BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia fenomena pernikahan usia dini bukanlah hal yang baru dalam masyarakat. Pernikahan usia dini merupakan suatu hal yang wajar karena dilihat dari sejarah Indonesia, sejak jaman dahulu pernikahan dilakukan oleh pasangan muda yang usianya masih dibawah 15 tahun. Hal ini terjadi karena persepsi masyarakat yang memandang perempuan usia diatas 15 tahun yang tidak segera menikah justru akan mendapat tanggapan miring atau lazim disebut perawan tua. Namun seiring perkembangan zaman, image masyarakat justru sebaliknya. Arus globalisasi yang melaju dengan kencang mengubah cara pandang masyarakat. Perempuan yang menikah di usia belia dianggap sebagai hal yang tabu. Bahkan lebih jauh lagi, hal itu dianggap menghancurkan masa depan wanita, memberangus kreativitasnya serta mencegah wanita untuk mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas. Berdasarkan survey data kependudukan Indonesia tahun 2007 terkait dengan pernikahan diusia muda, di beberapa daerah tercatat sepertiga dari jumlah pernikahan tersebut dilakukan pasangan dibawah 16 tahun. Di Jawa Timur angka pernikahan dini mencapai 39,43%, Kalimantan Selatan 35,48%, 1
Jambi 30,63%, dan Jawa Barat 36% (Kertamuda, 2009: 30). Sedangkan berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, Kalimantan Selatan menempati urutan pertama untuk pernikahan dini di Indonesia, dengan angka persentase pernikahan usia 10-14 tahun 9,0 %, dan 15-19 tahun 48,4 %. "Berdasarkan persentase usia kawin muda di Indonesia 2010, Kalimantan Selatan peringkat pertama untuk pernikahaan diri," kata Shauqi Maulana, Duta Mahasiswa Genre Tingkat Nasional 2012, dalam acara 'Seminar Remaja dalam Rangka Hari Keluarga XX Tingkat Nasional' di Hotel Azahra, Kendari, Rabu (26/6/2013)(Shauqi Maulana). Selain itu data pernikahan dini di Gunung Kidul dari tahun ke tahun kian meningkat. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah pegajuan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Wonosari. Kebanyakan dispensasi diajukan karena terjadi kehamilan di luar nikah. Dari data tahun 2012 lalu, sebanyak 172 dispensasi kawin yang diajukan ke pengadilan Agama Wonosari. Sedangkan per juni tahun 2013 ini tercatat hampir 100 permohonan dispensasi perkawinan yang diajukan (Gunungkidulonline.com). Dengan adanya data tersebut menunjukkan tingkat pernikahan dini di Indonesia setiap tahunnya selalu meningkat. Padahal di Indonesia pemerintah sudah membuat Undang-undang yang mengatur tentang pernikahan, yang diatur dalam Undang-undang yang mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan Bab II Pasal 6 ayat 2 tahun 1974 disebutkan untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang 2
tua. Batasan umur yang masih bisa ditoleransi untuk melaksanakan pernikahan diatur dalam Undang-undang Perkawinan Bab II Pasal 7 ayat 1 tahun 1974 yang berisi bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun). Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benarbenar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental (UU 1974 Perkawinan). Faktor-faktor penyebab terjadinya pernikahan dini disebabkan oleh beberapa hal yaitu faktor pendidikan, faktor pemahaman agama, faktor telah melakukan hubungan biologis, faktor hamil sebelum menikah. Yang pertama Peran pendidikan anak sangat mempunyai peran yang besar. Jika seorang anak putus sekolah pada usia wajib sekolah, kemudian mengisi waktu dengan bekerja. Saat anak tersebut sudah merasa cukup mandiri, sehingga merasa mampu untuk menghidupi diri sendiri. Kedua, masyarakat kita yang memahami bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis, telah terjadi pelanggaran agama. Dan sebagai orang tua wajib melindungi dan mencegahnya dengan segera menikahkan anak-anak tersebut. ketiga, Ada beberapa kasus, diajukannya pernikahan karena anak-anak telah melakukan hubungan biologis layaknya suami istri. Dengan kondisi seperti ini, orang tua 3
anak perempuan cenderung segera menikahkan anaknya, karena menurut orang tua anak gadis ini, karena anak sudah tidak perawan lagi, dan hal ini menjadi aib. Dan yang keempat adalah seperti yang dijelaskan sebelumnya dari faktor penyebab tersebut, karena jika kondisi anak perempuan itu telah dalam keadaan hamil, maka orang tua cenderung menikahkan anak-anak tersebut (Secuil Info). Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Karena pernikahan dini dapat menimbulkan resiko kesehatan. Hal ini dikarenakan kematangan secara biologis yang belum betul-betul sempurna dapat mengakibatkan kematian saat melahirkan. Remaja yang menikah muda menghadapi beragam masalah. Charoters (2005) mengungkapkan bahwa dampak dari seorang perempuan yang melahirkan di usia muda memiliki perasaan sangat mendalam pada anak yang dilahirkannya. Selain itu juga seorang ibu muda akan menemui hambatan-hambatan yang dihadapi sebagai remaja yang harus berperan sebagai ibu muda, adalah bentuk identitas, kegelisahan pada kemandirian, dan pubertas (Kertamuda, 2009: 31). Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. 4
Hal tersebut juga mempengaruhi pola asuh pada anak saat pasangan pernikahan usia dini tersebut memiliki keturunan. Pola asuh tersebut sangat mempengaruhi perkembangan anak. Karena dalam masa pengasuhan, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang tuanya. Anak tumbuh dan berkembang dibawah asuhan orang tua. Oleh karena itu orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak. Melalui orang tua, anak beradaptasi dengan lingkungannya untuk mengenal dunia sekitar serta pola pergaulan hidup yang berlaku di lingkungannya. Karena mengasuh anak bukan berarti hanya merawat atau mengawasi anak saja, melainkan lebih dari itu, yakni meliputi: pendidikan sopan santun, disiplin kebersihan, membentuk latihan-latihan tanggung jawab, pengetahuan pergaulan dan sebagainya, yang bersumber pada pengetahuan kebudayaan yang dimiliki orang tua (Supanto, 1990:1-2). Selain itu pola asuh tidak hanya difokuskan pada pembentukan karakter pribadi anak tetapi juga berkaitan dengan pertumbuhan anak sejak dalam kandungan sampai dewasa. Pertumbuhan sendiri berkaitan dengan masalah perubahan dalam jumlah, besar, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu yang bisa diukur dengan ukuran berat (gram, kg), ukuran panjang (cm, m), umur tulang dan keseimbangan metabolis. Pada tahap pertumbuhan ini kebutuhan anak adalah pangan, yang merupakan unsur utama untuk pertumbuhan anak, agar anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuan genetiknya (Soedjiningsih, 1995:122). Dengan orang tua yang masih muda yang masih 5
memiliki sifat emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang, sehingga hal itu sangat berpengaruh dalam pola asuh anak yang berkaitan dengan tumbuh kembang anak-anak mereka. Pola asuh anak sendiri sangat berkaitan erat dengan faktor budaya, umur ibu, pengetahuan ibu mengenai gizi,dan keadaan ekonomi. Faktor budaya masyarakat desa yang menganut budaya patrilineal sehingga menyebabkan banyaknya pernikahan dini yang dilakukan oleh sebagian besar perempuan di daerah pedesaan sehingga juga mempengaruhi pola asuh anak. Dengan kondisi yang masih labil dan belum siap untuk mengasuh anak biasanya para ibu muda di daerah pedesaan masih sangat tergantung dengan bantuan orang tua untuk mengasuh anak-anak mereka. Hal ini sudah membudaya pada masyarakat di daerah pedesaan. Kemudian faktor umur ibu, sangat penting dalam pola asuh anak karena umur ibu ini berkaitan dengan kesiapan ibu dalam pola pengasuhan anak yang telah dilahirkan. Maksudnya adalah jika umur ibu sesuai yang dianjurkan maka kesiapan ibu dalam pengasuhan anak akan matang dengan tingkat emosional ibu yang merupakan factor penting dalam pengasuhan anak. Jika umur ibu yang masih dibawah umur maka tingkat emosi yang masih labil maka juga akan mempengaruhi pengasuhan pada anaknya. Pengetahuan gizi dan kesehatan ini juga sangat penting karena gizi dan kesehatan anak merupakan salah satu sorotan yang penting bagi pemerintah, ini berkaitan dengan perkembangan dan pertumbuhan anak yang berhubungan dengan gizi yang diberikan ibu kepada 6
anaknya. Yang terakir adalah faktor ekonomi ini berkaitan dengan makanan atau asupan lain yang diberikan ibu kepada anak-anaknya. Karena tingkat ekonomi disini yang membedakan pemberian makanan yang bergizi pada anak. Misalnya orang tua yang tingkat ekonomi tinggi maka asupan makanan yang diberikan pada anak-anaknya adalah makanan yang mungkin kualitasnya lebih baik dari pada orang tua yang ekonominya lebih rendah. Hal ini sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Jadi, yang dimaksud pola asuh disini bukan hanya sekedar pemberian kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya, tetapi juga dapat dilihat dari pemberian pendidikan nonformal pada anak di tingkat keluarga, pemberian gizi pada anak (makanan maupun ASI), pengetahuan orang tua dalam pola asuh anak. Dari uraian latar belakang diatas, merupakan gambaran tentang pola asuh anak pada pasangan pernikahan usia dini. Dan di Kecamatan Selo, merupakan daerah paling tinggi tingkat pernikahan usia dini di Kabupaten Boyolali sehingga dalam penelitian ini akan mengkaji tentang pola asuh anak pada pasangan pernikahan usia dini di Kelurahan Lencoh, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. 7
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut: 1. Faktor apa saja yang melatarbelakangi pernikahan usia dini di Kelurahan Lencoh, Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali? 2. Bagaimana pola asuh anak pada pasangan pernikahan usia dini di Kelurahan Lencoh, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pernikahan dini di Kelurahan Lencoh, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. 2. Mengetahui bagaimana pola asuh anak pada pasangan pernikahan usia dini di Kelurahan Lencoh Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Selain itu juga bisa mengetahui cara-cara yang dilakukan pasangan pernikahan usia dini dalam mengasuh anak -anaknya. D. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi kajian tentang sosiologi keluarga dan mengembangkan serta menanamkan teori sosiologi pada umumnya 8
b. Manfaat Praktis Untuk memberikan wacana pemikiran bagi pembaca yang tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang pola asuh anak pada pasangan pernikahan usia dini. 9