1 Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masalah Selama ini masyarakat selalu memandang bahwa peran auditor pemerintah tidak berjalan sesuai fungsinya. Hal tersebut didasarkan pada kontradiksi antara banyaknya lembaga pengawasan yang berbanding terbalik dengan masih banyaknya penyimpangan yang terjadi. Setiap tahun pengelolaan keuangan negara dilakukan pemeriksaan oleh BPK. Di samping itu, terdapat lembaga pengawasan internal dalam sistem kelembagaan di Indonesia seperti BPKP, Inspektorat Kementerian/Lembaga dan Inspektorat Daerah. Semua lembaga tersebut sudah melakukan audit sesuai ruang lingkup mandatnya terhadap pelaksanaan keuangan negara. Namun masih banyak penyimpangan yang terungkap melalui proses hukum. Padahal menurut David et al. seperti dikutip oleh Tuanakotta (2012), penyimpangan yang sudah diproses hukum hanyalah sebagian dari seluruh penyimpangan yang terjadi, yang diperkirakan hanya sebesar 20% penyimpangan tersebut. Penelitian yang telah dilakukan di luar negeri juga menemukan bahwa penyimpangan yang terungkap sebenarnya relatif kecil dibandingkan keseluruhannya, yang mengindikasikan terjadinya gejala gunung es (Tuanakotta, 2012). Hal tersebut tercermin dari proses hukum kasus korupsi yang ditangani KPK sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2012 yang sudah berkekuatan hukum sebanyak 28 kasus dengan potensi kerugian negara sebesar
2 Rp2.623.212.042.642,62 (Syahril, 2013). Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi yang dibuat oleh Transparancy International, Indonesia menempati peringkat 107 dari 175 negara pada tahun 2014 dengan skor 34. Skor tersebut masih di bawah rata-rata skor negara di kawasan Asia Tenggara. Faktor yang berkontribusi terhadap rendahnya skor tersebut adalah terjadinya penyimpangan dalam lembaga pemerintah. Lebih lanjut, lembaga Transparansi Internasional Indonesia melakukan penelitian untuk mengukur tingkat korupsi di Indonesia pada tingkat pemerintah daerah. Simpulannya adalah bahwa penyimpangan yang paling biasa terjadi pada pengadaan barang/jasa pemerintah.. Fungsi audit adalah memberikan assurance services kepada para stakeholder. Menurut AICPA Special Committee on Assurance Services (dalam Boynton dan Johnson, 2006, p.11): assurance services are independent professional services that improve the quality of information, or its context, for decision makers. Dengan demikian, hasil audit yang dilaksanakan oleh auditor diharapkan memberikan keyakinan bahwa penyimpangan pengelolaan keuangan negara yang signifikan dapat terdeteksi. Masih banyaknya penyimpangan yang belum terdeteksi oleh lembaga pengawas yang ada menandakan belum efektifnya pengawasan yang dilakukan. Salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap hal tersebut antara lain berasal dari kurangnya kualitas audit yang dihasilkan. BPKP merupakan salah satu lembaga pemerintah yang menjalankan fungsi pengawasan di pemerintahan. Dalam konteks kelembagaan pengawasan, maka BPKP diposisikan sebagai auditor internal pemerintah. BPKP sebagai auditor
3 internal berfungsi menjamin dan membina organisasi pemerintah untuk perbaikan mendatang sehingga risiko penyimpangan dapat semakin berkurang. Hal tersebut sesuai definisi audit internal menurut Institute of Internal Audit (dikutip dari http://www.theiia.org/guidance/standards-and-guidance) sebagai berikut: Internal auditing is an independent, objective assurance and consulting activity designed to add value and improve an organization's operations. It helps an organization accomplish its objectives by bringing a systematic, disciplined approach to evaluate and improve the effectiveness of risk management, control, and governance processes. Di sisi lain, praktek audit pada sektor pemerintah mempunyai cakupan yang lebih kompleks dibandingkan dengan audit pada sektor swasta. Auditor pada sektor pemerintah dihadapkan pada luasnya besaran varian kegiatan di pemerintahan dan banyaknya regulasi yang menjadi acuan lembaga pemerintah yang harus dipatuhi. Kompleksitas kegiatan pemerintahan tentunya menjadi pertimbangan auditor dalam audit. Prosedur audit yang diterapkan menjadi bertambah luas dibandingkan dengan praktek audit pada sektor swasta. Sementara audit sektor pemerintah merupakan audit yang sifatnya mandatory, yang berarti audit harus dilaksanakan sesuai kebijakan yang digariskan. Hal tersebut dijelaskan IAASB dalam International Standard on Quality Control Para A23 berikut: In the public sector, auditors may be appointed in accordance with statutory procedures. Accordingly, certain of the requirements and considerations regarding the acceptance and continuance of client relationships and specific engagements as set out paragraphs 26 28 and A18 A22 may not be relevant. Nonetheless, establishing policies and procedures as described may provide valuable information to public sector auditors in performing risk assessments and in carrying out reporting responsibilities.
4 Konsekuensi atas kondisi tersebut adalah besarnya risiko audit yang diterima auditor sektor pemerintah, dan hal tersebut berimplikasi pada semakin luasnya pengujian yang semestinya dilakukan. Audit sektor pemerintah meskipun tidak menghadapi kompetisi namun menghadapi batasan alokasi anggaran yang tersedia untuk melakukan audit yang bersifat mandatory. Batasan lain audit sektor pemerintah, terutama di BPKP, adalah sifat penugasan yang dilakukan kantor perwakilan sebagian besar merupakan audit dukungan yang hasilnya akan dikompilasi dalam rangka penyusunan hasil audit tingkat nasional oleh kantor pusat. Penetapan jadwal waktu sesuai arahan kantor pusat membuat kantor perwakilan menetapkan anggaran waktu akan mempertimbangkan target penyelesaian yang diminta kantor pusat. Setiap kantor perwakilan akan terdorong untuk mengakomodasi penyelesaian audit sesuai kebutuhan kantor pusat sehingga anggaran waktu yang ditetapkan untuk setiap penugasan selalu mempertimbangkan waktu penyelesaian yang diminta kantor pusat. Tekanan anggaran waktu tersebut, baik yang disebabkan batasan alokasi anggaran maupun batasan penyelesaian audit, mendorong perilaku disfungsional auditor. Perilaku disfungsional auditor dalam melakukan audit merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kualitas audit. Untuk memenuhi kualitas audit yang memadai maka audit yang dilaksanakan seharusnya mengacu pada standar audit yang telah ditetapkan profesi auditing. Standar audit telah menetapkan bahwa auditor harus menggunakan keahlian profesional dengan cermat dalam melakukan audit, dan auditor harus memperoleh bukti audit yang mencukupi dalam
5 melakukan prosedur audit sehingga memberikan dasar untuk memberikan penilaian. Tekanan anggaran waktu yang terjadi memungkinkan auditor untuk mengurangi perolehan bukti audit, dan jika secara profesional tidak mencukupi dapat menurunkan kualitas audit. Penelitian ini akan menginvestigasi dimensi kualitas audit dengan melihat aspek perilaku reduksi kualitas audit, yakni perilaku yang secara langsung mengancam kualitas audit dengan mengurangi efektifitas perolehan bukti audit yang disebabkan tekanan anggaran waktu. Secara umum penelitian mengenai perilaku reduksi kualitas audit sudah pernah dilakukan terutama lebih banyak dilakukan pada lingkungan Kantor Akuntan Publik (KAP). Penelitian yang sudah pernah dilakukan pada sektor pemerintah masih belum banyak. Di Indonesia, penelitian yang sudah dilakukan pada sektor pemerintah antara lain penelitian Dewi (2008) dan Tenripada (2010). Penelitian Dewi dilakukan pada auditor perwakilan BPK di Pulau Jawa yang menemukan komitmen organisasi sebagai faktor yang signifikan berpengaruh terhadap perilaku reduksi kualitas audit. Penelitian Tenripada dilakukan pada auditor perwakilan BPK DIY, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah yang menemukan tindakan supervisi sebagai faktor yang signifikan berpengaruh terhadap perilaku reduksi kualitas audit. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2011), Dewi (2008), Achmad (2007) dan Hastuti (2014) tidak menggunakan aspek perilaku auditor tetapi langsung pada kualitas audit. Penelitian-penelitian tersebut belum menggambarkan fenomena yang terjadi pada wilayah lain di Indonesia karena cenderung pada auditor di wilayah Jawa. Audit pada sektor pemerintah mempunyai sebaran menjangkau seluruh wilayah
6 Indonesia dengan masing-masing wilayah mempunyai karakteristik tertentu. Hal ini sesuai dengan penekanan audit sektor pemerintah, yaitu penggunaan anggaran yang tersebar ke seluruh wilayah. Luasnya sebaran sektor pemerintah yang harus diaudit menjadikan organisasi tempat bertugas auditor yang menjadi subyek penelitian juga tersebar. Auditor sektor pemerintah akan menghadapi kondisi yang berbeda antara wilayah yang satu dengan yang lainnya meskipun substansi audit dan anggaran waktu yang diberikan sama. Auditor yang bertugas di Jawa dengan auditor yang bertugas di luar Jawa atau bahkan Indonesia bagian timur tentu akan mengalami kondisi yang berbeda ketika menentukan sampel yang diperlukan dalam rangka melakukan audit atas penggunaan anggaran pemerintah. Keterbatasan akses dan sarana di wilayah luar Jawa akan cenderung mendorong auditor untuk melakukan perilaku reduksi kualitas audit dengan menentukan sampel yang sesuai anggaran waktu yang diberikan meskipun terdapat indikasi penyimpangan. (Karakteristik wilayah yang berbeda tentunya dapat menggambarkan perilaku auditor dalam menghadapi risk of client yang berbeda. Sehingga auditor akan menghadapi kondisi risk of client yang berbeda pada masing-masing wilayah namun mengalami tekanan anggaran waktu yang sama). Oleh karena itu, penelitian ini akan mengakomodasi kurangnya sebaran sampel penelitian dengan mengambil sampel sebaran wilayah di Indonesia sehingga bisa mewakili fenomena di Indonesia. Selain itu, penelitian ini tidak menggunakan BPK sebagai auditor eksternal tetapi menggunakan auditor internal pemerintah dalam hal ini BPKP.
7 Studi mengenai pengaruh pertimbangan risiko terhadap kecenderungan perilaku reduksi kualitas audit telah dilakukan oleh Raghunatan (1991), Coram et al. (2004), Houston (1999) dan Heriningsih (2001), yang mengungkapkan adanya pengaruh meningkatnya risk of client terhadap perilaku reduksi kualitas audit dalam kondisi tekanan anggaran waktu. Namun kesimpulan atas hasil studi sebelumnya masih belum menjelaskan arah pengaruh tersebut. Secara terotis, risk of client merupakan faktor yang sangat menentukan luas dan ruang lingkup audit yang akan dilakukan. Respon terhadap tingginya risk of client seharusnya dilakukan dengan meningkatkan luasnya pengumpulan bukti audit. Respon sebaliknya tentu dapat meningkatkan risiko audit yakni risiko kesalahan auditor menyimpulkan hasil auditnya, sehingga stakeholder akan menerima hasil audit dengan kualitas yang buruk. Dengan pertimbangan respon risk of client mempunyai pengaruh yang signifikan pada kualitas audit maka menjadi penting untuk menganalisis respon terhadap risk of client dalam penelitian perilaku reduksi kualitas audit. Hasil studi yang menguji pengaruh supervisi audit terhadap perilaku reduksi kualitas audit telah dilakukan oleh Malone dan Robert (1996), Herrbach (2001), Kelley dan Margheim (1990) dan Margheim dan Pany (1986) yang memberikan simpulan hasil penelitian yang berbeda sehingga penelitian belum bisa menegaskan teori yang ada bahwa supervisi audit merupakan proses untuk menjamin penugasan audit menghasilkan hasil audit dengan kualitas yang memadai. Semakin tinggi risiko audit suatu penugasan audit atau segmen audit tentunya membutuhkan supervisi audit yang lebih ketat. Dengan adanya
8 supervisi audit tentu dapat mengurangi perilaku reduksi kualitas audit. Dengan demikian, masih sangat diperlukan dukungan empiris untuk menegaskan hal tersebut. 1.2. Perumusan Masalah Pada latar belakang masalah telah diuraikan hasil-hasil penelitian terdahulu yang mendokumentasikan tekanan anggaran waktu yang dihadapi auditor dalam pelaksanaan program audit yang mengakibatkan terjadinya perilaku reduksi kualitas audit yakni berkurangnya efektivitas pengumpulan bukti audit. Namun demikian, perilaku reduksi kualitas audit bisa dikurangi dengan respon positif pada risk of client, supervisi audit, komitmen organisasi dan skeptisisme profesional auditor. Berdasarkan uraian di atas maka pertanyaan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah tekanan anggaran waktu yang dirasakan auditor berpengaruh terhadap perilaku reduksi kualitas audit? 2. Apakah penilaian risk of client berpengaruh terhadap perilaku reduksi kualitas audit? 3. Apakah supervisi audit berpengaruh terhadap perilaku reduksi kualitas audit? 4. Apakah komitmen organisasi berpengaruh terhadap perilaku reduksi kualitas audit? 5. Apakah skeptisisme profesional berpengaruh terhadap perilaku reduksi kualitas audit?
9 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan memverifikasi variabel-variabel karakteristik situasional dan personal yang berpengaruh terhadap perilaku reduksi kualitas audit dengan memberikan bukti empiris mengenai pengaruh tekanan anggaran waktu, risk of client, supervisi audit, komitmen organisasional dan skeptisisme profesional. Penelitian ini juga hendak menegaskan pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat yang masih belum mendapatkan dukungan dari hasil penelitian sebelumnya. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku reduksi kualitas audit pada auditor BPKP sebagai auditor internal di lingkungan pemerintah. Hasil penelitian akan memberikan kontribusi akademis maupun praktek. Kontribusi akademis yang ingin diberikan dari hasil penelitian ini adalah memperkaya literatur mengenai faktor-faktor yang berpengaruh pada perilaku auditor dalam tindakan reduksi kualitas audit. Lebih spesifik, penelitian ini memberikan bukti empiris fenomena tekanan anggaran waktu yang dihadapi auditor internal pemerintah dengan menganalisis faktorfaktor yang menurut standar profesi harus diperhatikan agar kualitas audit terjaga, yaitu pertimbangan auditor pada risk of client, berjalannya supervisi audit dan skeptisisme profesional yang perlu dimiliki auditor dalam menjalan profesi, dan komitmen organisasi sebagai faktor yang berasal dari individu auditor. Penelitian ini mengambil sampel dengan sebaran yang dapat mewakili wilayah untuk menggambarkan karakteristik spesifik yang dihadapi auditor. Oleh karena itu,
10 hasilnya diharapkan memberikan gambaran yang lebih utuh dalam menjelaskan perilaku auditor pemerintah. Kontribusi praktis dari hasil penelitian adalah sebagai masukan bagi BPKP dalam menentukan kebijakan terkait pembinaan dan pengembangan auditor. Faktor komitmen organisasi menjadi instrumen bagi BPKP untuk menentukan kebijakan reward system yang dapat meningkatkan komitmen organisasi auditor sehingga menjadi pendorong peningkatan kinerja. Faktor respon terhadap risk of client, supervisi audit dan skeptisisme profesional memberikan masukan dalam menetapkan pengendalian mutu audit di lingkungan BPKP yang dapat mengurangi kelemahan dari faktor tersebut. Terakhir, faktor tekanan anggaran waktu menjadi masukan dalam membuat perencanaan waktu dan tenaga di BPKP dan kebijakan pengendalian mutu sehingga dapat mengurangi tekanan anggaran waktu yang berdampak mereduksi kualitas audit. 1.5. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini disajikan dalam lima bagian. Bagian pertama menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bagian kedua membahas mengenai tinjauan pustaka yang meliputi landasan teori serta kerangka pemikiran dan pengembangan hipotesis penelitian. Bagian ketiga membahas metode penelitian dengan menjelaskan mengenai jenis penelitian, sampel dan populasi, metode pengumpulan data, definisi operasional dan pengukuran variabel, dan metode analisis data. Bagian keempat merupakan hasil penelitian dan pembahasan yang terdiri dari distribusi dan penerimaan kuesioner, demografi responden, statistik deskriptif variabel penelitian, pengujian validitas
11 dan reliabilitas, hasil analisis regresi berganda serta pengujian hipotesis dan pembahasan. Bagian kelima menguraikan kesimpulan dan saran.