BAB II GEOLOGI REGIONAL

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II Geologi Regional

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB V SINTESIS GEOLOGI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V SEJARAH GEOLOGI

BAB VI SEJARAH GEOLOGI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB IV SEJARAH GEOLOGI

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

memiliki hal ini bagian

TUGAS ANALISIS GEOLOGI STRUKTUR Laporan Kuliah Lapangan dan UAS. Disusun oleh :

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA TENGAH

Bab II Geologi Regional

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

TEKTONIK BATUAN PRA-TERSIER JAWA BARAT

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI DAN KEGEMPAAN REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI UMUM

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. serentak aktif (Gambar 1). Pada saat ini, Lempeng Samudera Pasifik - Caroline

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Transkripsi:

BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) secara fisiografi membagi Jawa Barat menjadi 6 zona berarah barat-timur (Gambar 2.1) yaitu: Gambar 2.1. Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984) Gunungapi Kuarter Zona ini merupakan batas antara Zona Bogor dan Zona Bandung berupa kumpulan gunungapi berumur Kuarter. Dataran Pantai Jakarta Zona ini memanjang dari timur di daerah Serang sampai Cirebon di barat dengan luas sekitar 40 km. Didominasi oleh endapan aluvial sungai dan lahar, serta dibeberapa tempat terdapat sedimen laut (marine) berumur Tersier yang terlipat lemah. 5

Zona Bogor Terletak di selatan Dataran Aluvial Jakarta berupa antiklinorium dari lapisan Neogen yang terlipat kuat dan terintrusi. Di bagian timur daerah ini dikelilingi oleh gunungapi muda seperti Kompleks Pegunungan Sunda. Zona Bandung (Zona Depresi Tengah Jawa Barat) Zona ini terbentuk oleh depresi antar pegunungan. Pegunungan yang membatasi depresi-depresi tersebut pada umumnya berupa tinggian yang tersusun atas batuan berumur Tersier. Zona ini juga sebagian terisi oleh endapan aluvial dan gunungapi muda yang terpotong oleh perbukitan dan punggungan dari batuan berumur Tersier. Zona Pegunungan Bayah (Zona Punggungan Depresi Tengah) Zona ini terletak di bagian baratdaya Jawa Barat. Morfologi yang dapat dijumpai pada Zona Pegunungan Bayah berupa kubah dan punggungan yang berada pada Zona Bandung. Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat Zona ini terbentang dari Pelabuhan Ratu hingga Nusa Kambangan, Cilacap, dimana bagian pegunungan selatan sendiri dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu, Jampang, Pangalengan, dan Karangnunggal. Batas Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat dengan Zona Bandung terlihat jelas di lembah Sungai Cimandiri. Batas tersebut berupa perbukitan bergelombang pada lembah Sungai Cimandiri, langsung berbatasan dengan dataran tinggi (plateau) Pegunungan Selatan dengan perbedaan ketinggian sekitar 200 meter (op. cit. Pannekoek, 1946). Berdasarkan pembagian zona di atas, daerah penelitian berada pada sebagian Zona Bandung disebelah utara dan sebagian Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat disebelah selatan daerah penelitian. Kedua zona pada daerah penelitian dipisahkan oleh Sungai Cimandiri yang mengalir relatif berarah ENE WSW. 6

2.2 Stratigrafi Regional Martodjojo (1984) membagi daerah Jawa Barat menjadi 3 mandala sedimentasi yaitu Mandala Paparan Kontinen, Mandala Cekungan Bogor dan Mandala Banten. Dasar pembagian mandala ini pada umumnya berdasarkan ciri penyebaran sedimen Tersier dari stratigrafi regional di Jawa bagian barat. Mandala Paparan Kontinen di utara Lokasi mandala ini sama dengan zona Dataran Pantai Jakarta dan terletak paling utara pada Zona Fisiografi van Bemmelen (1949). Mandala ini dicirikan oleh endapan paparan yang umumnya terdiri dari batugamping, batulempung, dan batupasir kuarsa, serta lingkungan pengendapan umumnya laut dangkal dengan ketebalan sedimen dapat mencapai 5000 m. Batas selatan Mandala paparan kontinen ini diperkirakan sama dengan penyebaran singkapan Formasi Parigi dan Cibinong, Purwakarta, sejajar dengan pantai utara. Bagian utara menerus ke lepas pantai, meliputi daerah pemboran minyakbumi di lepas Pantai Utara Jawa. Mandala Cekungan Bogor di selatan dan timur Mandala ini terletak di selatan Mandala Paparan Kontinen yang meliputi beberapa Zona Fisiografi van Bemmelen (1949), yakni: Zona Bogor, Zona Depresi Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat. Mandala sedimentasi ini dicirikan oleh endapan aliran gravitasi, yang kebanyakan berupa fragmen batuan beku dan batuan sedimen, seperti: andesit, basalt, tuf, dan batugamping. Ketebalannya diperkirakan lebih dari 7000 m. Mandala Banten di barat Sebenarnya Mandala sedimentasi ini tidak begitu jelas, karena sedikitnya data yang diketahui. Pada umur Tersier Awal, mandala ini memiliki ciri-ciri yang mirip Cekungan Bogor, tetapi pada akhir Tersier cirinya lebih mirip paparan kontinen. Daerah penelitian merupakan bagian dari Cekungan Bogor. Stratigrafi Cekungan Bogor (Gambar 2.2) dari tua ke muda terdiri dari Formasi Ciletuh, 7

Formasi Bayah, Formasi Batuasih, Formasi Rajamandala, Formasi Jampang, Formasi Citarum, Formasi Saguling, Formasi Bantargadung, Formasi Cigadung, Formasi Cantayan, Formasi Bentang, Formasi Beser, Formasi Tambakan, dan Endapan Gunungapi Muda. Formasi Ciletuh terdiri dari perselingan lempung dan pasir dengan sisipan breksi berumur Eosen. Formasi Bayah diendapkan selaras dengan Formasi Ciletuh, terdiri dari batupasir konglomeratan dominan kuarsa pada lingkungan darat, berumur Oligosen Awal Tengah. Formasi Batuasih, diendapakan tidak selaras di atas Formasi Bayah, terdiri dari batulempung hitam dan serpih yang merupakan endapan laut dangkal. Formasi Rajamandala diendapakan saling menjari di atas Formasi Batuasih, berupa batugamping berumur Oligosen Miosen. Formasi Jampang berkolerasi dengan Formasi Citarum yang berumur Miosen Awal. Formasi Jampang terdiri dari breksi dan tuf, sedangkan Formasi Citarum berupa tuf dan greywacke. Formasi Saguling diendapakan secara selaras di atas formasi di bawahnya, berupa breksi yang berumur Miosen Tengah. Formasi Bantargadung menutup selaras di atas Formasi Saguling berupa batulempung dan greywacke pada Miosen Tengah bagian akhir. Formasi Cigadung di bagian selatan terdiri dari breksi yang dominan berumur Miosen Akhir. Formasi Cantayan di bagian utara terdiri dari breksi berselingan dengan batulempung dan batupasir yang diendapakan pada lingkungan laut dalam. Formasi Bentang diendapkan ketika daerah pegunungan di selatan mengalami penurunan dan genang laut pada Pliosen. Formasi Beser, terdapat di daerah pegunungan bagian utara akibat terjadinya aktivitas gunungapi pada Pliosen. Formasi Tambakan dan Endapan Gunungapi Muda terjadi akibat aktivitas gunungapi yang besar pada awal Pleistosen Resen. 8

Mandala Cekungan Bogor menurut Martodjojo (1984, 1989) terdiri dari tiga siklus pengendapan. Pertama-tama diendapkan sedimen laut dalam, kemudian sedimen darat yang berangsur berubah menjadi sedimen laut, dan yang terakhir diendapkan sedimen dengan mekanisme aliran gravitasi. Siklus pertama dan kedua sumber sedimen berasal dari utara, sedangkan siklus ketiga berasal dari selatan. Siklus pertama Pada siklus ini diendapkan Formasi Ciletuh yang terdiri dari perselingan lempung dan pasir dengan sisipan breksi, yang diendapkan dengan mekanisme arus gravitasi diatas endapan melange. Siklus ini terjadi pada Kala Eosen, ketika cekungan ini berada di muka busur vulkanik (cekungan muka busur). Endapan tertua di Cekungan Bogor ini berumur Eosen awal yang dijumpai di Teluk Ciletuh (Martodjojo, 1984). Siklus kedua Siklus kedua terjadi pada Kala Eosen - Miosen Awal yang berturut-turut diendapkan endapan Formasi Bayah pada Oligosen Awal Tengah pada lingkungan fluvial deltaic, lalu secara tidak selaras diatasnya diendapkan Formasi Batuasih yang terdiri dari batulempung hitam dan serpih yang merupakan endapan laut dangkal. Formasi ini saling menjari dengan Formasi Rajamandala yang berupa batugamping pada lingkugan pengendapan laut dangkal, dengan umur satuan Oligosen Miosen. Siklus ini juga berasal dari selatan. Komponen kuarsa yang dominan pada Formasi Bayah memberikan indikasi bahwa sumber sedimentasi pada kala tersebut berasal dari daerah yang bersifat granitis, kemungkinan besar berasal dari Paparan Sunda yang berasal dari utara. Daerah utara Sesar Cimandiri ini pada kala Oligosen Miosen diperkirakan merupakan periode yang didominasi oleh sedimen vulkanik yang berasosiasi dengan sistem busur kepulauan (Garrad, 1991 op. cit Martodjojo, 1984). Siklus ketiga Siklus ini merupakan siklus terakhir yang berasal dari selatan. Pada kala Miosen Awal di bagian terbawah diendapkan breksi dan tuf dari 9

Formasi Jampang pada kipas atas yang merupakan endapan akibat arus gravitasi, di bagian utara. Formasi yang berkorelasi dengan Formasi Jampang adalah Formasi Citarum yang berupa tuf dan greywacke yang diendapkan pada kipas bawah. Kedua Formasi yang berkorelasi ini merupakan suatu bagian sebuah sistem submarine fan. Formasi Jampang mewakili bagian upper fan dan Formasi Citarum mewakili lower fan. Pada Miosen Tengah diendapkan Formasi Saguling berupa breksi yang ditutupi secara selaras oleh Formasi Bantargadung berupa batulempung dan greywacke berumur Miosen Tengah bagian akhir. Pada kala Miosen akhir, Cekungan Bogor masih terletak pada belakang busur. Pada kala ini diendapkan Formasi Cigadung di bagian selatan yang terdiri dari breksi yang dominan dan Formasi Cantayan di bagian utara dengan cirri breksi berseling dengan batulempung dan batupasir. Keduanya diendapkan pada lingkungan pengendapan laut dalam dengan mekanisme arus gravitasi. Cekungan Bogor sebagian sudah merupakan daratan yang ditempati oleh puncak puncak gunung api pada kala Pliosen. Cekungan Bogor pada kala ini merupakan jalur magmatis (busur vulkanik). Daerah pegunungan di selatan mengalami penurunan dan genang laut, dan di tempat ini terendapkan Formasi Bentang. Sedang di bagian utara terjadi aktivitas gunung api yang menghasilkan Formasi Beser. Pada Plistosen Resen, geologi Pulau Jawa sama dengan geologi saat ini. Aktivitas gunung api yang besar terjadi pada permulaan Plistosen yang menghasilkan Formasi Tambakan dan endapan gunung api muda saat ini. Pada permulaan kala ini terjadi perpindahan pusat gunung api dari selatan ke tengah Pulau Jawa yang merupakan gejala umum yang terjadi di seluruh gugusan gunung api sirkum pasifik (Karig & Sharman, 1955, op. cit Martodjojo, 1984). Daerah penelitian merupakan bagian dari Cekungan Bogor yang tersusun atas Formasi Bayah, Formasi Rajamandala, Formasi Citarum, Formasi Jampang dan endapan vulkanik muda. 10

U S Gambar 2.2. Penampang stratigrafi terpulihkan Utara Selatan di Jawa Barat (Martodjojo, 1984) 2.3 Tektonik dan Struktur Geologi Regional Tatanan tektonik dan struktur geologi di daerah Jawa bagian barat dipengaruhi oleh tektonik kepulauan Indonesia yang merupakan titik pertemuan antara tiga lempeng yaitu lempeng Eurasia yang relative lebih diam, lempeng Samudra Pasifik yang bergerak relatif kearah baratlaut dan lempeng Indo- Australia yang relatif bergerak kearah utara (Hamilton, 1979). Berdasarkan rekonstruksi geodinamika (Hamilton, 1979), subduksi lempeng Australia kebawah lempeng Eurasia yang aktif pada Eosen telah menghasilkan pola penyebaran batuan volkanik Tersier di Pulau Jawa berarah barat timur. Terbentuk juga cekungan tengah busur (intra arc basin) dan cekungan belakang busur (back-arc basin) di Jawa Barat bagian Utara. Cekungan belakang busur ini secara prograsif 11

semakin berpindah kea rah utara sejalan dengan perpindahan jalur gunungapi selama Tersier hingga Kuarter (Soeria-Atmadja, dkk, 1944). Gambar 2.3. Pola struktur Jawa Barat (Plunggono dan Martodjojo, 1994) Martodjojo (1984) berpendapat bahwa pada dasarnya, di daerah Jawa terdapat tiga arah kelurusan struktur yang dominan (Gambar 2.3). Pola Meratus Pola ini berarah timur laut-barat daya (NE-SW) terbentuk pada 80 sampai 53 juta tahun yang lalu ( Kapur Akhir Eosen Awal ). Pola ini diwakili oleh Sesar Cimandiri di Jawa Barat, yang dapat diikuti ke timurlaut sampai batas timur Cekungan Zaitun dan Cekungan Biliton. Dari data stratigrafi dan tektonik regional, dapat disimpulkan bahwa Pola Meratus terbentuk pada 80-52 juta tahun yang lalu (Kapur- Paleosen) dan merupakan pola tertua di Jawa. Pola Meratus dihasilkan oleh tatanan tektonik kompresif akibat Lempeng Samudera India yang menunjam ke bawah Lempeng Benua Eurasia, dengan penunjaman berorientasi timurlaut-baratdaya. Arah tumbukan dan penunjaman yang menyudut menjadi penyebab sesar-sesar utama pada Pola Meratus bersifat sesar mendatar mengiri. 12

Pola Sunda Pola Sunda berarah utara-selatan (N-S) terbentuk 53 sampai 32 juta tahun yang lalu (Eosen Awal Oligosen Awal). Pola ini diwakili oleh sesar-sesar yang membatasi Cekungan Asri, Cekungan Sunda, dan Cekungan Arjuna. Dari data seismik di Cekungan Zaitun dapat disimpulkan bahwa Pola Sunda mengaktifkan kembali Pola Meratus pada umur Eosen Akhir- Oligosen Akhir, sehingga Pola Sunda yang berarah utara-selatan merupakan pola yang lebih muda, terbentuk pada 53-32 juta tahun yang lalu (Eosen-Oligosen Awal). Kelurusan Pola Sunda umumnya terdapat di bagian barat wilayah Jawa Barat dengan pola regangan yang dianggap tidak mempunyai hubungan langsung dengan evolusi Cekungan Bogor. Perubahan tatanan tektonik dari gaya yang bersifat kompresif menjadi gaya yang bersifat regangan kemungkinan berkaitan dengan perubahan kecepatan pemekaran lantai Samudera India, dari 15-17.5 cm/th pada 80-52 juta tahun yang lalu (Kapur-Eosen) menjadi 3-7 cm/th pada 53-32 juta tahun yang lalu (Eosen-Oligosen Akhir). Pola Jawa Pola ini berarah barat-timur (E-W) terbentuk sejak 32 juta tahun yang lalu, diwakili oleh sesar-sesar naik seperti Baribis, serta sesar-sesar naik di dalam Zona Bogor pada zona fisiografi van Bemmelen (1949). Pola Jawa yang berarah barat-timur merupakan pola yang termuda yang mengaktifkan kembali seluruh pola sebelumnya. Pada umur Oligosen Akhir-Miosen Awal (32 juta tahun yang lalu), jalur tunjaman baru terbentuk di selatan Jawa yang menerus ke Sumatra (Karig, 1979 op. cit. Pulunggono dan Martodjojo, 1994) yang mengakibatkan Pulau Jawa mengalami gaya kompresi yang menghasilkan Zona Anjakan-Lipatan di sepanjang Pulau Jawa dan berlangsung sampai sekarang. Pola struktur yang berkembang di Jawa Barat merupakan pola Meratus yang diwakili oleh Sesar Cimandiri yang masih dapat diikuti ke timur laut. Pola 13

Sunda umumnya berkembang di bagian barat wilayah Jawa Barat, sedangkan pola Jawa yang berkembang diwakili oleh sesar-sesar naik. Selain itu, di Jawa Barat juga hadir pola-pola struktur Sumatra yang berarah baratlaut-tenggara tapi tidak terlalu dominan. Daerah penelitian terletak di Pulau Jawa yang merupakan bagian dari sistem busur kepulauan yang dapat diikuti kemenerusannya mulai dari Burma di baratlaut, Andaman, Sumatra, sampai ke Lengkung Banda di Indonesia bagian timur (Koesoemadinata, 1985). Sistem busur kepulauan ini merupakan hasil interaksi konvergen antara Lempeng Samudera Hindia-Australia dengan Lempeng Eurasia. Interaksi ini terjadi dengan Lempeng Samudera Hindia-Australia bergerak ke utara yang menunjam ke bawah tepian benua Eurasia yang relatif tidak bergerak (Asikin, 1992). Menurut Katili (1975) op. cit. Asikin (1992) sebagai akibat dari interaksi konvergen ini terbentuk jalur subduksi yang berkembang semakin muda ke arah baratdaya-selatan dan ke arah utara. Pada umur Kapur-Paleosen, jalur subduksi dapat diikuti mulai dari Jawa Barat Selatan (Ciletuh), Pegunungan Serayu (Jawa Tengah), dan Laut Jawa bagian timur ke Kalimantan Tenggara, dengan jalur magmatik menempati lepas Pantai Utara Jawa. Pada Zaman Tersier, jalur subduksi membentuk punggungan bawah permukaan laut yang terletak di selatan Pulau Jawa. Hal ini menunjukkan adanya pergerakan jalur subduksi ke arah selatan dari Zaman Kapur Akhir hingga Kala Oligo-Miosen. Pada Zaman Neogen sampai Kuarter jalur magmatis Jawa bergerak ke arah utara, namun dengan jalur subduksi yang relatif diam. Hal ini mengindikasikan penunjaman yang relatif lebih landai pada Zaman Neogen dibandingkan dengan Zaman Paleogen (Satyana dan Purwaningsih, 2003). Menurut Koesoemadinata (1985) Jawa Barat memiliki tatanan tektonik yang rumit dan tidak memiliki arah umum tektonik, seperti di Sumatra. Pada bagian timur Jawa Barat pola strukturnya berarah baratlaut-tenggara, pada bagian barat di daerah Banten berarah baratdaya, sedangkan di dataran rendah Jakarta berarah utara-selatan. Di bagian tengah dari Jawa Barat sebelah barat dari Bandung, pola strukturnya berarah WSW-ENE seperti terlihat pada punggungan Rajamandala menerus ke Sukabumi sampai ke Lembah Cimandiri di Pelabuhan 14

Ratu. Tatanan tektonik yang rumit ini dapat mencerminkan struktur batuan dasar yang mungkin terdiri dari blok-blok yang tersesarkan dan saling bergerak satu sama lain. 15