1997). Beberapa pendekatan metode seperti saluran tunggal, indeks vegetasi dan model FCD yang telah dikembangkan memiliki karakteristik berbeda sehingga berpotensi menghasilkan hubungan dan tingkat akurasi yang berbeda dalam estimasi kerapatan kanopi pohon. Analisis hubungan dan tingkat akurasi tiap pendekatan metode membutuhkan data kerapatan kanopi pohon di lapangan. Data kerapatan kanopi pohon diperoleh secara empirical maupun semi-empirical (Justice dan Townshend, 1981 dalam Jong dan Meer, 2007). Tang dan Li (2013) mengatakan pengukuran secara semi-empirical memiliki keunggulan yaitu pengukuran lapangan yang minimum sehingga lebih efisien waktu dan tenaga. Contoh pengukurannya dapat melalui line-intercept, densiometer, moosehorn, dan hemispherical photography (Fiala et al., 2006). Menurut Rich (1990), pendekatan hemispherical photography bila diterapkan dengan hati-hati dapat menjadi metode yang paling akurat untuk memperkirakan tutupan kanopi namun rentan terhadap sumber kesalahan (pengaruh sudut matahari, kondisi awan dan lain-lain) dan sangat sedikit diketahui tentang konsistensi atau pengulangan metode ini. Lokasi penelitian dilakukan di hutan rawa gambut Provinsi Riau. Lokasi tepatnya di Suaka Margasatwa Bukit Batu yang berada di zona inti kawasan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CB GSK-BB). Kawasan ini memiliki kanekaragaman hayati sangat tinggi yang hidup diberbagai ekosistem yang masih utuh (MAB-Indonesia.org, tt a). Namun, saat ini telah terjadi kegiatan perambahan hutan yang menyebabkan berkurangnya tutupan hutan pada kawasan ini. Kegiatan tersebut telah mecapai zona penyangga dan zona inti pada tahun 2015 (Tempo.co, 2015a dan 2015b). Padahal, kedua zona ini harus dilindungi dari dari dampak 4
negatif kegiatan manusia (MBA-Indonesia.org, tt b). Adanya hal tersebut, maka diperlukan kegiatan inventarisasi hutan seperti kerapatan kanopi pohon untuk manajemen hutan terutama pada zona inti cagar biosfer tersebut sebagai kawasan yang dilindungi dunia. Pemilihan lokasi yang berada di Suaka Margasatwa Bukit Batu bertujuan untuk mengetahui metode pengolahan citra digital terbaik terutama pada hutan rawa gambut karena saat ini belum terdapat standar baku yang berhubungan dengan karakteristik wilayah. Lillesand et al. (2014) mengatakan adanya efek spasial yaitu lokasi geografis berbeda akan berpengaruh pada pantulan spektral walaupun objek sama. Selain itu, setiap pendekatan metode memiliki karakteristik berbeda sehingga berpotensi memiliki hubungan dan tingkat akurasi yang berbeda pula. Dari kedua hal tersebut, maka perlu adanya kajian perbandingan hasil dari beberapa metode dalam memperoleh informasi spasial kerapatan kanopi pohon secara tepat dan benar. 1.2 Rumusan Masalah 1. Kemajuan teknologi penginderaan jauh mendorong munculnya keberagaman data dan metode pengolahan citra digital untuk estimasi kerapatan kanopi pohon. Data citra Landsat-8 dapat menjadi alternatif dalam perolehan informasi kerapatan kanopi pohon. Metode pengolahan citra yang dapat digunakan diantaranya saluran tunggal, indeks vegetasi, dan model FCD. Beberapa metode tersebut memiliki karakteristik berbeda yang berusaha untuk mengambarkan kondisi kanopi pohon berdasarkan tingkat kerapatannya. Namun, perlu adanya kajian perbandingan masingmasing metode berdasarkan hubungan dan tingkat akurasi estimasi kerapatan kanopi pohon. 2. Informasi kerapatan kanopi pohon dapat digunakan untuk mendukung kajian lebih lanjut seperti degradasi, erosi, hingga perubahan iklim. Oleh karena itu, diperlukan pembangunan informasi kerapatan kanopi pohon yang benar dari model terbaik yang diperoleh berdasarkan analisis hubungan dan tingkat akurasi setiap metode. Model terbaik tersebut juga memberikan informasi kerapatan kanopi pohon secara spasial. Manfaatnya 5
untuk mengetahui lokasi dan distribusinya terutama di liputan hutan yang luas, salah satunya pada hutan rawa gambut Provinsi Riau. Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut: a. bagaimana hasil perbandingan tingkat akurasi estimasi kerapatan kanopi pohon menggunakan saluran tunggal (hijau, merah, dan inframerah dekat), indeks vegetasi dan model Forest Canopy Density berbasis citra Landsat-8 di sebagian hutan rawa gambut Provinsi Riau? b. model manakah yang terbaik untuk pemetaan kerapatan kanopi pohon di sebagian hutan rawa gambut Provinsi Riau? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah: a. membandingkan hasil tingkat akurasi estimasi kerapatan kanopi pohon menggunakan saluran tunggal (hijau, merah, dan inframerah dekat), indeks vegetasi dan model Forest Canopy Density berbasis citra Landsat-8 di sebagian hutan rawa gambut Provinsi Riau, dan b. menentukan model yang terbaik untuk pemetaan kerapatan kanopi pohon di sebagian hutan rawa gambut Provinsi Riau. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: a. sebagai bahan pengembangan teknik penginderaan jauh dalam melakukan estimasi kerapatan kanopi pohon, dan b. memberikan data dan informasi kerapatan kanopi pohon untuk menunjang dalam pelaksanaan pengelolaan kawasan hutan. 6