Fanny Ayu Lestari 14.06.1.0079 Akuntansi (C) / VI KASUS PT. JAMSOSTEK Di tengah persiapan PT Jamsostek yang akan bertransdivasi menjadi BPJS ketenagakerjaan yang akan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian per 1 Januari 2014, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) justru menemukan beberapa pelanggaran kepatuhan perusahaan pelat merah tersebut. Berdasarkan audit atas laporan keuangan 2011 PT Jamsostek, ditemukan penyimpangan dengan nilai di atas Rp 7 triliun. Anggota VII BPK RI Bahrullah Akbar dalam makalahnya menjelaskan, ada empat temuan BPK atas laporan keuangan 2011 Jamsostek yang tidak taat aturan. Pelanggaran pertama yang ditemukan adalah Jamsostek membentuk Dana Pengembangan Progran Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar Rp 7,24 triliun yang tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.22 tahun 2004. Kedua, Jamsostek kehilangan potensi iuran karena terdapat penerapan tarif program yang tidak sesuai ketentuan. Pada laporan keuangan 2011, potensi penerimaan Jamsostek yang hilang mencapai Rp 36,5 miliar karena tidak menerapkan tarif jaminan kecelakaan kerja sesuai ketentuan. Temuan ketiga, Jamsostek belum menyelesaikan aset eks investasi bermasalah, yakni jaminan medium term notes (MTN). Adapun aset yang belum diselesaikan adalah tanah eks jaminan MTN PT Sapta Prana Jaya senilai Rp 72,25
miliar dan aset eks jaminan MTB PT Volgren Indonesia. Terakhir, BPK melihat masih terdapat beberapa kelemahan dalam pemantauan piutang hasil investasi. Pengendalian dan monitoring PT Jamsostek atas piutang jatuh tempo dan bunga deposito belum sepenuhnya memadai. Selain temuan-temuan tersebut, BPK juga menemukan sejumlah ketidakefektifan dalam kinerja Jamsostek. Jamsostek belum efektif mengevaluasi kebutuhan pegawai dan beban kerja untuk mendukung penyelenggaran program JHT. Jamsostek juga dinilai belum efektif dalam mengelola data peserta JHT. BPK meminta Jamsostek membenahi sistem indivasi dan teknologi indivasi yang mendukung kehandalan data. Jamsostek belum efektif melakukan perluasan dan pembinaan kepesertaan. BPK juga menilai, Jamsostek tidak efektif memberikan perlindungan dengan membayarkan JHT kepada 1,02 juta peserta tenaga kerja usia pensiun dengan total saldo Rp 1,86 triliun.
Analisis kasus PT. Jamsostek dalam bidang akuntansi yang terkait dengan Good Coorporate Governence yaitu : Dari contoh kasus diatas merupakan kasus penyimpangan laporan keuangan tahun 2011 dan ketidakefektifan dalam kinerja Jamsostek. Oleh karena itu menurut saya kasus seperti ini harus lah segera diselesaikan dan ditindaklanjuti agar penyimpangan laporan keuangannya tidak berkepanjangan. Tentunya dengan cara pembenahan tata kelola perusahaan yang baik sesuai dengan prinsip dari good coorporate governance itu sendiri dimana adanya transparansi, akuntabilitas, responsibilitas dan kewajaran. Dari kasus ini dapat dilihat beberapa penyimpangan yang terjadi jika dikaitkan dengan prnsip GCG diantaranya: 1. Transparansi PT. Jamsostek tidak menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan.bpk melihat masih terdapat beberapa kelemahan dalam pemantauan piutang hasil investasi. Pengendalian dan monitoring PT Jamsostek atas piutang jatuh tempo dan bunga deposito belum sepenuhnya memadai. 2. Akuntabilitas PT. Jamsostek tidak dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Berdasarkan audit atas laporan keuangan 2011 PT Jamsostek, ditemukan penyimpangan dengan nilai di atas Rp 7 triliun. Pada laporan keuangan 2011, potensi penerimaan Jamsostek yang hilang mencapai Rp
36,5 miliar karena tidak menerapkan tarif jaminan kecelakaan kerja sesuai ketentuan. 3. Responsibility PT. Jamsostek tidak mematuhi peraturan perundang-undangan dan tidak melaksanakan tanggung jawab kepada masyarakat dan lingkungan karena tidak berpegang dengan prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhannya terhadap peraturan perundang-undangan. Kasusnya Jamsostek membentuk Dana Pengembangan Progran Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar Rp 7,24 triliun yang tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.22 tahun 2004. 4. Indepensi Khususnya karyawan PT. Jamsostek yang melakukan penyimpangan masih mendahului kepentingan pribadinya. Karena BPK juga menemukan sejumlah ketidakefektifan dalam kinerja Jamsostek. Jamsostek belum efektif mengevaluasi kebutuhan pegawai dan beban kerja untuk mendukung penyelenggaran program JHT. Jamsostek juga dinilai belum efektif dalam mengelola data peserta JHT. Peristiwa ini diakibatkan karena kurang baiknya sistem good corporate governance di PT. Jamsostek serta kurangnya pengawasan dan pengendalian yang dilakukan oleh pihak perusahaan sehingga menyebabkan terjadinya penyimpangan dana yang begitu besar. Melihat kasus seperti ini seharusnya pihak perusahaan lebih bisa menyeleksi karyawan-karyawannya dengan baik, hal ini dapat dilihat dari sikapnya dan kejujurannya ataupun intelektualitasnya agar sedikit banyak dapat menghindari terjadinya penyimpangan seperti ini. Menurut saya, perusahaan yang sehat dan memiliki tata kelola yang baik adalah perusahaan
yang memperkerjakan orang-orang yang memang mau bekerja untuk kemajuan perusahaan dan ditunjang dengan akhlak serta kemampuannya. Dalam hal ini perusahaan harus dapat menerapkan fungsi manajemen yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian atau pengawasan dengan sebaik mungkin agar dapat tercapainya tujuan dari perusahaan. Oleh karena bukan hanya pihak perusahaan saja yang harus bekerja ekstra tapi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) juga harus dapat menjaga kestabilan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) sehingga tercipta aktivitas pasar modal yang jujur, transparan, aman dan sesuai dengan undang-undang hukum yang berlaku. Agar masalah penyimpangan seperti ini dapat segera teratasi dan tidak dapat terulang kembali.