DIALOG SEORANG EKSIL DAN PEREMPUAN TIONGHOA

dokumen-dokumen yang mirip
KARAKTERISTIK STRUKTUR PERCAKAPAN DAN KONTEKS PADA RUBRIK KARTUN OPINI DALAM HARIAN KOMPAS

Buku BI 3 (12 des).indd 1 16/12/ :41:24

Peran koran Tionghoa buat Sumpah Pemuda

Salawati Daud, Walikota Perempuan Pertama Di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur di medan juang.

Lampiran. Ringkasan Novel KoKoro. Pertemuan seorang mahasiswa dengan seorang laki-laki separuh baya di pantai

Presiden Republik Indonesia, Menimbang : bahwa perlu diadakan peraturan untuk melaksanakan Undang-undang No. 19 tahun 1956.

Aku menoleh. Disana berdiri seorang pemuda berbadan tinggi yang sedang menenteng kantong belanjaan di tangan kirinya. Wajahnya cukup tampan.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

Soedjono-Tresno Private High School (STPHS) (I)

BAB 5 SIMPULAN DAN REKOMENDASI. memuat serangkaian peristiwa yang dijalin dan disajikan secara kompleks. Novel

Pertama Kali Aku Mengenalnya

Anak laki-laki itu segera mengangkat kakinya. Maaf, ujarnya, sementara si anak

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat biasa adalah mahkluk yang lemah, harus di lindungi laki-laki,

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berasal dari Tuhan, dan tidak dapat diganggu gugat oleh. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan salah satu nilai dasar

Gerakan 30 September Hal tersebut disebabkan para kader-kader Gerwani tidak merasa melakukan penyiksaan ataupun pembunuhan terhadap para

Cinta Kedua. Majalah Parents Desember Sepenggal kisah tentang kekuatiran untuk jatuh cinta lagi.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

pengalaman putra 'tokoh integrasi' Tionghoa Indonesia pada 1965

Siauw Giok Tjhan. Soe Tjen Marching 1

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra karena di dalamnya terdapat media untuk berinteraksi antara

Presiden Republik Indonesia,

I. PENDAHULUAN. oleh Indonesia adalah suku Cina atau sering disebut Suku Tionghoa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam hal ini lembaga pendidikan merupakan institusi yang dipandang paling

BAB I PENDAHULUAN. Setelah pusat politik RI dipindahkan ke Yogyakarta pada awal tahun 1946,

1 Universitas Kristen Maranatha

Hemat Energi. Belajar Apa di Pelajaran 8? Menjelaskan isi drama dan memerankan drama melalui kegiatan mendengarkan

Oleh Suroso.

pelajaran 1 keluarga setiap anak pasti punya ayah ibu kakek nenek dan saudara semua itu disebut keluarga tahukah kamu anggota keluargamu keluarga 1

G30S dan Kejahatan Negara

BAB I PENDAHULUAN. political competition and struggles, in which the media, as institution, take a. position (Kahan, 1999: 22).

yang korup dan lemah. Berakhirnya masa pemerintahan Dinasti Qing menandai masuknya Cina ke dalam era baru dengan bentuk pemerintahan republik yang

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa abad yang lalu pada waktu penduduk dunia belum sepadat

2015 PERISTIWA MANGKOK MERAH (KONFLIK DAYAK DENGAN ETNIS TIONGHOA DI KALIMANTAN BARAT PADA TAHUN

S a t u DI PAKUAN EXPRESS

Nyai Ontosoroh. Heny Marwati. Anak-Anak Bumi Manusia 3

Presiden Seumur Hidup

BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan

(Matius 28:18-20, Kisah 1:8b)

WAJAH ISLAM YANG SEBENARNYA

Pantang Menyerah. Nasution 1. Zahra Kalilla Nasution Rigen Pratitisari Bahasa Indonesia 13 September 2011

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V PENUTUP. Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin Tahun , penulis

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

It s a long story Part I

Komunisme dan Pan-Islamisme

BAB 1 PENDAHULUAN. Pelajaran 2011/2012. Bab 1 ini mencakup latar belakang masalah penelitian,

BAB V PENUTUP. Pada bab ini maka penulis akan mengakhiri seluruh penulisan tesis ini dengan

BAB V. Penutup. Dari kajian wacana mengenai Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar

Lima Belas Tahun Tidak Lama

BAB I PENDAHULUAN. pewarta. Dalam melakukan kerjanya, wartawan berhadapan dengan massa,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Dengan sendirinya perkembangan usaha penerbitan pers mulai

Bayangan Merah di Laut dan Tempat Untuk Kembali:

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil

Prakata. iii. Bandung, September Penulis

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa perlu diadakan peraturan untuk melaksanakan Undang-undang No. 19 tahun 1956.

Aldy Istanzia Wiguna

KISAH PILU KAUM PEREMPUAN INDONESIA SEPANJANG MASA Jumat, 23 Desember :17 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 23 Desember :20

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Terdapat beberapa hal yang penulis simpulkan berdasarkan permasalahan yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Bangsa yang majemuk, artinya Bangsa yang terdiri dari beberapa suku

DASAR PRESENTASI. Kunci presentasi yang sukses adalah persiapan yang baik.

Polwan keturunan Tionghoa

Ahok Milik Indonesia!

(Aku Melihatnya & Dia Melihatku)

saja ada satu hal yang merupakan kunci. Kunci itu adalah cinta. Cinta dari hati.

SUTI: PEREMPUAN PINGGIR KOTA

Fiction. John! Waktunya untuk bangun!

PERANG BERUJUNG MAKAN BUAH SIMALAKAMA

BAB I PENDAHULUAN. Film AWAL: Nasib Manusia mengangkat potongan kisah hidup seorang pria bernama

ANAK BATITA: USIA ± 15 BULAN 3 TAHUN

DIPA TRI WISTAPA MEMBILAS PILU. Diterbitkan secara mandiri. melalui Nulisbuku.com

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

SMP kelas 9 - BAHASA INDONESIA BAB 3. Ketrampilan BerbahasaLatihan Soal 3.3

Tabel validitas alat ukur kompetensi interpersonal

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa pemerintahan Orde Baru, keberadaan etnis Tionghoa merupakan

BAB IV SIMPULAN. "Dasar Cina lu." "Eh Cina lu! Cina lu!" "Woi Cina ngapain disini?"

Yui keluar dari gedung Takamasa Group dengan senyum lebar di wajahnya. Usaha kerasnya ternyata tak sia-sia. Dia diterima berkerja di perusahaan itu

PERANAN KOMUNITAS TIONGHOA DALAM PEMBANGUNAN BANGSA

Kagum terhadap sikap orang Indonesia yang begitu baik kepada sesama Muslim kendati beda bangsa.

BAGIAN I PORTOFOLIO PUISIKU

...dan Saudara Memerlukan Suatu Metode

Bab 1. Awal Perjuangan

.satu. yang selalu mengirim surat

Tuhan Sayang Ya Tuhan Sayang

Kata Bule Tentang Islam. Oleh: Axel Dhanis Gusadi

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

I. PENDAHULUAN. Nenden Lilis Aisiyah (cerpenis dan pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan

ADAKAH (DAN PERLUKAH) PERIODISASI SASTRA POPULER? Oleh Nenden Lilis A.

Sekali pun Telah Berlalu Namun Tetap Ada Harapan

PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. Sejarah Indonesia pada periode merupakan sejarah yang menentukan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

CHAPTER V SUMMARY BINA NUSANTARA UNIVERSITY. Faculty of Humanities. English Department. Strata 1 Program

SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG SENIMAN MERDEKA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kata-kata serta suara yang tertulis (Koendoro,2007:25). Komik terbentuk dari

Tionghoa, Dulu dan Sekarang (1)

Sejatinya, semua manusia terlahir untuk dua hal, mendapatkan berita terbaik dan terburuk. Berita ini adalah sebuah misteri, ketika mereka terus

Transkripsi:

DIALOG SEORANG EKSIL DAN PEREMPUAN TIONGHOA 29th April 2016 cekinggita http://cekinggita.com/dialog-seorang-eksil-dan-perempuan-tionghoa/ Pada suatu siang yang tidak terlalu nyaman di Amsterdam, berangin dan dingin, saya memasuki sebuah apartemen kecil penuh buku. Di pintu apartemen itu tertulis nama Samardji. Namun pria 88 tahun pemilik apartemen itu lebih suka dipanggil Wardjo. Bung Wardjo, begitu saya lalu menyapanya, membawa saya memasuki lorong sejarah. Lorong itu bukan saja menyimpan perjalanan seorang eksil yang keluar dari Tiongkok ke Belanda. Pun bukan semata memori Bung Warjo atas peristiwa 1965. Lorong itu membawa saya pada perenungan pribadi sebagai seorang perempuan Tionghoa. Tentang Cina dan 1965. Mengapa kamu tertarik pada peristiwa 1965? itu pertanyaan pembuka dari Bung Wardjo. Bung Wardjo bilang, pertanyaan itu selalu ia ajukan pada siapa pun yang mengunjunginya. Sayangnya bagi saya, pertanyaan itu bukan pertanyaan mudah. Saya tak bisa menjawabnya dalam satu kalimat, walaupun itulah yang akhirnya saya lakukan. Karena saya ingin sejarah gelap itu dibuka. Tapi jawaban itu sesungguhnya tak lengkap. Masih ada puluhan kalimat yang menyusul di belakangnya. Saya berutang penjelasan itu kepada Bung Wardjo. Lewat tulisan ini, saya akan menyampaikannya. Untuk itu saya harus membawa Bung Wardjo dan Anda yang membaca tulisan ini ke suatu waktu dalam lorong hidup saya. Saya besar di keluarga Tionghoa di ujung Sumatra. Kami kelas menengah pas-pasan, kaum pedagang seperti banyak keluarga Cina lainnya di kota itu. Saya hanya tahu soal 1965 karena menonton pemutaran filmpengkhianatan G30S/PKI yang diwajibkan oleh SD saya. 1

Di rumah, jangankan soal 1965, persoalan politik Indonesia pun jarang sekali masuk dalam percakapan keluarga. Hanya sekali dua kali soal politik terselip, terutama dalam kalimat-kalimat bernada peringatan dari orang tua saya. Peringatan bahwa sebagai Cina, kami harus selalu berhati-hati, karena kalau terjadi apa-apa, orang Cina pasti akan jadi sasarannya. Bahwa nama saya hanya satu kata karena wajib memakai nama Indonesia. Tak perlu panjang-panjang karena toh saya sudah punya nama Cina yang indah walau hanya untuk pemakaian di rumah. Bahwa saya tak diajari bahasa Mandarin karena memang bicara Mandarin di muka umum tak dibolehkan. Bicara Mandarin di muka umum adalah menyatakan eksklusivitas sebagai Cina dan itu berarti kami tak setia pada Indonesia. Yang menemani saya besar adalah cerita-cerita pemerasan orang Cina oleh preman di pasar, keharusan menyogok di kantor pemerintahan jika tak mau urusannya diperpanjang, kisah-kisah masa kecil orang tua saya yang tak lulus SD dan SMP karena pemerintah menutup sekolah Cina tempat mereka belajar. Masa kecil saya dihabiskan bersama ketakutan untuk berjalan kaki seorang diri dari sekolah ke rumah. Semata-mata karena takut dipanggil amoy, Cina, makan babi, dan komunis. Soal negeri Cina, saya diberi tahu ada dua Cina, yakni Taiwan dan RRT. Keluarga saya lebih condong ke RRT karena kakek saya berasal dari selatan Tiongkok. Dengan begitu, kami melihat orang Tionghoa lain yang pro-taiwan dengan mengerutkan dahi. Saya belajar untuk mengagumi Mao Tse Dong karena mendapat cerita-cerita kehebatannya memimpin RRT. Namun, saya tak pernah diberitahu apa pun tentang Partai Komunis Cina, terlebih hubungannya dengan Partai Komunis Indonesia. Tak seperti di luar rumah dan sekolah, kata komunis tak pernah ada di rumah. Keluarga saya kerap berkeluh kesah akan ketidakadilan yang kami terima, tapi kemudian pasrah bahwa itu nasib kami di pemerintahan Orde Baru Soeharto. Saya tumbuh dengan nilai dan tradisi Cina di satu sisi (minus bahasa Mandarin tentunya), dan bagaimana caranya agar bisa dianggap menjadi Indonesia yang baik di sisi lain. 2

Saya harus berprestasi agar bisa mapan secara ekonomi dan menjadi lebih aman di Indonesia. Saya menghafal butir-butir Pancasila dan UUD 1945 di luar kepala saya. Saya bersorak bangga ketika atlet-atlet keturunan Cina memenangkan pertandingan olahraga internasional. Ikut terharu saat Susi Susanti menitikkan air mata dengan latar bendera merah putih di belakangnya. Tentang atlet yang mengharumkan nama Indonesia, tentang pebisnis sukses, itulah antara lain topik diskusi di ruang keluarga kami. Tak ada sepatah pun percakapan tentang politik Indonesia. Saya tak pernah tahu bahwa di suatu masa dahulu, banyak orang Tionghoa yang aktif berpolitik. Tak terpikir oleh saya bahwa para pemuda Tionghoa ikut urun suara dalam rapat PPKI untuk menentukan makna nasion Indonesia jelang kemerdekaan. Diskriminasi rasial dan hantu komunisme menemani hidup saya hingga dewasa. Sampai kemudian Kerusuhan Mei 1998 meledak. Saya menulis skripsi tentang pemberitaan media massa atas hal itu. Saya mempercayai (dan diajak untuk mempercayai) bahwa ini adalah kebencian rasial. Perbedaan budaya. Kecemburuan sosial dan ekonomi. Soal pribumi dan nonpribumi. Baru cukup lama, bertahun-tahun sesudahnya, saya paham bahwa persoalan ini dapat ditelusuri ke Peristiwa 1965. Memang segregasi sosial terhadap orang Tionghoa sebagai kelompok antara dengan label Timur Asing sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan sekaligus menindas orang Tionghoa. Ketika Belanda menjalankan politik etis dengan menyediakan pendidikan, orang Tionghoa tak termasuk di dalamnya. Berbagai kekerasan rasial terhadap orang Tionghoa juga berulang kali terjadi di daerah-daerah. Juga sejumlah aturan yang membatasi gerak orang Tionghoa. PP nomor 10 tahun 1959 mendesak orang Tionghoa bermigrasi ke kota, dengan larangan Tionghoa tidak boleh berbisnis di desa. Namun yang tidak diketahui banyak anak muda Tionghoa sebaya saya di masa itu adalah bagaimana orang Tionghoa juga bergerak. Ada golongan Peranakan yang properjuangan kemerdekaan Indonesia. Pers Tionghoa dan sastra peranakan berkembang pesat di masa itu, ikut mendorong lahirnya pers nasional. Sesudah Indonesia merdeka, tak aneh bagi orang Tionghoa untuk ikut berpolitik. 3

Menjadi anggota parlemen. Aktif dalam partai politik. Menjadi menteri, militer, dan profesi-profesi lainnya yang tak terbuka lagi bagi mereka pasca-1965. Sebab setelah 1965, Cina dan orang Cina, bersama dengan komunisme, merupakan problem bagi Orde Baru. Sejak 1967, terbitlah berbagai peraturan untuk mengatasi Masalah Cina ini. Pers Tionghoa dan materi penerbitan apa pun yang berhuruf Mandarin dilarang. Sekolah-sekolah Cina ditiadakan. Ekspresi budaya Tionghoa tak dibolehkan lagi. Buku pelajaran sejarah tak mencatat keterlibatan Tionghoa dalam perjuangan sebelum dan sesudah kemerdekaan. Politik menjadi bidang tertutup bagi orang Tionghoa. Orang Tionghoa pasca-1965 merupakan mahkluk ekonomi yang mesti di-indonesianisasi-kan. Inilah kebijakan asimilasi Orde Baru yang lahir dari Peristiwa 1965. Buku-buku milik Bung Wardjo sebagai bukti obsesi pribadi atas sejarah yang belum tuntas dari tanah airnya Saya dan Bung Wardjo mengobrol panjang tentang masalah ini. Ia memberi saya salinan laporan tim gabungan pencari fakta untuk kerusuhan Mei 1998. Ia menceritakan apa yang terjadi di RRT ketika Peristiwa 1965 meletus dan tahun-tahun sesudahnya. Ia membagikan kisah orang-orang Tionghoa yang tak bisa pulang ketika itu, senasib dengan para pelajar yang menjadi eksil. Dengan situasi sulit di Tiongkok, beberapa dari mereka mengambil keputusan serupa: mengungsi ke Eropa. 4

Bung Wardjo juga mengungkapkan sekelumit kisah tentang Siaw Giok Tjhan, pimpinan Baperki yang sempat dipenjara Orba pasca-1965. Ia meminta agar fotonya saya sampaikan kepada anak perempuan Siaw yang sudah kembali di Indonesia. Mereka berteman baik semasa sama-sama tinggal di Amsterdam. Cerita-cerita itu mengalir bersama kisah perjalanan hidup Bung Wardjo yang ia buka semuanya kepada saya. Bung Wardjo mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di RRT sejak tahun 1964. Ia mengambil bidang yang mempelajari pendidikan informal anak di luar sekolah. Semua yang ia pelajari menguap setelah 1965, termasuk kemampuan berbahasa Mandarin-nya. Tak ia ingat dan tak bisa digunakan lagi seiring getir perjalanannya sebagai eksil. Saya terlalu sedih. Itu ikut mempengaruhi pikiran saya, tuturnya. Saya terdiam lalu memberanikan diri bertanya. Apa yang paling bikin sedih? Hancurnya ideologi dan partai atau tak bisa pulang? Tak ada jeda sama sekali, ia langsung menjawab. Partai dan ideologi sudah saya relakan. Namun, tak bisa pulang ke rumah, ke tanah air, ke keluarga, adalah hal yang paling menyedihkan. Bung Wardjo tak mau menyerahkan paspornya ke KBRI ketika atase militer yang pro-soeharto mengambil alih Kedutaan Besar Indonesia di Beijing pasca-1965. Tak bisa pulang, ia terus tinggal di asrama sekolahnya di Peking Normal University. Bertahun-tahun dia bertahan dengan beasiswa yang masih diberikan pemerintah Tiongkok. Bersama dengan rekan-rekannya, ia menerbitkan majalah mingguan Suara Rakjat Indonesia yang mengabarkan berita-berita tentang Indonesia dan perjuangan kiri. 5

Bung Wardjo diantara tumpukan buku-buku dan kertas-kertas Bung Wardjo keluar dari Beijing dan pindah ke Belanda pada 1976. Seterusnya ia meneruskan hidup di sana. Untuk itu, ia melanjutkan apa yang membuatnya hidup. Ia mengumpulkan buku. Buku-buku terkait 1965, buku-buku yang dilarang Orba, dan buku-buku yang menjadi minatnya menumpuk di hampir semua ruang apartemen itu. Buku-buku itu menyambut semua tamu begitu mereka membuka pintu apartemen mungil Bung Wardjo. Hanya ada sedikit ruang di tengah, tempat kami duduk di kursi lipat. Ini iuran perjuangan yang bisa saya lakukan, ujarnya menjawab keheranan saya. Bung Wardjo bilang kepada saya bahwa ia sudah selesai bersedih dan mengutuk. Menurutnya, yang paling penting baginya sebagai eksil adalah melakukan sesuatu. Saya kagum dengan keriangannya. Terlebih ketika ia bercerita saat ia berkesempatan pulang ke Indonesia beberapa tahun silam. Ia mengunjungi Lubang Buaya dan tertawa lebar di sana. Yang mengantar saya kaget kenapa saya tertawa. Saya bilang, karena ini monumen peringatan yang lucu. Monumen ini tak perlu dibongkar jika nanti kebenaran diungkap. Monumen ini menjadi monumen peringatan kebohongan Orde Baru. Saya berharap, hal itu segera terjadi. *Artikel ini ditulis oleh Rika Theo https://medium.com/ingat-65/dialog-seorang-eksil-dan-perempuan-tionghoa-4444e79fcebd#.yx88jpfoh 6

7