PSIKIATER DALAM MENENTUKAN KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM PASAL 44 KUHP. Oleh Rommy Pratama*) Abstrak

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

I. PENDAHULUAN. alat transportasi yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan, dari berbagai

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB V PENUTUP. pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa:

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

Bagian Kedua Penyidikan

SOAL DAN JAWABAN TENTIR UTS ASAS-ASAS HUKUM PIDANA 2016 BY PERSEKUTUAN OIKUMENE (PO)

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang

BAB I PENDAHULUAN. pelakunya disebut penjahat. Labelling Theory memandang bahwa para

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. mahluk sosial dan sebagai mahluk individu. Dalam kehidupan sehari-harinya

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

I. PENDAHULUAN. harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

Bab II TINJAUAN PUSTAKA

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

PELAKSANAAN SANKSI PIDANA DENDA PADA TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

I. PENDAHULUAN. Hukum acara pidana merupakan perangkat hukum pidana yang mengatur tata cara

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

Transkripsi:

PSIKIATER DALAM MENENTUKAN KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM PASAL 44 KUHP Oleh *) Abstrak Kondisi perekonomian Indonesia yang belum stabil, keadaan masyarakat yang jauh dari kata sejahtera (unwelfare), dan gejolak-gejolak lainnya, diyakini sebagai faktor pemicu semakin meningkatnya jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia. Hal ini dapat menimbulkan kerawanan sosial yaitu berupa tindak pidana. Berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang penderita gangguan jiwa sebagaimana tercantum dalam Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), secara implisit dikandung makna yaitu untuk menentukan jiwa seseorang yang cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit sehingga ia tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya, merupakan tugas seorang yang benar-benar expert dalam menangani masalah gangguan jiwa. Tidak semua orang bisa menentukan hal tersebut, dan disinilah letak peran seorang psikiater. Dengan metode pendekatan yuridis normatif, dan spesifikasi penelitian yang diskriptif-analitis dalam melaksanakan penelitian ini, diketahui bahwa peran psikiater dalam hal ini adalah sebagai ahli dan dapat dilibatkan dalam setiap kepentingan pemeriksaan proses peradilan pidana. Psikiater sebagai legal agent berkewajiban membantu aparat penegak hukum demi tercapainya keadilan yang tanpa cacat (precise justice). Kata Kunci : Psikiater, Ketidakmampuan Bertanggung Jawab, Proses Peradilan Pidana A. PENDAHULUAN Sebagai suatu negara yang dalam konstitusinya disebut sebagai negara hukum (Rechts Staat), konsekuensinya Indonesia harus melengkapi dirinya dengan sejumlah perangkat hukum yang berfungsi untuk menjaga integritasnya sebagai negara hukum. Konsekuensi lainnya ialah segala tingkah laku seseorang di dalam masyarakat, harus berdasarkan pada hukum yang berlaku. Oleh karena itu prinsip Rule of Law harus dipegang teguh dan disadari oleh setiap warga negara dan aparat penegak hukum. Prinsip ini terjelma dalam 3 unsur utama, yaitu: *) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 1. pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia 2. peradilan yang bebas dan tidak memihak 3. legalitas dalam arti hukum, baik formil atau materiil. 1 Ketiga unsur tersebut merupakan rangkaian yang tidak bisa diabaikan meskipun hanya satu unsur, karena ketiga unsur tersebut merupakan suatu rangkaian yang terpadu dalam penegakan hukum demi tercapainya suatu keadilan. 1 Andi Hamzah, ed, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia,1986, halaman 13 Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 55

Selain itu, untuk tercapainya suatu keadilan juga harus ada keserasian antara kebebasan dan ketertiban, artinya dalam membatasi kebebasan yang dimiliki setiap individu, hukum berfungsi sebagai sarana untuk membatasi kebebasan. Salah satu hukum yang mengatur mengenai ketertiban adalah hukum pidana. Menurut Moeljatno, Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar atau aturan untuk: 1. menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 2. menentukan kapan dan dalam halhal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenai atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 2 Dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa rumusan pada poin pertama mengenai masalah perbuatan pidana dan poin kedua mengenai masalah pertanggung jawaban pidana, termasuk dalam bidang hukum pidana materiil dengan bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan rumusan pada poin ketiga berkaitan dengan masalah hukum pidana formil (hukum acara pidana), yang bersumber pada Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Adanya penentuan mengenai perbuatan yang dilarang atau yang tidak boleh dilakukan di dalam Kitab 2 Ibid, halaman 71 Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ataupun peraturan hukum pidana lain diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka selain perbuatan-perbuatan yang telah diatur, tidak dapat dilakukan proses hukum ataupun penuntutan, karena menurut Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas ketentuan hukum pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu. Asas ini dikenal sebagai asas legalitas, atau dalam bahasa latin disebut Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. 3 Dengan asas legalitas dalam hukum pidana, maka kesewenangwenangan aparat penegak hukum dapat dihindari, meskipun dengan konsekuensi hukum pidana menjadi rigid dan tidak fleksibel terhadap jenis kejahatan baru yang terus berjalan sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi. Tetapi dengan asas legalitas, sekurang-kurangnya kepastian hukum dan hak-hak asasi manusia dapat terjamin. Berkaitan dengan asas legalitas tersebut, meskipun suatu perbuatan telah memenuhi rumusan untuk dapat dikatakan sebagai tindak pidana, tidak serta-merta perbuatan tersebut dapat langsung dijatuhi pidana, karena harus dibuktikan apakah perbuatan tersebut mengandung unsur kesalahan atau tidak. Hal inilah yang dimaksud dengan asas Geen Straf Zonder Schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Kesalahan diartikan sebagai pertanggungjawaban seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, apakah ia mampu bertanggung jawab atas perbuatan itu atau tidak. 3 Ibid, halaman 72 Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 56

Berdasarkan Pasal 44 KUHP ayat (1), seseorang yang cacat jiwa dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit tidak dapat dipidana. Kemudian pada ayat (2) dijelaskan mengenai kewenangan hakim untuk memerintahkan orang yang cacat jiwanya itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan, jika ternyata perbuatan yang dilakukannya tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya. Secara implisit, Pasal 44 ayat (1) KUHP mengandung makna yaitu untuk menentukan jiwa yang cacat dalam tumbuhnya atau terganggunya seseorang karena penyakit sehingga ia tidak sadar telah melakukan tindak pidana tersebut, merupakan tugas seorang yang benar-benar expert dalam menangani masalah jiwa yang bisa dikatakan abnormal. Tidak semua orang bisa menentukan hal tersebut, dan disinilah peran seorang psikiater. Psikiater sebagai ahli, dalam penyidikan ia membantu polisi atau penyidik apabila diminta untuk memeriksa keadaan jiwa seorang tersangka, yaitu dengan visum et repertum psikiatrik - nya, tetapi jika diminta hadir dimuka pengadilan sebagai saksi ahli, tugasnya adalah membantu hakim supaya dapat memberikan keputusan yang adil demi terciptanya peradilan pidana yang bermartabat, yaitu dengan cara mengemukakan fakta-fakta, diagnosa terhadap keadaan seseorang yang dipersangkakan telah melanggar hukum, kemudian berdasarkan alat bukti yang cukup ditambah dengan keyakinannya, hakim menyimpulkan dan memutuskan apakah tersangka dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan diatas, penulis tertarik untuk mengetahui secara jelas, bagaimanakah Peran Psikiater dalam Sistem Peradilan Pidana, Dikaitkan dengan Pasal 44 KUHP dalam Menentukan Kemampuan Bertanggung Jawab Seseorang. Berdasarkan uraian di atas tentang peranan psikiater dalam sistem peradilan pidana berkaitan dengan keilmuannya dalam menentukan perbuatan yang dilakukan seorang tersangka dapat dipertanggungjawabkan atau tidak, maka penulis merumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana Pasal 44 KUHP mengatur tentang tidak mampu bertanggung jawabnya seseorang? 2. Bagaimana peran psikiater dalam penentuan ketidakmampuan bertanggung jawab dalam Pasal 44 KUHP? B. PEMBAHASAN Dengan adanya asas legalitas sebagai ketentuan dalam hukum pidana Indonesia yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, seseorang baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana, apabila perbuatannya tersebut telah memenuhi rumusan KUHP ataupun peraturan hukum pidana lain di luar KUHP. Selanjutnya, meskipun telah memenuhi asas legalitas tersebut, tetapi tidak serta-merta dapat langsung dijatuhi pidana, karena harus dibuktikan apakah perbuatan tersebut mengandung unsur kesalahan atau tidak. Hal inilah yang dimaksud dengan asas Geen Straf Zonder Schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Kesalahan diartikan sebagai pertanggungjawaban seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, apakah ia mampu bertanggung jawab atas perbuatan itu atau tidak. Hal itu dikarenakan pengaruh pandangan dualistis mengenai tindak pidana (strafbaar feit) yang memisahkan antara pengertian perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, yaitu pengertian perbuatan pidana tidak meliputi pertanggung jawaban pidana. Pandangan ini adalah penyim- Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 57

pangan dari pandangan monistis yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Artinya tidak ada pemisahan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana itu sendiri menurut Moeljatno diartikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut atau dapat juga diartikan sebagai perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asalkan dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu. 4 Setelah mengetahui definisi dari perbuatan pidana, maka perlu juga untuk dikemukakan unsur-unsur perbuatan pidana. KUHP tidak memberikan unsur-unsur perbuatan pidana secara jelas, sedangkan para Sarjana Hukum Pidana juga tidak adanya keseragaman pendapat mengenai unsur-unsur perbuatan pidana ini, oleh karena itu penulis mengemukakan pendapat dari Moeljatno yang mengemukakan unsurunsur perbuatan pidana sebagai berikut: a. kelakuan dan akibat (perbuatan) b. ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. unsur melawan hukum yang obyektif 4 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, halaman 54. e. unsur melawan hukum yang subyektif. 5 Pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana (criminal liability), adalah merupakan kelanjutan dari pengertian perbuatan pidana. Seperti yang telah dikemukakan diatas, bahwa untuk dapat dijatuhi pidana masih diperlukan syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Di negara-negara Anglo Saxon, disebut dengan asas Actus non facit reum, nisi mens sit rea atau disingkat asas Mens Rea yaitu subjective guilt yang melekat pada sipembuat. Subjective guilt ini dapat berupa kesengajaan (intent) atau kealpaan (negligence). 6 Kesalahan menurut Satochid Kartanegara mempunyai dua arti yaitu kesalahan dalam arti luas dan kesalahan dalam arti sempit. Dalam arti luas kesalahan diartikan sebagai ethis sosial (social ethis), yaitu dengan mengambil haluan jiwa yang sehat dari sipelaku sebagai pangkal, sehingga perbuatan yang demikian itu dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sedangkan kesalahan dalam arti arti sempit yaitu kesalahan yang dipandang dari sudut hukum pidana. 7 Kesalahan sebagai dasar untuk pertanggungan jawab dalam hukum pidana menurut Simons yaitu berupa keadaan psychisch dari sipembuat dan hubungannya terhadap perbuatannya, dan dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychisch (jiwa) itu perbuatan- 5 Andi Hamzah, ed, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia,1986, halaman 76. 6 Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990, halaman 86. 7 Satochid Kartanegara dalam Andi Hamzah, ed, Op.cit., halaman 77. Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 58

nya dapat dicelakan kepada si pembuat. 8 Menurut Sudarto, unsur-unsur kesalahan (dalam arti luas) terdiri atas: a. adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat (Zurechnungsfahigkeit), artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal. b. hubungan batin antara sipembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), disebut bentuk-bentuk kesalahan. c. tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf. 9 Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa untuk adanya pertanggungan jawab pidana, dilihat dari dari dua hal yaitu keadaan psikis orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan psikis tersebut dengan perbuatan yang dilakukan hingga menimbulkan celaan. Keadaan bathin dari orang melakukan perbuatan pidana tersebut merupakan masalah kemampuan bertanggung jawab dan menjadi dasar penting untuk menentukan adanya kesalahan. Keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana harus dapat dikatakan normal atau sehat, untuk dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang dianggap baik oleh masyarakat sebaliknya bagi orang-orang yang jiwanya dikualifikasikan tidak normal termasuk dalam rumusan Pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi: Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) 8 Sudarto, Op.cit., halaman 88. 9 Sudarto, Ibid, halaman 91. atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing) tidak dipidana. Van Hamel juga memberikan pendapat mengenai keadaan normalitas untuk seseorang dapat dipertanggungjawabkan yaitu: a. mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri. b. mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannnya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan. c. mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatan itu. 10 Oleh karena itu, seseorang yang dikualifikasikan berada diluar keadaan seperti yang diuraikan di atas, tidak dapat untuk dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidananya. Selanjutnya, jika pasal 44 ayat (1) KUHP itu diteliti lebih lanjut, akan dapat dilihat 2 hal: a. penentuan bagaimana keadaan jiwa si pembuat. Artinya konstanstasi keadaan priadi sipembuat yang berupa keadaan akal atau jiwa yang cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit, dilakukan oleh seorang psikiater (dokter penyakit jiwa). Psikiater yang menyelidiki bagaimana keadaan jiwa sipembuat pada saat perbuatan dilakukan. b. adanya penentuan hubungan kausal antara keadaan jiwa si pembuat dengan perbuatannya. Maksudnya adalah dari pemeriksaan psikiater tadi, yang menentukan adanya hubungan kausal antara keadaan jiwa yang demikian dengan perbuatan tersangka adalah hakim. hakimlah yang menilai apakah tersangka dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau tidak. Dari kedua hal di atas itulah, dikatakan bahwa sistem yang dipakai 10 Loc.cit. Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 59

dalam KUHP dalam menentukan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang adalah deskriptif-normatif. Deskriptif berarti keadaan jiwa seseorang itu digambarkan menurut apa adanya oleh seorang psikiater. Menurut apa adanya, di dalam persidangan maksudnya adalah digambarkan dengan mengingat sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaikbaiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Seorang psikiater tersebut juga wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Hal ini diatur di dalam Pasal 179 KUHAP ayat (1) dan (2), yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 179 (1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. (2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bagi mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaikbaiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Selanjutnya, normatif karena hakimlah yang menilai, berdasarkan hasil pemeriksaan oleh psikiater tadi, sehingga dapat menyimpulkan mampu dan tidak mampunya tersangka untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Dapat dilihat bahwa keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti yang sah, akan tetapi jika dihubungkan dengan sistem pembuktian di dalam KUHP nasional, yang memakai sistem pembuktian secara negatif (negatief wettelijk), keterangan ahli (Psikiater) dapat dikesampingkan jika hakim berpendapat lain, yaitu dengan melihat alat bukti yang lain, hakim dapat berkesimpulan berbeda dari pendapat ahli. Jika ternyata hakim menerima atau menggunakan keterangan ahli (Psikiater), berarti dalam hal ini hakim menganggap ada hubungan kausal antara perbuatan sipelaku dengan perbuatan yang dilakukannya sehingga pelaku tersebut tidak dapat dipidana, karena hasil pemeriksaan psikiater dan perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku membuktikan adanya hubungan kausal tersebut. Hal inilah yang menurut Jonkers, juga senada dengan pendapat Moeljatno, sebagai kebaikan dari sistem deskriptif normatif, karena seorang tabib (Psikiater) yang memberikan keterangan pada hakim dianggap pendapatnya berat sebelah karena Psikiater akan memperhatikan kepentingan orang yang sakit, tetapi hakim sebagai alat yang obyektif dari negara, yang karena jabatannya lebih menpertimbangkan kepentingan manusia dan masyarakat. 11 Perlu untuk diketahui disini, dalam pembuktian di sidang pengadilan perkara pidana, untuk dapat dijatuhkannya pidana, hakim sekurang-kurangnya harus mempunyai sedikit-dikitnya dua alat bukti dari lima alat bukti seperti yang diatur dalam pasal 184 ayat (1) yang telah disebutkan di atas dan di tambah keyakinan hakim terdakwalah yang melakukan tindak pidana yang disidangkan tersebut. Ketentuan ini terdapat di dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar 11 Loc.cit Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 60

terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Jadi, hakim dapat memutus pelaku tindak pidana itu dapat atau tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidananya tergantung dari penilaian hakim, dengan mengacu pada Pasal 183 KUHAP dan Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa tidak mampu bertanggung jawab di dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP dikarenakan 2 alasan yaitu: a. Jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) b. Terganggu karena penyakit (ziekelijke storing) Peran Psikiater Dalam Penentuan Ketidakmampuan Bertanggung Jawab Dalam Pasal 44 KUHP Pasal-pasal yang mengatur tentang keterangan ahli atau dokter (ahli) di dalam H.I.R disebutkan dan tersisip di dalam pasal-pasal di luar Pasal 295, yaitu di dalam Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 83b, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 306 dan Bab X H.I.R tentang saksi yang berlaku juga bagi seorang ahli. 12 Di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, disebutkan: alat bukti yang sah, ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. Selanjutnya, yang dimaksud dengan keterangan ahli di dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP adalah: keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian 12 R. Soeparmono, Keterangan Ahli dan Visum Et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana, Bandung : Mandar Maju, 2002, halaman 2 khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli yang dimaksud di sini adalah keterangan dari seorang psikiater. Psikiater adalah dokter yang mengambil spesialisasi dalam bidang tingkah laku yang tidak normal atau mengalami gangguan jiwa (mental). Untuk kepentingan pemeriksaan, ahli (psikiater) dapat dilibatkan guna kepentingan pemeriksaan, baik dalam tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan. 1. Tahap Penyidikan dan Penuntutan Sebelum perkara sampai pada tahap persidangan (adjudication), menurut sistem yang ditata menurut KUHAP, harus melalui tahapan yang pertama yaitu tahap sebelum persidangan (pre adjudication). Penyidikan termasuk dalam tahap Pre adjudication ini. Penyidikan menurut ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dalam penyidikan yang dilakukan oleh penyidik (Pasal 6 ayat (1) KUHAP) inilah, kecurigaan atau dugaan pertama kali seorang pelaku tindak pidana tersebut menunjukkan gejala yang tidak normal (gangguan jiwa) ditentukan berdasarkan pengamatan penyidik, oleh karena itu, untuk mendapatkan kepastian akan dugaan tersebut, penyidik berwenang untuk mendatangkan seorang psikiater agar dapat memeriksa dan melaporkan mengenai keadaan jiwa tersangka. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf h KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik karena Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 61

kewajibannya mempunyai wewenang untuk mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. Psikiater di dalam tahap penyidikan mempunyai kedudukan khusus, yaitu sebagai ahli atau saksi ahli yang mempunyai pengetahuan di bidang penyakit jiwa, berperan untuk memberikan keterangan mengenai keadaan jiwa tersangka dalam rangka membantu penyidik untuk mengungkap atau membuat terang suatu perkara pidana. Hal ini diatur di dalam Pasal 120 ayat (1) dan (2) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 120 (1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. (2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaikbaiknya kecuali bila disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta. Dalam pemeriksaan tersangka ini, ahli (psikiater) diminta untuk memberikan keterangan yang sebaik-baiknya menurut pengetahuannya mengenai keadaan jiwa tersangka sesuai dengan sumpah atau janji yang diucapkannya di muka penyidik. Hasil dari pemeriksaan tersangka tersebut yaitu berupa Visum et Repertum Psychiatricum, yang menjelaskan bagaimana keadaan jiwa tersangka, apakah ia dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Hal ini diperlukan bagi penyidik sebagai dasar untuk memnuat dan melengkapi Berita Acara Pemeriksaan, sebagai syarat untuk dapat dilanjutkan perkara ini kepada penuntut umum (Penuntutan). Kemudian penuntut umum memeriksa berkas perkara, apabila hasil penyelidikan dianggap kurang lengkap maka berkas tersebut dikembalikan ke penyidik untuk dilengkapi. Dalam perkara tersangka diduga menderita gangguan jiwa, psikiater juga dapat dilibatkan pada tahap ini, hal ini terjadi apabila pada tahap penyidikan belum diketahui jika tersangka menderita gangguan jiwa, kemudian ada keterangan dari pihak keluarga atau dugaan jaksa bahwa tersangka menderita gangguan jiwa, maka dalam pemeriksaan tambahan berdasarkan Pasal 27 ayat (1) huruf d Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1991 ditentukan bahwa kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melengkapi berkas perkara tertentu dan melakukan pemeriksaan tambahan sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan, yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Untuk melengkapi berkas perkara dengan pemeriksaan tambahan tersebut, dapat dilakukan pula terhadap ahli (psikiater). Jadi, peran psikiater dalam tahap penuntutan ini sama seperti pada tahap penyidikan, cuma berbeda pada tahapannya saja. 2. Tahap Persidangan Di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, secara tegas disebutkan bahwa keterangan ahli merupakan alat bukti yang sah, dan dapat dijadikan salah satu dasar bagi hakim dalam menjatuhkan putusannya. Jika Pasal 184 ayat (1) KUHAP ini, dikaitkan dengan Pasal 44 KUHP mengenai tidak mampu bertanggung jawabnya seseorang dikarenakan cacat jiwa dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka dalam menentukan mampu atau tidaknya terdakwa untuk dipertanggungja- Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 62

wabkan, hakim akan mendengar keterangan dari psikiater terlebih dahulu sebagai pertimbangan sebelum membuat suatu putusan. Hal ini disebabkan karena psikiaterlah yang menguasai ilmu mengenai penyakit jiwa ini. Di dalam Pasal 186 KUHAP dijelaskan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Mengenai keterangan ahli ini, jika dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 133 ayat (2) yang berbunyi: Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan. Dengan demikian maka keterangan ahli seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 butir 28, Pasal 186 dan Pasal 133 ayat (2) KUHAP, hanya dapat diberikan oleh dokter ahli kedokteran kehakiman, sedangkan keterangan yang didengarkan oleh hakim di persidangan, yang bukan dari ahli kedokteran kehakiman bukan disebut keterangan ahli melainkan hanya berupa keterangan. Psikiater dikelompokkan sebagai dokter ahli kedokteran kehakiman, karena tugasnya adalah membantu dalam menjernihkan atau menyelesaikan suatu perkara pidana. Bentuk dari keterangan ahli yang termasuk dalam alat bukti surat tadi adalah Visum et Repertum Psychiatricum, yaitu sesuatu yang dilihat dan dilaporkan secara tertulis mengenai keadaan jiwa pelaku tindak pidana, berdasarkan yang dilihat psikiater dengan mengingat sumpah jabatannya dan sumpah atau janji di muka penyidik bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya menurut pengetahuannya mengenai keadaan jiwa tersangka (Pasal 179 ayat (2) KUHAP). Sehubungan dengan Pasal 133 KUHAP yang berbunyi: Pasal 133 (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Ada hal menarik di sini, kalau kita membaca rumusan dari Pasal 133 ayat (1) memang tidak akan timbul masalah, dan masalah itu timbul jika kita membaca dan menghubungkannya dengan penjelasan Pasal 133 ayat (2). Mengenai hal itu, harus diartikan sebagai berikut: - jika keterangan dokter bukan ahli kedokteran kehakiman itu tadi diberikan secara tertulis, maka dapat dianggap sebagai bukti surat. Seperti yang ditentukan dalam Pasal 133 ayat (2) bahwa keterangan ahli itu diberikan secara tertulis, - tetapi jika keterangan dokter bukan ahli kedokteran kehakiman tadi diberikan di dalam sidang, maka dapat diartikan sebagai alat bukti keterangan saksi. 13 Dari penjelasan di atas, penggunaan istilah keterangan ahli hanya khusus untuk keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman saja. Istilah keterangan ahli bagi bukan ahli kedokteran kehakiman, hanya pada 13 R. Soeparmono, Op.cit., halaman 84 Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 63

tahap penyidikan dan menyangkut dengan korban luka, keracunan atau meninggal yang diduga karena peristiwa tindak pidana dan untuk kepentingan peradilan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengertian umum keterangan ahli terdapat dalam pasal 1 butir 28 KUHAP, tetapi untuk dapat dikatakan keterangan ahli di dalam persidangan hanya dilakukan oleh ahli kedokteran kehakiman saja. Dalam beberapa kasus, hakim dapat meminta psikiater untuk menjelaskan lagi alat bukti berupa Visum et Repertum Psychiatricum kepada hakim ke muka persidangan (keterangan ahli). Hal ini wajar mengingat bahasa yang digunakan psikiater adalah bahasa medis yang tidak dimengerti oleh hakim. Oleh karena itu psikiater pada umumnya berusaha untuk menggunakan bahasa yang sekiranya dapat untuk dimengerti hakim. Dengan demikian jelaslah bahwa kedudukan psikiater di sidang pengadilan adalah sebagai ahli atau saksi ahli, dan berperan sebagai legal agent yang memberikan keterangan lisan sehubungan dengan keadaan jiwa terdakwa, dalam rangka membantu hakim agar dapat memberikan putusan yang benar dan adil, selanjutnya keterangan ahli tersebut juga merupakan alat bukti yang sah. C. PENUTUP 1. Pengaturan mengenai tidak mampu bertanggungjawabnya seseorang yang melakukan tindak pidana di dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP, hanya ditujukan secara tegas terhadap orang-orang yang memenuhi alasan sebagai berikut: a. jiwanya cacat dalam pertumbuhan (gebrekkige ontwikkeling), dan b. terganggu karena penyakit (ziekelijke storing). Seseorang yang dalam keadaan tersebut di atas, tidak dapat dipidana karena berdasarkan asas Geen Straf Zonder Schuld (tiada pidana tanpa kesalahan) orang tersebut tidak memenuhi unsur kesalahan. Pasal 44 ayat (2) KUHP merupakan kelanjutan dari Pasal 44 ayat (1) KUHP, yaitu apabila pelaku tindak pidana telah memenuhi ketentuan di dalam Pasal 44 ayat (1) maka hakim membebaskan dari segala tuntutan hukum dan dengan penetapan, memerintahkannya untuk dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa selama satu tahun sebagai percobaan. 2. Peran psikiater di dalam sistem peradilan pidana yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 44 KUHP sebagai legal agent dalam membantu aparat penegak hukum untuk kepentingan pemeriksaan (penyidikan, pemeriksaan tambahan pada tahap penuntutan dan pemeriksaan di persidangan) untuk menyelesaikan perkara pidana yang pelakunya diduga menderita gangguan jiwa. Kedudukannya adalah sebagai ahli atau saksi ahli dan dapat dilibatkan dalam setiap tahapan pemeriksaan tersebut. Dasar hukumnya adalah: Dalam tahap penyidikan: Pasal 7 ayat (1) huruf h KUHAP dan Pasal 120 ayat (1) dan (2) KUHAP. Dalam tahap penuntutan (pemeriksaan tambahan): Pasal 14 huruf b KUHAP jo Pasal 27 ayat (1) huruf d Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam tahap persidangan: Pasal 179 ayat (1) dan (2) KUHAP, Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP, Pasal 186 KUHAP. Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 64

D. DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku Hamzah, Andi, ed, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1986) Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002) Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nawawi Arief, Barda, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996) --------------------------, Pelengkap Bahan Kuliah Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990) Pariaman, Dt. Tan, Hasan Basri Saanin, Psikiater dan Pengadilan (Psikiatri Forensik Indonesia), (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983) Soeparmono R., Keterangan Ahli dan Visum Et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2002) Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990) Sutarto, Suryono, Hukum Acara Pidana Jilid I, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2005) Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan II edisi III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002) Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 65