KEPEMIMPINAN TRADISIONAL JAWA-ISLAM DALAM MASYARAKAT JAWA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan pelimpahan dekonsentrasi dari pemerintah diatasnya. Pemerintah desa

IMAMAH DALAM PANDANGAN POLITIK SUNNI DAN SYI AH

V. PENUTUP SIMPULAN, FORMULASI, DAN REKOMENDASI

Kriteria Presiden Indonesia Dalam Pandangan Islam (576/M) Oleh : Zulkarnain Senin, 16 Juli :50

PERANAN DIREKTUR UTAMA DALAM MEMOTIVASI PEGAWAI DI CV. KENCONO WUNGU SURABAYA SKRIPSI

I. PENDAHULUAN. proses penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Abdulkarim (2007:15), pemerintah yang berpegang pada demokrasi merupakan pemerintah yang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian ini mengenai hubungan antara variabel Kecerdasan Spiritual,

KHILAFAH DAN KESATUAN UMAT

BAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia.

Kamis, 29 November 2012

BAB IV PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN. dari hasil wawancara dengan informan, observasi di lapangan maupun datadata

BAB VII KEPEMIMPINAN

Para Hadirin yang saya hormati, Pemimpin adalah orang yang diberi wewenang untuk mengelola organisasi dalam rangka mencapai tujuan tertentu, dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Meina Nurpratiwi, 2013

MODEL KEPEMIMPINAN CAMAT UNTUK MENINGKATKAN KINERJA PEGAWAI DI KECAMATAN KAPUAS BARAT KABUPATEN KAPUAS PROPINSI KALIMANTAN TENGAH.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan

BAB I PENDAHULUAN. guru, siswa, orang tua, pengelola sekolah bahkan menjadi tujuan pemerintah.

PENGEMBANGAN ASPEK KEPEMIMPINAN GURU DALAM PENYELENGGARAAN KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI KELAS. Oleh: Dra. Aas Saomah, M.Si

KODE ETIK GURU INDONESIA

BAB IV ANALISIS Mekanisme PAW Anggota DPR/DPRD Menurut UU RI No 27 Tahun 2009 dalam Persepektif Fiqh Siyasah

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER KI HADJAR DEWANTARA DENGAN AL- GHAZALI

KONSEP-KONSEP POKOK DALAM SOSIOLOGI: STRATIFIKASI, KEKUASAAN DAN KEPEMIMPINAN DI MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN. tertinggi dalam negara Islam. Istilah imamah lebih banyak digunakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah keterbatasan dari teori awal adalah ambiguitas tentang proses pengaruh. Sedangkan

BAB 1 PENDAHULUAN. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995), hlm M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis,

RESENSI BUKU MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA PERSPEKTIF INTEGRATIF

BAB I. pasien selama 24 jam. Gillies (1994), menyatakan bahwa 60-70% sumber daya

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Siaran Pers Kemendikbud: Hardiknas 2017, Percepat Pendidikan yang Merata dan Berkualitas Selasa, 02 Mei 2017

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. Ibid hlm. 43

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang

BAB I PENDAHULUAN. hanya manusia yang berkualitas saja yang mampu hidup di masa depan

BAB I PENDAHULUAN. ekstra, baik ditinjau dari segi kebijakan pemerintah maupun persoalan

Masih Spiritualitas Bisnis

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMIMPIN. 1) Mengetahui atau mengepalai, 2) Memenangkan paling banyak, 3)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga merupakan sekumpulan orang yang

BAB IV ANALISIS SIYASAH DUSTURIYAH TERHADAP PENYELENGGARAAN SISTEM PRESIDENSIAL DENGAN FORMAT KOALISI

BAB I PENDAHULUAN. maupun diluar sekolah. Mengingat demikian berat tugas dan pekerjaan guru, maka ia

BAB I PENDAHULUAN. mengalami goncangan jiwa (tingkat menengah). 2

A. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN BUDI PEKERTI SMALB AUTIS

I. PENDAHULUAN. Manusia mengalami perubahan tingkat-tingkat hidup (the life cycle), yaitu masa

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Ku anfusakum wa ahlikum naaro... Penggalan al-qur an surat at-

BAB I PENDAHULUAN. diperbincangkan, baik dalam hal perpindahan kekuasaan atau kualitas

DOKUMEN JURUSAN ETIKA DOSEN PROGRAM STUDI S1 TEKNIK ELEKTRO

SAMBUTAN KETUA DPR RI BAPAK H. MARZUKI ALIE, SE, MM. PADA ACARA PERESMIAN KANTOR BARU PWNU SUMATERA UTARA Medan, 06 Januari 2010

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

"PEMIMPIN ADIL NEGARA MAKMUR"

UNIVERSITI KEBANGSAAN MALAYSIA FAKULTI PENGAJIAN ISLAM

Bab VI Konsep Pendidikan Ar-Rafi Membangun PemimpinMasa Depan

Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Kabupaten Kulonprogo, Kepala SKPD di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kulonprogo,

NILAI KARAKTER KEPEMIMPINAN DALAM NOVEL PENAKLUK BADAIKARYA AGUK IRAWAN MN DAN RELEVANSI PEMBELAJARANNYA DI SMA

2015 KEHID UPAN MASAYARAKAT BAD UY LUAR D I D ESA KANEKES KABUPATEN LEBAK BANTEN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

NILAI-NILAI DAN NORMA BERAKAR DARI BUDAYA BANGSA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. lain-lain. Guru adalah sosok yang digugu dan ditiru. Digugu artinya

BAB IV ANALISIS FIKIH SIYASAH TERHADAP PELAKSANAAN PERGANTIAN ANTAR WAKTU (PAW) ANGGOTA DPRD FKB PEMKOT MOJOKERTO PERIODE

BAB V PEMBAHASAN. pustaka. Sebagaimana yang ditegaskan dalam teknis analisis.

BAB I PENDAHULUAN. agar manusia senantiasa melaksanakan perintah-nya dan menjauhi larangan-

SILABUS PEMBELAJARAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

BAB VI P E N U T U P

KEPEMIMPINAN. OLEH: Drs. Yunyun Yudiana, M.Pd

KOMPETENSI GURU SEKOLAH DASAR. Oleh: Anik Ghufron FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2008

Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Gerakan Pramuka, (Jakarta : Kemenpora, 2010), hlm Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, Undang-Undang Republik

12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. Terdapat banyak definisi mengenai pemimpin. Dalam Kamus Besar

PENTINGNYA PEMIMPIN BERKARAKTER PANCASILA DI KALANGAN GENERASI MUDA

ULANGAN HARIAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM KELAS XI

KISI-KISI SOAL UJIAN AKHIR MADRASAH BERSTANDAR NASIONAL (UAMBN) MADRASAH ALIYAH (MA) TAHUN PELAJARAN 2015/2016

SYARIAT ISLAM DAN KETERBATASAN DEMOKRASI

BAB IV ANALISA. masyarakat Jemur Wonosari yang beragama Islam meyakini bahwa al-qur an

2. Macam-Macam Norma. a. Norma Kesusilaan

Sosiologi. Kelompok & Organisasi Sosial MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 07

MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

- 1 - PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG GERAKAN PRAMUKA

KISI-KISI SOAL UAMBN MADRASAH IBTIDAIYAH TAHUN PELAJARAN 2011/2012

BAB I PENDAHULUAN. politik sangat tergantung pada budaya politik yang berkembang dalam masyarakat

Persatuan Dalam al-quran dan Sunnah

BAB V PENUTUP. memberikan bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh

Seminar Pendidikan Agama Islam

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia yang bermanfaat bagi lingkungan masyarakat,

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TERHADAP PRESTASI KERJA DOSEN DAN PEGAWAI PADA UPBJJ-UNIVERSITAS TERBUKA DI KOTA MAKASSAR

I. PENDAHULUAN. oleh Unang Sunardjo yang dikutip oleh Sadu Wasistiono (2006:10) adalah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB IV ANALISIS PERSEPSI REMAJA TERHADAP URGENSI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KELUARGA DI DESA PEGUNDAN KECAMATAN PETARUKAN KABUPATEN PEMALANG

SITI MEGAWATI NIM:

PENTINGNYA TOLERANSI DALAM PLURALISME BERAGAMA

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan masa depan pembangunan bangsa mengharapkan penduduk yang

KEMITRAAN SEKOLAH. Prof. Dr. Sodiq A. Kuntoro

BAB I PENDAHULUAN. Allah, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada Rasul-rasul

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat.

BAB 1 PENDAHULUAN. karena keberhasilan suatu perusahaan atau organisasi terletak pada kemampuan

Persatuan Islam dalam Perspektif Imam Shadiq

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

Oleh: DUSKI SAMAD. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Imam Bonjol

Transkripsi:

Sabda, Volume 6, Nomor 1, April 2011: 23-29 ISSN 1410-7910 KEPEMIMPINAN TRADISIONAL JAWA-ISLAM DALAM MASYARAKAT JAWA Sarjana Sigit Wahyudi Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Abstract In Indonesia, especially in Central Java, there are plural societies which need the presence of a leader who fits them best. Therefore, a figure who has the characteristics of leadership which fits the interest of his supporters is needed. The characteristics of leadership offered here are the traditional and Islamic model, including the model of etika kedzaifan. A figure, tipology, and characteristics which are embedded in the mind of a leader are what the society need. Keywords: leader, figure, type, characteristics, model, development, Javanese society. 1. Pendahuluan Masyarakat Jawa Tengah dan masyarakat Indonesia umumnya membutuhkan kehadiran pemimpin yang selaras baik dengan selera masyarakat pendukungnya maupun kondisi masyarakat yang majemuk. Artikel ini membahas tentang tipologi kepemimpinan dan sifat pemimpin yang sesuai dengan cita rasa masyarakat Jawa Tengah. Harapan terhadap munculnya tipe dan sifat-sifat pemimpin yang ideal pada dasarnya merupakan cerminan dari kerinduan masyarakat terhadap pemimpin mereka. Artikel ini juga membicarakan tentang sifat pemimpin berdasarkan model kepemimpinan tradisonal Jawa dan Islam. Dalam model kepemimpinan tradisional Jawa, khususnya Jawa Tengah, seorang pemimpin ditekankan untuk mengutamakan kerukunan dan hormat kepada Sang Pencipta, leluhur, dan orang tua. Sementara itu dalam model kepemimpinan Islam diterangkan tentang pentingnya sifatsifat pemimpin pasca-nabi Muhammad SAW, ketika kepemimpinan Islam dipegang oleh para khalifah dan akhirnya terpecahpecah ke dalam kelompok-kelompok, di antaranya yang terbesar adalah Sunni dan Syiah. Kedua kelompok ini mempunyai pemahaman tentang kepemimpinan yang berbeda walaupun keduanya menggunakan sumber yang sama. Hal itu belum termasuk kelompok-kelompok kecil yang lain, misalnya kelompok Islam sekular. Perbedaan pemahaman mengenai kepemimpinan Islam terasa pula di Indonesia. Sebagian tokoh Islam, salah satunya adalah Abdurrahman Wahid, berusaha meredam perbedaan pemahaman itu dengan menyodorkan solusi tentang bagaimana cara mengatasi masyarakat Indonesia yang plural terutama menyangkut masalah kepemimpinan baik dalam konteks kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Namun dalam perkembangan patut disayangkan bahwa dalam setiap pemilihan pemimpin baik di tingkat desa, kota, daerah maupun pusat telah dinodai dan dikotori dengan penyelewengan, janjijanji manis dalam kampanye, yang disertai praktek politik uang, tidak ditepati setelah seseorang terpilih sebagai pemimpin. Kondisi ini terus berjalan seolah-olah tanpa tersentuh oleh hukum. Lalu, bagaimanakah kerinduan masyarakat kepada pemimpinnya yang diidolakan dan didambakan terutama mengenai tipe dan sifat-sifat idealnya yang melekat? 23

2. Konsep Kepemimpinan Membahas kepemimpinan antara lain membicarakan mengenai perihal pemimpin, konsep kepemimpinan, dan mekanisme pemilihan pemimpin. Sebelum membicarakan lebih jauh soal kepemimpinan, ada baiknya dilakukan peninjauan terlebih dahulu definisi konsep pemimpin. Pendefinisian ini dapat membantu kita untuk memahami dan melakukan pembahasan menurut alur yang sistematis. Banyak definisi tentang pemimpin baik itu menurut ahli politik, ekonomi, sosial, antropologi (budaya) maupun agama. Tulisan ini menyampaikan definisi yang relevan dengan pokok pembahasan. Seorang ahli sosiologi, Soerjono Soekanto, menghubungkan kepemimpinan (leadership) dengan kemampuan seseorang sebagai pemimpin (leader) untuk mempengaruhi orang lain (anggotanya), sehingga orang lain itu bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh pemimpinnya (Soekanto, 1982a: 60). Ahli sosiologi yang lain, Wahyusumijo, lebih melihat kepemimpinan sebagai suatu proses dalam mempengaruhi kegiatankegiatan seseorang atau sekelompok orang dalam usahanya mencapai tujuan yang sudah ditetapkan (Wahyusumijo, 1984: 60). Di pihak lain, dalam antropologi budaya, muncul pandangan yang membedakan antara kepemimpinan sebagai suatu kedudukan sosial dan sebagai suatu proses sosial (Koentjaraningrat, 1969: 181). Kepemimpinan sebagai kedudukan sosial merupakan kompleks dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Sementara sebagai suatu proses sosial, kepemimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau suatu badan yang mendorong gerak warga masyarakat. Apabila kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain sehingga mereka mengikuti kehendaknya, maka seseorang 24 KEPEMIMPINAN TRADISIONAL JAWA-ISLAM DALAM MASYARAKAT JAWA itu dapat disebut mempunyai pengaruh terhadap oarang lain. Pengaruh itu dinamakan kekuasaan atau wewenang. Istilah kekuasaan dalam hal ini merujuk pada kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang atau pihak lain, sedangkan wewenang merupakan kekuasaan seseorang atau sekelompok orang yang mendapat dukungan atau pengakuan dari masyarakat. Dalam hubungan dengan kepemimpinan, Kartini Kartono (1982) mengatakan bahwa kepemimpinan harus dikaitkan dengan tiga hal penting yaitu kekuasaan, kewibawaan, dan kemampuan. Sementara itu dilihat dari sudut pandang agama (Islam), istilah kepemimpinan berasal dari kata pemimpin, artinya orang yang berada di depan dan memiliki pengikut, terlepas dari persoalan apakah orang yang menjadi pemimpin itu menyesatkan atau tidak. Dalam Islam, setidaknya ada dua konsep penting yang berkaitan dengan kepemimpinan, yaitu imamah dan khalifah. Masing-masing kelompok Islam memiliki pendefinisian berbeda tentang kedua konsep itu, meskipun ada juga yang menyamakannya. Kaum Sunni menyamakan pengertian khalifah dan imamah. Dengan perkataan lain, imamah disebut juga sebagai khalifah. Bagi kaum Sunni, orang yang menjadi khalifah adalah penguasa tertinggi yang menggantikan Rasulullah SAW. Oleh karena itu khalifah juga disebut sebagai imam (pemimpin) yang wajib ditaati (As- Salus, 1997: 16). Sebaliknya, kaum Syiah membedakan pengertian khalifah dan imamah. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah kepemimpinan Islam setelah Rasulullah SAW wafat. Kaum Syiah bersepakat bahwa pengertian imam dan khalifah itu sama ketika Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi pemimpin. Namun sebelum Ali bin Abu Thalib menjadi pemimpin, mereka membedakan pengertian antara imam dan khalifah. Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Ustman adalah khalifah namun mereka bukanlah imam (Amini, 205: 18). Dalam

pandangan kaum Syiah, sikap seorang imam haruslah mulia sehingga menjadi panutan para pengikutnya. Imamah didefinisikan sebagai kepemimpinan masyarakat umum, yakni seseorang yang mengurus persoalan agama dan dunia sebagai wakil dari Rasulullah SAW. Rasulullah SAW yang menjaga agama dan kemuliaan umat wajib dipatuhi dan diikuti. Imam mengandung makna lebih sakral daripada khalifah. Secara implisit kaum Syiah menganut pandangan bahwa khalifah hanya mencakup ranah jabatan politik, tidak melingkupi ranah spiritual-keagamaan; sedangkan imamah meliputi seluruh ranah kehidupan manusia baik itu agama maupun politik. Seperti halnya kaum Sunni dan Syiah, kalangan Islam sekular memiliki pandangan sendiri tentang kepemimpinan. Konsep kepemimpinan kelompok Islam sekular cenderung mengacu pada kepemimpinan model Barat. Meskipun kelompok Sunni, Syiah, dan Islam sekular mempunyai sudut pandang yang berbeda mengenai kepemimpinan, ketiganya menunjukkan kesepahaman bahwa suatu masyarakat haruslah memiliki pemimpin. Setiap masyarakat dengan demikian tidak mungkin dapat dipisahkan dari masalah kepemimpinan. 3. Pemilihan Pemimpin dan Legitimasi Kepemimpinan 3.1. Cara Pemilihan Pemimpin Derap pembangunan di Indonesia baik di kawasan pedesaan maupun perkotaan sangat bergantung pada kepemimpinan para kepala daerah. Menurut Koentjaraningrat (1980: 201), pemilihan kepala-kepala daerah, terutama di Jawa Tengah, sebagian besar masih memperhatikan faktor keturunan. Kepalakepala daerah yang memerintah pada masa belakangan masih keturunan dari kepala daerah yang berkuasa pada masa sebelumnya. Hal itu dapat dilihat dari dari silsilahnya. desa dilakukan oleh suatu panitia di bawah pimpinan camat. Sebagai calon kepala desa atau pimpinan desa, maka realitanya dapat disimak pada kutipan di bawah ini. Dalam praktiknya, para calon yang dipilih biasanya bukan orang orang yang memiliki kemampuan tapi orang-orang kaya. Ini disebabkan kebiasaan warga desa memilih seorang calon bukan berdasarkan kemampuan calon itu, melainkan berdasarkan banyaknya pemberian kepada mereka. Ini malahan nampak lebih jelas di desa desa yang makmur, sehingga pemilihan lurah menjadi suatu gelanggang pertikaian yang ramai sekali. Alasan utama dari konflik itu berpangkal pada tanah bengkok atau tanah lungguh yang diberikan pada calon yang sukses (Koentjaraningrat, 1984: 201). Dengan melihat kutipan di atas tampak bahwa pemimpin desa dipilih tidak hanya didasarkan pada keturunan, namun juga pada pemberian yang biasanya berupa uang. Para calon kepala desa berusaha melakukan pendekatan kepada para pemilih terutama pada masa kampanye. Tidak mengherankan jika para calon kepala desa pada masa kampanye melakukan berbagai cara dalam rangka mendapatkan dukungan dari warga masyarakat yang memiliki hak pilih. Mereka bahkan tidak segan-segan untuk melakukan praktik politik uang sambil menebar janji-janji manis kepada warga masyarakat agar mau memilihnya. Sudah barang tentu hal ini tidak dibenarkan baik oleh negara maupun agama. Namun demikian praktik semacam itu tetap berjalan dengan lancar dan seolaholah tidak tersentuh oleh hukum. Sejalan dengan hal itu Sartono Kartodirdjo (1982: 226) menyatakan bahwa latar belakang kepemimpinan dalam masyarakat tradisional ataupun pedesaan dipengaruhi oleh kelahiran, kekayaan, dan status. Sebagaimana dikatakan oleh Prasadjo (1982: 54), latar belakang politik dan agama juga memiliki pengaruh yang penting dalam kepemimpinan di pedesaan. Berdasarkan laporan mengenai struktur pemerintahan desa yang disusun oleh DPRD Jawa Tengah dapat ditarik simpulan bahwa proses pemilihan kepala KEPEMIMPINAN TRADISIONAL JAWA-ISLAM DALAM MASYARAKAT JAWA 25

3.2. Asal-usul Legitimasi Kepemimpinan Pemimpin yang terpilih harus mendapatkan legitimasi dari anggotanya atau warga masyarakat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin dapat memiliki wewenang untuk memimpin secara resmi setelah mendapat legitimasi berdasarkan pada prosedur yang telah ditetapkan dalam adat-istiadat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Prosedur itu tentu saja dapat berbeda baik antara masyarakat yang satu dan yang lain maupun dari waktu ke waktu. Dalam masyarakat tradisional, misalnya, legitimasi atas kepemimpinan seseorang pada umumnya dilakukan melalui rangkaian upacara yang melibatkan kehadiran roh nenek moyang atau dewadewa. Pada zaman kerajaan, prosedur untuk melegitimasi kepemimpinan seseorang dapat dilakukan melalui pemilihan, pemilihan bertingkat atau pemilihan oleh sebagian masyarakat. Wahyu, nurbuat, pulung, ngalamat, dan mimpi juga merupakan unsur-unsur yang berperan penting baik dalam pemilihan pemimpin maupun legitimasi atas kepemimpinannya (Kartodirdjo, 1973: 8). Oleh karena itu, untuk mendapatkan kekuasaan dalam kepemimpinan, seseorang harus menempuh berbagai jalan (laku) yang panjang. Kekuasaan dapat juga diperoleh melalui keturunan atau lewat kekuatan fisik. Pada zaman modern ini, kepemimpinan dapat pula diperoleh melalui pendidikan dan pemilihan berdasarkan keahlian atau spesialisasi. Untuk menduduki jabatan pada berbagai level tidak lagi didasarkan terutama pada keturunan, melainkan pada tingkat pendidikan formal (Sutherland, 1983). Calon pemimpin yang berhasil terpilih harus mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Masyarakat Indonesia, terutama yang berada di daerah pedesaan, masih mempercayai bahwa seorang pemimpin mempunyai wibawa, wewenang, kharisma, dan kekayaan. Persyaratan ini penting bagi para pemimpin di tingkat kota atau pedesaan, sebab mereka pada masa sekarang atau zaman demokrasi dipilih secara langsung oleh rakyat. 4. Model Kepemimpinan 4.1. Model Kepemimpinan Tradisional Kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa lebih mengutamakan prinsip kerukunan dan sikap hormat kepada alam, pencipta, leluhur, guru, orang tua, bangsa, negara, dan agama (Magnis-Suseno, 1985: 36-38). Orang Jawa umumnya juga mengutamakan keselarasan dalam hidup bermasyarakat (Mulder, 1981: 17). Pandangan hidup dan pola pikir yang demikian sangat mempengaruhi masyarakat Jawa dalam meletakkan dasardasar kemasyarakatan dan kebudayaan. Apabila hal ini dihubungkan dengan masalah kepemimpinan, maka seorang pemimpin sedapat mungkin harus mampu memperlihatkan sikap hidup yang sederhana, jujur, adil, bertenggang rasa (tepa selira), hemat, disiplin, dan taat kepada hukum (Koentjaraningrat, 1981: 64). Berbagai piwulang dan pitutur telah mengajarkan tentang sifat-sifat seorang pemimpin. Ajaran Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan, misalnya, menyatakan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai tiga pilar, yaitu: Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Demikian pula, kakawin Ramayana dan Mahabarata menyatakan bahwa seorang pemimpin harus memperlihatkan sikap yang merujuk pada ajaran tentang Hasta Bhrata, yaitu mencontoh sikap delapan dewa, di antaranya Dewa Surya, Candra, Bayu, dan Baruna Dewa Air yang antara lain mempunyai sifat sabar. Dalam filsafat Jawa pun terdapat banyak istilah tentang sifatsifat pemimpin yang yang dikenal dengan empat t, yaitu teteg sebagai pengayom, tatag berani, tangguh kuat, dan tanggon pantang mundur, mrantasi sabarang gawe. 4.2. Model Islam dan Etika Kedaifan Dalam era pascamoderen yang mengagungkan multikulturalisme sebagai 26 KEPEMIMPINAN TRADISIONAL JAWA-ISLAM DALAM MASYARAKAT JAWA

pandangan hidup, etika kedaifan identik dengan menghargai orang lain (liyan) atau menganggap diri sebagai sosok yang lemah dan membutuhkan keberadaan orang lain dalam menjalani kehidupan bersama yang semakin berat. Kehidupan dalam etika kedaifan, menurut Goenawan Muhammad sebagaimana disitir oleh Triyanto Tiwikromo (2008), sama halnya dengan tidak menganggap orang lain seperti yang dikatakan oleh Sartre yaitu sebagai neraka. Semangat multikulturalisme dan demokrasi menempatkan rakyat sebagai sahabat, kanca, untuk mencapai masyarakat yang aman dan sejahtera (Tiwikromo, 2008: 4). Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin harus mempunyai kualitas spiritual, terbebas dari segala dosa, memiliki kemampuan sesuai dengan realitas, tidak terjebak pada dan menjauhi kenikmatan dunia, dan harus memiliki sifat adil. Adil dalam hal ini dapat dipahami sebagai cara menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak. Penerapan sifat keadilan oleh seorang pemimpin dapat dilihat dari bagaimana caranya mendistribusikan sumberdaya politik, ekonomi, sosial, dan budaya kepada rakyatnya. Melihat kemajemukan masyarakat Indonesia, maka tantangannya adalah bagaimana cara mengembangkan pluralisme dalam konteks membangun kepemimpinan dan kedaulatan bangsa. Fungsi kepemimpinan adalah sebagai ulil amri dan khadimul ummah, artinya amanah jabatan dan kekuasaan harus digunakan sesuai dengan tuntutan Allah swt dan Rasul-Nya, berlaku adil, dan melindungi kepentingan masyarakat. 4.3. Pengembangan Sifat Pemimpin Sifat pemimpin harus dikembangkan sendiri karena sifat seseorang berbeda satu sama lain. Kepribadian ikut mempengaruhi sifat dan perilaku kepemimpinan seseorang. Pemimpin harus senantiasa meningkatkan kemampuan, mempraktikkan keterampilan, mencari peluang, dan mengembangkan potensi anak buah. Sebagai pedoman bagi pemimpin adalah perlakukan orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan. Dengan cara itu seorang pemimpin berusaha memandang suatu keadaan dari sudut pandang orang lain atau tenggang rasa. Merujuk pendapat Geofrey G. Meredith, kualitas pemimpin dapat diukur dengan memperhatikan sejumlah hal berikut: (1) yakinkan bahwa dirinya seorang pemimpin, (2) banyak orang yang mencari bapak untuk minta dipimpin atau bertanya, (3) kembangkan dan terapkan ide-ide baru, (4) mainkan peranan aktif dalam kehidupan masyarakat, (5) tingkatkan kekuasaan dan hilangkan kelemahan, (6) tingkatkan program dan rencana tentang kepemimpinan, (7) belajarlah dari kesalahan terdahulu, (8) berorientasilah kepada hasil dan selesaikan sesuatu yang telah dimulai, (9) gunakan kekuatan sebagai pemimpin untuk membantu orang lain, (10) yakinkan orang lain tentang kemampuan, (11) dengarkan masukan, saran, dan nasihat atau kritik sekalipun, dan (12) lakukan perubahan ke arah kemajuan (Meredith, t.t.: 18-21). 4.4. Hubungan Pemimpin dan Rakyat dalam Pembangunan Dalam membicarakan hubungan antara pemimpin dan rakyat dalam Dengan demikian, meskipun Islam pembangunan, perlu dilihat berbagai adalah agama mayoritas, jangan sampai variabel yang dapat dikelompokkan ke kepentingan umat Islam mengakibatkan dalam independent variable dan dependent negara lebih banyak melayani kepentingan variable. Sebagai independent variable segelintir orang yang mengusai aparatur adalah bahwa seorang pemimpin negara. Sementara mereka yang berusaha seharusnya mempunyai dasar antara lain menyuarakan ide-ide demokrasi, mengabdi pada kepentingan umum, pluralisme, dan perlindungan hak-hak asasi memperhatikan rakyat baik di dalam manusia cenderung dituding tidak memiliki maupun di luar pekerjaan, dan menciptakan nasionalisme. komunikasi yang lancar dengan bawahan (rakyat). Dependent variable atau variabel KEPEMIMPINAN TRADISIONAL JAWA-ISLAM DALAM MASYARAKAT JAWA 27

yang dipengaruhi meliputi antara lain semangat kerja, displin kerja, gairah kerja, dan hubungan yang harmonis dengan bawahan. Kedua variabel ini akan mempengaruhi keberhasilan kepemimpinan seseorang dalam sebuah lembaga, baik itu di tingkat desa, kota ataupun pusat. Hubungan antara sejumlah variabel yang telah disebutkan di atas dengan keberhasilan kepemimpinan dapat dilihat secara geometrik sebagai berikut. Pengabdian Perhatian Keteladanan Komunikasi Semangat kerja Disiplin kerja Gairah kerja Keberhasilan kepemimpinan Gambar 1. Variabel-variabel yang mempengaruhi keberhasilan kepemimpinan Pemimpin harus dapat menjalankan ketiga fungsi itu dalam kelompoknya. Dalam struktur organisasi, peran seorang pemimpin tidak ada artinya tanpa dukungan rakyatnya. Hubungan antara pemimpin dan rakyat merupakan hal yang mutlak karena keduanya saling membutuhkan dan saling melengkapi. Hubungan itu dapat digambarkan dengan menggunakan sebuah pepatah Jawa: kaya godhong suruh lumah lan kurebe yen disawang beda rupane, yen dimamah gineget padha rasane. Hubungan antara pemimpin dan rakyat dapat pula digambarkan sebagai hubungan patron-cilent (patronase), yaitu hubungan antara bapak dan anak. Bapak (pemimpin) berkewajiban melindungi anakanaknya, sedangkan anak-anak harus patuh kepada bapaknya sebagai pemimpin (Koentjaraningrat, 1981: 191). Hubungan antara pemimpin dan anggotanya sering kali bertolak dari kebutuhan anggotanya (Legg, 1983: 21). Pendapat lain dikemukakan oleh Kartini Kartono (1982: 31), yang menyatakan bahwa keberhasilan pemimpinan berhubungan dengan pengelolaan kekuasaan, kewibawaan, dan kemampuan. Keberhasilan seorang pemimpin juga dapat ditentukan dari bentuk kerja sama dalam pembangunan yang tidak hanya untuk anggotanya, namun dari masyarakat untuk masyarakat (Syarmani, 1978: iii). Pembangunan di sini dapat diartikan sebagai usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan terencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (Siagian, 1981: 99). Seorang pemimpin harus mempunyai kekuasaan yang bersumber pada hak milik kebendaan, kedudukan, kekuasaan, birokrasi, dan juga kemampuan khusus (supranatural) yang lain daripada orang biasa. Masyarakat tidak dapat bergerak tanpa adanya pemimipin sebagai mediator dan motivator serta komunikator dalam pembangunan di berbagai bidang. 28 KEPEMIMPINAN TRADISIONAL JAWA-ISLAM DALAM MASYARAKAT JAWA Dalam kedudukan sosial, seorang pemimpin berperan mengontrol dan mengawasi serta menggerakkan segala aktivitas dalam masyarakatnya. Pemimpin yang baik akan dianggap oleh anggotanya sebagai cermin, guru, dan tokoh kunci (key person) dalam pembangunan. 5. Simpulan Dalam setiap lembaga termasuk dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara selalu dibutuhkan kehadiran seorang pemimpin. Peran (role) seorang pemimpin sangat sentral dan strategis karena ia dibutuhkan sebagai motivator, mediator, dan komunikator dalam pembangunan. Seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya harus mendapatkan legitimasi dari masyarakatnya. Sikap pemimpin yang sesuai dengan model kepemimpinan dan sifat-sifat ideal yang dianggap mulia akan menjadikan seorang pemimpin sebagai idola bagi masyarakat yang dipimpinannya. Ada beragam tipe atau model kepemimpinan dan sifat-sifat ideal

pemimpin, dalam model kepemimpinan tradisional Jawa dan Islam, model kepemimpinan dan sifat-sifat pemimpin itu dipandang lebih selaras dengan kondisi masyarakat Indonesia yang plural dan mayoritas menganut Islam. Pembicaraan tentang kepemimpinan dan pemimpin yang ideal menjadi penting ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa pemilihan pemimpin hampir di semua level pada saat ini telah tercoreng oleh praktik politik uang dan janji-janji yang muluk tetapi tidak ditepati. Kondisi itu pada gilirannya mendorong terjadinya degradasi dan pergeseran nilai budaya dalam masyarakat, terutama menyangkut kepemimpinan. Para pemimpin sudah seharusnya berusaha menjalin hubungan yang membuatnya dekat dengan rakyat. Tanpa rakyat, mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Inilah bentuk kerinduan rakyat terhadap para pemimpinnya. DAFTAR PUSTAKA Amini, Ibrahim. 2006. Para Pemimpin Teladan. Jakarta: Al-Huda. As-Salus, Ali. 1997. Imamah dan Khalifah dalam Tinjauan Syar i. Jakarta: Gema Insani Press. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka. Kartodirdjo, Sartono. 1975. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid IV. Jakarta: Depdikbud.. 1976. Protest Movement in Rural Java. London: Oxford University Press.. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta; PT. Gramedia. Kartono, Kartini. 1982. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Rajawali. Khomeini, Imam. 2002. Sistem Pemerintahan Islam. Jakarta: Pustaka Zahra. Koentjaraningrat. 1979. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara.. 1980. Beberapa Pokok Antropologi. Jakarta: Balai Pustaka.. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Legg, Keit R. 1983. Tuan Hamba dan Politisi. Jakarta: Sinar Harapan. Meredith, Geofrey G.. t.t.. Kewirausahaan: Teori dan Praktek. Jakarta: PPM. Prasojo, Budi. 1982. Pembangunan Desa dan Masalah Kepemimpinnya. Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial. Rakhmat, Jalalaludin. 2003. Filsafat Politik Islam antara Al-Farabi dan Khomeini dalam Rahmaini. Bandung: Mizan. Siagian, Sondang. 1981. Administrasi Pembangunan. Jakarta: Gunung Agung. Soekanto, Soejono. 1982a. Sosiologi Suatu Pengantar. Djakarta: PT. Radjawali.. 1982b. Teori Sosiologi tentang Pribadi dalam Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia. Subagyo, Rahmat. 1981. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan dan Loka Cipta Caraka. Sumiyo, Wahyu. 1984. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Sutherland, Heather. 1983. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi (diindonesiakan oleh Sunarto). Jakarta: Sinar Harapan. Syarmani, Abdullah. 1978. Pembangunan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Pertanian di Pedesaan dalam Repelita III. Jakarta: Agro Ekonomi. Tiwikromo, Triyanto. 2008. Kepemimpinan Jawa dalam Masyarakat Kotemporer, makalah disajikan dalam Seminar Budaya untuk Memperingati Hari Jadi Kota Semarang ke-461 di Gedung Balaikota Semarang, 17 Mei 2008. KEPEMIMPINAN TRADISIONAL JAWA-ISLAM DALAM MASYARAKAT JAWA 29