II. TINJAUAN PUSTAKA A. Puyuh Puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan salah satu ternak unggas yang mempunyai potensi besar untuk dibudidayakan karena dalam pemeliharaannya tidak membutuhkan area yang luas. Pakan yang dibutuhkan relatif sedikit jika dibandingkan dengan jenis unggas lain seperti ayam sehingga modal yang diperlukan juga relatif kecil. Klasifikasi puyuh menurut Shanaway (1994) yaitu sebagai berikut: Filum : Chordata Kelas : Aves Ordo : Galiformes Famili : Phasianidae Subfamili : Perdicinae Genus : Coturnix Subspesies : Coturnix coturnix japonica Puyuh memiliki ciri kepala, punggung dan sayap berwarna coklat tua dengan garis coklat muda berkombinasi totol-totol hitam. Bulu dada berwarna merah kombinasi totol-totol yang lebih jelas. Bagian perut berwarna coklat muda merah. Puyuh betina memiliki ukuran tubuh yang lebih besar daripada puyuh jantan. Bobot rata-rata seekor puyuh betina sekitar 150 g. Puyuh betina memiliki warna coklat yang lebih terang dengan warna coklat muda bergradasi putih ke bawah. Leher puyuh betina memiliki bulu berwarna putih yang lebih lebar (Marsudi dan Saparinto, 2012). Puyuh jantan dewasa diidentifikasikan dengan bulu-bulu berwarna coklat muda pada bagian atas kerongkongan dan dada yang merata (Listiyowati dan Roospitasari, 2005). Puyuh jantan dewasa memiliki bobot badan sekitar 100-140 g (Anggorodi, 1995). Puyuh betina mulai bertelur pada umur 41 hari. Puyuh betina dapat menghasilkan telur sebanyak 250-300 butir per ekor selama setahun. Telurnya berwarna coklat tua, biru, putih dengan bintik-bintik hitam, coklat dan biru 4
5 (Listiyowati dan Roospitasari, 2005). Puncak produksi lebih dari 80% pada minggu ke-13. Produktivitas akan menurun dengan persentase bertelur kurang dari 50% di atas 14 bulan, kemudian berhenti bertelur saat berumur 2,5 tahun atau 30 bulan (Anggorodi, 1995). B. Ransum Puyuh Ransum merupakan faktor terpenting dalam keberhasilan beternak puyuh (Listyowati dan Roospitasari, 2005). Pemberian ransum hendaknya sesuai dengan fasenya. Puyuh mempunyai dua fase pemeliharaan, yaitu fase pertumbuhan dan fase produksi (bertelur). Fase pertumbuhan puyuh terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu fase starter (0-3 minggu) dan fase grower (3-5 minggu). Perbedaan fase ini menyebabkan perbedaan kebutuhan nutrien pada saat pemberian pakan. Puyuh berumur 0-3 minggu membutuhkan protein 25% dan energi metabolis 2.900 kkal/kg. Umur 3-5 minggu kadar proteinnya dikurangi menjadi 20% protein dan 2.600 kkal/kg energi metabolis. Puyuh dewasa berumur lebih dari 5 minggu sama dengan untuk umur 3-5 minggu. Kebutuhan nutrien puyuh fase produksi disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kebutuhan nutrien puyuh fase produksi. Nutrien Kebutuhan Energi metabolis (kkal/kg) Minimal 2.700 Protein kasar (%) Minimal 17,0 Lemak kasar (%) Maksimal 7,0 Serat kasar (%) Maksimal 7,0 Abu (%) Maksimal 14,0 Kalsium (%) 2,5-3,5 Fosfor (%) 0,6-1,0 Lisin (%) Minimal 0,9 Metionin (%) Minimal 0,4 Sumber: Standar Nasional Indonesia (2006) Pemberian ransum harus tepat dalam hal mutu, takaran dan sasaran. Pemberian ransum yang kurang dapat menyebabkan penurunan produksi telur (Marsudi dan Saparinto, 2012). Konsumsi ransum untuk puyuh berbagai umur disajikan pada Tabel 2.
6 Tabel 2. Konsumsi ransum pada berbagai umur dan bobot puyuh. Umur (minggu) Bobot Puyuh (g) Konsumsi Ransum (g/hari/ekor) 1 15 30 3,8 2 31 35 6,8 3 56 80 9,8 4 81 115 14 5 116 150 16 6 150 155 18 7 60 lebih dari 155 20 Sumber: Marsudi dan Saparinto (2012). C. Vitamin D Vitamin D ada dua jenis yaitu vitamin D2 dan vitamin D3. Vitamin D2 (kalsiferol) dan vitamin D3 (kolekalsiferol) dianggap yang paling penting. Struktur kedua vitamin sangat mirip (Gambar 1). Vitamin D2 banyak terdapat dalam bahan nabati dan vitamin D3 banyak terdapat dalam minyak hati ikan (Winarno, 2004). Vitamin D2 Vitamin D3 Gambar 1. Struktur Vitamin D2 dan D3 Vitamin D sangat diperlukan unggas dan berkaitan dengan kalsium dan fosfor. Transportasi kalsium yang aktif bergantung pada vitamin D dalam ransum. Vitamin D merangsang kalsium dan fosfor untuk melewati sel mukosa usus kecil sehingga menaikkan kadar unsur ini dalam darah dan cairan ekstraseluler tulang
7 yang siap mengalami kalsifikasi. Vitamin D juga berpengaruh dalam fungsi hormon parathyroid. Hormon parathyroid memberi efeknya terhadap translokasi kalsium apabila terdapat vitamin D (Almatsier, 2004). Menurut Leeson dan Summers (2001) cholecalciferol (D3) adalah bentuk paling umum dari vitamin D yang ditambahkan ke pakan. Setelah penyerapan oleh mukosa usus, lalu diangkut ke hati dan mengalami dihidroksilasi pada posisi 25, sehingga menjadi 25-hidroksikolekalsiferol (25(OH)D3). Metabolit ini kemudian menuju ke ginjal dan terhidroksilasi pada karbon 1 menjadi 1,25- dihidroksikolekalsiferol (1,25 (OH)2D3). Vitamin D akan aktif di ginjal dalam bentuk (1,25 (OH)2D3). Hasil penelitian Tsang dan Grunder (1993) menunjukkan bahwa pemberian vitamin D3 dalam ransum ayam petelur memberikan efek positif pada kekuatan kerabang telur yaitu dalam waktu tiga minggu setelah pemberian vitamin D3, persentase telur retak atau pecah menurun. Hasil penelitian Soares et al. (1995) menunjukkan bahwa pemberian vitamin D3 dalam ransum efektif meningkatkan retensi kalsium dan fosfor pakan. Menurut NRC (1994), kebutuhan vitamin D puyuh yaitu masa starter dan grower sebesar 900 ICU/kg ke dalam ransum dan pada masa layer 1.750 ICU/kg ke dalam ransum. D. Asam Fitat dan Fitase Asam fitat terdapat pada bahan pakan yang berasal dari tanaman dan merupakan bentuk penyimpanan utama fosfor dan dapat mencapai 80% dari total fosfor yang ada. Asam fitat juga mampu mengikat mineral-mineral bervalensi 2 atau 3 (Ca, Fe, Zn, dan Mg) dan membentuk kompleks yang sulit diserap usus (Baruah et al., 2004). Asam fitat menjadi kendala karena unggas tidak memiliki enzim fitase pada sistem pencernaannya (Nuhriawangsa, 2012) menyebabkan kandungan senyawa fitat dalam biji-bijian tidak bisa dicerna karena sifat chelating yang kuat (Shin et al., 2001). Apabila jumlah asam fitat yang dicerna meningkat akan menimbulkan tambahan biaya pada pakan dengan adanya fosfor yang tidak
8 tercerna. Tidak tercernanya asam fitat juga mengakibatkan efek negatif pada pencernaan mineral dan protein (Maenz, 2001). Fitase merupakan salah satu enzim yang tergolong dalam kelompok fosfatase yang mampu menghidrolisis senyawa fitat yang berupa myo-inositol (1,2,3,4,5,6) hexakisfosfat menjadi myo-inositol dan fosfat organik. Studi tentang fitase sangat pesat terutama dalam pemanfaatan enzim fitase sebagai campuran pakan ternak guna mereduksi senyawa fitat dalam pakan, sehingga pemanfaatan fosfor dalam tubuh ternak monogastrik menjadi lebih optimal (Greiner et al., 1997). Suplementasi vitamin D dan fitase memiliki efek sinergis bila diberikan pada ransum ayam broiler (Edwards, 1993). Hasil penelitian Edwards et al. (1992) menunjukkan bahwa interaksi antara fitase dan vitamin D dapat meningkatkan plasma kalsium dan fosfor. Suplementasi fitase dan vitamin D pada ransum ayam dapat meningkatkan pemanfaatan kalsium akibat meningkatnya aktivitas fitase. E. Metabolisme Kalsium Kalsium dibutuhkan untuk metabolisme serta proses pembentukan kerabang telur. Ketersediaan kalsium dalam pakan harus tercukupi karena jika kebutuhan kalsium dalam pakan kurang akan berdampak pada kerabang telur menjadi tipis, akibatnya telur mudah retak dan pecah (Suprapto et al., 2012). Kalsium merupakan kandungan terbesar serta berperan penting dalam kerabang telur. Kerabang telur terbentuk dengan adanya ketersediaan ion kalsium dan ion karbonat dalam cairan uterus yang akan membentuk kalsium karbonat. Sumber utama ion karbonat terbentuk karena adanya CO2 dalam darah hasil metabolisme dari sel yang terdapat pada uterus dan adanya H2O, keduanya dirombak oleh enzim carbonic anhydrase (dihasilkan pada sel mukosa uterus) menjadi ion bikarbonat yang akhirnya menjadi ion karbonat setelah ion hidrogen terlepas. Beberapa hubungan antara kalsium dalam darah, CO2 dan ion bikarbonat di dalam
9 uterus dalam peristiwa pembentukan kerabang telur dapat dilihat pada Gambar 2 (Nesheim et al., 1979). Proses pembentukan kerabang telur memerlukan waktu sekitar 20 jam. Kerabang tersusun dari timbunan kalsium karbonat (CaCO3) dalam suatu matriks protein dan mukopolisakarida (Blakely dan Bade, 1998). Sebelum terbentuknya kerabang telur, kalsium tidak disimpan dalam uterus tetapi terdapat dalam plasma darah dalam bentuk ion kalsium. Deposisi kalsium plasma darah dalam kerabang terjadi sangat cepat terutama saat mineralisasi kerabang telur cepat setara dengan konsumsi total kalsium plasmatik setiap 12 menit (Yuwanta, 2004). Unggas menyimpan kalsium pakan dalam tulang medula untuk kebutuhan pembentukan kerabang telur secara berkala. Penyimpanan kalsium pakan diinisiasi oleh peningkatan sekresi estrogen ketika unggas menjelang masak kelamin. Calbindin-D28k merupakan protein intraseluler yang memiliki kemampuan mengikat kalsium dengan afinitas tinggi serta memegang peran penting dalam transportasi kalsium dalam usus dan kelenjar kerabang. Sintesis protein calbindin-d28k dalam kelenjar kerabang distimulasi oleh kehadiran yolk dan adanya aliran kalsium dari darah (Kasiyati et al., 2010). Gambar 2. Pembentukan Kerabang Telur (Nesheim et al., 1979).
10 Uterus berperan dalam deposisi kalsium untuk pembentukan kerabang. Sebanyak 50-60% kalsium karbonat dideposisikan dikerabang selama 17 sampai 20 jam di uterus (Lavelin et al., 2000). Selama 6 jam pertama dari siklus peneluran 24 jam tidak ada kalsium yang dideposisikan untuk pembentukan kerabang. Sebanyak 4% kalsium dideposisikan selama 6 sampai 12 jam pertama. Sebanyak 8% kalsium diakumulasikan pada periode aktif yaitu pada 12 jam sampai 18 jam setelah ovulasi. Selanjutnya 6 jam sebelum ovulasi atau pada periode lambat 5% kalsium kembali dideposisikan (Leeson dan Summer, 2001). Sekresi kerabang terjadi pada malam hari ketika cadangan kalsium di saluran pencernaan relatif rendah (Clunies et al., 1992). Laju sekresi kalsium selama pembentukan telur berkisar antara 1-1,5%/jam (Taylor, 2006). Sumber kalsium selama periode ini berasal dari sisa makanan dalam saluran pencernaan cadangan dan tulang-tulang yang mudah dimobilisasi (Amrullah, 2003). Total sebanyak 1,7% kalsium kerabang disekresikan selama kalsifikasi (Leeson dan Summer, 2001). Secara terperinci proses-proses ini disajikan pada Gambar 3. Peningkatan Volume Volume telur Deposisi CaCo 3 Pembacaan kuadrat densitometer ( ketebalan radial CaCo3 dalam Kerabang) Waktu sejak telur sebelumnya ditelurkan (jam) Gambar 3. Laju Deposisi Kalsium Karbonat (Bradfield, 1951)
11 HIPOTESIS Hipotesis pada penelitian ini adalah suplementasi vitamin D dalam ransum yang mengandung fitase dapat meningkatkan konsumsi kalsium, bobot kerabang, massa kalsium kerabang dan pemanfaatan kalsium. 11