BAB 1 INTRODUKSI. riset, problem riset, pertanyaan riset, motivasi riset, tujuan riset, kontribusi riset,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. tindak pidana korupsi sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 31

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa

Sub Bagian Hukum dan Humas BPK RI Perwakilan Provinsi Bali

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu lembaga negara yang ada di Indonesia adalah Badan Pemeriksa

BAB 1 INTRODUKSI. 1.1 Latar Belakang. Tanggal 15 Januari 2014, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

BAB I PENDAHULUAN. kegiatannya didasarkan pada prinsip efisien dan produktivitas seperti

BAB I PENDAHULUAN. dan telah menjadi kebutuhan secara global. Salah satu upaya yang dilakukan

Fraud yang terjadi pada kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah

PKSANHAN II PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

Tri Atmojo Sejati. Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara Deputi Bidang Kajian Kebijakan Lembaga Administrasi Negara

KEWENANGAN PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK

BAB 1 INTRODUKSI. perintah Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945, khususnya pasal 23E yang

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan pelaksanaan akuntabilitas sektor publik terhadap terwujudnya

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK

PERTEMUAN 15: PENYELESAIAN HUKUM. B. URAIAN MATERI Tujuan Pembelajaran 15: Menjelaskan upaya hukum untuk penyelesaian investigasi

KESEPAKATAN BERSAMA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 01/KB/I-VIII.

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

WEWENANG BADAN PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) MENGHITUNG KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. terhadap pasar global, tetapi juga merugikan negara serta dalam jangka panjang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, disebutkan bahwa negara

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. keterpurukan karena buruknya pengelolaan keuangan (Ariyantini dkk,2014).

BAB I PENDAHULUAN. Sistematika penulisan menjelaskan mengenai tahapan-tahapan penulisan laporan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

Kasus PDAM Makassar, Eks Wali Kota Didakwa Rugikan Negara Rp 45,8 Miliar

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

BAB I PENDAHULUAN. Birokrasi yang berbelit dan kurang akomodatif terhadap gerak ekonomi mulai

PERATURAN MENTERI KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun. politik dan kekuasaan pemerintah.

NOTA KESEPAHAMAN ANTARA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA, KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, DAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

PENDAHULUAN. pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, serta untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. menemukan temuan yang memuat permasalahan, yang meliputi

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

Nama : ALEXANDER MARWATA

BAB I PENDAHULUAN. Korupsi merupakan salah satu bentuk fraud yang berarti penyalahgunaan

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

RILIS MEDIA A. Dakwaan B. Tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing auditor berbeda. Auditor pemerintah dibedakan menjadi dua yaitu

ASPEK HUKUM DALAM TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN BPK

Tugas dan Wewenang BPK dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Implementasinya

2016, No Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 3851); 2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang

PERTEMUAN 1: AUDIT DAN STANDAR AUDIT

BAB I PENDAHULUAN. transparan dan akuntabel, menteri/pimpinan lembaga, gubernur dan

NOMOR : 15 TAHUN 2010

PEDOMAN PENGAWASAN BAB I U M U M. Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan

BAB 1 PENDAHULUAN. isu yang strategis untuk dibahas. Salah satu topiknya adalah menyangkut Tindak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Tuntutan pelaksanaan akuntabilitas sektor publik terhadap

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PADANG LAWAS UTARA,

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. mengamanatkan bahwa setiap kepala daerah wajib menyampaikan laporan

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan merupakan fungsi manajemen yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. dengan memberikan rekomendasi tentang tindakan-tindakan perbaikan

TENTANG KERJASAMA DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik, atau biasa disebut good governance. Untuk mencapainya

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. organisasi atau perusahaan yang dipimpinnya. Pada tingkatan yang dominan,

KAITAN EFEK JERA PENINDAKAN BERAT TERHADAP KEJAHATAN KORUPSI DENGAN MINIMNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH

WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB I PENDAHULUAN. publik dalam rangka pemenuhan hak publik. Untuk pengertian good governance,

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

DIBERI WAKTU 60 HARI UNTUK MENGEMBALIKAN KERUGIAN NEGARA, TEMUAN BPK TAK BISA LANGSUNG DIUSUT JAKSA

-2- pembangunan nasional di pusat maupun di daerah sebagaimana penjabaran dari Nawa Cita demi mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepr

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR TENTANG TATA CARA TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. mengatasi masalah tersebut melalui berbagai cara, salah satunya dengan

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2014 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

ANALISIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS MURNI OLEH JUDEX JURIST

KEPUTUSAN BERSAMA KETUA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN. : 42/KPK-BPKP/IV/2007 : Kep-501/K/D6/2007

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 7 TAHUN 2014

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada pertengahan April 2016, Gubernur Daerah Khusus Istimewa (DKI)


2017, No Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); M

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. menyajikan laporan hasil audit. Agar pemerintah puas dengan pekerjaan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

KUASA HUKUM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Maret 2014.

PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. bertujuan untuk menjamin kesesuaian pelaksanaan kegiatan dengan kebijakan

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.04/MEN/2011 PEDOMAN PENGAWASAN INTERN LINGKUP KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

PENGAWASAN TAHUN 2015

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 41 / HUK / 2010 TENTANG

-2- memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dipe

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB I PENDAHULUAN. ditetapkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang. Undang Nomor 20 Tahun 2001 selanjutnya disebut dengan UUPTPK.

2017, No kementerian/lembaga tanpa pernyataan dirampas, serta relevansi harga wajar benda sitaan Rp300,00 (tiga ratus rupiah) yang dapat dijual

Pemaparan dimulai dengan ketentuan Pengadaan Barang

BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 13 TAHUN 2013 PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

2 Wewenang, Pelanggaran dan Tindak Pidana Korupsi Lingkup Kementerian Kehutanan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggar

BAB 1 PENDAHULUAN. dan pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

LIBERALISASI BADAN USAHA MILIK NEGARA.

Transkripsi:

1 BAB 1 INTRODUKSI Bab 1 di dalam riset ini berisi tentang latar belakang pemilihan judul, konteks riset, problem riset, pertanyaan riset, motivasi riset, tujuan riset, kontribusi riset, proses riset dan sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Penghitungan kerugian keuangan negara merupakan suatu upaya untuk menentukan jumlah uang pengganti/tuntutan ganti rugi, sebagai salah satu patokan jaksa untuk melakukan penuntutan mengenai berat/ringannya hukuman dan sebagai bahan gugatan/penuntutan sesuai yang berlaku dalam kasus perdata (Soepardi, 2009). Adapun penentuan kerugian keuangan negara dalam proses Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) didasari pada beberapa pemahaman. Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, Tidak Seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, dan telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Pemahaman alat bukti yang sah merujuk pada siapa atau instansi mana yang berwenang untuk menghitung dan menyimpulkan kepastian nilai kerugian keuangan negara. Undang-undang Dasar 1945 pada Pasal 23E ayat 1 menjelaskan bahwa audit atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kewenangan BPK kemudian diperjelas 1

2 pada pasal 10 angka 1 Undang-undang Nomor 15 tahun 2006. Pasal tersebut menjelaskan bahwa BPK memiliki kewenangan untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Selain BPK, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangun (BPKP) juga memiliki wewenang untuk menghitung kerugian keuangan negara. Kewenangan BPKP diatur melalui pasal 27 Peraturan Presiden Nomor 192 tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Pasal tersebut menjelaskan bahwa BPKP juga memiliki kewenangan untuk menghitung kerugian keuangan negara. Pembuktian suatu tindak pidana korupsi diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:31/PUU-X/2012 pada tanggal 23 Oktober 2012. Pada pertimbangan hukum poin [3.14] disebutkan bahwa, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan juga dapat berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya.

3 Salah satu permasalahan dalam penanganan tindak pidana korupsi di pengadilan ialah penentuan jumlah kerugian keuangan negara. Permasalahan terjadi jika terdapat perbedaan penghitungan antar ahli ataupun berbagai instansi yang berwenang. Perbedaan penghitungan kerugian keuangan negara sering terjadi dalam berbagi kasus di pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Seperti halnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), perbedaan penghitungan kerugian keuangan sering terjadi pada beberapa kasus yang ditangani di Pengadilan Tipikor Yogyakarta. Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 2013-2014 mencatat bahwa Pengadilan Tipikor Yogyakarta memproses tiga kasus korupsi yang mengalami perbedaan dalam penentuan besaran kerugian keuangan negara. Perbedaan terjadi pada penghitungan yang dilakukan oleh beberapa instansi yang diminta secara khusus oleh jaksa penuntut umum untuk melakukan penghitungan. Putusan Mahkamah Agung No.30/Pid.Sus/2013/P.Tpkor.Yk, pada tahun 2013 mengungkapkan adanya Kasus Korupsi Biaya Operasional Kendaraan (BOK) Bus Trans Jogja oleh PT Jogja Tugu Trans yang menyebabkan kerugian keuangan negara. BPKP Perwakilan DIY telah melakukan penghitungan kerugian pada kasus tersebut namun belum menemukan indikasi kerugian keuangan negara. Disisi lain, BPK memberikan hasil penghitungan yang berbeda. Berdasarkan laporan No.07A/LHP/XVIII.YOG/06/2013 dalam Putusan Mahkamah Agung No.30/Pid.Sus/2013/P.Tpkor.Yk dijelaskan bahwa terdapat kerugian negara sebesar Rp413.437.743,00. Hakim Pengadilan Tipikor Yogyakarta menggunakan

4 hasil penghitungan yang dilakukan oleh BPK sebagai pertimbangan untuk memberikan hukuman kepada terdakwa. Perbedaan penghitungan terulang kembali pada tahun 2014, kasus bantuan pengadaaan tiga belas alat kesehatan pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Yogyakarta menyebabkan kerugian keuangan negara (Putusan Mahkamah Agung No.14/Pid.Sus-TPK/2014/PN.Yyk). Menurut penghitungan ahli oleh BPKP Perwakilan DIY, tertuang dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) Nomor SR-335/PW12/5/2014 dalam Putusan Mahkamah Agung No.14/Pid.Sus- TPK/2014/PN.Yyk, terjadi kerugian keuangan negara akibat pengadaan alat kesehatan sebesar Rp861.731.583,00. Jaksa penuntut umum memiliki hasil penghitungan yang berbeda dengan BPKP. Setelah melakukan penghitungan ulang kerugian keuangan negara seperti yang tertuang dalam surat tuntutan Registrasi Perkara Nomor PDS-03/YOGYA/Ft.1/06.2014 dalam Putusan Mahkamah Agung No.14/Pid.Sus-TPK/2014/PN.Yyk, jaksa menemukan adanya kerugian keuangan negara sebesar Rp467.111.822,00. Namun, Hakim Pengadilan Tipikor Yogyakarta tidak sependapat dengan hasil penghitungan baik yang dilakukan oleh BPKP Perwakilan DIY maupun penghitungan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum. Hakim berpendapat bahwa kerugian keungan negara hanya sebesar Rp106.696.209,00. Kasus selanjutnya pada tahun 2015, menurut Putusan Mahkamah Agung No.4/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Yyk, penggunaan dana hibah yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Bantul kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) yang kemudian diberikan kepada Persiba Bantul dalam pengelolaannya

5 menyebabkan kerugian keuangan negara. Menurut Inspektorat Kabupaten Bantul, sesuai dengan LHP Nomor: X.900/175/2013 dalam Putusan Mahkamah Agung No.4/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Yyk, terjadi kerugian keuangan negara sebesar Rp740.952.250,00. Namun, menurut penghitungan ahli yang dilakukan oleh BPKP Perwakilan DIY, tertuang dalam laporan hasil pemeriksaan Nomor: SR- 362/PW-12/5/2014 dalam Putusan Mahkamah Agung No.4/Pid.Sus- TPK/2015/PN.Yyk, terjadi kerugian keuangan negara sebesar Rp817.980.100,00 dalam pengelolaan dan hibah. Hakim Pengadilan Tipikor Yogyakarta tidak sependapat dengan hasil penghitungan BPKP Perwakilan DIY maupun penghitungan yang dilakukan oleh Inspektorat Kabupaten Bantul. Hakim berpendapat bahwa kerugian keungan negara sebesar Rp1.040.779.560,00. Perbedaan penghitungan pada tiga kasus yang dijelaskan di atas, mengindikasikan bahwa terdapat penggunaan metode yang berbeda dalam penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh instansi yang berwenang ataupun instansi yang diminta secara khusus, terutama Inspektorat Kabupaten Bantul dan BPKP Perwakilan DIY sebagai auditor internal pemerintah. Penggunaaan prinsip-prinsip auditing pada proses penghitungan dapat memengaruhi hasil yang ditentukan oleh ahli. Penentuan kerugian yang tepat memiliki manfaat bagi pengembalian jumlah uang pengganti yang harus dikembalikan oleh pelaku korupsi. Namun, belum ada penelitian yang dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya perbedaan penghitungan yang dilakukan oleh para ahli.

6 Oleh karena itu, riset ini mencoba untuk mengidentifikasi dan menganalisis penggunaan metode penghitungan kerugian yang dilakukan oleh beberapa instansi yang berwenang serta penyebab terjadinya perbedaan penghitungan antar instansi tersebut. Pemahaman akan dilakukan pada kasus yang terjadi pada tahun 2015, yakni kasus bantuan dana hibah Persiba Bantul. Pemilihan kasus tersebut didasarkan karena potensi kerugian dari kasus tersebut paling besar dan melibatkan inspektorat sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Riset ini kemudian akan membandingkan penghitungan yang dilakukan oleh Inspektorat Kabupaten Bantul, BPKP Perwakilan DIY, dan Hakim Pengadilan Tipikor Yogyakarta. Diharapkan riset ini mampu memberikan gambaran yang utuh terkait perbedaan penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh instansi yang berwenang. 1.2 Problem Riset Permasalahan yang menjadi fokus dalam riset ini ialah perbedaan penghitungan kerugian keuangan negara pada Kasus Korupsi Dana Hibah Persiba Bantul yang dilakukan oleh instansi berwenang. Permasalahan tersebut dijabarkan sebagai berikut. a. Instansi berwenang yaitu Inspektorat Kabupaten Bantul, BPKP Perwakilan DIY, dan Hakim Pengadilan Tipikor Yogyakarta yang melakukan penghitungan kerugian negera memperoleh hasil yang berbeda dalam menentukan kerugian keuangan negara. Menurut Putusan Mahkamah Agung No.4/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Yyk, penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh ahli, yakni (1) Audit oleh

7 Inspektorat Kabupaten Bantul telah terjadi kerugian negera Cq. Pemerintah Kabupaten Bantul sebesar Rp740.952.250,00, (2) Penghitungan BPKP Menunjukkan telah tejadi kelebihan pembayaran sebesar Rp817.980.100,00, dan (3) Hakim menunjukkan bahwa negara Cq. Pemerintah Kabupaten Bantul menderita kerugian sejumlah Rp1.040.779.560,00. b. Hakim tidak menggunakan hasil penghitungan kerugian keuangan negara dari BPKP Perwakilan DIY ataupun dari Inspektorat Kabupaten Bantul tetapi menghitung sendiri jumlah kerugian sebesar Rp1.040.779.560,00. Perbedaan penghitungan inilah yang mempengaruhi putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa. 1.3 Pertanyaan Riset Berdasarkan problem riset yang dijelaskan di atas, maka pertanyaan riset yang diajukan sebagai sebagai berikut. a. Bagaimana metode penghitungan kerugian keuangan negara yang digunakan oleh BPKP Perwakilan DIY, Inspektorat Kabupaten Bantul, dan Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Yogyakarta? b. Mengapa terjadi perbedaan penghitungan kerugian keuangan negara untuk Kasus Korupsi Dana Hibah Persiba Bantul yang dihitung oleh BPKP Perwakilan DIY, Inspektorat Kabupaten Bantul, dan Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Yogyakarta?

8 1.4 Motivasi Riset Riset ini dimotivasi dengan fakta bahwa pada tahun 2013-2015 terjadi perbedaaan penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh instansi berwenang/ahli pada kasus yang ditangani di Pengadilan Tipikor Yogyakarta. Riset ini ingin mengidentifikasi permasalahan apa yang terjadi saat penghitungan dan memberikan solusi untuk memecahkannya. Solusi ini dapat dijadikan landasan ketika melakukan penghitungan kerugian keuangan negara pada kasus korupsi yang ditangani di Pengadilan Tipikor Yogyakarta. 1.5 Tujuan Riset Riset ini bertujuan untuk: a. Mengidentifikasi, menganalisis dan membandingkan metode penghitungan kerugian keuangan negara yang digunakan oleh Auditor Investigatif BPKP Perwakilan DIY, Inspektorat Kabupaten Bantul, dan Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Yogyakarta b. Mengidentifikasi dan menganalisis penyebab terjadinya perbedaan penghitungan kerugian keuangan negara untuk kasus dana hibah Persiba Bantul yang dihitung oleh BPKP Perwakilan DIY, Inspektorat Kabupaten Bantul, dan Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Yogyakarta.

9 1.6 Kontribusi Riset Kontribusi yang di harapkan dari riset ini antara lain. a. Kontribusi Praktis, yakni memberikan kontribusi bagi instansi berwenang atau pun instansi lain yang diminta secara khusus untuk menghitung kerugian negara sehingga dapat memberikan keyakinan kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman dalam perkara tindak pidana korupsi. b. Kontribusi Teoritis, memberikan tambahan bukti empiris bagi audit sektor publik maupun audit investigatif terkait penghitungan kerugian keuangan negara. Riset ini juga memperkuat penyebab terjadinya perbedaan hasil penghitungan kerugian negara oleh instansi yang berwenang. 1.7 Proses Riset Riset ini merupakan riset studi kasus yang mengambil objek pada tiga instansi, yaitu BPKP Perwakilan DIY, Inspektorat Kabupaten Bantul, dan Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negari Yogyakarta. Proses riset secara singkat dilakukan sebagai berikut sebagai berikut. a. Menemukan permasalahan riset, menentukan pertanyaan riset, tujuan, dan pondasi teoritikal riset studi kasus mengenai kerugian keuangan negara. b. Menentukan metoda riset. c. Melakukan riset dengan pengumpulan data melalui proses analisis data terkait dan wawancara. d. Mengevaluasi hasil temuan dan analisis. e. Memberikan kesimpulan dan rekomendasi.

10 1.8 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam riset ini disajikan dalam lima bab sebagai berikut. BAB 1: Introduksi Bagian ini menguraikan tentang latar belakang, konteks riset, rumusan masalah, pertanyaan riset, tujuan riset, kontribusi riset, proses riset, dan sistematika penulisan. BAB 2: Kajian Pustaka Bagian ini membahas teori yang melandasi riset ini dan riset terdahulu yang telah dilakukan. BAB 3: Disain Riset Bagian ini menguraikan mengenai gambaran umum objek yang diteliti dan disain riset yang digunakan. BAB 4: Analisis dan Diskusi Bagian ini menguraikan mengenai analisis data dan diskusi hasil temuan riset studi kasus. BAB 5 : Konklusi dan Rekomendasi Bagian ini memaparkan mengenai konklusi dan rekomendasi riset.