I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman kedelai merupakan anggota famili Leguminaceae yang sangat populer dan bernilai ekonomi tinggi.kandungan protein tinggi di dalamnya dapat dijadikan sebagai alternatif sumber protein yang relatif murah.kandungan protein pada beberapa varietas tanaman kedelai berkisar antara 35%- 43%.Kedelai mulai dikenal di Indonesia sejak abad ke-16 dan daerah yang pertama kali membudidayakan tanaman kedelai yaitu pulau Jawa.Kedelai yang dibudidayakan terdiri dari tiga jenis yaitu Glycine max (disebut kedelai kuning karena bijinya yang berwarna kuning, walaupun terkadang berwarna agak putih, atau hijau), Glycine soja (kedelai hitam, berbiji hitam) dan edamame (Glycine max) yaitu sejenis kedelai kuning namun berbiji besar berwarna hijau yang belum lama dikenal di Indonesia dan berasal dari Jepang.Glycine max merupakan tanaman asli daerah Asia subtropik, sedangkan Glycine soja merupakan tanaman asli Asia tropis di Asia Tenggara. Negara penghasil kedelai diantaranya Brazil, Amerika Serikat, Cina, India, Jepang dan Indonesia.Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2014 dan 2015 masing-masing mencapai 954.997dan 982.267 ton dengan produktivitas pada tahun 2014-2015 mencapai 15,51-15,73 Kuintal/Ha (BPS, 2015). Untuk mempertahankan produktivitas kedelai tetap tinggi perlu adanya pengawasan dan pencegahan secara dini pada tanaman kedelai dari organisme pengganggu tanaman (OPT).
Salah satu OPT yang menjadi faktor pembatas produksi kedelai adalah virus. Beberapa virus yang dilaporkan dapat menyebabkan penyakit penting pada pertanaman kedelai di Indonesia adalah SMV (Soybean mosaic virus) (Andayanie, 2012), SSV (Soybean stunt virus)/ CMV-S (Cucumber mosaic virus galur soybean) (Asadi et al., 2003), CPMMV (Cowpea mild mottle virus) (Akin, 2003), BCMV(Bean common mosaic necrosis virus) (Chen et al., 2003), PYLCV (Pepper yellow leaf curl virus) dan BCMV (Bean common mosaic virus) (Rahim et al., 2015). Penularan beberapa virus yang telah dilaporkan sebagian besar melalui serangga vektor, namun ada beberapa virus yang diduga mampu tertular melalui benih.virus CPMMV pada tanaman kedelai sampai saat ini masih diragukan tertular benih atau tidak. CPMMV pertama ditemukan pada tanaman cowpea (Vigna unguiculata L) di Ghana pada tahun 1973 (Brunt & Kenten, 1973). Selanjutnya virus CPMMV dilaporkan muncul di Pulau Jawa Indonesia pertama kali pada tahun 1989 dipertanaman kacang tanah dan kedelai (Horn et al, 1991). Perkembangan infeksi CPMMV terus terjadi dan dilaporkan virus tersebut telah menginfeksi pertanaman kacang tanah dan tiga kultivar kedelai yang rentan di Brazil dengan persentase infeksi rata-rata 65% (Almaeida et al, 2005). Begitupun pada pertanaman kedelai di Bahia state Brazil seluas 2400 hektar mengalami gagal panen dan mengakibatkan kerugian hingga 85% akibat infeksi CPMMV (Brown & Rodrigues, 2014). Penularan virus CPMMV dilaporkan melalui serangga vektor, yaitu Bemisia tabaci Genn. Muniyappa (1983) melaporkan bahwa dengan satu
serangga dewasa (B. tabaci), virus CPMMV mampu ditularkan sebesar 30% dengan penularan maksimum 90% dalam waktu 10 menit. Di Indonesia, populasi vektor yang tinggi mempengaruhi infeksi virus CPMMV pada tanaman kedelai. Keparahan infeksi CPMMV pada tanaman kedelai telah mengakibatkan penurunan bobot biji kedelai dan jumlah biji tidak normal yaitu sebesar 11,3 54,4% (Akin, 2003). Selain melalui serangga vektor, virus CPMMV juga diduga mampu tertular melalui benih. Virus CPMMV pernah dilaporkan terinfeksi pada biji cowpea dengan infeksi penyakit sebesar 92% di Ghana (Brunt& Kenten, 1973), selain itu, dilaporkan juga adanya 150 benih kacang tanah yang terinfeksi CPMMV di India (Iizuka et al., 1984). Berdasarkan laporan tersebut muncul dugaan bahwa virus CPMMV dimungkinkan juga dapat menginfeksi benih beberapa tanaman leguminosae di Indonesia, khususnya tanaman kedelai. Benih memiliki peranan penting dalam pemencaran virus tanaman, seperti pada contoh kasus munculnya Carlavirus dan Potivirus pada tanaman umbiumbian melalui transportasi ataupun perdagangan di Negara Cina (Chen et al., 2002). Tertularnya benih suatu tanaman oleh virus dapat menjadi sumber inokulum yang mudah menyebar dengan cepat di Indonesia (Hobbs et al., 2003). Indonesia merupakan negara dengan pangsa pasar kedelai terbesar, bahkan pada tahun 2013 nilai ekspor agrikultur Amerika ke Indonesia mencapai US$ 4,8 miliar (Permana, 2014). Oleh karena itu resiko terbawanya virus melalui benih tersebut sangatlah tinggi. Indonesia merupakan negara pengimpor kedelai yang dapat memberikan dampak terhadap intensitas serangan virus pada tanaman kedelai di Indonesia.
Informasi mengenai penyakit virus yang menginfeksi benih kedelai telah banyak dilaporkan dengan kerugian yang beraneka ragam, seperti SMV (Soybean mosaic virus) dan SSV (Soybean stunt virus) yang dapat mengakibatkan hilum biji menjadi berwarna coklat atau hitam, biji menjadi belang-belang serta berbentuk radikal sehingga menurunkan nilai produktivitas kedelai (Saleh, 2007; Hanurani, 2015). Hal ini didukung dengan adanya peranan serangga vektor pada beberapa virus tanaman kedelai yang memiliki mobiliitas cukup tinggi di Indonesia (Akin, 2003). Deteksi benih secara dini sangat penting dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit yang lebih luas.berkaitan dengan kekhawatiran terhadap penyebaran virus CPMMV di Indonesia, penelitian mengenai penularan virus CPMMV pada 7 kultivar benih kedelai di Indonesia dengan menggunakan teknik ELISA pernah dilakukan, namun hasil yang diperoleh tidak menunjukkan hasil positif terhadap virus CPMMV (Horn et al., 1991). Hasil penelitian tersebut ternyata belum menghasilkan keputusan yang lengkap mengenai informasi CPMMV dapat tertular melalui benih kedelai di Indonesia dikarenakan faktor keakuratan dari metode deteksi yang dilakukan. Hal ini didukung oleh Kartiningtyas (2006) yang menyatakan bahwa, terdapat beberapa kelemahan teknik ELISA yang digunakan untuk deteksi virus tanaman diantaranya kurangnya keakuratan dari hasil yang diperoleh dan terkadang kurang sensitif untuk mendeteksi virus tanaman (Andayani & Praptiningsih, 2009). Populasi Bemisia tabaci yang berperan sebagai serangga vektor virus CPMMV dapat menambah kekhawatiran terjadinya penyebaran virus dengan
cepat di Indonesia jika terdapat sumber inokulum dari benih yang terinfeksi CPMMV.Oleh karena itu, diperlukan suatu metode deteksi dini yang lebih akurat untuk mengetahui CPMMV dapat tertular melalui benih kedelai. Deteksi secara molekuler dapat menjadi solusi untuk memberikan hasil deteksi yang cepat, tepat dan akurat. B. Rumusan Permasalahan Saat ini di Indonesia belum terdapat laporan mengenai informasi virus CPMMV yang dapat tertular melalui benih tanaman leguminoceae terutama tanaman kedelai. Sehingga diperlukan metode deteksi dini CPMMV yang lebih akurat dengan pendekatan molekuler untuk mendukung benih yang sehat dalam rangka pengendalian penyakit CPMMV pada tanaman kedelai di Indonesia. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1. Mengetahui kemungkinan CPMMV dapat tertular melalui benih kedelai 2. Mendapatkan informasi mengenai keberadaan CPMMV pada benih kedelai D. Manfaat Penelitian Upaya deteksi dini CPMMV secara molekuler pada benih kedelai akan bermanfaat sebagai dasar dalam pengambilan keputusan tindakan pengendalian secara cepat sehingga penyebaran sumber inokulum di Indonesia dapat segera dicegah.