BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan pada Bab IV, maka peneliti menyimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah mengakomodir prinsip-prinsip good governance: tranparansi, responsivitas, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat. Namun menurut peneliti masih diperlukan ketentuan-ketentuan lain yang mendukung, menegaskan,dan melengkapi pengaturan prinsip-prinsip tersebut agar lebih optimal demi mewujudkan good village governance. Pengaturan prinsip-prinsip good governance yang menjadi unit kajian analisis dalam penelitian ini bisa dilihat dari rincian beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Prinsip transparansi tidak dimuat secara eksplisit dalam UU No. 6 Tahun 2014, namun dari asas-asas yang dijadikan dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan desa terdapat asas keterbukaan yang pengertiannya mendekati konsep transparansi. Namun asas keterbukaan yang diatur dalam ketentuan undang-undang desa ini memiliki makna yang lebih sempit dibanding dengan prinsisp transparansi. Cakupannya hanya berkaitan dengan keterbukaan informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan desa yang benar, jujur dan tidak diskriminatif, tidak sampai pada aspek yang lain dari konsep transparansi, yakni aspek kemudahan masyarakat dan stakeholders untuk dapat mengaksesnya. Termasuk juga belum dilengkapi dengan kriteria 152
informasi yang disediakan demi mendukung partisipasi masyarakat, diantaranya mengenai kemudahan untuk dapat dipahami, ketepatan waktu, dan kelengkapan informasi tentang penyelenggaraan pemerintah desa yang disediakan tersebut. 2. Undang-undang desa yang baru sudah ada kemajuan dibanding kebijakan perundangan sebelumnya yang berkaitan dengan prinsip transparansi, yaitu sudah lebih terperinci jenis data apa yang disebarkan kepada masyarakat dan sudah ada kebijakan penyediaan sistem informasi desa yang pengadaannya difasilitasi pemerintah kabupaten/kota dan dikelola oleh pemerintah desa. 3. Prinsip responsivitas tidak diatur secara eksplisit dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pengaturan prinsip ini yang paling dapat dilihat adalah pada proses penyusunan perencanaan pembangunan desa, dimana melalui forum ini pemerintah desa dapat mengidentifkasi permasalahan dan kebutuhan masyarakat desa yang disampaikan. Namun menurut peneliti ketentuan tersebut perlu didukung ketentuan yang memberikan waktu yang memadai untuk menggali aspirasi dan permaslahan masyarakat dan ketentuan yang mencegah dominasi oleh elit dan kelompok tertentu agar forum tersebut tidak hanya menjadi formalitas belaka tanpa ada substansi penjaringan aspirasi dan kebutuhan masyarakat desa. Sedangkan responsivitas BPD sebagai lembaga publik yang mewakili masyarakat desa sudah diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014. Namun aturan tersebut belum dilengkapi dengan mekanisme seperti apa yang bisa digunakan anggota BPD untuk dapat mengidentfikasi kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat desa. 153
4. Prinsip akuntabilitas sudah diatur secara jelas dalam undang-undang desa, dimana secara konseptual pengertian yang dicantumkan dalam penjelasan undang-undang sudah sesuai dengan konsep akuntabilitas. Dalam pengertiannya pertanggungjawaban kinerja penyelenggaraan pemerintahan desa adalah kepada masyarakat desa yang merupakan pemilik sebenarnya dari kekuasaan yang diberikan kepada pemerintah desa. Namun dari ketentuanketentuan berikutnya yang mengatur tentang akuntabilitas ditemukan bahwa akuntabilitas pemerintah desa lebih condong ke arah pemerintah supra desa daripada kepada masyarakat desa. Padahal jika mengacu pada pengertian yang disampaikan pada penjelasan undang-undang desa pertanggungjawaban harusnya lebih kepada masyarakat desa. Begitu juga dengan kewajiban pertanggungjawaban anggota BPD yang merupakan perwakilan masyarakat desa, dari hasil penelusuran tidak ditemukan ketentuan yang mengaturnya. Padahal sebagai lembaga yang dibentuk oleh masyarakat dan menjalankan kewenangan sebagai wakil dari masyarakat dengan posisi yang sangat strategis dalam tata kelola desa, seharusnya mereka bertanggung jawab sepenuhnya kepada masyarakat yang diwakilinya. 5. Prinsip partisipasi sudah diatur dalam undang-undang desa yakni dicantumkan dengan asas partisipatif yang berarti mengikutsertakan kelembagaan desa dan unsur masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Makna yang dimuat dalam undang-undang desa masih bersifat umum sehingga untuk melihat pengaturan prinsip partisipasi perlu dilihat pada pasal-pasal yang terkait. 154
6. Partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan desa sudah diberi ruang yang cukup dalam bentuk voice, akses. Masyarakat dari seluruh lapisan termasuk golongan masyarakat menengah ke bawah dilibatkan dalam perumusan kebijakan-kebijakan desa yang mempengaruhi tata kelola pemerintahan desa. Namun menurut peneliti masih diperlukan ketentuanketentuan lain yang mendukung partisipasi masyarakat, seperti penyediaan waktu yang optimal dalam musyawarah, serta adanya upaya pengurangan/pencegahan terjadinya dominasi oleh elit atau kelompok tertentu. Sehingga derajatnya partisipasi masyarakat akan sangat ditentukan adanya aturan-aturan yang mendukung partisipasi masyarakat. 7. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan sudah diberi ruang melalui pelibatannya dengan semangat gotong royong. Namun diperlukan ketentuan-ketentuan lain yang mengarah pada peningkatan kapasitas dan penguatan modal sosial masyarakat desa sehingga peran masyarakat desa tidak hanya menjadi sarana mobilisasi pemerintah desa dalam mendukung kelancaran dan keberhasilan program dan kegiatan pembangunan desa yang sudah ditetapkan. 8. Partisipasi masyarakat dalam pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan desa sudah diatur melalui hak untuk melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan desa. Namun tidak adanya wewenang untuk dapat secara optimal melakukan evaluasi terhadap kinerja pemerintah desa, baik secara langsung maupun melalui BPD, menjadikan pengawasan yang dilakukan masyarakat rentan diabaikan. Sehingga bentuk partipasi 155
masyarakat berupa kontrol yang dimiliki oleh masyarakat desa akan lebih efektif dalam mengawasi kinerja pemerintah desa bila didukung ketentuan yang mengharuskan supra desa untuk menjadikan hasil evaluasi masyarakat desa dan BPD sebagai kewajiban untuk ditindaklanjuti dan menjadikannya bahan masukan utama dalam evaluasi kinerja pemerintah desa. Dengan demikian secara normatif, prinsip transparansi, responsivitas, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat telah diatur dan diterapkan dalam kebijakan tata kelola desa yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Namun masih diperlukan ketentuan-ketentuan lain yang memperkuat prinsip-prinsip itu agar lebih optimal demi mewujudkan good village governance. Oleh karena itu diperlukan ketentuan lebih lanjut yang memperkuat atau memperjelas aturan-aturan yang sudah ada demi memperkuat pengaturan prinsipprinsip tersebut. Pemerintah desa berkewajiban untuk menegakkan prinsip transparansi, responsivitas, akuntabilitas, serta menyediakan ruang yang luas bagi partisipasi masyarakat. BPD selaku lembaga publik yang mewakili masyarakat desa juga seharusnya dibebani prinsip responsivitas dan akuntabilitas yang ditujukan kepada masyarakat yang diwakilinya. Sedangkan masyarakat desa memiliki keleluasaan untuk terlibat secara riil dalam proses penyelenggaraan pemerintahan desa dengan posisi sebagai mitra yang sejajar dengan aktor governance lain, yang ditunjukkan dengan derajat partisipasi yang tinggi. 156
B. REKOMENDASI Berdasarkan kesimpulan yang telah di atas, maka dapat diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang telah memberikan terobosan berupa peningkatan anggaran desa, ternyata dalam pengaturan prinsipprinsip transparansi, responsivitas, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat masih memerlukan ketentuan-ketentuan lain demi terwujudnya good village governance. Menurut peneliti diperlukan perbaikan dan penambahan perlu dilakukan terhadap ketentuan-ketentuan yang terkait dengan prinsip-prinsip tersebut. Langkahlangkah selanjutnya yang direkomendasikan peneliti sebagai berikut: 1. Adanya ketentuan yang menjamin BPD sebagai lembaga yang benar-benar mengakar dan mewakili kepentingan seluruh masyarakat desa dan bukan kepentingan elit saja, yang dilengkapi kesejahteraan yang memadai yakni dengan pemberian penghasilan tetap setiap bulan, jaminan kesehatan berserta tunjangan-tunjangannya. 2. Adanya aturan yang jelas tentang mekanisme pertanggungjawaban anggota BPD kepada masyarakat desa, sehingga masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap kinerja BPD serta dapat melakukan tindakan evaluasi berupa pemberhentian dan penggantian terhadap anggota BPD berdasarkan kinerjanya. 3. Adanya aturan yang mewajibkan pemerintah supra desa (bupati/walikota) untuk menindaklanjuti setiap hasil evaluasi masyarakat dan BPD serta menjadikannya sebagi masukan utama dalam melakukan evaluasi kinerja pemerintah desa. Atau alternatif lain yang bisa dipilih adalah perubahan 157
kewenangan pengangangkatan dan pemberhentian jabatan kepala desa yang sebelumnya ada di tangan buapti/walikota dirubah menjadi di tangan masyarakat melalui BPD. Sehingga pertanggungjawaban pemerintah desa nantinya akan lebih mengarah kepada masyarakat, dan kebijakan ini kontrol yang dilakukan oleh masyarakat melalui BPD akan lebih optimal. 4. Transparansi pemerintah perlu dilengkapi dengan ketentuan yang menjamin kemudahan masyarakat dan stakeholders untuk dapat mengakses infromasi yang disediakan pemerintah desa. Selain itu juga diperlukan ketentuan mengenai pemenuhan kriteria informasi yang disediakan pemerintah, meliputi kelengkapan data, ketepatan waktu, dan kemudahan masyarakat untuk menangkap atau memahami informasi yang disediakan. 5. Peningkatan keterlibatan masyarakat secara riil dalam proses penyelenggaraan pemerintahan desa melalui pelibatan unsur masyarakat dari golongan menengah ke bawah, yang selama ini sering terabaikan, ke dalam proses perumusan, pelaksanaan, hingga pengawasan pelaksanaan kebijakan desa. Misalnya dalam proses perumusan kebijakan, sebelum pelaksanaan Musrenbangdes, diharuskan adanya forum musyawarah tingkat RT/RW atau dusun yang membahas dan berusaha menggali permasalahan dan kebutuhan riil masyarakat yang melibatkan segenap unsur masyarakat, termasuk dari kalangan masyarakat menengah ke bawah. Dan masyarakat juga diberi keleluasaan untuk dapat mengontrol usulan atau aspirasi mulai dari tingkat RT/RW/dusun tersebut hingga terwujud atau tidaknya menjadi program atau kegiatan pembangunan di tingkat desa. 158