Abstrak Pertumbuhan berbagai produk properti berupa perumahan, apartemen, kondominium, pusat perdagangan, gedung perkantoran, rumah toko dan rumah kantor serta pembangunan kawasan industri baru menjadi pemandangan yang umum terlihat di kota-kota besar dan kota-kota di sekelilingnya. Pasokan properti yang ada terserap dengan baik oleh pasar bahkan permintaanpun lebih besar dari penawaran yang ada. Berdasarkan pengamatan dilapangan diketahui bahwa masih banyak Wajib Pajak sektor usaha real estat yang menggunakan harga sesuai NJOP yang terdapat dalam SPPT PBB dalam menentukan Dasar Pengenaan Pajak, padahal seharusnya menggunakan harga jual/harga transaksi yang sebenarnya terjadi dalam menentukan Dasar Pengenaan Pajak. Atas kegiatan bisnis realestate terdapat aspek pajak yang masih harus dipenuhi oleh wajib pajak di setiap proses bisnisnya. Keyword : Hulu hilir, aspek perpajakan, real estat Latar Belakang Kondisi pasar properti Indonesia mulai bangkit setelah krisis ekonomi global tahun 2008 tersebut. Kebangkitan tersebut dimulai 2 tahun setelah masa krisis berakhir yaitu pada tahun 2010. Tahun tersebut merupakan fase awal dari tahapan pertumbuhan (growth) industri properti di Indonesia. Fase selanjutnya adalah fase seller market yaitu waktu dimana konsumen maupun investor membeli dan berinvestasi di sektor properti. Masa tersebut terjadi hingga tahun 2013. Fase selanjutnya adalah fase booming properti yang diprediksi akan terjadi tahun 2014 hingga 2015. Prediksi tersebut secara kasat mata dapat kita lihat dari bagitu gencarnya pembangunan berbagai produk properti di berbagai wilayah khususnya kota-kota besar di Indonesia. Pembangunan perumahan, apartemen, kondominium, pusat perdagangan, gedung perkantoran, rumah toko dan rumah kantor serta pembangunan kawasan industri baru menjadi pemandangan yang umum terlihat di kota-kota besar dan kota-kota di sekelilingnya. Pasokan properti yang ada terserap dengan baik oleh pasar bahkan permintaanpun lebih besar dari penawaran yang ada. Kondisi pertumbuhan dan booming industri properti di Indonesia turut membawa pula efek berganda pada sektor usaha lainnya seperti perbankan melalui penyaluran kredit kepemilikan properti, perusahaan konstruksi, notaris, industri mebel, pengusaha bahan bangunan dan usaha terkait lainnya. Potensi penerimaan negara dari booming industri properti ini diperkirakan sangat besar. Berdasarkan penelitian awal diketahui bahwa masih banyak Wajib Pajak sektor usaha real estat yang menggunakan harga sesuai NJOP yang terdapat dalam SPPT PBB dalam menentukan Dasar Pengenaan Pajak, sehingga terdapat potensi PPN dan PPh Final Kurang Bayar dan juga potensi PPnBM dan PPh Pasal 22 (jika memenuhi persyaratan), karena sesuai ketentuan yang berlaku Wajib Pajak seharusnya menggunakan harga jual/harga transaksi yang sebenarnya terjadi dalam menentukan Dasar Pengenaan Pajak. Demikian juga masih terdapat potensi-potensi pajak yang masih harus dibayar oleh wajib pajak sektor perumahan di setiap proses bisnisnya Aspek Perpajakan Bisnis real estate telah banyak diminati oleh banyak orang. Dalam melakukan bisnis jual beli properti, tidak hanya dibutuhkan kesepakatan di antara penjual dan pembeli, namun juga terdapat hal-hal yang
harus dilakukan oleh kedua belah pihak sebagai salah satu kewajiban kepada Negara. Kewajiban tersebut adalah pembayaran pajak dalam pengalihan properti yang harus dilakukan oleh pembeli dan penjual. Sektor usaha real estat berhubungan erat dengan permasalahan tata wilayah, ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaaan negara memiliki hak mengatur agar kegiatan usaha sektor ini tidak mengganggu keseimbangan lingkungan fisik maupun sosial di suatu wilayah. Oleh karenanya, banyak ketentuan yang dibuat untuk mengatur aktifitas usaha sektor ini seperti berbagai perizinan yang harus diperoleh, kualifikasi usaha yang harus dimiliki dan kewajiban yang harus dipenuhi para pelaku usaha sektor ini. A.Pelaku Usaha Pelaku bisnis sektor usaha real estat lebih dikenal dengan sebutan pengembang atau developer harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat melakukan pembangunan, diantaranya: 1. 1. Berbentuk badan hukum yang telah mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (PT dan Yayasan) dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Koperasi) 2. Dalam akta pendiriannya bertindak sebagai pengembang bagi PT 3. Memiliki sertifikat pengembang yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan atau tergabung dalam asosiasi pengembang seperti REI, Apersi dan Apernas. B.Produk Properti Seringkali terjadi kebingungan pada penggunaan istilah properti dan real estate. Meskipun kata properti lebih umum digunakan berbagai pihak di media untuk menjelaskan perihal tanah dan bangunan, Direktorat Jenderal Pajak lebih memilih istilah real estat dalam Klasifikasi Lapangan Usaha untuk menunjuk kelompok pelaku usaha yang melakukan pembelian, penjualan, persewaan dan pengoperasian atas tanah serta bangunan. i. Residensial Adapun produk dari usaha real estat ini dapat dibagi 2, yaitu: Perumahan dengan berbagai jenis dan tipe (termasuk tanah kapling) Rumah Susun (Rusun) Rumah Toko (Ruko) Rumah Kantor (Rukan) Apartemen
ii. Komersial Gedung Perkantoran Pusat Perbelanjaan (ritel) Lahan Industri Kawasan Pergudangan C. Proses Bisnis Real Estat Berbagai tahapan yang umum terjadi pada kegiatan usaha real estat di imulai dari tahapan persiapan, pengadaan lahan hingga produk siap dipasarkan kepada konsumen lengkap dengan aspek pajak yang timbul dari setiap tahapan tersebut. 1. Persiapan Persiapan adalah tahap awal dari bisnis real estat. Tahapan ini meliputi kegiatan penelitian pendahuluan, penelitian potensi pasar dan kelayakan bisnis. Selanjutnya disusul dengan kegiatan perencanaan konstruksi dan rencana anggaran biaya. Kegiatan ini bisa dilakukan sendiri oleh pengembang atau menggunakan jasa konsultan. 1. 1. PPh Pasal 21/23 dari penghasilan bruto yang diterima konsultan yang melakukan kegiatan penelitian maupun studi kelayakan. 2. PPh Pasal 26 dengan tarif 20% atau sesuai tarif P3B dari penghasilan bruto yang diterimakonsultan luar negeri yang melakukan kegiatan penelitian maupun studi kelayakan. 3. PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk penghasilan pengusaha jasa konstruksi dengan tarif sesuai kualifikasi usaha Pengusaha Jasa Konstruksi tersebut. 4. Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari Nilai Jasa yang diterima pengusaha jasa konstruksi. 2. Pengadaan Lahan Tahapan lanjutan setelah persiapan selesaidan menetapkan bahwa proyek dapat dijalankanadalahpengadaan lahan. Lahan dapat diperoleh melalui beberapa cara, yaitu: membeli secara langsung kepada pemilik lahan, menggunakan jasa perantara (makelar) atau, melalui kerjasama dengan pemilik tanah.
a. PPh Final dengan tarif 5% dari harga jual/harga transaksi, Umumnya pihak penjual dan pembeli sepakat menggunakan harga sesuai NJOP pada SPPT PBB saja, bukan mengunakan harga jual/harga transaksi yang sebenarnya. a. BPHTB dengan tarif 5% dari harga jual/harga transaksi setelah dikurangi NPOPTKP sesuai peraturan daerah masing-masing, Umumnya pihak penjual dan pembeli sepakat menggunakan harga sesuai NJOP pada SPPT PBB saja, bukan mengunakan harga jual/harga transaksi yang sebenarnya. b. PPh Pasal 21/23 dari penghasilan yang diterima oleh makelar apabila jual beli tersebut dibantu oleh makelar. c. Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari harga jual/harga transaksi apabila penjual adalah PKP yang bergerak di bidang usaha penjualan tanah dan/atau bangunan. 3. Administrasi Perizinan Terdapat banyak perizinan harus dipenuhi oleh pelaku bisnis real estat ini. Izin dikeluarkan oleh pemerintah daerah dimana lahan yang akan dikembangkan menjadi real estat berada. Potensi pajak yang dapat digali pada tahap ini berupa: a. PPh Pasal 21/23 atas nilai yang dibayarkan apabila pengurusan perizinan menggunakan jasa pihak ketiga. b. PPN dengan tarif 10% dari nilai yang dibayarkan apabila pihak pemberi jasa adalah PKP c. PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari penghasilan yang diterima seorang notaris. d. Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari nilai jasa yang diterima notaries Langkah perizinan selanjutnya yang harus dilakukan pelaku bisnis real estat khususnya properti residensial untuk mempermudah proses penjualan kepada konsumen adalah melakukan pemecahan sertipikat (split sertipikat). Proses ini biasanya dibantu oleh notaris/ppat. 4.Kegiatan Pembangunan Tahapan selanjutnya setelah lahan dan perizinan selesai adalah kegiatan pembangunan produk real estat. Pada tahap ini terdapat beberapa pekerjaan yang melibatkan pihak lain dan terdapat potensi pajak didalamnya. 4.1.Pematangan Lahan
Pekerjaan pematangan lahan/tanah dan pembuatan kavling biasanya dikerjakan oleh pihak lain yaitupengusaha jasa konstruksi. Lingkup kegiatan ini meliputi pembersihan, penimbunan dan perataan lahan agar siap untuk dikembangkan. Biasanya pekerjaan ini menggunakan alat berat dan peralatan khusus lainnya. Aspek perpajakan pada tahap ini berupa : a. PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk penghasilan pengusaha jasa konstruksi dengan tarif sesuai kualifikasi usaha pengusaha jasa konstruksi tersebut. b. Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari nilai jasa yang diterima pengusaha pemberi jasa. c. PPh Pasal 23 apabila ada sewa peralatan/mesin/alat lainnya dengan tarif 2% dari nilai sewa. d. PPh Pasal 21 untuk tenaga ahli. 4.2.Pembangunan Prasarana, Sarana dan Utilitas Pembangunan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) berupa fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) wajib dilakukan oleh pengembang khususnya produk properti residensial. Bangunan dan kawasan PSU ini tercantum dalam site plan yang telah disahkan oleh Pemda. Pembangunan PSU berupa pembangunan jalan, saluran air (drainase), saluran pembuangan air limbah, tempat pembuangan sampah, jaringan listrik, air bersih, telepon, gas, transportasi, penerangan jalan, sarana ibadah, taman, kesehatan, pendidikan, pemakaman dan lain-lain.pekerjaan ini biasanya dikerjakan oleh pengusaha jasa konstruksi yang menggunakan alat berat dan peralatan khusus lainnya. a. PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk penghasilan pengusaha jasa konstruksi dengan tarif sesuai kualifikasi usaha pengusaha jasa konstruksi tersebut. b. Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari nilai jasa yang diterima pengusaha pemberi jasa. c. PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari penghasilan bruto yang dibayarkan kepada selain pengusaha jasa kontruksi (kontraktor jasa instalasi mesin, peralatan, listrik, air, gas dll) d. PPh Pasal 23 apabila ada sewa peralatan/mesin/alat lainnya dengan tarif 2% dari nilai sewa. e. PPh Pasal 21 untuk tenaga ahli. 4.3 Pembangunan Unit Properti
Tahapan selanjutnya dalam kegiatan pembangunan adalah pembuatanunit contoh dan unit siap untuk dijual. Pekerjaan ini biasanya dikerjakan oleh pengusaha jasa konstruksi yang menggunakan alat berat dan peralatan khusus lainnya. Potensi pajak yang dapat digali pada tahap ini berupa: a. PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk penghasilan pengusaha jasa konstruksi dengan tarif sesuai kualifikasi usaha pengusaha jasa konstruksi tersebut (2%, 3%, 4% atau 6%). b. Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari nilai jasa yang diterima pengusaha pemberi jasa. c. PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari penghasilan bruto yang dibayarkan kepada selain pengusaha jasa kontruksi (kontraktor jasa instalasi mesin, peralatan, listrik, air, gas dll) d. PPh Pasal 23 apabila ada sewa peralatan/mesin/alat lainnya dengan tarif 2% dari nilai sewa. e. PPh Pasal 21/26 untuk tenaga ahli. 5.Pemasaran Produk Tahapan terakhir adalah proses pemasaran produk. Kegiatan ini bisa dilakukan sendiri oleh pengembang atau menggunakan jasa pihak lain sebagai pemasar. Pemasaran produk kepada konsumen seringkali sudah dilakukan oleh perusahaan bahkan sebelum properti selesai dibangun atau malah belum dibangun. Produk properti yang dibangun kemudian dipasarkan dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu: i. Unit properti untuk dijual Biasanya produk properti residensial seperti perumahan, rusun, rukan, ruko dan apartemen. i. Unit properti untuk disewakan Biasanya produk properti komersial seperti gedung perkantoran, apartemen sewa, pusat perbelanjaan (mall, pusat grosir, ITC, dll), kompleks industri dan kompleks pergudangan. a. Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari harga jual/harga transaksi/ harga sebenarnya. b. PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dengan tarif 5% dari harga jual/harga transaksi/ harga sebenarnya. c. PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk persewaan tanah dan atau bangunan dengan tarif 10% dari nilai sewa.
d. Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan PPh Pasal 22 apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. e. BPHTB dengan tarif 5% dari harga jual/harga transaksi setelah dikurangi NPOPTKP sesuai peraturan daerah masing-masing. Kesimpulan 1. Bisnis jual beli properti telah banyak diminati oleh banyak orang. Dalam melakukan bisnis jual beli properti, tidak hanya dibutuhkan kesepakatan di antara penjual dan pembeli, namun juga terdapat hal-hal yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak sebagai salah satu kewajiban kepada Negara. Kewajiban tersebut adalah pembayaran pajak dalam pengalihan properti yang harus dilakukan oleh pembeli dan penjual. 2. Aspek perpajakan yang melekat bisnis real estat dari persiapan lahan, pembangunan sampai pemasaran produk antara lain PBB, PPh (PPh Final, PPh pasal 21, PPh pasal 23, dan PPh pasal 26), serta PPN dan PPnBM. 3. Selain mengatur pengenaan pajak, pemerintah juga memberikan fasilitas perpajakan berupa tidak terhutang PPN atas pejualan Rumah Sederhana (RS), RSS dan Rusunami dengan syarat tertentu. DAFTAR PUSTAKA - Undang-undang No 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-undang No 12 tahun 1994 (UU PBB) - Undang Undang Pajak Penghasilan (PPh) - Undang Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) - SE Dirjen Pajak Nomor SE-80 /PJ/2009 tentang Pelaksanaan PPh Yang Bersifat Final Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/ Atau Bangunan Yang Diterima Atau Diperoleh WP Yang Usaha Pokoknya Melakukan Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan. - Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (UU BPHTB). - Direktorat Jenderal Pajak, Modul Penggalian Pajak sektoral - Real estat. - Tanya Jawab Investasi & Bisnis Properti, Joko Salim, S.Kom, SE, Visi media