BAB V PENUTUP. menyimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Ini memberikan implikasi terhadap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan satu paket kebijakan tentang otonomi daerah yaitu: Undang-

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

penduduknya bekerja sebagai petani dan tingkat pendidikan relatif rendah, dengan

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang

PRAKTEK KEKUASAAN ELIT POLITIK DALAM DEMOKRASI (SUATU STUDI KASUS PENYUSUSUNAN PERATURAN DESA OLEH BPD DESA SUM TAHUN 2015)

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dalam Bab ini dirikan kesimpulan dan rekomendasi yang dirumuskan dari

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 36 TAHUN 2007 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MURUNG RAYA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan UU. No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa

BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI

B U P A T I N G A W I PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI,

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. langsung dengan masyarakat menjadi salah satu fokus utama dalam. pembangunan pemerintah, hal ini dikarenakan sebagian besar wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Daerah yang berkaitan dengan kedudukan, fungsi dan hak-hak DPRD, menangkap aspirasi yang berkembang di masyarakat, yang kemudian

BAB I PENDAHULUAN. Desa memasuki babak baru ketika pelaksanaan UU No. 6 tahun 2014 akan segera

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa tujuan

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berikut adalah beberapa kesimpulan dalam penelitian ini:

MEWUJUDKAN TATAKELOLA PEMERINTAHAN DESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Paul H. Landis dalam (Syachbrani, 2012) Desa adalah suatu Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. pembaruan dan perubahan untuk menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan.

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA PARIAMAN NOMOR 44 TAHUN 2017 T E N T A N G

mekanisme pemerintahan negara dijalankan oleh presiden sebagai pemegang kekuasaan

Jesly Marlinton 1. Kata Kunci : pengawasan, pengelolaan, alokasi dana desa (ADD)

BAB I PENDAHULUAN. mengedepankan akuntanbilitas dan transparansi Jufri (2012). Akan tetapi dalam

BAB I. tangganya sendiri (Kansil, C.S.T. & Christine S.T, 2008). perubahan dalam sistem pemerintahan dari tingkat pusat sampai ke desa.

A. Latar Belakang. C. Tujuan Pembangunan KSM

BUPATI TANAH BUMBU PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 12 TAHUN TENTANG SISTEM PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR TAHUN.

1. Apakah yang dimaksud dengan keuangan desa? 2. Apakah yang dimaksud dengan pengelolaan keuangan desa?

BAB 1 PENDAHULUAN. tangga (masyarakatnya) sendiri. Pengelolaan keuangan yang transparan merupakan

Bab 1 PENDAHULUAN. kepentingan rakyat dengan sebaik-baiknya guna mewujudkan aspirasi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 9 TAHUN 2006

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 20 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PELAYANAN PUBLIK DI KABUPATEN BONDOWOSO

Sejalan dengan sifat peran serta masyarakat di atas, pada intinya terdapat 6 (enam) manfaat lain terhadap adanya peran serta masyarakat tersebut, anta

BAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik

PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon K I S A R A N

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

BUPATI POLEWALI MANDAR

BAB I PENDAHULUAN. Ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan

BUPATI MAJENE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab pertama ini akan dibahas mengenai latar belakang penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. bidang ilmu akuntansi yang mengkhususkan dalam pencatatan dan pelaporan

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN SINJAI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN BERBASIS MASYARAKAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

I. PENDAHULUAN. Dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, berkaitan Undang-Undang. tentang Pemerintahan Daerah (UU No.22/1999) direvisi menjadi Undang-

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat mengatur dan mengelola sumber daya produktif, serta melayani,

PENGELOLAAN PENDAPATAN ASLI DESA (Studi Kasus di Desa Ngombakan Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo Tahun 2014)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 01 TAHUN 2006

`````````````````` LAPORAN TAHUNAN LAYANAN INFORMASI PUBLIK PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI (PPID) PEMBANTU PELAKSANA

BAB II PERENCANAAN KINERJA

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan berdasarkan manajemen

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA TAHUN 2015 NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA NOMOR 5 TAHUN 2015 PEDOMAN TEKNIS PERATURAN DI DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG MEKANISME KONSULTASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,

BUPATI SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI SUKABUMI NOMOR 49 TAHUN 2016 TENTANG STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA INSPEKTORAT

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004 merupakan tonggak awal. pelaksanaan otonomi daerah dan proses awal terjadinya reformasi

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. aktivitas pengelolaan sumber daya publik kepada pihak-pihak yang

BAB I PENDAHULUAN. memburuk, yang berdampak pada krisis ekonomi dan krisis kepercayaan serta

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. demorasi secara langsung, desa juga merupakan sasaran akhir dari semua program

TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN KOTA PALU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALU,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2009 NOMOR 10 SERI E

BAB I PENDAHULUAN. yang telah di amandemen menjadi Undang-Undang No. 32 dan No. 33 Tahun

PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG,

PEDOMAN TRANSISI DAN KAIDAH PELAKSANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Pasal 23 Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa.

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan mendasar dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 32

LEMBARAN DAERAH K A B U P A T E N B A N D U N G NOMOR 9 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG

BUPATI KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR : 01 TAHUN 2016

Faktor hirarki inilah yang tidak memungkinkan pengujian materil peraturan desa tidak BAB IV PENUTUP

BAB V Kesimpulan dan Saran

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DI DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN MINAHASA. Oleh : RENALDO DELEON PAULUS

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM

Transkripsi:

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan pada Bab IV, maka peneliti menyimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah mengakomodir prinsip-prinsip good governance: tranparansi, responsivitas, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat. Namun menurut peneliti masih diperlukan ketentuan-ketentuan lain yang mendukung, menegaskan,dan melengkapi pengaturan prinsip-prinsip tersebut agar lebih optimal demi mewujudkan good village governance. Pengaturan prinsip-prinsip good governance yang menjadi unit kajian analisis dalam penelitian ini bisa dilihat dari rincian beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Prinsip transparansi tidak dimuat secara eksplisit dalam UU No. 6 Tahun 2014, namun dari asas-asas yang dijadikan dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan desa terdapat asas keterbukaan yang pengertiannya mendekati konsep transparansi. Namun asas keterbukaan yang diatur dalam ketentuan undang-undang desa ini memiliki makna yang lebih sempit dibanding dengan prinsisp transparansi. Cakupannya hanya berkaitan dengan keterbukaan informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan desa yang benar, jujur dan tidak diskriminatif, tidak sampai pada aspek yang lain dari konsep transparansi, yakni aspek kemudahan masyarakat dan stakeholders untuk dapat mengaksesnya. Termasuk juga belum dilengkapi dengan kriteria 152

informasi yang disediakan demi mendukung partisipasi masyarakat, diantaranya mengenai kemudahan untuk dapat dipahami, ketepatan waktu, dan kelengkapan informasi tentang penyelenggaraan pemerintah desa yang disediakan tersebut. 2. Undang-undang desa yang baru sudah ada kemajuan dibanding kebijakan perundangan sebelumnya yang berkaitan dengan prinsip transparansi, yaitu sudah lebih terperinci jenis data apa yang disebarkan kepada masyarakat dan sudah ada kebijakan penyediaan sistem informasi desa yang pengadaannya difasilitasi pemerintah kabupaten/kota dan dikelola oleh pemerintah desa. 3. Prinsip responsivitas tidak diatur secara eksplisit dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pengaturan prinsip ini yang paling dapat dilihat adalah pada proses penyusunan perencanaan pembangunan desa, dimana melalui forum ini pemerintah desa dapat mengidentifkasi permasalahan dan kebutuhan masyarakat desa yang disampaikan. Namun menurut peneliti ketentuan tersebut perlu didukung ketentuan yang memberikan waktu yang memadai untuk menggali aspirasi dan permaslahan masyarakat dan ketentuan yang mencegah dominasi oleh elit dan kelompok tertentu agar forum tersebut tidak hanya menjadi formalitas belaka tanpa ada substansi penjaringan aspirasi dan kebutuhan masyarakat desa. Sedangkan responsivitas BPD sebagai lembaga publik yang mewakili masyarakat desa sudah diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014. Namun aturan tersebut belum dilengkapi dengan mekanisme seperti apa yang bisa digunakan anggota BPD untuk dapat mengidentfikasi kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat desa. 153

4. Prinsip akuntabilitas sudah diatur secara jelas dalam undang-undang desa, dimana secara konseptual pengertian yang dicantumkan dalam penjelasan undang-undang sudah sesuai dengan konsep akuntabilitas. Dalam pengertiannya pertanggungjawaban kinerja penyelenggaraan pemerintahan desa adalah kepada masyarakat desa yang merupakan pemilik sebenarnya dari kekuasaan yang diberikan kepada pemerintah desa. Namun dari ketentuanketentuan berikutnya yang mengatur tentang akuntabilitas ditemukan bahwa akuntabilitas pemerintah desa lebih condong ke arah pemerintah supra desa daripada kepada masyarakat desa. Padahal jika mengacu pada pengertian yang disampaikan pada penjelasan undang-undang desa pertanggungjawaban harusnya lebih kepada masyarakat desa. Begitu juga dengan kewajiban pertanggungjawaban anggota BPD yang merupakan perwakilan masyarakat desa, dari hasil penelusuran tidak ditemukan ketentuan yang mengaturnya. Padahal sebagai lembaga yang dibentuk oleh masyarakat dan menjalankan kewenangan sebagai wakil dari masyarakat dengan posisi yang sangat strategis dalam tata kelola desa, seharusnya mereka bertanggung jawab sepenuhnya kepada masyarakat yang diwakilinya. 5. Prinsip partisipasi sudah diatur dalam undang-undang desa yakni dicantumkan dengan asas partisipatif yang berarti mengikutsertakan kelembagaan desa dan unsur masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Makna yang dimuat dalam undang-undang desa masih bersifat umum sehingga untuk melihat pengaturan prinsip partisipasi perlu dilihat pada pasal-pasal yang terkait. 154

6. Partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan desa sudah diberi ruang yang cukup dalam bentuk voice, akses. Masyarakat dari seluruh lapisan termasuk golongan masyarakat menengah ke bawah dilibatkan dalam perumusan kebijakan-kebijakan desa yang mempengaruhi tata kelola pemerintahan desa. Namun menurut peneliti masih diperlukan ketentuanketentuan lain yang mendukung partisipasi masyarakat, seperti penyediaan waktu yang optimal dalam musyawarah, serta adanya upaya pengurangan/pencegahan terjadinya dominasi oleh elit atau kelompok tertentu. Sehingga derajatnya partisipasi masyarakat akan sangat ditentukan adanya aturan-aturan yang mendukung partisipasi masyarakat. 7. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan sudah diberi ruang melalui pelibatannya dengan semangat gotong royong. Namun diperlukan ketentuan-ketentuan lain yang mengarah pada peningkatan kapasitas dan penguatan modal sosial masyarakat desa sehingga peran masyarakat desa tidak hanya menjadi sarana mobilisasi pemerintah desa dalam mendukung kelancaran dan keberhasilan program dan kegiatan pembangunan desa yang sudah ditetapkan. 8. Partisipasi masyarakat dalam pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan desa sudah diatur melalui hak untuk melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan desa. Namun tidak adanya wewenang untuk dapat secara optimal melakukan evaluasi terhadap kinerja pemerintah desa, baik secara langsung maupun melalui BPD, menjadikan pengawasan yang dilakukan masyarakat rentan diabaikan. Sehingga bentuk partipasi 155

masyarakat berupa kontrol yang dimiliki oleh masyarakat desa akan lebih efektif dalam mengawasi kinerja pemerintah desa bila didukung ketentuan yang mengharuskan supra desa untuk menjadikan hasil evaluasi masyarakat desa dan BPD sebagai kewajiban untuk ditindaklanjuti dan menjadikannya bahan masukan utama dalam evaluasi kinerja pemerintah desa. Dengan demikian secara normatif, prinsip transparansi, responsivitas, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat telah diatur dan diterapkan dalam kebijakan tata kelola desa yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Namun masih diperlukan ketentuan-ketentuan lain yang memperkuat prinsip-prinsip itu agar lebih optimal demi mewujudkan good village governance. Oleh karena itu diperlukan ketentuan lebih lanjut yang memperkuat atau memperjelas aturan-aturan yang sudah ada demi memperkuat pengaturan prinsipprinsip tersebut. Pemerintah desa berkewajiban untuk menegakkan prinsip transparansi, responsivitas, akuntabilitas, serta menyediakan ruang yang luas bagi partisipasi masyarakat. BPD selaku lembaga publik yang mewakili masyarakat desa juga seharusnya dibebani prinsip responsivitas dan akuntabilitas yang ditujukan kepada masyarakat yang diwakilinya. Sedangkan masyarakat desa memiliki keleluasaan untuk terlibat secara riil dalam proses penyelenggaraan pemerintahan desa dengan posisi sebagai mitra yang sejajar dengan aktor governance lain, yang ditunjukkan dengan derajat partisipasi yang tinggi. 156

B. REKOMENDASI Berdasarkan kesimpulan yang telah di atas, maka dapat diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang telah memberikan terobosan berupa peningkatan anggaran desa, ternyata dalam pengaturan prinsipprinsip transparansi, responsivitas, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat masih memerlukan ketentuan-ketentuan lain demi terwujudnya good village governance. Menurut peneliti diperlukan perbaikan dan penambahan perlu dilakukan terhadap ketentuan-ketentuan yang terkait dengan prinsip-prinsip tersebut. Langkahlangkah selanjutnya yang direkomendasikan peneliti sebagai berikut: 1. Adanya ketentuan yang menjamin BPD sebagai lembaga yang benar-benar mengakar dan mewakili kepentingan seluruh masyarakat desa dan bukan kepentingan elit saja, yang dilengkapi kesejahteraan yang memadai yakni dengan pemberian penghasilan tetap setiap bulan, jaminan kesehatan berserta tunjangan-tunjangannya. 2. Adanya aturan yang jelas tentang mekanisme pertanggungjawaban anggota BPD kepada masyarakat desa, sehingga masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap kinerja BPD serta dapat melakukan tindakan evaluasi berupa pemberhentian dan penggantian terhadap anggota BPD berdasarkan kinerjanya. 3. Adanya aturan yang mewajibkan pemerintah supra desa (bupati/walikota) untuk menindaklanjuti setiap hasil evaluasi masyarakat dan BPD serta menjadikannya sebagi masukan utama dalam melakukan evaluasi kinerja pemerintah desa. Atau alternatif lain yang bisa dipilih adalah perubahan 157

kewenangan pengangangkatan dan pemberhentian jabatan kepala desa yang sebelumnya ada di tangan buapti/walikota dirubah menjadi di tangan masyarakat melalui BPD. Sehingga pertanggungjawaban pemerintah desa nantinya akan lebih mengarah kepada masyarakat, dan kebijakan ini kontrol yang dilakukan oleh masyarakat melalui BPD akan lebih optimal. 4. Transparansi pemerintah perlu dilengkapi dengan ketentuan yang menjamin kemudahan masyarakat dan stakeholders untuk dapat mengakses infromasi yang disediakan pemerintah desa. Selain itu juga diperlukan ketentuan mengenai pemenuhan kriteria informasi yang disediakan pemerintah, meliputi kelengkapan data, ketepatan waktu, dan kemudahan masyarakat untuk menangkap atau memahami informasi yang disediakan. 5. Peningkatan keterlibatan masyarakat secara riil dalam proses penyelenggaraan pemerintahan desa melalui pelibatan unsur masyarakat dari golongan menengah ke bawah, yang selama ini sering terabaikan, ke dalam proses perumusan, pelaksanaan, hingga pengawasan pelaksanaan kebijakan desa. Misalnya dalam proses perumusan kebijakan, sebelum pelaksanaan Musrenbangdes, diharuskan adanya forum musyawarah tingkat RT/RW atau dusun yang membahas dan berusaha menggali permasalahan dan kebutuhan riil masyarakat yang melibatkan segenap unsur masyarakat, termasuk dari kalangan masyarakat menengah ke bawah. Dan masyarakat juga diberi keleluasaan untuk dapat mengontrol usulan atau aspirasi mulai dari tingkat RT/RW/dusun tersebut hingga terwujud atau tidaknya menjadi program atau kegiatan pembangunan di tingkat desa. 158