Di Tempat Luas ANDRI Kalau ada yang bilang hujan itu bisa membuat orang kesal, dan jenuh karena tidak bisa kemana-mana lantaran hujan, aku menikmatinya. Selalu aku bertemu dengan hujan, kalau deras sedikit, aku tak menimpali bahwa itu hanya semacam pemberian harapan palsu akan hujan untuk mengguyur rumah dan sekitar halaman luas rumahku. Berkali-kali Ibu bilang, Ndri, kalau kamu hujan-hujanan terus, kamu sakit. Berapa kali kamu demam gara-gara hujan, udahlah, umur kamu sekarang sudah 13 tahun, kamu mau masuk ke sekolah SMP. Jangan kayak gitu terus, ingat! Kamu sudah masuk ke umur pubertas, kamu sudah mimpi basah, tingkah laku kamu harus kamu rubah. Ya, sewaktu aku masih duduk di kelas 4 SD yang tak jauh dari rumahku, hanya berjalan kaki saja dengan santai dengan orang-orang yang berkeliaran dan mengerumuni gerobak tukang sayur langganan Ibuku, aku begitu tenang berjalan kaki. Meski mereka yang lain, memakai antar jemput langganan, bahkan ada yang dijemput oleh orang tuanya dengan mobil mewah yang dikendarainya. Aku juga bertemu dengan seorang bapak-bapak berkumis tipis namun dengan ringkasan senyuman yang manis. Kalau saja bagi para perempuan memiliki seorang pria itu, sungguh beruntung dan tentram dalam kehidupannya. Terpampang nama di seragam kiri putihku, Andri Setiawan. Ibuku sengaja memakai namaku yang ditempelkan bagian depan baju putih seragamku. Katanya untuk perkenalan saja supaya mereka bisa tahu namaku, dan bisa berdekatan satu sama lain. Seorang Bapak berkumis tipis dan memiliki senyuman manis itu, ialah Bapak Joko. Seorang loper yang mengantarkan beberapa surat kabar yang akan dikirimkan 1
di beberapa penjuru rumah dengan motor bututnya yang masih berfungsi. Dia juga mengirimkan Koran untuk di rumahku, Ayahku yang berlangganan Koran selama satu bulan penuh. Koran Kompas yang melintang buana bagi para pembacanya yang setia mengamati beberapa macam informasi secara aktual. Ayahku berlangganan surat kabar Kompas hanya ingin melihat rubrik tentang bola. Karena Ayahku suka sekali dengan klub Barcelona yang Ayah suka, dia juga memiliki baju Jersey asli yang dibelinya dengan seharga Rp. 400.000, asli dari luar negeri yang dijual di Indonesia. Kalau sekarang di masa aku sudah mengenjak SMA, aku sih, ogah beli yang kayak gitu. Yang penting, murah dan berkualitas akan bahannya. Memang kuakui Ayahku sering sekali begadang di malam minggu untuk menikmati acara bola yang diselenggarakannya. Aku juga sesekali ikut dengannya, itu sudah lama semenjak aku dulu memasuki SMP dan sudah menjadi murid SMA sekarang. Sekolah SD ku yang terkenang di masa sekarang semenjak aku menginjakkan kakinya, begitu aku mengenang masa-masaku disitu. Berbahagia bersama bahkan tidak ada hal yang memberatkan di isi kepalaku yang membuatku pusing seperti di masa SMA sekarang ini. Ini lebih menjadi tanggung jawab sebagai murid SMA untuk menempuh ke hal yang lebih tinggi dan meluasa lagi. Paling tidak, aku harus mengisi liburan dengan penat yang ada di kepalaku. Jam siang saat baju putih merah ini masih terpakai, awan gelap sudah memenuhi dan menutupi matahari yang menyinari sejak jam 10 siangan. Tiba saatnya aku bahagia, bertemu dengan secercah air yang akan mengguyur berbagai jalanan aspal, lahan pertanian, tumbuh-tumbuhan juga rumah-rumah yang ikut juga terguyur. Aku pulang bersama Safira, teman perempuan terbaiku. Dia yang selalu mengajakku bermain 2
bersama para teman perempuannya untuk bermain lompat tali. Beberapa cemoohan menjulukiku adalah Laki-laki bencong. Aku sempat berhenti, karena cemoohan itu. Bak seorang diri saja bermain bersama laki-laki, namun Safira mengajakku lagi untuk terus bermain lompat tali. Andri, hujan! teriak Safira, aku tak memperdulikannya. Ini langkah bersinar untukku, menikmati air hujan yang beberapa detik mengguyur dengan deras. Safira sengaja memakai jas hujan yang dia bawa saat awan mendung mulai memenuhi seluruh langit. Aku sih, masa bodo, aku mau bermain hujan-hujanan. Andri gila, kenapa kamu tak mau berteduh atau tidak memakai daun pisang panjang untuk melindungi dirimu? teriak Safira lagi, rambutku sudah basah, Safira hanya basah di bagian sepatunya, seluruh dari kepala hingga badan tak membasahi dirinya. Aku menoleh ke arahnya, kami memang berjalan bersama kalau saat pulang. Safira menatap mataku, lalu sejenak dia nekat berjalan menuju ke pohon pisang yang di sekitar jalanan aspal, di sebelah ada sebuah kebun yang ditumbuhi penuh yang serba kehijauan. Dia berjalan di tengah-tengah kebun itu, sungguh gila. Untungnya, daun pisang panjang itu tak jauh dari gapaian tangannya, dekat dan sudah hampir mau putus. Nih, kamu pakai daun pisang ini. Ayo Andri. Tangannya menyodorkan daun pisang panjang itu untukku. Aku tak mau, ucapku. Kamu gak takut sakit? teriaknya, nada suara hujan ini membuat suara bicaraku satu sama lain tidak terdengar. Dan harus berteriak sedikit. Aku nyaman dengan guyuran hujan, jadi kamu buang daun pisang itu. Kamu saja yang berlindung. Balasku, lalu kembali melanjutkan perjalanan. Tas ku basah kuyup, untungnya tas ku tidak terlalu tembus ke dalam hingga membasahi buku tulisku dan juga buku paket pelajaran khusus anak SD. Tas ini berbahan parasut, jadi tidak terkena air sama sekali. Andri, kenapa kamu nekat 3
hujan-hujanan? Baju itu kan besok dipakai lagi. Teriak Safira lagi, sekarang, petir mulai melanda. Bonus sekali bagiku. Andri, kalau seragammu basah, berarti kamu tidak akan bisa sekolah besok. Safira mulai ketakukan dengan hujan ditambah sedikit petir yang muncul, setelahnya, tak ada lagi. Ah, kenapa tak ada petir lagi. Ini sungguh bonus bagiku. Aku tak peduli, Fira. Baju ini akan kering dengan cepat. Tenang saja. Teriakku, sebentar lagi rumahku akan sampai. Aku dan Safira berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing, ia memulai jalan kakinya kembali. Dengan berjalan santai, aku sungguh segar dengan guyuran hujan itu. Memang, aku mulai bermain hujanhujanan di area sekitar halaman luas rumahku. Ada pohon tinggi dan diatas pohon itu sengaja dibuatkan rumah pohon oleh beberapa kuli bangunan saat merenovasi rumah dari hasil rezeki Ayahku. Para kuli bangunan itu meminta pohon itu ingin dihias dengan sebagai hal-hal pohon lainnya. Ayahku terkena obsesi oleh film Inggris yang menggambarkan anak kecil yang selalu berdiam diri rumah pohon. Bangunannya cukup seperti rumah yang ada, dan pintar sekali para kuli bangunan itu saat membangunkan rumah pohon itu. Hey, kau, Andri, kenapa kamu hujan-hujan-an? Ayo, naik ke motor Mamang, tak usah bayar, nanti kau sakit! teriak seorang Bapak yang menghampiriku, dia itu adalah Mang Mamat. Seorang tukang ojek yang selalu mangkal di sebuah gang kecil yang tak jauh dari rumahku. Perawakannya memang cukup tua, namun dia masih saja giat untuk bekerja. Dia mempunyai anak pertama yang putra, dia sekarang lulus sarjana satu dan bekerja di sebuah perusahaan ternama yang sesuai dengan diminatinya. Aku menaikinya dengan diam dan polos, Mang Mamat itu memakai jubah putih pelastik untuk penumpang belakang yang hendak menaiki ojeknya. Dengan menutupi tubuhnya untuk penumpang, serta kepalanya supaya tidak terkena hujan. Kenapa kamu tak naik ojek? Jangan sampai kamu nanti 4
membuat orang tuamu repot, Andri. Tuturnya dengan halus saat menjalankan motornya. Aku nyaman dengan hujan, Mang! teriakku, dia mengerti apa maksud yang kuucapkan. Dia terus menasihatiku untuk tidak pulang sekolah dengan hujanhujanan. Aku malah lebih memilih bermain hujan-hujanan, karena ini adalah momen terindah bagiku, membasahi diri tubuhku dengan genangan air yang turun dari langit. Biarkan orang-orang menilaiku apa dan apa yang mereka keluarkan dari mulut mereka, yang penting, aku sangat dan sangat menyukai cuaca ini. Naik motor Mamang saja, gratis. Tak usah bayar daripada kamu kesakitan karena pulang hujan-hujanan. Katanya lagi, Mang Mamat memang seorang yang baik. Namun aku hanya diam saja dengan ucapan beliau yang seperti tadi. Motor kembali meluncur dan turun didepan rumahku dengan pagar berwarna hitam pekat. Ibuku keluar dengan membawakan payung, aku habis dengan omelan Ibuku. Lilitan handuk yang ada di tubuhku setelah melepaskan seragam putihku, aku segera membersihkan tubuhku di kamar mandi, Ibuku malah sibuk dengan sergamku yang akan dipakai lagi pada esok hari. Mama gak setuju kalau kamu kayak gini lagi, tuturnya dengan lembut sekarang, aku hanya mengangguk polos dan menjalankannya saja. Namun kalau aku bilang, Aku suka hujan dan nyaman dengan hujan, habislah aku. Tentu itu tak akan aku ucapkan kepada Ibuku sendiri. Kini aku berganti pakaian, membersihkan rambut seperti berbentuk mangkok itu yang basah dengan air. Aku menuju dapur ketika Ibu sudah membuatkan masakan siang untukku, dengan surat kabar Kompas yang tergeletak di meja makan yang habis Ayahku baca sebelum berangkat kerja. Tentu dengan Koran yang tertutup rapi hingga nama Kompas itu terpampang. Susu hangat menghangatkan tubuhku, aku sempat menggigil dengan gigiku yang bergoyang dengan secara otomatis. Dengan menghangatkannya, mungkin susu ini cukup bagiku untuk tidak mengigil lagi. 5
6