TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Upaya memenuhi kebutuhan hijauan ternak ruminansia saat ini, para

TINJAUAN PUSTAKA. baik dalam bentuk segar maupun kering, pemanfaatan jerami jagung adalah sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

I. TINJAUAN PUSTAKA Potensi Nanas dan Limbahnya sebagai Pakan. Nanas merupakan anggota dari family Bromeliaceae yang terdiri dari 45

PENDAHULUAN. Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak. Indonesia populasi domba pada tahun 2015 yaitu ekor, dan populasi

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia.

I. PENDAHULUAN. Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong.

II.TINJAUAN PUSTAKA. laut. Pisang dapat tumbuh pada iklim tropis basah, lembab dan panas dengan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peternak dengan sistem pemeliharaan yang masih tradisional (Hoddi et al.,

I. PENDAHULUAN. sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan

I. PENDAHULUAN. Pengembangan ternak ruminansia di Indonesia akan sulit dilakukan jika hanya

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan NDF. dengan konsumsi (Parakkasi,1999). Rataan nilai kecernaan NDF pada domba

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bintoro dkk (2010) sagu ( Metroxylon sp) merupakan tanaman

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENGARUH METODE PENGOLAHAN KULIT PISANG BATU (Musa brachyarpa) TERHADAP KANDUNGAN NDF, ADF, SELULOSA, HEMISELULOSA, LIGNIN DAN SILIKA SKRIPSI

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan peningkatan permintaan daging kambing, peternak harus

I. PENDAHULUAN. peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi

1.1. Potensi Ampas Sagu di Kabupaten Kepulauan Meranti. Menurut Bintoro dkk (2010) sagu ( Metroxylon sp) merupakan tanaman

BAB I. PENDAHULUAN. pertanian atau sisa hasil pertanian yang bernilai gizi rendah sebagai bahan pakan

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan

I. PENDAHULUAN. ruminansia adalah ketersedian pakan yang kontiniu dan berkualitas. Saat ini

Pengembangan ternak ruminansia di negara-negara tropis seperti di. kemarau untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak ruminansia yang memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang

1. PENDAHULUAN. kelapa sawit terbesar di dunia. Luas perkebunan sawit di Indonesia dari tahun ke

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh wilayah Indonesia. Kambing Kacang memiliki daya adaptasi yang tinggi

PENGANTAR. Latar Belakang. kegiatan produksi antara lain manajemen pemeliharaan dan pakan. Pakan dalam

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2003). Pemberian total mixed ration lebih menjamin meratanya distribusi asupan

TINJAUAN PUSTAKA. Nenas merupakan anggota dari famili Bromeliaceae yang terdiri dari 45 genus serta 2000

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan salah satu faktor penentu utama yang mempengaruhi produksi

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi makanan. Sehingga faktor pakan yang diberikan pada ternak perlu

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas

I. PENDAHULUAN. Jumlah pasar tradisional yang cukup banyak menjadikan salah satu pendukung

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

BAB I PENDAHULUAN. kasar yang tinggi. Ternak ruminansia dalam masa pertumbuhannya, menyusui,

I. PENDAHULUAN. besar untuk dikembangkan, sapi ini adalah keturunan Banteng (Bos sundaicus)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Korelasi Analisa Proksimat dan Fraksi Serat Van Soest

II. TINJAUAN PUSTAKA. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kualitas Sabut Kelapa Sawit Fermentasi oleh Pleurotus ostreatus dan Kandungan Ransum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. di daerah yang minim nutrisi. Rumput gajah membutuhkan sedikit atau tanpa

I.PENDAHULUAN. dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. diikuti dengan meningkatnya limbah pelepah sawit.mathius et al.,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditumbuhkan dalam substrat. Starter merupakan populasi mikroba dalam jumlah

I. PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing

I. PENDAHULUAN. atau sampai kesulitan mendapatkan hijauan makanan ternak (HMT) segar sebagai

I. PENDAHULUAN. pemecahan masalah biaya tinggi pada industri peternakan. Kelayakan limbah pertanian

I. PENDAHULUAN. hijauan serta dapat mengurangi ketergantungan pada rumput. seperti jerami padi di pandang dapat memenuhi kriteria tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. reproduksi. Setiap ternak ruminansia membutuhkan makanan berupa hijauan karena

I. PENDAHULUAN. kehidupan dan kelangsungan populasi ternak ruminansia. Menurut Abdullah et al.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan tanaman pangan berupa perdu dengan nama lain ketela

BAB I PENDAHULUAN. samping itu, tingkat pencemaran udara dari gas buangan hasil pembakaran bahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. penampilan barang dagangan berbentuk sayur mayur yang akan dipasarkan

I. PENDAHULUAN. bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 2012 luas perkebunan kakao di

PENGANTAR. Latar Belakang. Sebagian komponen dalam industri pakan unggas terutama sumber energi

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara

I. PENDAHULUAN. peningkatan ketersediaan bahan pakan. Bahan-bahan pakan konvensional yang

I. PENDAHULUAN. kontinuitasnya terjamin, karena hampir 90% pakan ternak ruminansia berasal dari

I. PENDAHULUAN. Pemenuhan kebutuhan pakan hijauan untuk ternak ruminansia, selama ini telah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Jamur ini bersifat heterotrof dan saprofit, yaitu jamur tiram

RENCANA PENGEMBANGAN PETERNAKAN PADA SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KALIMANTAN SELATAN

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

I. PENDAHULUAN. berasal dari hijauan dengan konsumsi segar per hari 10%-15% dari berat badan,

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

I. PENDAHULUAN ,8 ton (49,97%) dari total produksi daging (Direktorat Jenderal Peternakan,

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu usaha peternakan. Minat

POTENSI LIMBAH SAWIT UNTUK PAKAN TERNAK SAPI DI KALIMANTAN SELATAN

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 10. Hasil Pengamatan Karakteristik Fisik Silase Ransum komplit

PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan adalah ketersediaan

II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. dengan lingkungan maupun kultur masyarakat Indonesia. Beberapa kelebihan. banyak mengkonsumsi jenis pakan hijauan.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

SUPARJO Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Univ. Jambi PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan protein hewani semakin

I. PENDAHULUAN.. Kulit pisangmerupakan limbah dari industri pengolahan pisang yang belum

BAB I PENDAHULUAN. Sejak beberapa tahun terakhir ini Indonesia mengalami penurunan

Pemanfaatan Kulit Nanas Sebagai Pakan Ternak oleh Nurdin Batjo (Mahasiswa Pascasarjana Unhas)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMBUATAN BIOPLUS DARI ISI RUMEN Oleh: Masnun, S.Pt., M.Si

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Potensi Kambing sebagai Ternak Penghasil Daging

I. PENDAHULUAN. merupakan sumber protein dan mineral yang baik, dengan kandungan kalium,

BAB I PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi pengganti minyak bumi

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah dan Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia Tanaman kelapa sawit bukan merupakan tanaman asli Indonesia, namun beberapa sumber menyatakan tanaman ini berasal dari dua tempat yaitu benua Afrika dan Amerika. Tanaman ini untuk pertama kalinya ditanam pada tahun 1848 sebagai tanaman koleksi Kebun Raya Bogor yang diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial Belanda (Fauzi, 2007). Pembudidayaan tanaman ini secara komersial untuk pertama kalinya dilakukan sekitar tahun 1914 di daerah Deli Sumatera Utara, hingga saat ini telah berkembang sebagai pusat produksi kelapa sawit di Indonesia (Said, 1996). Adrien Hallet, seorang berkebangsaan Belgia dikenal sebagai perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia, ia telah belajar banyak tentang kelapa sawit di Afrika. Budidaya yang dilakukannya kemudian diikuti oleh K. Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sejak saat itu perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai mengalami perkembangan (Fauzi, 2007). Menurut Batubara (2002), kelapa sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan yang dapat tumbuh baik di Indonesia, terutama di daerah-daerah dengan ketinggian kurang dari 500 meter dari permukaan laut. Penanaman kelapa sawit tidak disarankan pada lahan yang lebih tinggi dari 500 meter dari permukaan laut karena tanaman akan mengalami pertumbuhan yang lambat, sehingga umur pertama produksi tidak dapat dicapai tepat pada waktunya walaupun untuk pertumbuhan selanjutnya akan cukup memuaskan. 6

Iklim yang cocok untuk tanaman kelapa sawit adalah kawasan yang memiliki curah hujan yang lebih dari 1.500 mm/tahun dan yang optimum adalah 2.000 mm/tahun serta tersebar merata sepanjang tahun, lama penyinaran sinar matahari lebih dari 5 jam/hari atau 1.600 jam/tahun dengan suhu udara ± 25-32 o C. Tanaman kelapa sawit mulai berproduksi pada saat berumur 3,5-4 tahun, dengan kemampuan produksi 10-15 ton tandan/ha/tahun (Widyastuti, 2000). Luas areal perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau merupakan areal perkebunan yang terbesar yang ada di Indonesia. Pada tahun 2008, areal tanam kelapa sawit di Provinsi Riau seluas 1.612.382 Ha (BPS, 2009), tahun 2009 meningkat menjadi 1.925.341 Ha (BPS, 2010), tahun 2011 meningkat menjadi 2.256.538 Ha (BPS, 2012), kemudian mengalami perkembangan yang sangat signifikan hingga tahun 2012 menjadi 2.399.172 Ha (BPS, 2013). Semakin meningkatnya luas areal perkebunan maupun produksi kelapa sawit perlu adanya pemikiran tentang pemanfaatan perkebunan kelapa sawit tersebut. Selain untuk menanggulangi pencemaran lingkungan, limbah sawit juga dapat dilihat dari segi ekonomisnya yaitu dengan memanfaatkan bahan-bahan tersebut dalam ransum ternak yang akan lebih menguntungkan dan menjadikan bahan tersebut menjadi bernilai ekonomis (Junaidi, 2008). Pemanfaatan limbah kelapa sawit ini sangat berpeluang besar untuk dikembangkan di Pulau Sumatera dan Kalimantan karena daerah tersebut memiliki lahan dan potensi perkebunan kelapa sawit yang sangat luas (Supriyatna dan Sihite, 2006). 2.2. Potensi Hasil Ikutan Perkebunan Kelapa Sawit sebagai Bahan Pakan Perkebunan kelapa sawit memiliki potensi yang sangat menjanjikan dalam pengembangan pembangunan dibidang peternakan terutama sebagai sumber 7

pakan, baik berupa hijauan disekitar perkebunan maupun limbah pabrik hasil olahan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil). Salah satu limbah perkebunan kelapa sawit yang dapat digunakan sebagai bahan pakan adalah serat perasan buah kelapa sawit. Definisi dari serat perasan buah kelapa sawit adalah ampas atau hasil ikutan dari buah kelapa sawit yang telah dilepas dari tandan setelah pengambilan minyak dan biji (Mucra, 2007). Penampang buah kelapa sawit yang telah dipisahkan dari tandan dapat dilihat pada gambar 2.1. Bungkil Inti Sawit Gambar 2.1. Penampang Buah Kelapa Sawit sumber : investasi.kontan.co.id SBKS Limbah hasil pengolahan perkebunan kelapa sawit dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu limbah lapangan dan limbah hasil pengolahan. Limbah lapangan adalah sisa-sisa tanaman yang ditinggalkan pada saat proses pemanenan, peremajaan, dan pembukaan lahan areal perkebunan. Limbah pengolahan adalah hasil ikutan yang terbawa pada saat proses pemanenan yang kemudian dipisahkan dari produk utama (Said, 1996). Hasil beberapa penelitian melaporkan bahwa limbah kelapa sawit mempunyai kandungan gizi yang bervariasi tergantung jenis 8

limbah. Pembagian jenis limbah hasil perkebunan kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 2.2. Tandan Buah Segar Tandan Kosong (55-58%) Serat Buah (12%) Minyak Kasar (CPO) (18-20%) Inti Sawit (4-5%) Cangkang (8%) Lumpur Sawit (2% kering) Minyak inti sawit (45-46%) Bungkil Inti sawit (45-46%) Gambar 2.2. Bagan Proses Pengolahan Kelapa Sawit Sumber : Devendra, 1978. Limbah sawit berpotensi besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan pakan, namun pemanfaatannya masih terdapat banyak kendala dan kekurangan yang harus diperhatikan. Menurut Mathius dkk, (2003) kekurangan dan kendala dalam pemanfaatan limbah kelapa sawit sebagai bahan pakan adalah kandungan serat yang cukup tinggi. Menurut Hassan dan Ishida (1991) s erat perasan buah kelapa sawit yang dapat diberikan lebih kurang 20% dari total ransum, karena jika lebih tinggi akan menghalangi kecernaan khususnya pada pylorus atau omasum. Limbah perkebunan kelapa sawit sampai saat ini masih banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kompos (Mathius dkk, 2003). Menurut Hassan dan Ishida (1991) serat perasan buah kelapa sawit dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak ruminansia walaupun dengan nilai kandungan gizi yang masih rendah. Suharto (2003) menyatakan bahwa serat buah kelapa sawit mempunyai kandungan energi (TDN) 56%. Hal ini menunjukkan potensi yang baik, namun kurang disukai ternak. Upaya yang dapat dilakukan 9

untuk meningkatkan palatabilitasnya adalah dengan memberikan perlakuan seperti fermentasi atau mencampur dengan bahan pakan lain menjadi konsentrat atau pakan lengkap Zuriyati dan Sisriyenni (2007) menyatakan bahwa limbah perkebunan dan pengolahan kelapa sawit cukup potensial sebagai bahan pakan, baik sebagai sumber energi maupun sumber protein. Dalam pemanfaatannya serat perasan buah kelapa sawit belum banyak digunakan sebagai pakan. Hal ini dikarenakan karena serat perasan buah kelapa sawit masih memiliki kandungan serat yang tinggi (Mucra, 2007), untuk mengatasi hal tersebut diperlukan perlakuan guna meningkatkan kandungan gizi didalamnya. Upaya untuk meningkatkan nilai gizi limbah perkebunan kelapa sawit yang akan digunakan sebagai sumber bahan pakan, diperlukan beberapa perlakuan. Menurut Sudaryanto (1999) ada empat macam perlakuan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas limbah kelapa sawit yaitu dengan perlakuan fisik, kimia, fisik dan kimia, serta biologi. Perlakuan fisik berupa pemotongan, penggilingan, perendaman, perebusan, dibuat pelet, atau penjemuran/pengeringan; perlakuan kimia yaitu menggunakan bahan kimia misalnya NaOH, Ca(OH) 2, amonium hidroksida, urea, sodium karbonat, sodium klorida dan lain-lain; perlakuan fisik dan kimia adalah menggabungkan kedua cara di atas; perlakuan biologi dilakukan dengan menambah enzim, jamur, bakteri, atau lainnya. Perlakuan fisik yang dapat dilakukan pada limbah kelapa sawit yaitu pencacahan agar menjadi ukuran yang lebih kecil sehingga layak untuk dikonsumsi ternak. Perlakuan lain yang dapat dilakukan yaitu fermentasi dengan 10

menggunakan probiotik atau starter, pembuatan silase atau penguapan (Mathius dkk, 2003; Sinurat, 2003; Purba dan Ginting, 1997). 2.3. Pemanfaatan Feses sebagai Sumber Inokulum Feses adalah hasil sisa proses pencernaan makanan yang dikeluarkan dari saluran pencernaan melalui muara pembuangan akhir/anus (Mucra, 2007). Feses yang keluar dari ternak ruminansia juga terdapat mikroorganisme didalamnya yang ikut keluar bersama dari rumen meski konsentrasinya berbeda dengan yang ada pada cairan rumen Mucra, et, al., (2009). Sudirman (2007) menyatakan bahwa feses yang digunakan sebagai sumber inokulum merupakan alternatif yang diyakini mampu menggantikan cairan rumen. Kandungan bahan organik feses yang keluar dari ternak ruminansia mengandung sisa pakan yang tidak tercerna, dinding sel saluran pencernaan yang aus, mikrobia dari saluran pencernaan bagian depan, mikrobia yang berasal dari rumen dan usus besar serta sisa senyawa endogen yang meliputi enzim pencerna, mucus dan sekresi sel-sel epitel dari dinding saluran pencernaan (Azriani, 2009). Inokulum adalah material berupa mikrobia yang dapat diinokulasikan dalam media fermentasi pada saat kultur tersebut pada fase eksponensial yaitu fase dimana saat sel mikrobia akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara bertahap dan akhirnya mengalami laju pertumbuhan yang maksimum (Rachman, 1989; Soedono dkk, 1985). Berdasarkan penelitian Djunu (2006) penggunaan feses kerbau dengan pelarut yang berbeda belum dapat menyamai cairan rumen, tapi larutan feses memiliki nilai yang positif dan nyata dalam mengganti peran cairan rumen sebagai inokulum. 11

Febrina dkk, (2011) mel aporkan bakteri yang berperan dalam proses fermentasi ransum dari limbah perkebunan kelapa sawit menggunakan feses sapi adalah Bacillus, Lactobacillus, Clostridium, Celulomonas, Pseudomonas, Ruminococus. Rahayu (2013) menyampaikan bahwa bakteri selulolitik yang terlibat dalam fermentasi menggunakan feses kerbau pada ransum berbahan limbah perkebunan kelapa sawit adalah Fibrobacter sp1., Fibrobacter sp2., Fibrobacter sp3., Cellulomonas sp., Rumincoccus sp 1., Rumincoccus sp2. Hidayati (2013) juga menyampaikan bahwa bakteri selulolitik yang terlibat dalam fermentasi menggunakan feses kambing pada ransum berbahan limbah perkebunan kelapa sawit adalah Rumincoccus sp., Fibrobacter sp., Cellulomonas sp1., Cellulomonas sp2. Mucra (2011) melaporkan bahwa pemanfaatan feses kerbau dalam fermentasi serat buah kelapa sawit pada level 3% sampai 6% dapat menurunkan kandungan serat dari serat buah kelapa sawit fermentasi yaitu kandungan serat kasar dari 44,83% - 35,84%, kandungan NDF 79,03% - 77,11%, kandungan ADF dari 57,95% - 54,72%, kandungan lignin dari 21,65% - 19,24%. 2.4. Perlakuan Bahan Pakan Berserat Tinggi Dengan berkembangnya ilmu dan teknologi bidang bioteknologi, penggunaan jasa mikroba dalam proses fermentasi untuk peningkatan nilai nutrien pakan berserat telah banyak digunakan oleh para ahli. Perlakuan secara biologis merupakan salah satu langkah yang baik guna meningkatkan nilai kecernaan pakan berserat tinggi dengan bantuan makhluk hidup misalnya dengan menumbuhkan jamur, bakteri, atau penambahan enzim yang bertujuan sebagai pendegradasi lignohemiselulosa yaitu komponen serat yang dapat mengganggu kecernaan Mucra, et, al.,(2009). 12

Siregar (1996) menyatakan bahwa fermentasi perlu penambahan bahan pengawet agar terbentuk suasana asam dengan derajat keasaman yang optimal. Rachman (1989) menambahkan proses fermentasi memerlukan medium tertentu agar jenis produk hasil metabolisme mikroba saat fermentasi berlangsung tidak berubah. Proses fermentasi asam laktat yang berjalan baik akan memberikan hasil yang baik pula. Secara umum fermentasi yang baik untuk makanan ternak memiliki ciri-ciri antara lain: 1). Warna masih hijau atau agak kecoklatan. 2). Rasa dan bau asam, tetapi segar dan enak. 3). Nilai ph rendah. 4). Tekstur masih jelas, tidak menggumpal, tidak berjamur dan tidak berlendir. Hartoto (1992) menyatakan bahwa kultur yang akan digunakan untuk menginokulasi suatu proses fermentasi harus memenuhi kriteria antara lain: (1). Kultur harus segar dan aktif sehingga setiap fase pada proses fermentasi tidak terlalu panjang. (2). Kultur harus tersedia dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi ukuran optimum inokulum. (3). Kultur harus berada pada bentuk morfologi yang sesuai. (4). Kultur harus bebas kontaminasi. (5). Kultur harus dapat mempertahankan kemampuannya untuk membentuk produk. Amalia dkk, (2000) menyatakan kualitas nutrisi bahan pakan merupakan faktor dalam memilih dan menggunakan bahan pakan tersebut sebagai sumber zat makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksinya. Kualitas nutrisi bahan pakan terdiri atas komposisi nilai gizi, serta energi, dan aplikasinya pada nilai palatabilitas dan daya cernanya. Penentuan nilai gizi dapat dilakukan dengan analisis proksimat tetapi dalam analisis proksimat komponen fraksi serat tidak dapat digambarkan secara terperinci berdasarkan nilai manfaatnya dan 13

kecernaan pada ternak. Upaya untuk menyempurnakan komponen serat tersebut dapat dianalisis menggunakan analisis Van Soest. 2.5. Komponen Fraksi Serat dalam Bahan Pakan Bahan kering kaya akan serat kasar, karena didalamnya terkandung 20% isi sel dan 80% dinding sel. Bagian dinding sel yang utama terdiri atas dua jenis serat yaitu serat yang tidak larut dalam detergen asam yakni ligno-selulosa Acid Detergent Fiber (ADF) dan yang larut dalam detergen netural yaitu hemiselulosa dan sedikit protein dinding sel disebut Neutral Detergent Fiber (NDF), (Hanafi, 2004). Isi sel terdiri atas zat-zat yang sangat mudah dicerna yaitu protein, karbohidrat, mineral dan lemak, sedangkan pada dinding sel terdiri atas sebagian besar selulosa, hemiselulosa, peptin, protein dinding sel, lignin dan silika. Serat kasar terdiri atas selulosa, hemiselulosa, lignin dan silika. Serat kasar dipengaruhi oleh spesies, umur dan bagian tanaman (Hanafi, 2004). Neutral Detergent Fiber (NDF) adalah serat yang tidak larut dalam detergent neutral, merupakan bagian terbesar dari dinding sel tanaman. Bahan ini terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin, dan silika Marwanto (2002). Acid Detergent Fiber (ADF) merupakan serat yang tidak larut dalam detergent asam, yang terdiri dari selulosa, lignin, dan silika. Menurut Apriyantono, dkk (1989), ADF sebagian besar terdiri dari selulosa dan lignin dan sebagian kecil hemiselulosa, oleh karena itu ADF dianggap hanya terdiri dari selulosa dan lignin. Lignin adalah suatu zat kompleks dari bagian tanaman seperti kulit, akar, batang dan daun yang sulit dicerna (Anggorodi, 1990). Lignin merupakan penghambat kecernaan dinding sel tanaman, semakin banyak kandungan lignin di 14

dalam dinding sel maka koefisien cerna terhadap bahan pakan akan semakin rendah. Lignin sebagai komponen kimia dinding sel sering dihubungkan dengan pengurangan kecernaan serat kasar Jung, (1989). Kandungan ADF dan lignin erat hubungannya dengan manfaat bahan makanan ternak. Bila kadarnya tinggi terutama lignin, maka koefisien daya cerna bahan pakan tersebut rendah Sutardi, (1977). Menurut Tillman dkk, (1991) lignin adalah senyawa komplek yang membentuk ikatan eter dengan selulosa, hemiselulosa, protein dan komponen lain dalam jaringan tanaman dan selalu terdapat dalam senyawa kompleks dinding sel. Serat kasar suatu bahan pakan merupakan komponen kimia yang sangat berpengaruh terhadap pencernaan. Ditambahkan Jung (1989) bahwa kecernaan terhadap bahan pakan juga dipengaruhi oleh kadar lignin yang terkandung dalam bahan pakan tersebut. Selain tidak dapat dimanfaatkan oleh ternak juga merupakan indeks negatif bagi mutu suatu bahan pakan, karena ikatannya dengan selulosa dan hemiselulosa membatasi kencernaan dan mengurangi energi bagi ternak. Selulosa adalah polisakarida yang terdiri dari rantai lurus unit glukosa yang mempunyai berat molekul yang tinggi (Sahrul, 2011). Selulosa pada dinding sel yang tidak berlignin akan dapat dicerna dengan mudah di dalam rumen. Menurut Sutardi (1977) kristal selulosa merupakan bagian yang penting dari kerangka dinding sel tanaman. Selulosa dalam tanaman sering terdapat sebagai senyawa bersama lignin, membentuk lignoselulosa yang merupakan kristal yang kompak. Menurut Said (1996) selulosa hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni di alam, melainkan berikatan dengan bahan lain, yaitu lignin dan hemiselulosa. 15

Serat selulosa alami terdapat di dalam dinding sel tanaman dan material vegetatif lainnya. Susunan dinding sel terdiri dari lamella tengah, dinding primer, serta dinding sekunder yang terbentuk selama pertumbuhan dan pendewasaan sel yang terdiri dari lamella transisi, dinding sekunder utama dan dinding sekunder bagian dalam. Dibandingkan dengan dinding primer, dinding sekunder lebih tebal dan paling banyak mengandung selulosa. Selulosa murni mengandung 44,4% C, 6,2% H dan 49,3% O. Hemiselulosa terdiri dari 2-7 residu gula yang berbeda. Jenis hemiselulosa selalu dipilih berdasarkan residu gula yang ada. Hemiselulosa ditemukan dalam tiga kelompok, yaitu xylan, mannan dan galaktan. Hidrolisis hemiselulosa akan menghasilkan tiga jenis monosakarida, yaitu xylosa dan arabinosa dalam jumlah yang lebih banyak dan glukosa dalam jumlah yang lebih sedikit. Hidrolisis hemiselulosa dapat difermentasi oleh beberapa macam mikroorganisme yang mampu menggunakan gula pentose sebagai substratnya. Produk biokonversi hemiselulosa antara lain metana, asam organik dan alkohol (Said, 1996). Yasin (2010) menyatakan bahwa silika dapat menurunkan kecernaan hijauan, sehingga semakin tingginya kandungan silika pada hijauan, koefisien cernanya cenderung menurun. Silika dan lignin ini bagaikan kaca pelapis, yang melapisi zat-zat yang berguna dan bernilai energi tinggi seperti protein, selulosa, hemiselulosa, di samping itu ikatan serat didalamnya juga sangat kuat. 16