BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sistem pemerintahan dan pembangunan di Indonesia setelah masa kejayaan orde baru telah mengalami banyak perubahan. Dalam pelaksanaannya, Indonesia yang menggunakan sistem sentralistik (Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18), sekarang lebih mengacu pada pelaksanaan otonomi daerah, sistem desentralisasi fiskal, dekonsentrasi, dan tugas pembangunan. Perubahan ini tertuang dalam Tap MPR Nomor: XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan serta Perimbangan Kekuasaan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketetapan MPR tersebut menjadi landasan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang sudah direvisi menjadi Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dan Undang- Undang No. 25 tahun 1999 yang direvisi menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Mardiasmo, 2002). Penerapan kedua undang-undang ini akan memberikan kewenangan atau otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab terhadap pemerintah. Kewenangan yang luas yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (pemda) untuk membangun daerah yang mandiri bertujuan agar suatu daerah mampu menghasilkan kualitas kinerja dalam pengelolaan sumber daya daerah yang efisien dan efektif dalam menciptakan pemerintahan yang baik (good 1
governance). Hasil dari pengelolaan sumber daya daerah oleh masing-masing pemerintah daerah akan dilaporkan dalam bentuk laporan akuntabilitas atau laporan pertanggungjawaban yang dilakukan secara periodik (Effendi, 2006). Laporan pertanggungjawaban pemerintah daerah yang efisien, efektif, dan ekonomis (value for money) merupakan bentuk dari akuntabilitas suatu daerah. Laporan pertanggungjawaban pemda sebagai wujud akuntabilitas daerah adalah bentuk dari semakin tingginya tuntutan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik. Pemerintah menganggap bahwa dengan adanya akuntabilitas maka mampu memberikan perubahan kinerja di instansi pemerintahan yang lebih baik, atau sering dikenal dengan istilah Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP). AKIP merupakan wujud dari pertanggungjawaban instansi pemerintah atas pelaksanaan organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang dilakukan secara periodik. Kondisi ini melahirkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dan Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) Nomor 239/IX/6/8/2003 mengenai Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Pemerintah dapat memberikan pertanggungjawaban atas kinerja yang dilakukan kepada masyarakat berupa informasi dalam bentuk LAKIP. LAKIP melatarbelakangi lahirnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 mengenai Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang menjelaskan bahwa pengelolaan keuangan daerah yang transparan dan akuntabel dapat menciptakan good governance. Permendagri diatas menunjukkan bahwa akuntabilitas kinerja suatu daerah didukung oleh 2
pengelolaan keuangan daerah yang akuntabel (akuntabilitas keuangan). Namun, dalam beberapa penelitian sebelumnya terdapat perbedaan pandangan mengenai hubungan antara akuntabilitas kinerja dan akuntabilitas keuangan. Penelitian Soleman (2007) menyatakan bahwa akuntabilitas keuangan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap akuntabilitas kinerja. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Riantiarno dan Azlina (2011) yang menguji pengaruh penerapan akuntabilitas keuangan dan ketaatan pada peraturan perundangan terhadap akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, menunjukkan bahwa akuntabilitas keuangan tidak berpengaruh terhadap akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Akuntabilitas publik dapat tercermin dari anggaran berbasis kinerja. Parhusip (2007) menyatakan bahwa akuntabilitas publik mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap implementasi anggaran berbasis kinerja. Anggaran berbasis kinerja diatur dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2003 mengenai keuangan negara atau daerah, bahwa rencana kerja dan anggaran disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai berlandaskan asas kinerja. Anggaran berbasis kinerja bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik terhadap pelaksanaan kebijakan dan program pemerintah. Anggaran daerah yang baik digunakan sebagai dasar dalam pengukuran kinerja serta untuk memperoleh informasi kinerja yang valid dan akurat dalam penyusunan laporan kinerja. Dalam pengukuran kinerja, anggaran yang berorientasi pada hasil menekankan pada pemikiran logis dan rasional dalam menghadapi perubahan organisasi. Organisasi dapat menggunakan perencanaan rasional dalam mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas dalam keseluruhan organisasi (Julnez dan Holzer, 2001). 3
Beberapa penelitian sektor publik di Indonesia mulai menguji pada ukuran indikator dalam pengimplementasian anggaran berbasis kinerja. Izzaty (2011) menjelaskan implementasi anggaran berbasis kinerja dipengaruhi oleh faktor gaya kepemimpinan dan kualitas sumber daya manusia di Badan Layanan Umum. Menggunakan faktor rasional dari Julnez dan Holzer (2001), Asmadewa (2007) melakukan penelitian dengan menguji aspek rasional terhadap implementasi anggaran berbasis kinerja di pemerintah pusat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek rasional sumber daya dan informasi berpengaruh terhadap implementasi anggaran berbasis kinerja, sedangkan faktor rasional orientasi tujuan menunjukkan tidak adanya pengaruh. Penelitian lanjutan dilakukan oleh Achyani dan Cahya (2011), yang masih menggunakan aspek rasional dari Julnez dan Holzer (2001) juga menunjukkan hasil yang sama bahwa implementasi anggaran berbasis kinerja hanya dipengaruhi oleh aspek rasional sumber daya dan informasi. Shick, 1971 dalam Willoughby dan Melkers, 2001 menjelaskan bahwa anggaran berbasis kinerja mempunyai hubungan dengan masalah-masalah institutional dari reformasi anggaran. Pengaruh institutional juga dijelaskan Frumkin dan Galaskiewicz (2004) yang berpandangan bahwa ukuran indikator yang kurang tepat dan tetap digunakan oleh pemda dalam menyusun indikator kinerja disebabkan karena adanya pengaruh tekanan institutional. Tekanan institutional pemerintah daerah dipengaruhi oleh adanya isu institutional isomorfisme (DiMaggio dan Powell, 1983), seperti halnya pemerintah daerah tetap menjalankan peraturan karena adanya pengaruh politik dan masalah legitimasi (isomorfisme koersif), adanya ketidakpastian standar sehingga cenderung untuk 4
meniru-niru (isomorfisme mimetic), dan rasa profesionalisme (isomorfisme normatif). Tekanan institutional isomorfisme yang tinggi dapat menyebabkan implementasi anggaran berbasis kinerja di instansi pemerintah daerah menjadi kurang berjalan secara efektif sehingga dapat berdampak pada akuntabilitas suatu daerah. Anggaran sangat berkaitan erat dengan keuangan. Implementasi anggaran berbasis kinerja yang kurang berjalan dengan efektif maka dapat mempengaruhi kualitas akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas kinerja daerah. Berdasarkan penjelasan serta pertimbangan atas perkembangan penelitian sebelumnya yang masih beragam dan terbatas, maka untuk mengevaluasi implementasi anggaran berbasis kinerja menjadi penting untuk diteliti lebih lanjut. Hal ini untuk mengetahui apakah pendekatan anggaran berbasis kinerja sudah berjalan secara efektif sehingga mampu meningkatkan akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas kinerja suatu daerah. Penelitian ini dilakukan dengan menguji pengaruh implementasi anggaran berbasis kinerja terhadap akuntabilitas sektor publik (keuangan dan kinerja) suatu daerah, dengan menggunakan aspek rasional ( faktor sumber daya, faktor informasi, faktor orientasi tujuan) dan faktor gaya kepemimpinan. Ukuran indikator ini dipilih karena faktor kepemimpinan, sumber daya, orientasi tujuan merupakan bagian dari masalah institusional yang berhubungan dengan anggaran berbasis kinerja (Shick, 1971 dalam Willoughby dan Melkers, 2001). Selain itu, faktor sumber daya, faktor informasi dan faktor orientasi tujuan merupakan bagian dari aspek rasional yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi (Julnez dan Holzer, 2001). Penelitian terdahulu juga masih terbatas menguji pengaruh implementasi anggaran berbasis kinerja terhadap akuntabilitas 5
publik dan belum menguji hubungan implementasi anggaran berbasis kinerja terhadap akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas kinerja. Adanya mixs dari hasil penelitian sebelumnya yang menguji akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas kinerja yang menjadi salah satu dasar penelitian ini dilakukan. Penelitian ini menggunakan pendekatan teori institutional (Scott, 2008) isomorfisme koersif, isomorfisme mimetik dan isomorfisme normatif (DiMaggio dan Powell, 1983). Adanya tekanan institusional dalam pemerintahan merupakan fenomena baru dan teori institutional isomorfisme juga masih jarang digunakan dalam penelitian sektor publik di Indonesia. Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda campuran (mix method). Metoda campuran adalah metoda yang dianggap mampu dalam menjelaskan fenomena institutional isomorfisme di pemerintahan (Creswell, 2012) dan metoda ini juga belum banyak digunakan oleh para peneliti di Indonesia. Penelitian dilakukan di badan, kantor dan dinas di Satuan Kerja Perangkat Desa (SKPD) Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), diantaranya Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Gunung Kidul, dan Kota Yogyakarta. Peneliti memilih melakukan penelitian di DIY karena secara peraturan daerah, wilayah-wilayah tersebut sudah menerapkan implementasi anggaran berbasis kinerja. Sampel dalam penelitian adalah para pejabat pengguna anggaran atau pejabat yang diberi kewenangan atas penggunaan anggaran (Permendagri 13 Tahun 2006 pasal 10). Pengujian dilakukan menggunakan alat analisis Partial Least Square (PLS). 6
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka judul penelitian ini adalah IMPLEMENTASI ANGGARAN BERBASIS KINERJA DAN AKUNTABILITAS SEKTOR PUBLIK, Studi pada Pemerintah DIY. 1.2. Rumusan Masalah Indonesia mulai menggunakan pendekatan anggaran berbasis kinerja sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang keuangan negara atau daerah yang menyatakan bahwa rencana kerja dan anggaran disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai berlandaskan asas kinerja. Anggaran berbasis kinerja bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik terhadap pelaksanaan kebijakan dan program pemerintah. Lahirnya Undang-Undang tersebut diikuti dengan adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan menjelaskan bahwa anggaran daerah yang baik digunakan sebagai dasar dalam pengukuran kinerja serta untuk memperoleh informasi kinerja yang valid dan akurat dalam penyusunan laporan kinerja. Konsep value for money melandasi sistem pengukuran kinerja dan anggaran yang berorientasi pada hasil yang menekankan pada pemikiran logis dan rasional dalam mengelola perubahan organisasi. Implementasi anggaran berbasis kinerja juga merupakan isu teknis yang dilihat dari sudut pandang rasional. Julnez dan Holzer (2001) kemudian mulai memulai memodifikasi organisasi dengan mengaplikasikan perencanaan rasional secara ilmiah dalam rangka mencapai efektivitas dan efisiensi keseluruhan organisasi. 7
Shick, 1971 dalam Willoughby dan Melkers, 2001 menjelaskan anggaran berbasis kinerja berhubungan dengan masalah-masalah institutional dari reformasi anggaran, misalnya kepemimpinan terhadap organisasi, sumber daya, kontinuitas dalam fokus/ orientasi tujuan. Tekanan institutional dipengaruhi oleh adanya ukuran indikator yang kurang tepat, yang tetap digunakan oleh pemerintah daerah dalam menyusun indikator kinerja (Frumkin dan Galaskiewicz, 2004). Beberapa penelitian terdahulu (Asmadewa, 2007; Achyani dan Cahya, 2011; Soleman, 2011; Parhusip, 2007; Riantiarno dan Azlina, 2011) kemudian mulai melakukan penelitian mengenai implementasi anggaran berbasis kinerja dan akuntabilitas di Indonesia. Menggunakan model Willoughby dan Melkers (2001), Julnes & Holzer (2001), serta beberapa penelitian terdahulu di Indonesia maka penelitian ini tertarik untuk menguji pengaruh implementasi anggaran berbasis kinerja dan akuntabilitas (keuangan dan kinerja) dengan menggunakan aspek rasional (sumber daya, informasi dan orientasi tujuan) dan gaya kepemimpinan, dengan teori institutional isomorfisme. Berikut pertanyaan penelitian yang terbangun, yaitu 1. Apakah gaya kepemimpinan, sumber daya, informasi dan orientasi tujuan mempengaruhi implementasi anggaran berbasis kinerja? 2. Apakah implementasi anggaran berbasis kinerja mempengaruhi akuntabilitas (keuangan dan kinerja)? 3. Apakah akuntabilitas keuangan mempengaruhi akuntabilitas kinerja? 4. Apakah terdapat institutional isomorfisme dalam implementasi anggaran berbasis kinerja dan akuntabilitas? 8
1.3. Tujuan Penelitian 1. Menguji secara empiris mengenai pengaruh gaya kepemimpinan, sumber daya, informasi dan orientasi tujuan terhadap implementasi anggaran berbasis kinerja. 2. Menguji secara empiris mengenai pengaruh implementasi anggaran berbasis kinerja terhadap akuntabilitas (keuangan dan kinerja). 3. Menguji secara empiris mengenai pengaruh akuntabilitas keuangan terhadap akuntabilitas kinerja. 4. Untuk menginterpretasikan dan menjelaskan hasil empiris dari penggunaan teori institutional isomorfisme (mimetik, koersif dan normatif). 1.4. Manfaat Penelitian 1. Memberikan bukti empiris pengaruh gaya kepemimpinan, sumber daya, informasi dan orientasi tujuan terhadap implementasi anggaran berbasis kinerja; pengaruh implementasi anggaran berbasis kinerja terhadap akuntabilitas (keuangan dan kinerja), dan pengaruh akuntabilitas keuangan terhadap akuntabilitas kinerja menggunakan teori institutional isomorfisme yang ada di instansi pemerintah. 2. Penelitian ini dapat memberikan masukan pada pemerintah daerah di wilayah DIY mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi implementasi anggaran berbasis kinerja serta keterkaitannya dengan akuntabilitas sektor publik, sehingga dapat digunakan pemerintah untuk mengevaluasi pengimplementasian anggaran berbasis kinerja dan akuntabilitas sektor publik yang efektif, yang berguna untuk meningkatkan kualitas kinerja pemerintah. 9
1.5. Sistematika Penelitian Bab I: Pendahuluan Bab satu berisi mengenai alasan penelitian ini dilakukan yang dijelaskan dalam latar belakang penelitian dan dilanjutkan dengan menjelaskan latar belakang, rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta proses penelitian dilakukan atau sistematika penulisan. Bab II: Tinjauan Teori dan Pengembangan Hipotesis Bab dua menjelaskan mengenai landasan teori yaitu teori institutional isomorfisme (koersif, mimetik dan normatif), implementasi anggaran berbasis kinerja, akuntabilitas, akuntabilitas keuangan, akuntabilitas kinerja, penelitian terdahulu, pengembangan hipotesis, dan model penelitian yang dibangun. Bab III: Metoda Penelitian Bab tiga menjelaskan mengenai desain penelitian, sampel dan populasi, teknik pengolahan data (pendekatan kuantitatif, kualitatif), alat analisis, teknik analisis data (pendekatan kuantitatif dan kualitatif), definisi operasional, pengukuran variabel. Bab IV: Analisis Data Bab empat membahas gambaran umum responden, uji pilot test, analisis data kuantitatif (response rate dan usable response rate; karakteristik sampel; non response bias; analisis data), pengujian hipotesis, pembahasan hasil hipotesis, analisis data kualitatif (prosedur pemilihan responden, analisis data). Bab V: Penutup Bab lima menjelaskan mengenai kesimpulan, keterbatasan penelitian, implikasi penelitian, dan saran bagi penelitian selanjutnya. 10