BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

BAB III LANDASAN TEORI. hanya melibatkan satu kendaraan tetapi beberapa kendaraan bahkan sering sampai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berlangsung tanpa diduga atau diharapkan, pada umumnya ini terjadi dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bermanfaat atau dapat berguna untuk tujuan tujuan tertentu. Alat pendukung. aman, nyaman, lancar, cepat dan ekonomis.

CONTOH SOAL TES TORI SIM C (PART 1)

ANALISIS KECELAKAAN LALU LINTAS DI RUAS JALAN PROF. DR. IDA BAGUS MANTRA

BAB III LANDASAN TEORI. diangkut selalu bertambah seperti pertambahan jumlah penduduk, urbanisasi,

BAB III LANDASAN TEORI. Jalan Wonosari, Piyungan, Bantul, banyak terjadi kecelakaan lalu lintas yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Keselamatan Jalan

BAB 3 PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. situasi dimana seorang atau lebih pemakai jalan telah gagal mengatasi lingkungan

2 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5422); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 34

TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI KECELAKAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Penempatan marka jalan

BAB III LANDASAN TEORI

ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peraturan Pemerintah ( PP ) Nomor : 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. Klasifikasi kendaraan bermotor dalam data didasarkan menurut Peraturan Bina Marga,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 61 TAHUN 1993 TENTANG RAMBU-RAMBU LALU LINTAS DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berpotongan/bersilangan. Faktor faktor yang digunakan dalam perancangan suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Perda No. 19/2001 tentang Pengaturan Rambu2 Lalu Lintas, Marka Jalan dan Alat Pemberi Izyarat Lalu Lintas.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Inspeksi Keselamatan Jalan

terjadi, seperti rumah makan, pabrik, atau perkampungan (kios kecil dan kedai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbaru (2008), Evaluasi adalah penilaian. pelayanan adalah kemampuan ruas jalan dan/atau persimpangan untuk

PEDOMAN. Perencanaan Median Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd. T B

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Persimpangan adalah simpul dalam jaringan transportasi dimana dua atau

5/11/2012. Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University. Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Source:. Gambar Situasi Skala 1:1000

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 60 TAHUN 1993 T E N T A N G MARKA JALAN MENTERI PERHUBUNGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

di kota. Persimpangan ini memiliki ketinggian atau elevasi yang sama.

TEKNIK LALU LINTAS EKONOMI KEGIATAN PERPINDAHAN/PERGERAKAN ORANG DAN ATAU BARANG POL KAM KEBUTUHAN AKAN ANGKUTAN PERGERAKAN + RUANG GERAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya jaringan jalan diadakan karena adanya kebutuhan

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 13 TAHUN 2014 TENTANG RAMBU LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

BAB V MEDIAN JALAN. 5.2 Fungsi median jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bertujuan untuk bepergian menuju arah kebalikan (Rohani, 2010).

BAB II KOMPONEN PENAMPANG MELINTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI. Bagan alir dalam penulisan tugas akhir ini terdiri dari :

IDENTIFIKASI KECELAKAAN LALU LINTAS (Study Kasus Jalan Dalu-Dalu sampai Pasir Pengaraian)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Contoh penyeberangan sebidang :Zebra cross dan Pelican crossing. b. Penyeberangan tidak sebidang (segregated crossing)

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN

BAB III LANDASAN TEORI

SATUAN ACARA PERKULIAHAN ( SAP ) Mata Kuliah : Rekayasa Lalulintas Kode : CES 5353 Semester : V Waktu : 1 x 2 x 50 menit Pertemuan : 13 (Tiga belas)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 PENAMPANG MELINTANG JALAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah ser

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1993 TENTANG PRASARANA DAN LALU LINTAS JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II DASAR TEORI. harus memiliki jarak pandang yang memadai untuk menghindari terjadinya

Persyaratan Teknis jalan

MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT TENTANG ZONA SELAMAT SEKOLAH (ZoSS). Pasal 1

Penampang Melintang Jalan Tipikal. dilengkapi Trotoar

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. yakni perbandingan terhadap satuan mobil penumpang. Penjelasan tentang jenis. termasuk di dalamnya jeep, sedan dan lain-lain.

PEDOMAN. Perencanaan Separator Jalan. Konstruksi dan Bangunan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Pd. T B

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III LANDASAN TEORI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jalan. Kemacetan banyak terjadi di kota-kota besar, terutamanya yang tidak

BAB IV : Dalam bab ini diuraikan tentang dasar pertanggungjawaban pidana pada kasus. kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kerugian materil.

MASALAH LALU LINTAS DKI JAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Jalan. Jalan secara umum adalah suatu lintasan yang menghubungkan lalu lintas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BLACKSPOT INVESTIGATION WORKSHOP Surabaya, Mei 2012

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG

Pd T Perambuan sementara untuk pekerjaan jalan

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG. Nomor 3 Tahun 2002 Seri C PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG

BAB II TINJAU PUSTAKA. jalan bergabung atau berpotongan/bersilangan. Faktor faktor yang digunakan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis dan pengolahan data yang ada maka dapat diambil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pergerakan lalu lintas regional dan intra regional dalam keadaan aman,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bermotor, manusia atau hewan (Suryadharma, Hendra Susanto, Benediktus,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. biasanya orang yang mengevaluasi mengambil keputusan tentang nilai atau

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) tahun 1997, ruas jalan

機車標誌 標線 號誌選擇題 印尼文 第 1 頁 / 共 12 頁 題號答案題目圖示題目. (1) Tikungan ke kanan (2) Tikungan ke kiri (3) Tikungan beruntun, ke kanan dahulu


Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Kecelakaan Menurut Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1993, tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Kecelakaan lalu lintas juga bisa melibatkan satu kendaraan dengan pejalan kaki atau dengan objek lainnya yang diam. Di dalam terjadinya suatu kejadian kecelakaan selalu mengandung unsur yang tidak disengaja atau tidak disangka-sangka serta akan menimbulkan perasaan kaget, heran dan tercengang serta trauma bagi yang mengalami kecelakaan tersebut. Apabila seseorang yang dengan sengaja menabrak atau telah direncanakan terlebih dahulu, maka hal itu bukan merupakan kecelakaan lalu lintas melainkan dapat digolongkan sebagai penganiayaan atau pembunuhan yang berencana dan merupakan tindak kriminal. 2.2 Jenis dan Bentuk Kecelakaan Karakteristik kecelakaan lalu lintas merupakan ciri-ciri khusus dari suatu kecelakaan lalu lintas. Karakteristik kecelakaan lalu lintas yang ditinjau meliputi: 1. Kecelakaan berdasarkan peristiwa kecelakaan. 2. Kecelakaan berdasarkan kendaraan dan orang yang terlibat. 3. Kecelakaan berdasarkan korban kecelakaan. 4. Kecelakaan berdasarkan kerugian material. 5. Kecelakaan berdasarkan tipe tabrakan. 6. Kecelakaan berdasarkan waktu terjadinya kecelakaan. 7. Kecelakaan berdasarkan usia pengemudi. 2.2.1 Kecelakaan Berdasarkan Peristiwa Kecelakaan Kecelakaan berdasarkan peristiwa kecelakaan menggambarkan banyaknya suatu kejadian/peristiwa kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada suatu jalan. 5

Analisisnya berdasarkan jumlah kejadian kecelakaan yang terjadi pada suatu jalan dalam kurun waktu tertentu. Jumlah peristiwa kecelakaan akan sangat mempengaruhi karakteristik kecelakaan yang lainnya. 2.2.2 Kecelakaan Berdasarkan Kendaraan dan Orang yang Terlibat Kecelakaan berdasarkan atas jumlah kendaraan yang terlibat, yaitu; 1. Kecelakaan tunggal Kecelakaan tunggal adalah kecelakaan yang terjadi atau dilakukan oleh satu kendaraan. 2. Kecelakaan ganda Kecelakaan ganda adalah kecelakaan yang dilakukan oleh dua kendaraan. 3. Kecelakaan beruntun Kecelakaan beruntun adalah kecelakaan yang dilakukan oleh lebih dari dua kendaraan. Kecelakaan berdasarkan kendaraan dan orang yang terlibat (pelaku kecelakaan) mendeskripsikan tentang banyaknya jumlah pelaku kecelakaan. Selain itu juga menggambarkan jenis-jenis kendaraan yang terlibat dalam kecelakaan. Berdasarkan Departemen Pekerjaan Umum (1997) kendaraan dan orang yang terlibat kecelakaan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Kendaraan Ringan Kendaraan ringan adalah kendaraan bermotor 2 as dan beroda 4 dan dengan jarak as 2,0-3,0 m (meliputi; mobil penumpang, oplet, mikrobis, pick-up, dan truk kecil sesuai sistem klasifikasi Bina Marga). 2. Kendaraan Berat Kendaraan berat adalah kendaraan bermotor dengan lebih dari 4 roda (meliputi; bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi sesuai sistem klasifikasi Bina Marga). 3. Sepeda Motor Sepeda motor adalah kendaraan bermotor dengan 2 atau 3 roda (meliputi; sepeda motor dan kendaraan roda 3 sesuai sistem klasifikasi Bina Marga). 6

4. Kendaraan Tak Bermotor Kendaraan tak bermotor adalah kendaraan dengan roda yang digerakkan oleh orang atau hewan (meliputi; sepeda, becak, kereta kuda, dan kereta dorong sesuai sistem klasifikasi Bina Marga). Dalam manual ini kendaraan tak bermotor tidak dianggap sebagai bagian dari arus lalu lintas tetapi sebagai unsur hambatan samping. 5. Pejalan Kaki Pejalan kaki merupakan orang yang berjalan pada bagian jalan baik itu trotoar, jalur jalan, maupun bahu jalan. 2.2.3 Kecelakaan Berdasarkan Korban Kecelakaan Kecelakaan berdasarkan korban kecelakaan menitikberatkan pada segi manusia itu sendiri, kecelakaan ini dapat berupa luka ringan, luka berat maupun meninggal dunia. Menurut Bab XI pasal 93 dari Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1993, tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan jalan, mengklasifikasikan korban dari kecelakaan sebagai berikut: 1. Kecelakaan Fatal / Meninggal Korban meninggal atau korban mati adalah korban yang dipastikan mati sebagai akibat kecelakaan lalu lintas dalam waktu paling lama 30 hari setelah kecelakaan tersebut. 2. Kecelakaan Luka Berat Korban Luka Berat adalah korban yang karena luka-lukanya menderita cacat tetap atau harus dirawat dalam jangka waktu lebih dari 30 hari sejak terjadinya kecelakaan. Yang dimaksud cacat tetap adalah apabila sesuatu anggota badan hilang atau tidak dapat digunakan sama sekali. 3. Kecelakaan Luka Ringan Korban Luka Ringan adalah keadaan korban mengalami luka-luka yang tidak membahayakan jiwa dan/atau tidak memerlukan pertolongan/perawatan lebih lanjut di rumah sakit. 7

Mengingat kecelakaan lalu lintas dapat terjadi dimana saja dan tanpa mengenal waktu, dihimbau bagi setiap pengendara kendaraan bermotor baik itu kendaraan roda dua maupun roda empat atau lebih, untuk senantiasa membawa perlengkapan P3K di setiap kendaraan. Hal ini bertujuan untuk memberikan pertolongan pertama secara cepat dan tepat bagi pengguna kendaraan yang mengalami kecelakaan, sehingga diharapkan dapat mencegah atau minimal dapat mengurangi kondisi lebih parah atau hal-hal yang tidak diinginkan bagi korban kecelakaan itu sendiri. 2.2.4 Kecelakaan Berdasarkan Kerugian Material Kecelakaan berdasarkan kerugian material menggambarkan banyaknya kerugian dari segi material yang timbul akibat kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada suatu jalan. Kerugian material dapat berupa biaya kecelakaan baik itu biaya kematian, biaya pengobatan, maupun biaya kerusakan. 2.2.5 Berdasarkan Tipe Tabrakan Kecelakaan berdasarkan posisi kecelakaan atau tabrakan, yaitu: 1. Tidak dapat mengendalikan kendaraan (Out of control) 2. Tabrakan pada saat menyalip (Slide swip) 3. Tabrakan depan dengan samping (Right angel) 4. Tabrakan muka dengan belakang (Rear end) 5. Tabrakan muka dengan muka (Head on) 6. Tabrakan dengan pejalan kaki/sepeda gayung (Pedestrian) 7. Tabrak lari (Hit and run) 2.2.6 Kecelakaan Berdasarkan Waktu Terjadinya Kecelakaan Kecelakaan berdasarkan waktu terjadinya kecelakaan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu berdasarkan jenis dan waktunya. 1. Jenis Hari a. Hari kerja : Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat b. Hari libur : Minggu dan hari-hari libur nasional c. Akhir minggu : Sabtu 8

2. Waktu a. Dini hari : Jam 00.00 06.00 b. Pagi hari : Jam 06.00 12.00 c. Siang hari : Jam 12.00 18.00 d. Malam hari : Jam 18.00 24.00 2.2.7 Kecelakaan Berdasarkan Usia Pengemudi Faktor usia pengemudi juga berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan. Usia pengemudi yang terlibat kecelakaan lalu lintas dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Usia < 16 tahun 2. Usia 16-25 tahun 3. Usia 26-35 tahun 4. Usia 36-45 tahun 5. Usia 46-55 tahun 6. Usia > 55 tahun 2.3 Faktor-faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas Kecelakaan adalah suatu kejadian yang disebabkan oleh banyak faktor yang pada dasarnya disebabkan oleh kurang efektifnya gabungan dari faktorfaktor utama yaitu pemakai jalan (manusia), lingkungan jalan serta kendaraan (Harahap, 1995). Ada tiga unsur dasar yang menentukan keamanan jalan raya, yaitu: kendaraan, pengemudi serta fisik jalan itu sendiri. Dan untuk mengatur ketiga unsur tersebut diperlukan peraturan perundang-undangan serta standar-standar yang mengatur syarat keamanan jalan. Untuk lebih jelasnya faktor-faktor tersebut diuraikan lebih lanjut di bawah ini: 2.3.1 Faktor Pemakai Jalan Pemakai jalan merupakan unsur yang terpenting dalam lalu lintas, karena manusia sebagai pemakai jalan adalah unsur yang utama terjadinya pergerakan lalu lintas (Soesantiyo, 1985). Manusia merupakan faktor yang paling tidak stabil 9

dalam pengaruhnya terhadap kondisi lalu lintas serta tidak dapat diramalkan secara tepat. Pemakai jalan adalah semua orang yang menggunakan fasilitas langsung dari suatu jalan. Warpani (2001), menyebutkan bahwa faktor manusia sebagai pengguna jalan dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu: a. Manusia sebagai pengemudi, termasuk pengemudi kendaraan tidak bermotor. b. Manusia sebagai pejalan kaki, termasuk para pedagang asongan, pedagang kaki lima dan lain-lain. 2.3.1.1 Faktor pengemudi Menurut pasal 1 Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 1993, tentang kendaraan dan pengemudi sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pengemudi adalah orang yang mengemudikan kendaraan bermotor atau orang yang secara langsung mengawasi calon pengemudi yang sedang belajar mengemudikan kendaraan bermotor. Perilaku seorang pengemudi dipengaruhi oleh faktor luar berupa keadaan sekelilingnya, cuaca, daerah pandangan serta penerangan jalan di malam hari, selain itu dipengaruhi oleh emosinya sendiri seperti sifat tidak sabar dan marah-marah. Seorang pengemudi yang sudah hafal dengan jalan yang dilaluinya akan berbeda sifatnya dengan seorang pengemudi pada jalan yang belum dikenalnya, dalam hal yang terakhir ini, pengemudi cenderung untuk mengikuti kelakuan pengemudipengemudi lainnya. Bertambahnya usia atau orang yang lebih tua akan lebih banyak mengalami kecelakaan karena reflek pengemudi menjadi lebih lambat dan kemampuan fisik akan menurun (Oglesby, 1988). Faktor fisik penting untuk mengendalikan kendaraan dan mengatasi masalah lalu lintas adalah: a. Penglihatan Mata adalah indra terpenting bagi pemakai jalan. Reaksi yang dihasilkan oleh gelombang cahaya pada retina memungkinkan seseorang untuk membedakan ukuran, warna, jarak dan kecepatan melalui persepsi dari lingkungan sekitarnya. Mata perlu mendapat perhatian besar karena hampir semua informasi dalam mengemudi kendaraan diterima melalui penglihatan, bahkan dikatakan bahwa indra penglihatan terlalu dibebani dalam mengemudi. 10

b. Pendengaran Telinga adalah organ persepsi yang menerima suara. Pendengaran diperlukan untuk mengetahui peringatan-peringatan seperti klakson, sirene, peluit polisi, dan sebagainya. Namun kebanyakan bunyi-bunyi tersebut disertai isyarat yang dapat dilihat dengan mata. Reaksi dalam mengemudi erat hubungannya dengan kondisi fisik manusia (Human Phisycal Factor), dari menerima rangsangan setelah melihat suatu tanda (rambu) sampai pengambilan tindakan yang terdiri dari: a. Perception atau pengamatan yaitu rangsangan pada panca indra meliputi penglihatan yang diteruskan oleh panca indra lainnya. b. Identification yaitu proses pemikiran dan pengertian terhadap rangsangan (stimulus) c. Emotion atau judgement yaitu proses emosi terhadap stimulus atau pengambilan keputusan untuk menentukan gerakan yang sesuai (misalnya berhenti, melewati, bergerak ketepi atau membunyikan tanda suara). d. Violation (reaksi atau kehendak) yaitu pengambilan tindakan yang membutuhkan koordinasi dengan kendaraan, misalnya menginjak pedal rem, banting setir dan sebagainya. Total waktu yang diperlukan untuk melaksanakan pengamatan (perception) sampai reaksi (violation) sering disebut PIEV Time yaitu waktu mulai pengemudi melihat rintangan sampai menginjak rem, yang besarnya = 2,5 detik dipakai untuk menentukan jarak berhenti yang aman untuk setiap tingkat kecepatan dan PIEV Time = 2,0 untuk jarak pandang dipersimpangan jalan (Pignataro, 1973). 2.3.1.2 Faktor pejalan kaki Pemakai jalan adalah pejalan kaki sebagai bagian dari perjalanannya. Biasanya awal dan akhir perjalan dilakukan dengan berjalan kaki. Di kota London, 30% dari seluruh trip adalah berjalan kaki, 90% dari seluruh trip < 1,6 km adalah berjalan kaki (pada kota-kota yang lebih kecil persentase tersebut berkurang, rata-rata di Inggris adalah (60%). Pejalan kaki sebagai salah satu unsur pengguna jalan dapat menjadi korban kecelakaan dan dapat pula menjadi 11

penyebab kecelakaan. Pejalan kaki sangat mudah mengalami cedera serius atau kematian jika ditabrak kendaraan bermotor. Pelayanan terhadap pejalan kaki perlu mendapat perhatian yang optimal, yaitu dengan cara memisahkan antara kendaraan dan pejalan baik menurut ruang maupun waktu, sehingga kendaraan dan pejalan kaki berada pada tempat yang aman. Pemisahan ini dapat dilakukan dengan menyediakan fasilitas trotoar untuk mencegah agar pejalan kaki tidak dapat berjalan secara regular di sepanjang jalan (Warpani, 2001). Pada persimpangan dapat dibuat jembatan penyebrangan, terowongan bawah tanah atau jalan khusus bagi pejalan kaki. Oglesby (1988), menyebutkan kecelakaan perkotaan yang melibatkan perilaku pejalan kaki dapat berupa, 35% pejalan kaki terlempar ke jalan dari persimpangan, 17% terlempar keluar dari persimpangan, 7% tertabrak kendaraan yang membelok, 5% menabrak kendaraan dan 4% ditabrak ketika berada diluar jalur jalan. Hal ini disebabkan karena para pejalan kaki muncul secara tiba-tiba, berlari, berjalan, atau berlari kearah kendaraan dan dibawah pengaruh alkohol atau obat bius. 2.3.2 Faktor Kendaraan Faktor kedua yang mempengaruhi perilaku arus lalu lintas adalah kendaraan-kendaraan yang berada dijalan mempunyai berbagai bentuk, ukuran dan kemampuan dimana hal ini disebabkan masing-masing kendaraan direncanakan untuk suatu maksud kegunaan tertentu. Untuk keperluan perencanaan geometrik, AASHTO mengelompokkan kendaraan dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu mobil penumpang dan truk. Pengelompokan ini didasarkan pada berat, dimensi dan karakteristik operasionalnya. Di Indonesia ukuran kendaraan ditetapkan dengan lebar maksimum 2,25 meter dan tinggi maksimum sebesar 3,5 meter. Berat maksimum kendaraan ditetapkan berdasarkan kekuatan jembatan yang akan dilalui serta kekuatan mesinnya. Setiap kendaraan harus dilengkapi peralatan atau perlengkapan tambahan seperti lampu, kaca spion, pelindung ban dan lain-lain. Kendaraan adalah suatu alat yang dapat bergerak di jalan, terdiri dari kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor. Menurut Bab I Pasal I dari 12

Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 1993, tentang Kendaraan dan Pengemudi, sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan jalan, setiap kendaraan harus dilengkapi dengan peralatan pengerem yang meliputi rem utama dan rem parker dan memiliki sistem roda yang meliputi roda-roda dan sumbu roda. Roda-roda tersebut berupa pelek-pelek dan ban-ban hidup serta sumbu atau gabungan sumbu-sumbu roda roda yang dapat menjamin keselamatan. Disamping sistem roda kendaraan bermotor juga harus memiliki suspensi berupa penyangga yang mampu menahan beban, getaran dan kejutan untuk menjamin keselamatan dan perlindungan terhadap penggunanya. Lampu-lampu tambahan pada kendaraan bermotor bisa mengurangi kecelakaan (Pignataro, 1973). Perlengkapan lampu-lampu dan alat pemantul cahaya pada kendaraan bermotor harus meliputi: lampu utama dekat secara berpasangan, lampu jauh utama secara berpasangan, lampu penunjuk arah secara berpasangan di bagian depan dan bagian belakang kendaraan, lampu rem secara berpasangan, lampu posisi depan secara berpasangan, lampu mundur, lampu penerangan tanda nomor kendaraan dibagian belakang kendaraan, lampu isyarat peringatan bahaya dan lampu tanda batas secara berpasangan. Sabuk pengaman berjumlah dua atau lebih yang dipasang untuk melengkapi tempat duduk pengemudi dan tempat duduk penumpang. Sebab-sebab kecelakaan yang disebabkan oleh faktor kendaraan antara lain: 1. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh perlengkapan kendaraan. a. Alat-alat rem tidak bekerja dengan baik b. Alat-alat kemudi tidak bekerja dengan baik. c. Ban atau roda dalam kondisi buruk. d. Tidak ada kaca spion. 2. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh penerangan kendaraan a. Syarat lampu penerangan tidak terpenuhi. b. Menggunakan lampu yang menyilaukan. c. Lampu tanda rem tidak bekerja. 3. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh pengamanan kendaraan Contoh : Karoseri kendaraan yang tidak memenuhi syarat keamanan. 13

4. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh mesin kendaraan. Contoh : Mesin kendaraan tiba-tiba mogok. 5. Karena hal lain-lain dari kendaraan a. Muatan kendaraan terlalu berat untuk truk dan lain-lainnya. b. Perawatan kendaraan yang kurang baik (persneling rusak, kemudi patah dan lain-lain). 2.3.3 Faktor Jalan Sifat-sifat dan kondisi jalan sangat berpengaruh sebagai penyebab kecelakaan lalu lintas. Perbaikan kondisi jalan mempengaruhi sifat-sifat kecelakaan, ahli jalan raya dan ahli lalu lintas merencanakan jalan dengan cara yang benar serta perawatan yang secukupnya dengan harapan keselamatan akan didapat dengan cara demikian. Perencanaan tersebut berdasarkan pada hasil analisis fungsi jalan, volume dan komposisi lalu lintas, kecepatan rencana, topografi, faktor manusia, berat dan ukuran kendaraan, lingkungan sosial serta dana. Penyimpanan dari standar perencanaan dan kriteria perencanaan jalan bagi suatu ruas jalan hanya akan mengakibatkan turunnya nilai aman ruas jalan tersebut. Bila dalam pelaksanaan terpaksa menyimpang dari ketentuan standar, maka informasi rawan kecelakaan harus segera dipasang sebelum suatu jalan dibuka untuk umum. Selain itu pada lokasi rawan kecelakaan harus diberikan informasi yang jelas mengenai kondisi jalan tersebut sehingga pengemudi mengetahui kondisi sekitarnya dan lebih hati-hati. Informasi tersebut dapat berupa delineator (garis pembatas jalan) yang khususnya digunakan pada waktu malam hari dan dilengkapi dengan yang dapat memantulkan cahaya, tonggak ditepi jalan, mata kucing dan marka jalan dengan cat yang dapat memantulkan cahaya. Jalan sebagai landasan bergeraknya kendaraan harus direncanakan sedemikian rupa agar dapat memenuhi syarat keamanan dan kenyamanan bagi pemakainya. Perencanaan geometrik jalan harus memperhatikan: lalu lintas yang akan lewat jalan tersebut, kelandaian jalan, alinyemen horizontal (situasi jalan atau trase jalan), persilangan dan komponen pada penampang melintang jalan (Soesantiyo, 1985). 14

Berdasarkan peraturan pemerintah No. 43 tahun 1993 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, sesuai dengan daya dukungnya jalan diatur dalam berbagai kelas sebagai berikut: 1. Jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton 2. Jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton. 3. Jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton. 4. Jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton. Berdasarkan fungsinya, jalan dipilah-pilah sebagai berikut: a. Arteri Primer, yaitu jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu yang terletak berdampingan, atau menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua. b. Arteri Sekunder, yaitu jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu, atau menghubungkan kawasan 15

sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu lainnya, atau kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. c. Kolektor Primer, yaitu jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua lainnya, atau kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga. d. Kolektor Sekunder, yaitu jalan yang menghubungkan antara pusat jenjang kedua, atau antara pusat jenjang kedua dengan ketiga. e. Lokal Primer, yaitu jalan yang menghubungkan persil dengan kota pada semua jenjang. f. Lokal Sekunder, yaitu jalan yang menghubungkan pemukiman dengan semua kawasan sekunder. Berdasarkan pengelolaannya, jalan dibedakan ke dalam: 1. Jalan Negara, yaitu jalan yang dibina oleh Pemerintah Pusat 2. Jalan Propinsi, yaitu jalan yang dibina oleh Pemerintah Daerah Propinsi 3. Jalan Kabupaten, yaitu jalan yang dibina oleh Pemerintah Kabupaten atau Kota 4. Jalan Desa, yaitu jalan yang dibina oleh Pemerintah Desa Kecelakaan yang disebabkan oleh faktor jalan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh perkerasan Lebar perkerasan yang tidak memenuhi syarat a. Permukaan jalan licin dan bergelombang b. Permukaan jalan yang berlubang 2. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh alinyemen jalan a. Tikungan yang tajam b. Tanjakan dan turunan yang tajam 3. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh pemeliharaan jalan a. Jalan rusak b. Perbaikan jalan yang mengakibatkan kerikil dan debu berserakan 4. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh penerangan jalan 16

a. Tidak adanya lampu penerangan jalan pada malam hari b. Lampu penerangan yang rusak dan tidak berfungsi 5. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh rambu-rambu lalu lintas a. Rambu ditempatkan pada tempat yang tidak sesuai b. Rambu lalu lintas yang kurang c. Penempatan rambu yang membahayakan pemakai jalan 2.3.4 Faktor Lingkungan Jalan dibuat untuk menghubungkan suatu tempat ketempat lain dari berbagai lokasi di dalam kota maupun luar kota. Berbagai faktor lingkungan jalan sangat berpengaruh dalam kegiatan lalu lintas. Hal ini mempengaruhi pengemudi dalam mengatur kecepatan (mempercepat, konstan, memperlambat, atau berhenti), jika menghadapi situasi seperti ini. a. Lokasi Jalan 1. Didalam kota, misalnya didaerah pasar, pertokoan, perkantoran, sekolah, perumahan dan lain sebagainya. 2. Diluar kota, misalnya didaerah datar, pedesaan, pegunungan dan lain sebagainya. 3. Ditempat khusus, misalnya didepan tempat ibadah, rumah sakit, tempat wisata dan lain sebagainya. b. Iklim/Musim Indonesia mengalami musim hujan dan musim kemarau yang mengundang perhatian pengemudi untuk selalu waspada dalam mengemudikan kendaraannya. Pada saat hujan pengemudi, cenderung mengemudi kendaraan dengan kecepatan rendah dan berhati-hati karena kondisi jalan yang licin. Hal ini berbeda apabila keadaan cuaca cerah pengemudi cenderung melaju dengan kecepatan tinggi. Adanya pergantian waktu pagi, siang, sore dan malam memberikan intensitas cahaya yang berbeda-beda. Hal tersebut diatas mempengaruhi keadaan jalan yang terang, gelap, atau remang-remang. c. Volume Lalu Lintas Arus atau volume lalu lintas merupakan jumlah kendaraan yang melewati 17

suatu titik selama periode tertentu atau jumlah kendaraan yang melewati suatu jalur tertentu selama periode waktu tertentu, atau jumlah kendaraan yang melewati bagian panjang tertentu suatu jalur/jalan dalam jangka waktu tertentu dalam satu jam atau lebih. Apabila periode pengamatan kurang dari satu tahun maka volume lalu lintas dinyatakan dengan Lalu Lintas harian Rata-rata Pertahun yang disebut dengan AADT (Average Annual Daily Traffic) atau LHR (Lalu Lintas Harian rata-rata). Volume lalu lintas yang tinggi membutuhkan lebar perkerasan yang lebih besar, sehingga tercipta kenyamanan dan keamanan. Sebaliknya jalan yang terialu lebar untuk volume lalu lintas cenderung rendah membahayakan, karena pengemudi cenderung mengemudikan kendaraan pada kecepatan yang lebih tinggi, sedangkan kondisi jalan belum tentu memungkinkan dan disamping itu mengakibatkan peningkatan biaya pembangunan jalan yang jelas tidak pada tempatnya. Arus lalu lintas pada suatu lokasi tergantung pada beberapa faktor yang berhubungan dengan kondisi daerah setempat. Besaran ini sangat bervariasi pada tiap jam dalam sehari, tiap hari dalam satu minggu dan tiap bulan dalam satu tahun sehingga karakternya berubah. Berdasarkan pengamatan, diketahui makin padatnya lalu lintas jalan kemungkinan kecelakaan yang terjadi makin banyak, akan tetapi kerusakan tidak fatal (tingkat fatalitas rendah). Makin sepi lalu lintas jalan kemungkinan kecelakaan yang terjadi makin sedikit, akan tetapi kerusakan fatal (fatalitas sangat tinggi). Pada komposisi seperti tersebut diatas diharapkan kepada para pengemudi yang sedang menjalankan kendaraannya agar selalu hati-hati dan beradaptasi dengan lingkungan. 2.4 Perangkat Pengatur Lalu lintas Keadaan lalu lintas yang heterogen dan pertambahan volume kendaraan yang semakin meningkat, cenderung mengakibatkan terjadinya hambatan baik kemacetan dan kecelakaan. Sebagai usaha untuk mengurangi hambatan yaitu dengan mengatur lalu lintas sehingga menjadi tertib dan aman, diperlukan perangkat teknis lalu lintas. Perangkat teknis tersebut antara lain : rambu, marka, lampu sinyal, alas atau tanda yang ditempatkan pada jalan, di sisi jalan ataupun menggantung diatas jalan. Pemberian perangkat teknis ini harus ada 18

standarisasinya sehingga tidak menimbulkan keraguan bagi pengemudi. Fungsi utama perangkat teknis lalu lintas ini adalah mengatur arus lalu lintas. Adapun perangkat teknis seperti: 2.4.1 Rambu Lalu Lintas (Traffic Signs) Menurut SK. Menteri Perhubungan No KM 61 Tahun 1993, tanda/rambu lalu lintas adalah salah satu dari perlengkapan jalan, berupa lambang, huruf, angka, kalimat, dan atau perpaduan diantaranya sebagai peringatan, larangan, perintah atau petunjuk bagi pemakai jalan. Rambu lalu lintas sesuai dengan fungsinya dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu: rambu peringatan, rambu larangan, rambu perintah, dan rambu petunjuk. 1. Rambu peringatan adalah rambu yang digunakan untuk menyatakan peringatan bahaya atau tempat berbahaya pada jalan di depan pemakai jalan. Seperti : peringatan tentang adanya tikungan berbahaya atau beberapa tikungan berbahaya, peringatan turunan dan tanjakan berbahaya, jalan licin, kerikil lepas, peringatan persimpangan jalan, peringatan berhati-hati dan lain sebagainya. 2. Rambu larangan adalah rambu yang digunakan untuk menyatakan perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pemakai jalan. Adapun yang termasuk rambu larangan adalah: larangan berjalan terus, larangan belok, berhenti, parkir, larangan dimensi dan berat kendaraan tertentu, melebihi kecepatan tertentu dan lain sebagainya. 3. Rambu perintah adalah rambu yang digunakan untuk menyatakan perintah yang wajib dilakukan oleh pemakai jalan, seperti perintah arah yang diwajibkan, mengikuti jalur yang ditunjuk, memakai jalur tertentu dan lain sebagainya. 4. Rambu petunjuk adalah rambu yang digunakan untuk menyatakan petunjuk mengenai jurusan, jalan, situasi kota, tempat, pengaturan, fasilitas dan lain bagi pemakai jalan seperti: tempat berkemah, museum, rumah makan, balai pertolongan pertama, bengkel kendaraan, hotel, pompa bahan bakar dan lain sebagainya. Informasi yang ditampilkan pada rambu harus tepat dalam pengertian 19

sesuai dengan pesan yang ditampilkan melalui kata-kata, simbol-simbol atau bentuk gabungan kata dan simbol. Frekuensinya harus seperti membuat perhatian langsung setiap saat dibutuhkan tetapi tidak boleh secara sembarangan yang malah tidak diperhatikan. Menurut SK. Menteri Perhubungan No KM 61 Tahun 1993, Persyaratan Penempatan Rambu Lalu Lintas adalah sebagai berikut: 1. Untuk rambu-rambu yang ditempatkan pada sisi jalan. Jarak antara sisi rambu bagian bawah sampai dengan jalur jalan kendaraan minimal 1,75 meter maksimal 2,65 meter. 2. Untuk rambu-rambu yang ditempatkan diatas permukaan jalur kendaraan, Jarak sisi bagian rambu terbawah sampai dengan permukaan minimal 5,00 meter. 3. Jarak antara bagian rambu terdekat dengan bagian paling tepi dari perkerasan jalan yang dapat dilalui kendaraan minimal 0,60 meter. 2.4.2 Marka Jalan (Road Marking) Menurut SK. Menteri Perhubungan No. KM 60 Tahun 1993, marka lalu lintas adalah suatu tanda yang berada di permukaan jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong serta lambang lainnya yang fungsinya untuk mengarahkan arus lalu lintas dan membatasi daerah kepentingan lalu lintas. Marka lalu lintas ini dicatkan langsung pada perkerasan atau tepi jalan. Contoh dari marka lalu lintas antara lain : garis pembatas jalur, tanda berbelok dan lurus pada jalur jalan, garis dilarang berpindah ke jalur sebelahnya, tanda stop, zebra cross dan lain-lain. Pemberian marka terutama digunakan untuk mengontrol posisi kendaraan kearah sisi/samping jalan, termasuk didalamnya: marka jalur, alur/chanell sistem marka, larangan menyiap pada dua jalur dua arah atau sebagai pembatas tepi perkerasan dan halangan pada tepi, disebelah atau dekat perkerasan. Warna marka umumnya putih dan kuning. Warna merah juga digunakan untuk marka pada jalan yang ditinggikan pada jalan yang tidak dimasuki. 20

Perbedaan menggunakan marka berdasarkan warna adalah sebagai berikut: Kuning Putih Merah : Untuk memisahkan arus laiu lintas dari arah berlawanan. : Untuk memisahkan arus lalu lintas dari arah yang sama. : Batas jalan tidak boleh dilewati. Marka bidang tegak atau vertikal pada jalan digunakan garis miring hitam dan putih / kuning 45 atau bentuk intan sebagai latar belakang dengan reflektor kuning bulat atau persegi. Marka melintang banyak digunakan untuk bahu jalan/shoulder. Kata dan simbol dan "Garis Henti" pada tempat persimpangan pejalan kaki. Karena sudut pandang kecil pada marka jalan bagi pengemudi, maka garis melintang harus diperbesar atau sesuai dengan rencana untuk memberikan penglihatan yang sama tebalnya dengan marka memanjang. Hal ini berlaku pula untuk huruf dan simbol lainnya. 2.4.3 Lampu Pengatur Lalu Lintas Lampu pengatur lalu lintas adalah semua alat pengatur lalu lintas yang dioperasikan dengan tenaga listrik untuk mengarahkan atau memperingatkan pengemudi kendaraan bermotor, pengendara sepeda, atau pejalan kaki (Oglesby, 1988). Apabila dipasang dan dengan baik, maka alat ini akan dapat memberikan keuntungan dalam kontrol lalu lintas dan keamanan. Keuntungan-keuntungan yang didapat dengan pemasangan lampu pengatur lalu lintas: 1. Memberikan gerakan lalu lintas secara teratur. 2. Menurunkan frekuensi kecelakaan tertentu, antara lain kemungkinan pejalan kaki yang menyeberang. 3. Memberikan interupsi yang berarti bagi lalu lintas berat untuk memberikan waktu pada lalu lintas lain untuk lewat, memasuki atau melewati persimpangan dan juga untuk pejalan kaki. 4. Lebih ekonomis daripada kontrol sistem manual. 5. Memberikan kepercayaan diri pada pengemudi dengan pemberian batasbatas berhenti ataupun berjalan. 21

2.5 Geometrik Jalan Keadaan geometrik jalan pada ruas jalan yang rawan kecelakaan sangat perlu diketahui karena faktor geometrik jalan inilah yang sangat mempengaruhi terjadinya daerah rawan kecelakaan lalu lintas, disamping faktor-faktor lainnya yang ditinjau. Geometrik jalan merupakan perencanaan dari sistem transportasi, dimana ukuran-ukuran yang dipakai sebagai dasar prinsip dari transportasi adalah ekonomi, aman, dan mudah pengerjaannya. Dari ketiga prinsip ini ditarik kesimpulan usulan alternatif perencanaan jalan. Adapun pembagian dari geometrik jalan yaitu: alinyemen horizontal, alinyemen vertikal, lebar jalur dan bahu jalan serta kebebasan samping. 2.5.1 Alinyemen Alinyemen jalan adalah faktor yang sangat utama untuk menentukan tingkat aman dan efisien di dalam memenuhi kebutuhan lalu lintas. Alinyemen dipengaruhi oleh topografi, karakteristik lalu lintas dan fungsi jalan. Alinyemen jalan merupakan serangkaian garis lurus yang dihubungkan dengan lengkung. Pada umumnya hubungan ini melalui lengkung spiral yang diletakkan antara garis lurus dengan lengkung. Lengkung yang panjang dan datar selalu lebih disukai karena lebih menyenangkan dan untuk kemungkinan ditingkatkan di masa mendatang. Lengkung yang panjang dan datar digunakan bila perubahan arah jalan relatif kecil. Alinyemen jalan pada garis besarnya dibagi menjadi alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal. Alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal harus diperhatikan secara bersama-sama melalui pendekatan tiga dimensi sehingga menghasilkan alinyemen jalan dengan tingkat keselamatan dan apresiasi visual yang baik. 2.5.1.1 Alinyemen Horizontal Alinyemen horizontal adalah proyeksi horizontal dari sumbu jalan tegak lurus bidang peta situasi jalan. Alinyemen ini berupa rangkaian garis lurus yang disebut garis singgung yang disambung dengan garis lengkung. Antara garis lurus dan garis lengkung ini biasa terdapat lengkung peralihan. Kecelakaan lebih cenderung terjadi pada tikungan daripada jalan lurus 22

karena adanya permintaan ruang yang lebih luas untuk mengemudi dan kendaraan serta karena adanya friksi antara ban dan perkerasan. Efek keselamatan dari suatu tikungan tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik geometriknya, tetapi juga oleh geometri dari segmen jalan yang berdekatan, bahayanya akan meningkat ketika tikungan muncul secara tak terduga, seperti ketika suatu tikungan ada setelah jalan yang cukup panjang atau ketika tersembunyi dari pandangan karena adanya bukit. Efek keselamatan dari pelurusan tikungan adalah salah satu fokus yang utama. Bilamana suatu tikungan tajam diperbaiki, transisi dari bagian lurus ke lengkung dari suatu jalan akan lebih halus, panjang bagian lengkung bertambah besar dan panjang keseluruhan sedikit berkurang. Dalam hal ini diharapkan adanya perubahan tingkat kecelakaan dengan adanya perbaikan tikungan didasarkan pada perubahan derajat lengkung dengan memperhitungkan reduksi minor pada panjang jalan yang mengikuti pelurusan tikungan. Hubungan antara kecelakaan dan derajat lengkung harus diperlakukan sebagai hubungan yang kasar, karena lengkung horizontal dipertimbangkan sebagai lengkung yang berdiri sendiri tanpa memperhatikan alinyemen segmen jalan yang berdekatan dan karena hubungan yang tidak sepenuhnya benar untuk efek-efek yang berhubungan dengan elemen geometrik lainnya. (lengkung tajam lebih sering terdapat pada jalan berjalur sempit dengan sisi jalan yang berbahaya). 2.5.1.2 Alinyemen Vertikal Alinyemen vertikal adalah bidang tegak lurus melalui sumbu jalan atau proyeksi tegak lurus bidang gambar. Profil ini menggambarkan tinggi rendahnya jalan terhadap muka tanah asli, sehingga memberikan gambaran terhadap kemampuan kendaraan dalam keadaan naik dan bermuatan penuh (truk digunakan sebagai kendaraan standar). Dalam menetapkan besarnya landai jalan harus diingat bahwa sekali suatu landai digunakan, maka jalan sukar di-upgrade dengan landai yang lebih kecil tanpa perubahan yang mahal. Maka penggunaan landai maksimum sedapat mungkin dihindari. Landai maksimum hanya digunakan apabila pertimbangan biaya pembangunan adalah sangat memaksa dan hanya untuk jarak pendek. 23

Dalam perencanaan landai perlu diperhatikan panjang landai tersebut yang masih tidak menghasilkan pengurangan kecepatan yang dapat mengganggu kelancaran jalannya lalu lintas. Panjang maksimum landai yang masih dapat diterima tanpa mengakibatkan gangguan jalannya arus lalu lintas yang berarti, atau bisa disebut istilah panjang kritis landai, adalah panjang yang mengakibatkan pengurangan kecepatan sebesar 25 km/jam. 2.5.2 Lebar Lajur dari Bahu Jalan 1. Lebar Lajur Lebar lajur adalah lebar yang dipakai kendaraan baik bermotor maupun tidak bermotor, dan biasanya diberi lapisan perkerasan. Sedang ukurannya tergantung dari kelas jalan tersebut. Oglesby (1988) memberi persyaratan untuk jalan bebas hambatan dari jalan arteri adalah 12 feet atau 3.65 meter. 2. Bahu Jalan Bahu jalan biasanya dipakai untuk kendaraan yang berhenti karena suatu sebab tertentu. Oleh karena itu lebar bahu jalan harus sesuai untuk parkir sementara, agar lalu lintas tidak terganggu, dan tidak terjadi kemacetan lalu lintas. Bagian ini juga diberikan lapisan perkerasan dengan kekuatan yang lebih rendah dari lapisan permukaan jalan bahu jalan mempunyai fungsi sebagai berikut: 1. Tempat untuk berhenti sementara dari kendaraan yang mengalami gangguan teknis, istirahat. 2. Tempat kendaraan untuk menghindar pada saat-saat darurat untuk mencegah terjadinya bahaya. 3. Memberikan kelegaan pada pengemudi sehingga dapat meningkatkan kegunaan jalan. 4. Memberikan sokongan pada kontruksi perkerasan dari arah samping sehingga tidak mudah longsor. 5. Merupakan ruangan pembantu pada saat mengadakan pekerjaan perbaikan atau pemeliharaan jalan. 6. Tempat pemasangan rambu-rainbu lalu lintas. 7. Tempat lewat pejalan kaki. 24

Bahu jalan dapat berupa bahu yang tidak diperkeras, yaitu bahu yang hanya dibuat dari material perkerasan jalan tanpa bahan pengikat dan bahu yang diperkeras, yaitu bahu yang dibuat dengan mempergunakan bahan pengikat sehingga lapisan tersebut kedap air dibandingkan dengan bahu yang tidak diperkeras. 3. Jalur Lalu Lintas Jalur lalu lintas adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu lintas kendaraan yang secara fisik berupa perkerasan jalan. Batas jalur lalu lintas dapat berupa: (1) Median; (2) Bahu; (3) Trotoar; (4) Pulau jalan; dan (5) Separator. 2.5.3 Jarak Pandang Jarak pandang adalah panjang jalan didepan kendaraan yang masih dapat dilihat dengan jelas diukur dari titik kedudukan pengemudi. Jarak pandang berguna untuk : 1. Menghindarkan terjadinya tabrakan yang dapat membahayakan kendaraan dan manusia akibat adanya benda yang berukuran besar, kendaraan yang sedang berhenti, pejalan kaki, atau hewan-hewan pada lajur jalan. 2. Memberi kemungkinan untuk mendahului kendaraan lain yang bergerak dengan kecepatan lebih rendah dengan mempergunakan lajur disebelahnya. 3. Menambah efisiensi jalan tersebut, sehingga volume pelayanan dapat dicapai semaksimal mungkin. Dilihat dari kegunaannya jarak pandang dapat dibedakan atas a. Jarak pandang henti Jarak pandang henti adalah jarak yang ditempuh pengemudi untuk dapat menghentikan kendaraannya. Guna memberikan keamanan pada pengemudi kendaraan, maka pada setiap panjang jalan haruslah dipenuhi paling sedikit jarak 25

pandang sepanjang jarak pandang henti minimum. Jarak pandang henti minimum merupakan jarak yang ditempuh pengemudi selama menyadari adanya rintangan sampai menginjak rem, ditambah jarak mengerem. d = d1 + d2... (2.1) d = ( 0, 2 7 8 V. t ) + ( )... (2.2) Ket. : d1 d2 V t fm = jarak dari saat melihat rintangan sampai menginjak pedal rem (m) = jarak mengerem (m) = kecepatan kendaraan (km/jam) = waktu reaksi (2.5 detik) = koefisien gesekan antara ban dan muka jalan dalam arah memanjang jalan Tabel 2.1 Jarak pandang henti minimum Kecepatan Rencana Kecepatan jalan Km/jam 30 Km/jam 27 0.400 m 29.71 25.94 m 25-30 m 40 36 0.375 44,60 3 8.6 3 40-45 50 45 0.350 62.87 54.05 55-65 60 54 0.330 84.65 72.32 75-85 70 63 0.313 110.28 93.71 95-110 80 72 0.300 139.59 118.07 120-140 100 90 0.285 207.64 174.44 175-210 120 108 0.280 285.87 239.06 240-285 Sumber : Sukirman, 1994 o Kecepatan jalan Vj = 90 % kecepatan rencana (Vr) o fm berdasarkan gambar koefisien gesekan memanjang jalan o d dihitung dengan rumus, dengan t = 2.5 detik b. Jarak pandang menyiap fm d perhitungan untuk Vr d perhitungan untuk vj Jarak pandang menyiap standar dihitung berdasarkan atas panjang jalan yang diperlukan untuk dapat melakukan gerakan menyiap suatu kendaraan dengan d desain 26

sempurna dan aman berdasarkan asumsi yang diambil. Jarak pandang menyiap standar adalah d = d1 + d2 + d3 + d4...(2.3) Jarak pandang menyiap minimum adalah dmin = 2/3 d2 + d3 + d4...(2.4) dimana : d1 = Jarak yang ditempuh kendaraan yang hendak menyiap selama waktu reaksi dan waktu kendaraannya yang hendak membelok ke lajur kanan. d2 = jarak yang ditempuh selama kendaraan yang menyiap berada pada lajur kanan. d3 = diambil 30-100 m d4 = 2/3 d2 Tabel 2.2 Jarak pandang menyiap V rencana Km/jam 30 40 50 60 70 80 100 120 Sumber : Sukirman, 1994 J.pandang menyiap standar perhitungan M 146 207 274 353 437 527 720 937 J.pandang menyiap standar desain m 150 200 275 350 450 550 750 950 J.pandang menyiap minimum perhitungan m 109 151 196 250 307 368 496 638 J.pandang menyiap minimum desain M 100 150 200 250 300 400 500 650 27

Dirjen Bina Marga telah menetapkan standar perencanaan geometrik jalan yang dirangkum dalam tabel 2.3 Tabel 2.3 Standar Perencanaan Geometrik Klasifikasi Jalan Jalan Raya Utama Jalan Raya Sekunder Jalan Penghubung I IIA IIB IIC III Klasifikasi Medan D B G D B G D B G D B G D B G Lalu lintas harian Rata-rata (LHR) dalam smp Kecepatan rencana (km/jam) Lebar Daerah Penguasaan Minimum (m) >2000 6000-2000 1500-8000 <2000-120 100 80 100 80 60 80 60 40 60 40 30 60 40 30 60 60 60 40 40 40 30 30 30 30 30 30 20 20 20 Lebar perkerasan (m) Min2(2x3,75) 2-3,50 atau 2(2x3,75) 2x3,50 2x3,00 3,50-6,00 Lebar median minimum (m) 1,0 1,5** - - - Lebar bahu (m) 3,50 3,00 3,00 3,00 2,50 2,50 3,00 2,50 2,50 2,50 1,50 1,00 1,50-2,50* Lereng melintang median Lereng melintang bahu 2% 2% 2% 3% 4% 4% 4% 6% 6% 6% Jenis lapisan permukaan jalan Aspal beton (Huot mix) Aspal beton Penetrasi berganda atau setatap Penetrasi tinggi penetrasi tunggal Paling tinggi peleburan dengan aspal Miring tikungan maksimum Jari-jari lengkung minimum (m) 10% 10% 10% 10% 10% 360 350 210 350 210 115 210 115 50 115 50 30 115 30 30 Landai maksimum 3% 5% 6% 4% 6% 7% 5% 7% 8% % 8% 10% 6% 8% 12% Catatan : * menurut keadaan setempat ** untuk 4 jalur Keterangan : D = datar B = berbukit G = gunung Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum (1970) 28

2.5.4 Persimpangan Berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (Departemen Pekerjaan Umum, 1997), Persimpangan adalah simpul pada jaringan jalan dimana jalanjalan bertemu dan lintasan kendaraan berpotongan. Lalu-lintas pada masingmasing kaki persimpangan menggunakan ruas jalan pada persimpangan secara bersama-sama dengan lalu-lintas lainnya. Persimpangan merupakan tempat yang rawan terhadap kecelakaan karena terjadi konflik antara kendaraan dengan kendaraan lainnya ataupun kendaraan dengan pejalan kaki. Perbaikan simpang termasuk perubahan elemen fisik dari jalan raya yang berpotongan dan alat kontrol lalu-lintas. Perbaikan ini umumnya difokuskan pada pengurangan konflik dan perbaikan keputusan pengemudi. 2.5.5 Kerusakan Tepi Perkerasan (Pavement Edge Drops) Pavement Edge Drops timbul dari kegiatan pelapisan ulang yang tidak diikuti dengan perbaikan bahu jalan atau ausnya material bahu jalan. Edge drops mudah terjadi pada bagian dalam lengkung horizontal, yang digunakan di luar jalur kendaraan berputar. Investigasi detail dari suatu kecelakaan menunjukkan efek yang berbahaya dari edge drops pada keselamatan kendaraan. Meskipun data yang dibutuhkan untuk membuat perkiraan yang handal pada frekuensi kecelakaan yang diakibatkan masalah edge drops tidak tersedia, beberapa peneliti menyatakan bahwa vertikal diskontinuitas khususnya pada sisi jalur, memberikan bahaya yang serius bagi kendaraan yang menyentuh bahu. Pelapisan ulang akan meningkatkan elevasi jalan, kecuali jika pavement didaur ulang. Selanjutnya, pelapisan ulang dapat meningkatkan kemungkinan masalah edge drops akan terjadi lagi, apalagi jika bahu terdiri dari tanah, rumput atau kerikil. Seperti juga dengan studi-studi dinamika kendaraan telah meneliti bahwa pengemudi dapat terhindar dengan selamat jika mereka telah dapat melalui edge drops, dengan tinggi dan bentuk yang bervariasi. Ketika kecepatan meningkat kesulitan recover yang sukses meningkat. Bagaimanapun tidak ada standar yang diterima mengenai derajat edge drops, sebagaimana dikarakteristikkan oleh tinggi dan bentuk yang diterima. 29

Tidak seperti kebanyakan test track, tes yang baru mempergunakan pengemudi professional untuk melakukan tes pada bentuk edge drops yang vertikal dan membentuk sudut dengan ketinggian minimal 7,62 cm dan 11,43 cm untuk bentuk vertikal dan 11,43 cm untuk bentuk lereng. Tes tersebut mengukur frekuensi pengemudi yang ban kendaraannya keluar perkerasan dan menyentuh sisi jalan dapat balik ke lajur 3,65 m tanpa menganggu lajur yang berdekatan. Tes menunjukkan bahwa pengemudi biasa lebih sulit mengatasi vertikal drops dari pada pengemudi profesional. Edge drops sebesar 7,62 cm umumnya layak untuk kecepatan 30 km/jam untuk satu mobil penumpang besar. Tes yang sama dilakukan dengan mobil kecil oleh pengemudi profesional menyarankan kecepatan yang lebih rendah (20 25 km/jam). 2.6 Teknik Analisis Data Kecelakaan Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik deskripsi. Statistik deskripsi atau statistik deduktif adalah bagian dari statistik yang mempelajari cara pengumpulan dan penyajian data sehingga mudah untuk dipahami. Statistik deskripsi berfungsi menerangkan keadaan, gejala, atau persoalan. Penarikan kesimpulan pada statistik deskripsi hanya ditujukan pada kumpulan data yang ada. Berdasarkan ruang lingkup bahasannya statistik deskripsi meliputi : 2.6.1 Distribusi Frekuensi Distribusi frekuensi adalah data acak dari suatu penelitian yang disusun menurut kelas-kelas interval tertentu atau menurut kategori tertentu dalam sebuah daftar. Distribusi frekuensi terdiri dari grafik distribusi, ukuran nilai pusat, dan ukuran dispersi. a. Grafik Distribusi Grafik distribusi digunakan untuk menggambarkan distribusi frekuensi. Grafik distribusi dapat berupa histogram yaitu grafik batang atau polygon frekuensi, dan yang berupa grafik garis dan kurva frekuensi. 30

b. Ukuran nilai pusat yang meliputi rata-rata, median, modus, kuartil, dan lain sebagainya. Dalam perhitungan pertumbuhan angka kecelakaan akan mencari rata-rata dengan rumus : Keterangan : X X...(2.5) n X X n = nilai rata-rata = jumlah data = jumlah sampel c. Ukuran Dispersi Ukuran dispersi adalah ukuran yang menyatakan seberapa jauh penyimpangan nilai-nilai data dari nilai-nilai pusatnya ukuran dispersi juga dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu jangkauan, standar deviasi dan varians. Jangkauan adalah selisih nilai terbesar data dengan nilai terkecil data. Standar deviasi adalah akar dari tengah kuadrat simpangan dari nilai tengah. Varians adalah jumlah kuadrat semua deviasi atau simpangan nilai-nilai individual terhadap rata-rata kelompok. Simpangan baku (standar deviasi) untuk seperangkat X1, X2, X3..Xn (data tunggal) dapat ditentukan dengan metode biasa (Hasan, 2001), yaitu : a. Untuk sampel besar (n 30) : S = (X X) n b. Untuk sampel kecil (n 30) : 2... (2.6) S = 2 (X X)...(2.7) n 1 31

Keterangan : S = standar deviasi X = data X n = nilai rata-rata = jumlah sampel 2.6.2 Data Berkala (Time Series) Data berkala adalah data yang disusun berdasarkan urutan waktu atau data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu perubahan yang terjadi dalam data statistik dalam sederetan waktu tertentu dapat berbentuk trend. Trend adalah gerakan rata-rata dalam jangka waktu yang panjang. 2.6.3 Pembobotan / Weighting Pembobotan/Weighting adalah suatu nilai yang digunakan untuk menghitung angka kecelakaan berdasarkan karakteristik masing-masing kecelakaan. Jumlah korban manusia terbagi atas meninggal dunia, luka berat, dan luka ringan. Pembobotan dari hasil Transport Research Laboratory (1997), yaitu : korban meninggal dunia berbobot 3, korban luka berat berbobot 2, dan korban luka ringan berbobot 1. Setelah pembobotan terhadap jumlah korban manusia, maka dilakukan pembobotan terhadap tingkat kecelakaan. Berdasarkan kriteria dari Departemen Perhubungan, tingkat kecelakaan dapat digolongkan sebagai berikut : jumlah kecelakaan, jumlah pelaku kecelakaan, jumlah korban manusia, dan kerugian material pembobotan yang digunakan di dalam perhitungan ini mengacu pada standar pembobotan yang diambil dari hasil Transport Research Laboratory (1997), yaitu : jumlah korban manusia berbobot 12, jumlah pelaku kecelakaan berbobot 3, jumlah kecelakaan berbobot 1 dan jumlah kerugian material diperhitungkan terpisah dan tanpa pembobotan. 2.6.4 Z-Score Z-Score adalah bilangan Z atau bilangan standar atau bilangan baku. Bilangan Z dicari dari sampel yang berukuran n, data X1, X2, X3, Xn 32

dengan rata-rata X pada simpangan baku S, sehingga dapat dibentuk data baru yaitu Z1, Z2, Z3..Zn dengan rata-rata 0 simpangan baku 1. Nilai Z dapat dicari dengan rumus (Hasan, 2001): Zn = Keterangan Zn S Xn X S = Nilai Z-score kecelakaan = Standar deviasi Xn = Data kecelakaan... (2.8) X n = Nilai rata-rata = 1,2,3,, n 2.6.5 Metode Cusum (Cumulative Summary) Cusum (Cumulative Summary) adalah suatu prosedur yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi black spot. Grafik cusum merupakan suatu prosedur statistik standar sebagai kontrol kualitas untuk mendeteksi perubahan dari nilai mean. Nilai cusum dapat dicari dengan rumus (Austroads, 1992): 1. Mencari nilai mean (w) Perhitungan untuk menghitung nilai mean dari data sekunder, yaitu sebagai berikut : Keterangan : W = kec. W = nilai mean km.tahun X...(2.9) LxT X L T = jumlah data kecelakaan keseluruhan (kec/tahun) = jumlah stasion/spot (km) = waktu/periode (tahun) 33

2. Mencari nilai cusum kecelakaan tahun pertama (S1) Perhitungan untuk menghitung nilai cusum kecelakaan tahun pertama adalah dengan mengurangi jumlah kecelakaan tiap tahun dengan nilai mean, yaitu : S1 = (Xi W)...(2.10) Keterangan : kec. S1 = Nilai cusum kecelakaan tahun pertama km.tahun kec. Xi = data kecelakaan tahun ke-i km.tahun kec. W = Nilai mean km.tahun 3. Mencari nilai cusum kecelakaan tahun selanjutnya (S1) Untuk menghitung nilai cusum kecelakaan tahun selanjutnya adalah dengan menjumlahkan nilai cusum tahun pertama dengan hasil pengurangan jumlah kecelakaan dan nilai mean pada tahun selanjutnya, yaitu : Si = [S1 + (Xi W)]...(2.11) Keterangan : Si = Nilai cusum kecelakaan tahun ke-i S1 = Nilai cusum kecelakaan untuk tahun pertama Xi = Data kecelakaan tahun ke-i W = Nilai mean i = 1,2,3,.., i 34