Most Livable City Index, Tantangan Menuju Kota Layak Huni Dani Muttaqin, ST* Kota, kota, kota. Pada umumnya orang akan setuju kota merupakan tempat dimana mereka dapat merealisasikan setiap mimpi. Kota juga dianggap tempat yang menawarkan berbagai kesenangan dan kemewahan. Citra kota masih begitu baik di mata sebagian penduduk suburban. Pandangan-pandangan tersebut lah yang pada akhirnya memancing terjadinya urbanisasi. Pada tahun 2008-2009 diperkirakan lebih dari setengah jumlah penduduk dunia berdomisili di kawasan perkotaan. Di Indonesia sendiri, diperkirakan pada tahun 2015 jumlah penduduk di perkotaan akan melampaui jumlah penduduk di daerah pedesaan. Gambar Proyeksi Pertambahan Jumlah Penduduk Perkotaan Indonesia Di satu sisi, hadirnya kaum pendatang di suatu kota dapat menggerakkan sektor ekonomi. Namun, di sisi lain pertambahan penduduk kota yang semakin cepat akan berujung pada tingkat intensitas aktifitas warga kota yang semakin intensif, sehingga memberikan tekanan yang semakin besar terhadap ruang dan pemenuhan kebutuhan berbagai macam infrastruktur dan fasilitas perkotaan. Pertambahan jumlah penghuni kota perlu mendapat penanganan tepat. Jika tidak, akan memicu berbagai permasalahan perkotaan mulai dari fisik kota sampai pada permasalahan yang akan berdampak pada berkurangnya tingkat kenyamanan hidup diwilayah tersebut. Padahal seharusnya semakin berkembang dan maju suatu kota, maka tingkat kenyamanan hidup di kota tersebut semakin meningkat. Kondisi ini lah yang harus menjadi identitas kota Indonesia di masa depan, menjadi kota yang berkembang & maju diiringi tingkat livabity yang tinggi. Livable City Saat ini banyak warga kota yang mengeluhkan ketidaknyamanan lingkungan tempat tinggal mereka, mulai dari masalah kemacetan, tidak terawatnya fasilitas umum hingga masalah kebersihan lingkungan. Dalam kondisi seperti itu, setiap orang mendambakan sebuah kota yang nyaman dan memang layak untuk dihuni. Mereka menginginkan Livable city. Livable city, kota layak huni. Setiap orang tentu mempunyai kriteria tersendiri tentang hal ini. Hahlweg, seorang ahli tata kota mendefinisikan Livable City sebagai... a city where I can have a healthy life and where I have the chance for easy mobility The liveable city is a city for all people.
Dapat dikatakan bahwa Livable City merupakan gambaran sebuah lingkungan dan suasana kota yang nyaman sebagai tempat tinggal dan sebagai tempat untuk beraktifitas yang dilihat dari berbagai aspek, baik aspek fisik (fasilitas perkotaan, prasarana, tata ruang, dll) maupun aspek non-fisik (hubungan sosial, aktivitas ekonomi, dll). Most Livable City Index Lalu, bagaimana dengan kota-kota di Indonesia? Apakah mereka dapat digolongkan dalam Livable City? Pada akhir tahun 2009 Ikatan Ahli Perencana (IAP) merilis Most Livable City Index. Most Livable City Index merupakan sebuah indeks tahunan yang menunjukkan tingkat kenyamanan warga kota untuk tinggal, menetap dan beraktivitas di suatu kota yang ditinjau dari berbagai aspek perkotaan. Indeks ini dihasilkan dengan dengan pendekatan : Snapshot, Simple and Actual yang dilakukan melalui popular survey kepada 1200 warga di 12 Kota Besar di Indonesia. Penelitian dilakukan di 12 kota besar, yaitu : Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Banjarmasin, Palangkaraya, Pontianak, Menado, Makassar dan Jayapura. Kriteria yang digunakan dalam survey ini didasarkan pada hasil Simposium Nasional : Masa Depan Kota Metropolitan Indonesia yang diadakan di kota Medan 4 Desember 2008 lalu, dimana terdapat tujuh variabel utama perkotaan, yaitu: Fisik Kota, Kualitas Lingkungan, Transportasi Aksesibilitas, Fasilitas, Utilitas, Ekonomi dan Sosial. Berpedoman pada tujuh variabel tersebut, kemudian ditetapkan 25 kriteria penentuan liveable city seperti berikut ini: No. Kriteria 1 Kualitas Penataan Kota 2 Jumlah Ruang Terbuka 3 Perlindungan Bangunan Bersejarah 4 Kualitas Kebersihan Lingkungan 5 Tingkat Pencemaran Lingkungan 6 Ketersediaan Angkutan Umum 7 Kualitas Angkutan Umum 8 Kualitas Kondisi Jalan 9 Kualitas Fasilitas Pejalan Kaki 10 Ketersediaan Fasilitas Kesehatan 11 Kualitas Fasilitas Kesehatan 12 Ketersediaan Fasilitas Pendidikan 13 Kualitas Fasilitas Pendidikan 14 Ketersediaan Fasilitas Rekreasi 15 Kualitas Fasilitas Rekreasi 16 Ketersediaan Energi Listrik 17 Ketersediaan Air Bersih 18 Kualitas Air Bersih 19 Kualitas Jaringan Telekomunikasi 20 Ketersediaan Lapangan Pekerjaan
No. Kriteria 21 Tingkat Aksesibilitas Tempat Kerja 22 Tingkat Kriminalitas 23 Interaksi Hubungan Antar Penduduk 24 Informasi Pelayanan Publik 25 Ketersediaan Fasilitas Kaum Diffable Hasilnya, berdasarkan survey yang dilakukan terhadap warga di masing-masing kota diketahui bahwa hanya 54,17 % penduduk kota-kota di Indonesia yang disurvey merasa nyaman tinggal di kotanya. Ini memperlihatkan bahwa kota-kota tersebut masih berada dalam kondisi yang jauh dari kondisi nyaman di mata warganya. City index Kota Yogyakarta merupakan yang tertinggi yaitu sebesar 65,34. Sedangkan city index yang paling rendah, yaitu Kota Pontianak dengan city index 43,65. Gambar Liveable City Index 12 Kota Besar Sumber : Litbang MLCI IAP, 2009 Berikut adalah hasil survey di 12 kota dengan tujuh indikator kenyamanan yang dimaksud:
Survey Most Livable City Index juga menelurkan sembilan poin penting mengenai kenyamanan kota-kota di Indonesia menurut warganya. Pertama, kota dengan indeks tertinggi. Persepsi penduduk di kota Yogyakarta (65,34), Menado (59,9), Makassar (56,52), Bandung (56,37) menyatakan bahwa kotanya berada dalam kondisi yang relatif cukup nyaman, di atas rata-rata index kotakota lain di Indonesia. Kedua, kota dengan indeks terendah. Persepsi penduduk kota di Palangkaraya (52,04), Jakarta (51,90) dan Pontianak (43,65) menyatakan bahwa kotanya berada dalam kondisi yang tidak nyaman dan berada di bawah angka rata-rata index kota di Indonesia. Ketiga, indeks untuk penataan kota. Kota Palangkaraya memiliki angka prosentase tertinggi dipersepsikan oleh warganya memiliki penataan kota yang baik, yaitu sebanyak 51 %. Kota dengan persepsi terendah untuk aspek tata kota adalah Kota Bandung hanya 3 %. Keempat, minimnya ketersediaan fasilitas untuk penyandang cacat. Dalam hal ini semua kota belum memberikan fasilitas yang memadai bagi penyandang cacat. Buruknya fasilitasi bagi penyandang cacat ini dapat diartikan pula bahwa semua kota belum memiliki fasilitasi yang baik bagi kaum manula dan ibu hamil, padahal mereka semua juga merupakan warga kota yang harus diperhatikan. Kelima, semua kota dirasakan tidak nyaman pada aspek fisik, yaitu penataan kota yang buruk, kurangnya RTH, tingginya tingkat pencemaran lingkungan serta rendahnya kualitas kebersihan kota. Misalnya saja, untuk kriteria penataan ruang, Bandung dinilai oleh warganya sebagai yang paling buruk, yaitu 97 % warga Bandung menilai kualitas tata kota Bandung buruk. Dalam hal ketersediaan RTH, Kota Jakarta dinilai oleh warganya sebagai yang paling minim RTH yaitu 90 % warga kota berpendapat bahwa jumlah RTH di Jakarta kurang. Kemudian untuk kualitas kebersihan kota, 90 % warga Bandung menilai bahwa kualitas
kebersihan Kota Bandung sangat buruk. Sedangkan untuk kriteria pencemaran lingkungan, 87 % warga Surabaya menilai bahwa tingkat pencemaran di Surabaya tinggi. Keenam, hampir semua kota dipersepsikan oleh warganya memiliki fasilitas pendidikan dan kesehatan yang baik. Hal ini bisa bisa dimengerti karena 12 kota yang diteliti merupakan kota besar yang merupakan ibukota provinsi dengan kelengkapan fasilitas yang baik. Ketujuh, hampir semua kota dianggap memiliki masalah dalam ketersediaan lapangan kerja. Ini merupakan salah satu dari dampak urbanisasi yang terjadi di setiap kota besar yang menyebabkan tingkat persaingan dalam mendapatkan pekerjaan semakin tinggi. Pada akhirnya hal ini akan berdampak pada semakin meningkatnya tingkat kemiskinan di kota besar. Kota yang dipersepsikan warganya memiliki ketersediaan paling rendah adalah Jakarta. Sebesar 90% warga Jakarta berpendapat bahwa ketersediaan lapangan kerja di Jakarta buruk. Kedelapan, hampir semua kota dianggap oleh warganya memiliki kualitas angkutan umum yang buruk, meskipun dari sisi ketersediaan beberapa kota dinilai memadai. Salah satu contohnya adalah Kota Bandung. Kota Bandung dipersepsikan warganya memiliki ketersediaan angkutan umum yang baik (89%) tetapi hanya 23 % warga yang berpendapat bahwa kualitas angkutan umum Kota Bandung baik. Terakhir, mayoritas warga kota berpendapat bahwa tingkat kriminalitas merupakan permasalahan di kawasan perkotaan. Kota kota yang dipersepsikan memiliki tingkat kriminalitas tinggi oleh warganya adalah Kota Makassar, Jayapura, Surabaya dan Jakarta, sedangkan kota yang dipersepsikan memiliki tingkat kriminalitas rendah oleh warganya adalah Menado, Bandung dan Palangkaraya. Livable Sebagai Identitas Kota Masa Depan Indonesia Persepsi warga kota yang digambarkan dalam Indonesia Most Liveable City Index 2009 menunjukan bahwa kota-kota besar Indonesia saat ini dirasakan warganya masih berada dalam tahap yang tidak nyaman. Kondisi di masa depan akan semakin tidak nyaman apabila tidak ada tindakan berani, kreatif dan progresif dari para pemimpin kota untuk mengambil dan menerapkan kebijakan pembangunan kota yang berani. Begitupun dengan pihak warga. Masyarakat harus paham, mengerti dan menjalankan kewajiban sebagai warga kota yang baik, tidak sekedar menjadi masyarakat kota saja tetapi benar-benar menjadi warga kota (citizen) yang turut mewujudkan kenyamanan kota. Warga kota juga harus memainkan peranan sebagai perencana, pelaku dan pengawas pembangunan kota. Dalam dekade ini partisipasi warga dalam proses perencanaan pembangunan kota menjadi suatu hal yang strategis dalam mengubah dan merumuskan kebijakan publik pengembangan perkotaan. Pemerintah kota dan masyarakat harus bersatu bekerjasama mewujudkan Kota Masa Depan Indonesia yang Livable.