BAB III LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III LANDASAN TEORI. tahun dan saat ini sudah menjadi permasalahan global dan bukan semata-mata

LAMPIRAN A HASIL CHECKLIST LANJUTAN PEMERIKSAAN INSPEKSI KESELAMATAN JALAN YOGYAKARTA SOLO KM 10 SAMPAI DENGAN KM 15

KARAKTERISTIK KECELAKAAN DAN AUDIT KESELAMATAN JALAN PADA RUAS AHMAD YANI SURABAYA

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

KARAKTERISTIK KECELAKAAN DAN INSPEKSI KESELAMATAN JALAN DI KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Studi Kasus: Ruas Jalan Godean Km 3 - Km 12)

PEDOMAN. Perencanaan Median Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd. T B

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Keselamatan Jalan

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik Kecelakaan. 1. Jumlah kecelakaan dan jumlah korban kecelakaan

DESAIN PENANGANAN JALAN YANG BERKESELAMATAN DI RUAS JALAN HANOMAN KOTA TEGAL

Penentuan Titik Rawan Kecelakaan (Black spot) Berdasarkan Angka Ekuivalen Kecelakaan pada Ruas Jalan PH. H Mustofa - AH. Nasution Di Kota Bandung

BUPATI KAPUAS HULU PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG BAB V PENUTUP

ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM 14 TAHUN 2006 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS DI JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT DIREKTORAT BINA SISTEM TRANSPORTASI PERKOTAAN. Penempatan Fasilitas Perlengkapan Jalan

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

INSPEKSI KESELAMATAN JALAN PADA LOKASI RAWAN KECELAKAAN JALURPROBOLINGGO-LUMAJANG (KM SBY KM SBY 118)

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM 14 TAHUN 2006 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS DI JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS

PEDOMAN. Perencanaan Separator Jalan. Konstruksi dan Bangunan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Pd. T B

BAB V MEDIAN JALAN. 5.2 Fungsi median jalan

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT TENTANG PETUNJUK TEKNIS PERLENGKAPAN JALAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbaru (2008), Evaluasi adalah penilaian. pelayanan adalah kemampuan ruas jalan dan/atau persimpangan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI. diangkut selalu bertambah seperti pertambahan jumlah penduduk, urbanisasi,

Penempatan marka jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Persyaratan Teknis jalan

WALIKOTA TEGAL PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG KETERTIBAN LALU LINTAS DI KOTA TEGAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III LOKASI DAN METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : HK.205/1/1/DRJD/2006 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis dan pengolahan data yang ada maka dapat diambil

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini kemacetan dan tundaan di daerah sering terjadi, terutama di

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah ser

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 13 TAHUN 2014 TENTANG RAMBU LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Alternatif Pemecahan Masalah Transportasi Perkotaan

MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT TENTANG ZONA SELAMAT SEKOLAH (ZoSS). Pasal 1

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.603/AJ 401/DRJD/2007 TENTANG

2 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5422); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 34

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.984/AJ. 401/DRJD/2005 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

SATUAN ACARA PERKULIAHAN ( SAP ) Mata Kuliah : Rekayasa Lalulintas Kode : CES 5353 Semester : V Waktu : 1 x 2 x 50 menit Pertemuan : 13 (Tiga belas)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Jalan. Jalan secara umum adalah suatu lintasan yang menghubungkan lalu lintas

機車標誌 標線 號誌是非題 印尼文 第 1 頁 / 共 15 頁 題號答案題目圖示題目. 001 X Tikungan beruntun, ke kiri dahulu. 002 O Persimpangan jalan. 003 X Permukaan jalan yang menonjol

Jurnal Sipil Statik Vol.2 No.1, Januari 2014 (29-36) ISSN:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Inspeksi Keselamatan Jalan

PEDOMAN. Perencanaan Bundaran untuk Persimpangan Sebidang DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd.

Pd T Perambuan sementara untuk pekerjaan jalan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

LAMPIRAN III PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bertujuan untuk bepergian menuju arah kebalikan (Rohani, 2010).

STUDI ANALISIS HUBUNGAN, KECEPATAN, VOLUME, DAN KEPADATAN DI JALAN MERDEKA KABUPATEN GARUT DENGAN METODE GREENSHIELDS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 65 TAHUN 1993 T E N T A N G FASILITAS PENDUKUNG KEGIATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

BAB III LANDASAN TEORI. hanya melibatkan satu kendaraan tetapi beberapa kendaraan bahkan sering sampai

BAB II KOMPONEN PENAMPANG MELINTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI. Jalan Wonosari, Piyungan, Bantul, banyak terjadi kecelakaan lalu lintas yang

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. sekunder berupa data-data yang diperoleh dari instansi terkait.

Kecelakaan Lalu Lintas Indonesia

Tugas Akhir D4 TPJJ 2013 BAB I PENDAHULUAN

PEMERINTAH KABUPATEN KEDIRI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 19/PRT/M/2011 TENTANG PERSYARATAN TEKNIS JALAN DAN KRITERIA PERENCANAAN TEKNIS JALAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1993 TENTANG PRASARANA DAN LALU LINTAS JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kabupaten Sleman merupakan salah satu daerah administrasi yang luas dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebelumnya, maka dengan ini penulis mengambil referensi dari beberapa buku dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jalan. Ketika berkendara di dalam kota, orang dapat melihat bahwa kebanyakan

TATA CARA PERENCANAAN PEMISAH NO. 014/T/BNKT/1990

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN JALAN

BAB 3 PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berpotongan/bersilangan. Faktor faktor yang digunakan dalam perancangan suatu

Keselamatan Jalan Raya

BAB III LANDASAN TEORI

METODOLOGI PENELITIAN 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Contoh penyeberangan sebidang :Zebra cross dan Pelican crossing. b. Penyeberangan tidak sebidang (segregated crossing)

BAB III LANDASAN TEORI. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 62 TAHUN 1993 T E N T A N G ALAT PEMBERI ISYARAT LALU LINTAS MENTERI PERHUBUNGAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 61 TAHUN 1993 TENTANG RAMBU-RAMBU LALU LINTAS DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

Aspek Keselamatan Jalan dalam Pembangunan Jalan. BLACKSPOT INVESTIGATION WORKSHOP Surabaya, Mei 2012

BLACKSPOT INVESTIGATION WORKSHOP Surabaya, Mei 2012

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 49 TAHUN 2014 TENTANG ALAT PEMBERI ISYARAT LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

EVALUASI PENERAPAN ZONA SELAMAT SEKOLAH DI KOTA PADANG ABSTRAK

Transkripsi:

BAB III LANDASAN TEORI A. Kecelakaan Lalu Lintas Pertumbuhan penduduk, kenaikan pendapatan masyarakat, pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor, pemekaran kota, dan peningkatan aktivitas sosial ekonomi sangat berpengaruh pada sistem transportasi. Peningkatan aktivitas masyarakat tersebut dapat menimbulkan tinggi nya arus lalu lintas yang berpotensi terjadinya kemacetan terutama pada jam-jam sibuk dan tak jarang menimbulkan kecelakaan lalu lintas. Menurut Pedoman Penanganan Lokasi Rawan Kecelakaan Lalu Lintas, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Pd T-09-2004-B), suatu lokasi dapat dinyatakan sebagai lokasi rawan kecelakaan apabila: a. Memiliki angka kecelakaan yang tinggi; b. Lokasi kejadian relatif bertumpuk; c. Lokasi kecelakaan berupa persimpangan, atau segmen ruas jalan sepanjang 100 300 m untuk jalan perkotaan, atau segmen ruas jalan sepanjang 1 km untuk jalan antar kota; d. Kecelakaan terjadi dalam ruang dan rentang waktu yang relatif sama; e. Memiliki penyebab kecelakaan dengan faktor yang spesifik. Menurut Pedoman Penanganan Lokasi Rawan Kecelakaan Lalu Lintas, Departemen Permukiman dan Prasaran Wilayah (Pd T-09-2004-B), teknik pemeringkatan lokasi kecelakaan dapat dilakukan dengan pendekatan tingkat 11

12 kecelakaan dan statistik kendali mutu (quality control statistic) atau pembobotan berdasarkan nilai kecelakaan. a. Perhitungan tingkat kecelakaan pada ruas jalan: T k = F k 100 8 LHR T n L 365 dalam satuan JPKP.. (3.1) Dimana: T k F k LHR T n = tingkat kecelakaan, dalam 100 JPKP = frekuensi kecelakaan di ruas jalan untuk n tahun data = volume lalu lintas tahunan rata-rata = jumlah tahun data 100 JPKP = satuan tingkat kecelakaan (100 Juta Perjalanan Kendaraan Per- KM) b. Pemeringkatan dengan pendekatan statistik mutu untuk jalan antar kota Penentuan lokasi rawan kecelakaan menggunakan statistik kendali mutu sebagai control chart UCL (Upper Control Limit) UCL = λ+ [2,576 λ m ] + [0.829 m ] + [ 1 2m ] (3.2) Dimana: UCL λ m = garis batas kendali atas = rata-rata tingkat kecelakaan per ekspoure = satuan ekspoure dalam, KM Segmen ruas jalan dengan tingkat kecelakaan yang berada di atas garis UCL didefinisikan sebagai lokasi rawan kecelakaan.

13 c. Pemeringkatan dengan pembobotan tingkat kecelakaan menggunakan konversi biaya kecelakaan Memanfaatkan perbandingan nilai moneter dari biaya kecelakaan dengan perbandingan : M : B : R : K = M/K : B/K : R/K : 1..(3.3) Dimana: M B R K = meninggal dunia = luka berat = luka ringan = kecelakaan dengan kerugian materi Menggunakan angka ekuivalen kecelakaan (EAN) dengan sistem pembobotan mengacu pada biaya kecelakaan (TRL) : B. Angka kecelakaan lalu lintas M : B : R : K = 12 : 3 : 3 : 1..(3.4) Angka kecelakaan per km (Accident rate per kilometers), digunakan untuk membandingkan suatu seri dari bagian jalan yang mempunyai aliran relatif seragam. Menurut Jf. Soandrijanie L dan Ria Lilis A.P (2008) angka kecelakaan tersebut dihitung dengan menggunakan persamaan: Dimana: R L = A C L.(3.5) R L A C L = total kecelakaan rerata per km untuk satu tahun = total jumlah kecelakaan selama satu tahun = panjang jalan dalam km

14 Penanganan lokasi kecelakaan dengan tingkat pengurangan untuk ruas jalan perkotaan dan jalan antar kota berdasarkan Panduan Teknis 1 Rekayasa Keselamatan, Direktorat Jenderal Bina Marga, (2012). Jika lebih dari satu penanganan yang diusulkan maka digunakan nilai faktor reduksi yang terbesar. Tabel 3.1. Faktor Reduksi Kecelakaan Penanganan Faktor Reduksi Tabrakan Usia Penanganan PERSIMPANGAN Bundaran baru 85 % 20 Modifikasi bundaran (defleksi pada jalur pendekat) 55 % 20 APILL baru 45 % 20 Mengubah simpang APILL ke bundaran 30 % 20 Dua simpang T berdekatan untuk volume rendah 70 % 20 Memindahkan persimpangan Y 85 % 20 Membuat pulau lali lintas/median di kawasan perkotaan 20 % 20 Membuat pulau lalu lintas/median di kawasan pedesaan 45 % 20 volume rendah Pengecatan marka garis untuk menjelaskan jenis pengaturan simpang 10 % 5 Memperbaiki jarak pandang (hilangkan/relokasi objek yang menghalangi) 50 % 20 Meningkatkan perambuan 30 % 15 Pita penggaduh pada pendekat 30 % 5 Menempatkan rambu berhenti 30 % 15 Menempatkan rambu-rambu yang diperlukan 30 % 15 Mengubah menjadi rambu berhenti 5 % 15 PEKERJAAN PERKERASAN Rekonstruksi jalan 25 % 20 Membuat jalur ganda setempat 30 % 20 Memasang peninggian median 30 % 20 Menambahkan garis median 20 % 20 Melebarkan perkerasan jalan 10 % 20 Membangun lajur menyiap 25 % 20 Menambah lajur 10 % 20 Melebarkan jalan untuk Lajur Berbelok Kanan 50 % 20 Melebarkan jalan untuk Lajur Berbelok Kiri 15 % 20 Pelebaran lajur 0,3 m 5 % 20 Pelebaran 0,6 m 12 % 20 Pelebaran bahu tanpa ikatan tepi 0,3 m 3 % 20 Pelebaran bahu tanpa ikatan tepi 0,6 m 7 % 20 Pelebaran bahu tanpa ikatan tepi 1,0 m 10 % 20 Pelebaran bahu dengan ikatan tepi 0,3 m 4 % 20 Pelebaran bahu dengan ikatan tepi 0,6 m 8 % 20 Pelebaran bahu dengan ikatan tepi 1,0 m 12 % 20 DELINEASI Patok pengarah reflektif 30 % 20 Rambu dini jalan berkelok secara statik 20 % 15

15 Rambu dini jalan berkelok secara dinamis 75 % 15 Memasang rambu chevron normal 35 % 15 Memasang rambu chevron papan elektronik 50 % 15 Pengecatan garis tengah 30 % 5 Pembuatan Garis Tengah tactile 40 % 5 Pengecatan garis tepi jalan 25 % 5 Pembuatan Garis Tepi tactile 35 % 5 Deretan barikade 30 % 5 Marka timbul dengan bahan reflektif 20 % 5 (Sumber: Panduan Teknis 1, Rekayasa Keselamatan, Direktorat Jenderal Bina Marga, 2012) C. Analisis Regresi Analisis regresi dalam statistika adalah salah satu metode untuk menentukan hubungan sebab akibat antara satu variabel dengan variabel yang lain. Terdapat suatu variabel tergantung (dependent variable) atau respon y yang tidak terkontrol. Respon ini tergantung pada satu atau lebih variabel bebas (independent variable) x1, x12,, xn yang terukur dan merupakan variabel yang terkontrol dalam eksperimen. Dalam kasus dengan suatu variabel tergantung atau y tunggal dan suatu variabel bebas x tunggal, dikatakan regresi y dan x maka dengan regresi linier berarti bahwa y dihubungkan secara linier dengan x oleh persamaan regresi: Y= a + bx...(3.7) Dimana koefisien regresi a dan b diestimasi dari data sampel. D. Korelasi Dalam teori probabilitas dan statistika, korelasi atau juga disebut koefisien korelasi adalah nilai yang menunjukkan kekuatan dan arah hubungan linier antara dua peubah acak (random variable). Jika nilai-nilai satu peubah naik sedangkan nilai-nilai peubah lainnya menurun, maka kedua peubah tersebut mempunyai korelasi negatif. Sedangkan jika nilai-nilai suatu peubah naik dan diikuti oleh naiknya nilai-nilai peubah lainnya atau nilai-nilai satu peubah turun dan diikuti oleh

16 turunnya nilai-nilai peubah lainnya, maka korelasi yang terjadi adalah bernilai positif Derajat atau tingkat hubungan antara dua peubah diukur dengan indeks korelasi, yang disebut sebagai koefisien korelasi dan ditulis dengan simbol R, apabila nilai koefisien korelasi tersebut dikuadratkan (R²), maka disebut sebagai koefisien determinasi yang berfungsi untuk melihat sejauh mana ketetapan fungsi regresi. Nilai koefisien korelasi dapat dihitung dengan memakai rumus: r = n Xi. Yi- Xi. Yi (n Xi 2 -( Xi) 2 (n Yi 2 -( Yi) 2 )... (3.8) Nilai koefisien korelasi R berkisar dari -1 sampai dengan +1. Nilai negatif menunjukkan suatu korelasi negatif sedangkan nilai positif menunjukkan suatu korelasi positif. Nilai nol menunjukkan bahwa tidak terjadi korelasi antara suatu peubah dengan peubah lainnya (Sugiono, 2004) dalam (Peprizal, dkk, 2014). Tabel 3.2. Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi Nilai Koefisien Korelasi 0,00 0,199 Sangat Rendah 0,20 0,399 Rendah 0,40 0,599 Cukup 0,60 0,799 Kuat 0,80 1,000 Sangat Kuat (Sumber: Sugiono, 2004 dalam Peprizal, dkk, 2014) E. Inspeksi Keselamatan Keterangan Inspeksi keselamatan jalan merupakan pemeriksaan sistematis dari jalan atau segmen jalan untuk mengidentifikasi bahaya-bahaya, kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan yang dapat menyebabkan kecelakaan akibat defisiensi bangunan pelengkap jalan sehingga tidak beroperasi secara efektif. Pemeriksaan inspeksi keselamatan jalan bertujuan untuk memeriksa defisiensi standart geometrik jalan secara keseluruhan, defisiensi desain akses atau

17 persimpangan, defisiensi kondisi fisik permukaan jalan, defisiensi bangunan pelengkap jalan, defisiensi drainase jalan, defisiensi lansekap jalan dan defisiensi marka jalan. No. Tabel 3.3. Parameter audit keselamatan jalan tahap operasional Kelompok Permasalahan 1. Kondisi Umum 2. Alinyemen 3. Persimpangan 4. 5. Lajur Tambahan/Lajur untuk putar arah Lalu lintas tak bermotor 6. Perlintasan Kereta Api 7. Pemberhentian Bus/Kendaraan 8. Kondisi Penerangan 9. 10. 11. Rambu dan Marka Bangunan Pelengkap Kondisi Permukaan a. Kelas /Fungsi b. Bahu c. Drainase d. Kecepatan a. Jarak Pandang b. Kecepatan Rencana c. Pengharapan Pengemudi d. Lajur Mendahului a. Alinyemen b. Rambu Peringatan c. Marka dan tanda persimpangan a. Lebar Lajur b. Taper a. Lintasan Penyeberangan b. Pagar Pengaman c. Lokasi Pemberhentian Bus a. Lintasan Kereta Api b. Jarak Pandang a. Teluk Bus b. Tempat Parkir Kendaraan a. Lampu Penerangan b. Cahaya Silau a. Lampu pengatur lalu lintas b. Rambu pengatur lalu lintas a. Tiang listrik dan tiang telepon b. Penghalang Tabrakan a. Kerusakan Pavement b. Skid Resistance Daftar Periksa e. Lansekap f. Parkir h. Tempat pemberhentian kendaraan bus e. Lajur Pendakian f. Lebar g. Bahu d. Layout e. Jarak Pandang f. Ruang bebas samping c. Rambu d. Jarak Pandang d. Fasilitas untuk manula/penyandang cacat e. Lajur Sepeda f. Rambu dan marka c. Rambu dan alat penurun kecepatan c. Marka dan Delineasi c. Jembatan d. Box control, box culvert, papan petunjuk arah dan papan iklan c. Genangan d. Longsoran (Sumber: Pedoman Audit Keselamatan, Departemen Pekerjaan Umum, 2005) F. KLASIFIKASI JALAN Klasifikasi jalan berdasarkan Peraturan Pemerintah republik Indonesia no 34 tahun 2006 pasal menjelaskan pihak-pihak yang membantu dalam mengambil

18 keputusan untuk penetapan ruas jalan. Sedangkan dalam pasal 25 sampai 30 membantu pihak-pihak yang disebutkan dalam pasal 62 untuk mengelompokkan status jalan seperti pada tabel 3.4. Status Nasional Propinsi Kabupaten Tabel 3.4. Klasifikasi Berdasarkan Status Diatur Melingkupi Pasal 26 Pasal 27 Pasal 28 a. arteri primer; b. kolektor primer yang menghubungkan antar ibu kota propinsi; c. tol, dan d. strategis nasional. a. kolektor primes yang menghubungkan ibu kota propinsi dengan ibu kota kabupaten atau kota; b. kolektor primer yang menghubungkan antar ibu kota kabupaten atau kota; c. strategis propinsi. a. kolektor primer yang tidak termasuk jalan nasional sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 huruf b dan jalan propinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 27; b. lokal primer yang menghubungkan ibu kota kabupaten dengan pusat desa, antar ibu kota kecamatan, ibu kota kecamatan dengan desa, dan antar desa. c. sekunder yang tidak termasuk jalan propinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 huruf d dan jalan sekunder dalam kota; d. strategis kabupaten Kota Pasal 29 umum pada jaringan jalan sekunder di dalam kota. Desa Pasal 30 lingkungan primer dan jalan lokal primer yang tidak termasuk jalan kabupaten sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 huruf b di dalam kawasan pedesaan, dan merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau permukiman di dalam desa. (Sumber: Peraturan pemerintah Republik Indonesia no 34 tahun 2006, 2006)