BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Status Nutrisi 2.1.1. Definisi Status Nutrisi Menurut Supariasa dkk. (2002), status nutrisi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan nutrisi dalam bentuk variabel tertentu. Sedangkan menurut Dwyer (2002) status nutrisi (nutritional status) adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. 2.1.2. Tingkatan Status Gizi Menurut Suyatno (2009), sekurang-kurangnya dikenal dua macam status nutrisi, yakni. 1. Status nutrisi normal, merupakan keadaan tubuh yang mencerminkan keseimbangan antara konsumsi dan penggunaan gizi oleh tubuh, keduanya berlangsung dengan adekuat. 2. Malnutrisi, merupakan keadaan patologis akibat kekurangan atau kelebihan dari satu atau lebih zat gizi secara relatif maupun absolut. Ada empat bentuk malnutrisi, yaitu. a. undernutrion: kekurangan konsumsi pangan untuk periode tertentu b. spesific deficiency: kekurangan konsumsi pangan yang mengakibatkan defisiensi zat gizi tertentu c. overnutrition: kelebihan konsumsi pangan untuk periode tertentu d. imbalance: keadaan disproporsi konsumsi pangan yang menyebabkan ketidakseimbangan zat gizi. Berdasarkan baku harvard, status gizi dapat dibagi menjadi empat (Supariasa dkk., 2000). 1. gizi lebih atau overweight, termasuk kegemukan dan obesitas 2. gizi baik atau well nourish
3. gizi kurang atau underweight yang mencakup mild dan moderate PCM (Protein Calorie Malnutrition) 4. gizi buruk atau severe Protein Calorie Malnutrition (PCM), termasuk marasmus, marasmik-kwasiokor dan kwasiokor. Untuk menentukan klasifikasi status gizi diperlukan batasan-batasan yang disebut ambang batas. Ambang batas ini berbeda-beda, tergantung kesepakatan ahli gizi. Oleh karena itulah, dikenal pula klasifikasi Gomez, Wellcome Trust, Waterlow, Jelliffe, Bengoa, dan lain sebagainya (Supariasa dkk., 2002). 2.1.3. Faktor yang Mempengaruhi Status Nutrisi Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi status nutrisi, di antaranya (Alimul dan Uliyah, 2008; Sediaoetama, 2006; Supariasa dkk., 2002). a. Pengetahuan Tingkat pengetahuan dari individu maupun orang yang mempersiapkan makanan untuk individu yang bersangkutan akan mempengaruhi status nutrisi. Pengetahuan dan informasi yang kurang berimbas pada pengertian yang salah mengenai kebutuhan nutrisi. Alhasil, status nutrisi optimal tidak tercapai atau justru terjadi kelebihan nutrisi. b. Prasangka Prasangka terhadap bahan-bahan makanan akan mempengaruhi status nutrisi. Hal ini mencakup prasangka buruk terhadap bahan makanan bergizi tinggi atau sebaliknya. Sebagai contoh, karena merupakan panganan yang murah, di beberapa daerah tempe dianggap sebagai makanan yang tidak layak. Padahal, tempe mengandung protein nabati yang cukup tinggi. c. Kebiasaan Adanya kebiasaan atau pantangan yang merugikan terhadap makanan tertentu juga dapat mempengaruhi status nutrisi. Misalnya, larangan mengkonsumsi ikan karena dianggap dapat menyebabkan penyakit cacingan. Padahal, ikan merupakan sumber protein dan mineral.
d. Kesukaan Kesukaan yang berlebihan terhadap suatu jenis makanan mengakibatkan kurangnya variasi makanan. Hal ini tentu saja bukan sesuatu yang baik mengingat tidak ada satu bahan makanan pun yang mengandung semua nutrien yang diperlukan tubuh. Saat ini, remaja lebih menyukai minuman bersoda dan makanan cepat saji, seperti pizza, hamburger, maupun fried chicken. Padahal, makanan sejenis ini mengandung banyak lemak, garam, dan gula yang tentu saja kurang bagus untuk kestabilan status nutrisi. e. Ekonomi Untuk menyediakan makanan dibutuhkan pendanaan. Oleh karena itu, umumnya masyarakat dengan kehidupan ekonomi menengah ke atas lebih mampu mencukupi kebutuhan nutrisinya. f. Status kesehatan Status kesehatan mempengaruhi pola makan. Nafsu makan akan menurun pada keadaan di mana terdapat kelainan organik maupun psikis. Di samping itu, adanya penyakit pola makan seperti anoreksia nervosa dan bulimia nervosa juga turut mempengaruhi status nutrisi. g. Alkohol dan obat Penggunaan alkohol dan obat-obat tertentu menyebabkan defisiensi nutrisi. Mekanisme yang berlangsung bisa beragam, mulai dari hambatan absorbsi sampai hambatan sintesis nutrien. Obat seperti steroid dan preparat estrogen menimbulkan akumulasi lemak dalam tubuh. h. Faktor psikologis Faktor psikologis meliputi motivasi individu untuk makan makanan seimbang dan persepsi individu mengenai diet harian. Bagi sebagian orang, makanan memiliki nilai simbolik. Contohnya, minum susu dikaitkan dengan kelemahan. Menurut Dwyer (2005), beberapa faktor yang bisa mengubah status nutrisi seseorang yaitu. a. Faktor fisiologis
Masa pertumbuhan, aktivitas fisik yang berlebihan, kehamilan, dan laktasi meningkatkan kebutuhan terhadap energi dan nutrien esensial lain. Apabila tidak dilakukan penyesuaian asupan nutrisi pada masa-masa tersebut, maka akan terjadi penurunan status nutrisi. Berbeda dengan hal tersebut, kebutuhan nutrisi pada geriatri justru cenderung lebih kecil dibandingkan kelompok dewasa. b. Komposisi diet Komposisi diet mempengaruhi availabilitas dan penggunaan nutrien. Sebagai contoh, absorbsi besi mungkin akan terganggu oleh makanan kaya kalsium atau kadar asam askorbat yang rendah. Akibatnya, orang yang bersangkutan akan mengalami defisiensi besi meskipun asupan besi adekuat. 2.1.4. Menilai Status Nutrisi Beberapa fungsi penilaian status nutrisi menurut Dwyer (2005), yaitu. 1. skrining malnutrisi 2. menilai diet dan data-data lain untuk menentukan ada tidaknya malnutrisi serta mengidentifikasi penyebab malnutrisi 3. perencanaan terapi nutrisi Menurut WHO, beberapa metode yang bisa dipakai untuk mengetahui keadaan gizi suatu kelompok, yaitu (Bardosono, 2009). 1. Survei: digunakan untuk menentukan data dasar gizi dan/atau menentukan status gizi kelompok populasi tertentu atau menyeluruh, dengan metode cross sectional. 2. Surveilans: dengan pemantauan berkelanjutan dari status gizi populasi tertentu. Data dikumpulkan, dianalisis, digunakan untuk jangka waktu yang panjang sehingga dapat diketahui penyebab malnutrisi. 3. Penapisan: untuk mengidentifikasi individu malnutrisi yang memerlukan intervensi, dengan cara membandingkan hasil pengukuran individu berdasarkan baku rujuk.
Penilaian status gizi bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Metode langsung lebih terfokus kepada individu dan kriteria objektif sedangkan metode tidak langsung cenderung dipakai di komunitas untuk merefleksikan keadaan nutrisi. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi 4 penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Sementara itu, penilaian status gizi secara tidak langsung meliputi survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi (Supariasa dkk., 2002). Antropometri meliputi pengukuran tinggi badan, berat badan, lingkar lengan, lingkar kepala (pada bayi dan balita). Untuk mengukur status gizi secara adekuat, sejumlah penilaian spesifik juga diperlukan, misalnya Indeks Massa Tubuh (IMT), rasio Lingkar Pinggang Pinggul (LPP), Berat Badan Relatif (BBR). Pengukuran seperti lipatan triseps juga dapat dipakai guna mengkalkulasi lemak atau protein tubuh (Supariasa dkk., 2002). Metode biokimiawi atau biofisik digunakan untuk mengetahui terjadinya defisiensi berupa pengurangan derajat penyimpanan zat gizi dalam jaringan atau cairan tubuh atau pengukuran fungsi fisiologis yang berkaitan dengan zat gizi tertentu. Metode klinis digunakan untuk mendeteksi tanda klinis dan anatomis yang merupakan manifestasi dari malnutrisi. Metode ini bisa dilakukan dengan menilai riwayat medis atau pemeriksaan fisik (Supariasa dkk., 2002). Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data seperti ini berguna untuk memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga, dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi. Berdasarkan jenis data yang dikumpulkan, survei konsumsi dibagi menjadi metode kuantitatif dan metode kualitatif. Proses penimbangan dan recall merupakan contoh dari metode kuantitatif sedangkan riwayat dan frekuensi makan merupakan contoh metode kualitatif (Supariasa dkk., 2002). Metode statistik vital mengidentifikasi hasil (morbiditas dan mortalitas) yang diakibatkan oleh defisiensi gizi berdasarkan statistik kesehatan. Sedangkan metode
faktor ekologi mengidentifikasi faktor nongizi yang dapat mempengaruhi status gizi masyarakat, meliputi kondisi fisik, biologis, dan lingkungan budaya (Supariasa dkk., 2002). 2.2. Menarche 2.2.1. Defenisi Menarche Menarche merupakan periode menstruasi yang terjadi untuk pertama kali. Menarche adalah kejadian akhir dari manifestasi fisik selama perkembangan gonad (Uche-Nwachi dkk., 2007). Sementara itu, menstruasi merupakan peristiwa keluarnya darah dari vagina seorang wanita akibat luruhnya lapisan endometrium. Menstruasi terjadi secara berkala dan dipengaruhi oleh hormon-hormon reproduksi, seperti Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH), Follicle Stimulating Hormone (FSH), Luteinizing Hormone (LH), estrogen, dan progesteron. Peranan menarche dalam sebuah siklus tidak menyatakan kemampuan reproduksi seseorang. Namun, secara umum menarche mendahului kesuburan dalam waktu yang relatif singkat (Silva, 2005). Kesimpulan tersebut dibuat berdasarkan fakta bahwa sampai beberapa saat setelah menarche, siklus yang terjadi adalah siklus anovulasi (MacKibben, 2003). 2.2.2. Perubahan Hormonal Pada kehamilan 10 minggu, GnRH sudah dihasilkan oleh hipotalamus. LH serta FSH juga telah dihasilkan oleh kelenjar hipofisis. Baik pada fetus pria maupun wanita, level GnRH sama-sama meningkat. Pada saat kelahiran, level GnRH dan hormon seks steroid tetap tinggi. Konsentrasi hormon tersebut menurun pada beberapa minggu pertama kelahiran dan tetap rendah selama masa prepubertas. Unit hipotalamus-hipofisis ditekan oleh level steroid gonadal yang sangat rendah (Rebar, 2002). Pada awal masa pubertas, terjadi peningkatan sensitivitas LH terhadap GnRH. Pada wanita, konsentrasi gonadotropin meningkat pada malam hari yang
disusul dengan kenaikan estradiol pada keesokan harinya. Penundaan sekresi estrogen dikarenakan adanya jalur sintesis tambahan untuk estrogen, yaitu aromatisasi dari androgen. Estron yang sebagian disekresikan oleh ovarium dan sebagian lainnya dihasilkan dari konversi estradiol serta androgen juga meningkat pada awal pubertas hingga pertengahan masa pubertas. Sejalan dengan tanjakan masa pubertas, estrogen yang dihasilkan oleh ovarium akan menjadi lebih dominan (lebih penting) daripada estrogen yang dihasilkan dari aromatisasi androgen (Rebar, 2002). 2.2.3. Fisiologi Menarche Terjadinya menarche didukung penuh oleh kematangan hormon reproduksi pada tubuh seorang wanita (Goldman, 2000). Menarche adalah hasil dari proliferasi endometrium sebagai respon terhadap sekresi hormon reproduksi di ovarium (Silva, 2005). Sekresi hormon di ovarium terjadi akibat hormon yang dilepas oleh hipofisis anterior, yaitu FSH dan LH. Sementara itu, sekresi hormon hipofisis anterior dikontrol oleh pelepasan GnRH dari hipotalamus. Menarche muncul pada masa pubertas, yakni peralihan dari anak-anak ke dewasa. Pubertas berarti dimulainya kehidupan seksual. Sementara menarche berarti dimulainya menstruasi. Periode pubertas terjadi karena kenaikan sekresi hormon gonadotropin oleh hipofisis yang terjadi secara perlahan dan telah dimulai pada tahun ke-8 kehidupan (Guyton dan Hall, 1997). Puncak pubertas yakni saat menarche, pada usia 11 sampai 16 tahun. Selama masa fetus, aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium distimulasi dengan sangat minimal oleh hormon plasenta. Efek dari stimulasi ini bermanifestasi sangat minimal pula selama bayi (Uche-Nwachi dkk., 2007). Pada masa kanak-kanak, hipotalamus mensekresikan GnRH tetapi dalam jumlah yang tidak bermakna. Sejumlah eksperimen menunjukkan bahwa sesungguhnya hipotalamus mampu mensekresikan GnRH. Hanya saja, pada masa kanak-kanak tidak ada sinyal dari bagian tertentu di otak yang dikirim ke hipotalamus. Oleh karena itu, belakangan diyakini bahwa menarche dirangsang oleh beberapa proses pematangan yang
berlangsung di mana pun di daerah otak selain hipotalamus, bisa jadi di sistem limbik. (Guyton dan Hall, 1997). Hipotesis lain menyatakan bahwa rendahnya kadar GnRH merupakan akibat dari unsur intrinsik penghambat susunan saraf pusat yang memiliki kemampuan menekan pulsasi GnRH melalui neurotransmitter GABA (Uche-Nwachi, 2007). Pusat penghambat tersebut terletak di daerah otak yang lebih tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi menarche, seperti gaya hidup dan status nutrisi bekerja untuk memodulasi pusat penghambat ini (Silva, 2005). Karakteristik seks sekunder muncul pada anak gadis mulai usia 8 tahun. Hal ini terealisasi pada pertumbuhan payudara, bulu pada aksila dan kemaluan, serta akumulasi lemak tubuh. Perubahan ini menandakan dimulainya sekresi GnRH. Parameter aktivasi GnRH yang bisa diperiksa yaitu hormon hipofisis LH yang disekresikan secara pulsatil dan mencapai puncak pada malam hari (MacKibben, 2003). Menurut Rebar (2002) menarche terjadi karena proses kompleks di susunan saraf pusat, khususnya otak yang menjelaskan perubahan pada aksis hipotalamushipofisis. Perubahan yang pertama adalah penurunan sensitivitas terhadap efek inhibisi oleh kadar steroid seks yang rendah. Kedua, pada akhir masa pubertas terjadi maturasi dari respon stimulasi positif hormon gonadotropin terhadap estrogen. 2.2.4. Faktor yang Mempengaruhi Menarche Menurut Adair (2001), ada tiga faktor yang mempengaruhi menarche yaitu: 1. Faktor keturunan Menarche juga ditentukan oleh pola genetik dalam keluarga, sebagaimana menurut Silva (2005) bahwa usia menarche dari ibu turut memberikan kontribusi terhadap usia menarche anak. Namun, hubungan antara usia menarche sesama saudara kandung cenderung lebih erat daripada antara ibu dan anak perempuannya.
2. Keadaan gizi Semakin baik keadaan nutrisi maka semakin cepat usia menarche. Beberapa ahli mengatakan anak perempuan dengan jaringan lemak yang lebih banyak, lebih cepat mengalami menarche dari pada anak yang kurus. 3. Kesehatan umum Badan yang lemah atau penyakit yang diderita seorang anak gadis seperti penyakit kronis, terutama yang mempengaruhi masukkan makanan dan oksigenasi jaringan dapat memperlambat menarche. Menurut Rebar (2002), menarche dipengaruhi oleh faktor genetik, status nutrisi, kesehatan secara umum, letak geografis, paparan terhadap cahaya, serta status psikologis. Remaja putri yang hidup di perkotaan atau tinggal dekat dengan khatulistiwa cenderung mengalami menarche pada usia yang lebih dini. Menurut MacKibben (2003), ada 4 faktor yang dapat mempengaruhi menarche, yaitu. 1.Faktor ras atau suku bangsa Sebagai contoh, di Amerika Serikat usia menarche paling cepat pada ras Hispanics, lebih lambat pada kulit hitam dan paling lambat pada Caucasian. 2. Faktor iklim Menarche timbul lebih lambat di daerah pedesaan dibandingkan dengan perkotaan. Menarche lebih cepat di daerah dataran rendah. 3.Cara hidup Olahraga atau latihan fisik yang berat dapat memperlambat menarche dan mengganggu fungsi menstruasi. 4. Lingkungan Rangsangan-rangsangan yang kuat dari luar, misalnya film seks, buku dan majalah tentang seks, godaan serta rangsangan dari kaum pria atau pengamatan secara langsung terhadap perbuatan seksual akan masuk ke pusat pancaindera. Kemudian diteruskan melalui striae terminalis menuju pusat yang disebut pubertas inhibitor. Rangsangan yang terus menerus ini dilanjutkan menuju hipotalamus lalu menuju
hipofisis pars anterior, melalui sistem portal. Hipofisis anterior mengeluarkan hormon yang merangsang ovarium untuk mensekresikan hormon spesifik berupa estrogen dan progesteron. Kedua hormon ini akan memberikan umpan balik yang mengakibatkan pengeluaran hormon menjadi berfluktuasi. Pengeluaran hormon tersebut mempengaruhi kematangan organ-organ reproduksi. Menurut Silva (2005), gaya hidup juga memiliki pengaruh dalam induksi menarche. Remaja dengan gaya hidup modern, misalnya mereka yang sering menonton televisi dan jarang beraktivitas mengalami menarche yang lebih dini. Dalam penelitian yang dilakukan terhadap gadis remaja di India, didapatkan beberapa faktor yang mempengaruhi usia menarche, antara lain (Bagga dan Kulkarni, 2000). 1. Sosioekonomi Remaja putri dari keluarga dengan tingkat ekonomi kurang akan mendapatkan menarche 12 bulan lebih lambat daripada mereka yang berasal dari keluarga berkehidupan menengah ke atas. Namun, hasil ini dinilai kurang signifikan karena dipengaruhi oleh konsumsi protein, yang mana semakin banyak mengkonsumsi protein maka semakin dini usia menarche (Lemeshow, 2008). 2. Pola makan Nutrisi merupakan faktor utama yang berperan. Penelitian menunjukkan bahwa gadis vegetarian mengalami menarche 6 bulan lebih lambat daripada nonvegetarian. 3. Aktivitas fisik Remaja putri dengan aktivitas fisik yang berlebihan, misalnya atlet cenderung mengalami menarche di atas usia 12-13 tahun. Hal ini disinyalir berhubungan dengan inhibisi hormon reproduksi yang menginduksi menstruasi. 4. Indeks Massa Tubuh (IMT) Sebagian besar remaja dengan usia menarche dini (9-11 tahun) memiliki kelebihan berat badan sebesar 5 kg dibanding dengan rata-rata berat badan remaja seusianya. Di sisi lain, gadis dengan menarche terlambat kekurangan berat badan
sebesar 4,5 kg. Penelitian menunjukkan pula bahwa tinggi badan memiliki asosiasi positif terhadap usia menarche dini. Sebuah penelitian analitik di Yogyakarta menunjukkan hasil bahwa status gizi serta tingkat pendidikan ibu memiliki hubungan yang bermakna dengan usia menarche yang terjadi lebih dini. Dalam hal ini, tingkat pendidikan ibu memberikan pengaruh tidak langsung terhadap status nutrisi, yakni dihubungkan dengan ragam makanan harian yang disiapkan. Sementara itu, variabel independen lainnya seperti tingkat pendidikan ayah, usia menarche ibu, dan tingkat pendapatan tidak memiliki hubungan yang bermakna (Widada, 2002). 2.3. Hubungan Status Nutrisi dengan Usia Menarche Nutrisi memiliki peran penting dalam proses menarche (Goldman, 2000). Menarche terjadi lebih dini pada remaja dengan status nutrisi yang baik (Acharya dkk., 2006). Menurut Buyken dkk. (2009), nutrisi yang baik tidak menginisiasi proses pubertas. Proses pubertas terjadi akibat rangsang hormonal dan dimulai tanpa pengaruh dari nutrisi. Nutrisi yang baik hanya akan mempercepat proses tersebut. Sebuah hipotesis mengungkapkan bahwa seorang remaja putri harus mencapai berat badan sekurang-kurangnya 47,8 kg untuk bisa mengalami menarche. Selain itu, lemak tubuh harus meningkat hingga 23,5% dari lemak saat prepubertas. Kedua hal ini dikaitkan dengan status nutrisi. Namun, pada wanita obesitas dengan penyakit seperti diabetes, menarche akan terjadi lebih lambat. Hal ini dikarenakan penggunaan nutrien yang tidak sempurna (Rebar, 2002). Pada remaja dengan kelebihan nutrisi (kelebihan berat badan), menarche juga terjadi lebih dini. Hal ini diasosiasikan dengan kadar leptin yang disekresikan oleh kelenjar adiposa. Peningkatan kronik dari konsentrasi leptin di perifer turut memacu peningkatan serum Luteinizing Hormone (LH), baik pada siang maupun malam hari. Menurut Wilson dkk. (2003) dalam Uche-Nwachi dkk. (2007), LH merupakan hormon yang dihasilkan di hipofisis anterior dan dapat dijadikan parameter menilai pubertas pada wanita. Serum LH yang meningkat lebih dini dari seharusnya
berimbas kepada peningkatan serum estradiol yang kemudian berakhir dengan menarche dini (Uche-Nwachi dkk., 2007). Menurut Matkovic dkk. (1997), leptin sebagai produk dari gen ob pada penderita obesitas mempengaruhi maturasi ovarium. Hasil tersebut didapatkan dari penelitian in vivo terhadap tikus, sementara penelitian pada manusia belum dilakukan.