PENGANTAR Latar Belakang Tujuan pembangunan sub sektor peternakan Jawa Tengah adalah untuk meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga yang berbasis pada keragaman bahan pangan asal ternak dan potensi sumber daya lokal, meningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas peternak terhadap modal, teknologi, pasar dan informasi yang diperlukan, meningkatkan produksi dan produktivitas ternak melalui optimalisasi pemanfaatan modal, sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, meningkatkan mutu dan diversifikasi produk peternakan untuk meningkatkan daya saing, nilai tambah dan memperluas pasar, mengembangkan sistem dan usaha agribisnis yang menguntungkan peternak, serta menguatkan posisi tawar dan nilai tukar ternak. Jawa Tengah masih mempunyai peluang untuk meningkatkan budidaya ternak, hal ini dapat dilihat dari besarnya kemampuan penyediaan pakan (carrying capacity) yang berasal dari hijauan pakan ternak, limbah pertanian dan limbah industri yang dapat digunakan untuk pakan ternak sebanyak 5.433.958 animal unit (AU), sedangkan populasi ternak pada tahun 2013 sebesar 3.033.964 AU, sehingga masih memiliki potensi pengembangan ternak ruminansia sebanyak 2.399.994 AU. sehingga usaha peternakan yang ada nantinya akan semakin meningkat (Anonim, 2013). Peningkatan produktivitas di sub sektor peternakan sebagai penghasil susu dan daging yang pesat ternyata tidak selalu diikuti dengan upaya untuk menekan jumlah, jenis dan tingkat bahaya limbah yang dihasilkan. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan pemakaian sumberdaya alam yang berlebih dan berdampak pada penurunan sumberdaya yang ada termasuk pencemaran.
Konsep pembangunan berkelanjutan menuntut terwujudnya pengintegrasian kepentingan ekonomi, kepentingan ekologi dan kepentingan sosial. Di sisi lain prinsip dan pola pelaksanaan pembangunan harus mampu memberikan jaminan terhadap terlaksananya azas keadilan dan pemerataan, meningkatnya kualitas keanekaragaman hayati, penerapan pendekatan integratif dan harus memiliki perspektif jangka panjang. Dalam pembangunan secara fisik agar tidak merusak atau mengesampingkan aspek lingkungan hidup perlu diatur dan dikontrol oleh Peraturan tentang Tata Ruang. Pesatnya pembangunan pertanian dalam rangka pengembangan agroindustri yang berkesinambungan telah mendorong pertumbuhan sektor pertanian tetap terjadi peningkatan. Begitu pula halnya yang terjadi pada subsektor peternakan, Jawa Tengah masih tetap eksis bahkan menunjukkan peningkatan. Peningkatan produksi yang didorong untuk memenuhi permintaan dalam maupun luar negeri memang memberikan keuntungan dan sangat diharapkan. Namun di sisi lain, peningkatan produksi ternak secara tidak langsung juga menimbulkan dampak negatif, di antaranya adalah limbah yang dihasilkan dari ternak itu sendiri. Disadari atau tidak, limbah peternakan ini selain mengganggu lingkungan sekitar, juga dapat menjadi sumber penyakit bagi manusia. Kesadaran masyarakat tentang lingkungan hidup pada saat ini terlihat belum sampai ke tingkat masyarakat peternak, padahal tanpa disadari, sub sektor peternakan juga menyumbang beban pencemaran terhadap lingkungan berupa limbah. Limbah yang berasal dari kegiatan peternakan, dapat berupa limbah padat dan limbah cair. Sebagian besar kegiatan peternakan tradisional belum memiliki upaya pengelolaan, maka hampir semua limbah yang dihasilkan
dibuang ke badan air (sungai) yang terdekat, sehingga pada lingkungan sekitar kegiatan peternakan sering ditemukan adanya pencemaran terhadap kualitas air. Selain menimbulkan pencemaran terhadap kualitas air, limbah kegiatan peternakan juga menghasilkan gas metan, NH 3 dan H 2 S yang diemisikan ke udara merupakan sisa proses metabolisme dan pemecahan bahan organik oleh mikroorganisme dalam suasana anaerob yang menghasilkan senyawa antara lain indol, asam lemak dan amonia. Sumber bau limbah ternak berasal dari kandang ternak, tempat penumpukan dan pembuangan limbah. Laju emisi bau dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain jenis ternak, kondisi lingkungan dan pengelolaan limbah (Sarwanto dan Tuswati, 2011). Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) Kota Semarang adalah rencana pengembangan kota yang disiapkan secara teknis dan non teknis oleh Pemerintah Kota yang merupakan rumusan kebijaksanaan pemanfaatan muka bumi wilayah kota termasuk ruang di atasnya, yang menjadi pedoman pengarahan dan pengendalian dalam pelaksanaan pembangunan kota. Tujuan pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan serta digunakan sebesar-besarnya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat; keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum, sebagai landasan hukum dan pedoman mengikat dalam pemanfaatan ruang kota secara berencana, terarah dan berkesinambungan bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi Jawa Tengah, Pemerintah Kota Semarang dan masyarakat (Anonim, 2011). Sebagai daerah urban, kota Semarang menumpukan kegiatan ekonominya pada sektor perdagangan dan jasa, sedangkan sektor pertanian termasuk di dalamnya peternakan terdapat di daerah pengembangan seperti
daerah Gunungpati dan Mijen. Populasi ternak di Kota Semarang bervariasi, dari sapi perah, sapi potong, kerbau, kambing sampai itik dan angsa. Populasi sapi perah di kota Semarang sebanyak 3.030 ekor dan 78,45% nya berada di Kecamatan Gunungpati (Anonim, 2013). Peternakan sapi perah rakyat di kota Semarang pada awalnya berada di Kecamatan Banyumanik di sisi Tenggara, yaitu di kelurahan Jabungan dan Meteseh. Kelurahan Jabungan dan Meteseh pada saat itu merupakan daerah pertanian dan perkebunan yang memiliki limbah pertanian melimpah yang dapat digunakan sebagai hijauan makanan ternak. Tingkat ketersediaan hijauan makanan ternak pada suatu wilayah merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan pengembangan ternak, sehingga peternakan sapi perah di daerah tersebut dapat berkembang dengan baik. Sejalan dengan perkembangan dan perluasan kota Semarang, peternakan rakyat yang semula berada di Kecamatan Banyumanik dipindahkan ke daerah pengembangan yaitu di kecamatan Mijen dan kecamatan Gunungpati. Kecamatan Gunungpati dan Mijen memiliki lahan padang rumput seluas 41,37 ha atau sebesar 0,10% dari total luas lahan yang ada di kota Semarang. Selain padang rumput, lahan yang dapat menyediakan hijauan makanan ternak di Kecamatan Gunungpati adalah berupa sawah, perkebunan, hutan dan tegalan. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14 tahun 2011 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Kota Semarang, kecamatan Gunungpati termasuk dalam Bagian Wilayah Kota (BWK) VIII, dengan fungsi sebagai daerah konservasi, pertanian (termasuk di dalamnya peternakan), pendidikan, wisata dan permukiman serta campuran antara perdagangan, jasa dan permukiman.
Kecamatan Gunungpati merupakan daerah yang memiliki suhu terendah di kota Semarang karena memiliki topografi berbukit dan merupakan daerah perkebunan, baik perkebunan negara maupun kebun penghasil buah-bahan, tanaman pekarangan, persawahan dan tanaman lain yang cukup bervariasi. Peruntukan lahan di Kecamatan Gunungpati merupakan daerah pengembangan pertanian dan peternakan rakyat, yang melakukan pengelolaan limbah secara maksimal. Saat ini terdapat kecenderungan perubahan peruntukan lahan yang sebelumnya merupakan daerah pengembangan pertanian menjadi kawasan perumahan yang diikuti dengan pengembangan kegiatan perekonomian. Berdasarkan kondisi yang demikian, perlu dibuat sebuah konsep tata ruang peternakan sapi perah rakyat di daerah pengembangan sehingga tidak terjadi benturan kepentingan. Perumusan Masalah a. Apakah penetapan lokasi peternakan sapi perah rakyat di Kecamatan Gunungpati sudah sesuai dengan daya dukung dan daya tampung wilayah pengembangan untuk peternakan sapi perah? b. Bagaimana kondisi lingkungan di lokasi peternakan sapi perah rakyat tersebut terhadap kondisi fisiologis ternak? c. Bagaimanakah pengaruh kondisi lingkungan di lokasi peternakan sapi perah rakyat tersebut terhadap produksi dan kualitas susu yang dihasilkan? d. Seberapa besar kegiatan peternakan sapi perah rakyat menimbulkan pencemaran lingkungan terutama terhadap kualitas air dan udara di sekitar lokasi tersebut?
e. Apakah penerapan konsep eko-efisiensi dapat menekan besarnya limbah yang dihasilkan sehingga dapat mengurangi pencemaran lingkungan? Tujuan Penelitian Tujuan umum : Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi konsep tata ruang peternakan sapi perah rakyat di kawasan pengembangan yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomer 14 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang tahun 2011-2031 Tujuan khusus : a. Mengevaluasi konsep tata ruang peternakan sapi perah rakyat di kawasan pengembangan yang dapat diijinkan di daerah tersebut sesuai dengan daya dukungnya b. Mengidentifikasi kondisi fisiologis sapi perah di peternakan rakyat Kecamatan Gunungpati. c. Mengidentifikasi produksi dan kualitas susu di peternakan sapi perah rakyat di Kecamatan Gunungpati. d. Mengidentifikasi dampak pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh peternakan sapi perah rakyat di Kecamatan Gunungpati terutama terhadap air dan udara e. Menerapkan konsep eko-efisiensi sebagai upaya mitigasi dampak pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh peternakan sapi perah rakyat di Kecamatan Gunungpati.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : a. Bagi Pemerintah Daerah untuk memberikan masukan dalam pengambilan kebijakan tentang tata ruang peternakan sapi perah rakyat yang berwawasan lingkungan di kawasan perkotaan, besarnya cemaran limbah yang dihasilkan usaha peternakan sapi perah rakyat dan upaya penetapan baku mutunya, serta upaya mitigasi dampak yang dapat dilakukan. b. Dapat digunakan sebagai percontohan tata ruang peternakan sapi perah rakyat di kawasan perkotaan. c. Bagi ilmu pengetahuan memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama mengenai manajemen lingkungan peternakan sapi perah rakyat dan pengaruhnya terhadap produksi dan kualitas susu. d. Bagi peternak dapat digunakan sebagai sumber informasi tentang kondisi ternak, produksi dan kualitas susu serta dampak yang ditimbulkan oleh suatu peternakan terhadap lingkungan sekitarnya. Kebaruan Penelitian Penelitian tentang pengaruh iklim mikro terhadap kondisi fisiologis sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) dan modifikasi lingkungan untuk meningkatkan produktivitasnya telah dilakukan oleh Yani dan Purwanto (2006) di Dermaga Bogor, yang memiliki ketinggian berkisar antara 190 390 m dpl dengan temperatur harian 21-26 o C, dan kelembaban udara berkisar 70%, sedangkan pada penelitian ini dikaji pengaruh iklim mikro dan makro terhadap kondisi fisiologis sapi perah dan pengaruhnya terhadap produksi susu dan
kualitas susu, dengan lokasi penelitian di Kecamatan Gunungpati Semarang yang memiliki ketinggian 384 m dpl dan temperatur harian 22-28 o C, curah hujan rata-rata. 2.802 mm per tahun kelembaban udara berkisar 78%. Penelitian mengenai Upaya Pengendalian Pencemaran pada Peternakan Sapi Perah di Kabupaten Banyumas telah dilakukan oleh Hendarto (1999) dengan obyek penelitian pencemaran oleh bakteri pada susu hasil pemerahan dari peternak setempat. Obyek pada penelitian ini selain pada kuantitas dan kualitas susu juga pencemaran terhadap kualitas air dan udara di sekitar peternakan sapi perah rakyat. Penelitian mengenai Pengaruh Air Limbah Pemotongan Hewan dan Unggas terhadap Kualitas Air Sungai Subak Pakel di desa Darmasaba Kecamatan Abianemal Kabupaten Badung Bali telah dilakukan oleh Widya et al. (2008) dengan obyek di sungai yang tercemar air limbah tempat pemotongan sapi, pemotongan babi, dan pemotongan ayam. Sarwanto dan Tuswati (2011) melakukan penelitian tentang Pengaruh Pengelolaan Limbah Sapi Perah terhadap Tingkat Kebauan. Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Banyumas mewakili kondisi lingkungan dan perilaku peternak tinggi (LPT); Kabupaten Semarang mewakili kondisi lingkungan dan perilaku peternak sedang (LPS) dan Kabupaten Boyolali mewakili kondisi lingkungan dan perilaku peternak rendah (LPR). Parameter penelitian adalah tingkat kebauan NH 3 volatil dan H 2 S secara in situ. Pengukuran NH 3 volatil dan H 2 S dilakukan mulai dari kandang ternak atau tempat penimbunan limbah ternak sebagai sumber pencemar (SP) sampai ke rumah penduduk terdekat. Penelitian tentang Aplikasi Eko-Efisiensi di Klaster Tahu dan Tempe di Kabupaten Tegal dan Aplikasi Eko-Efisiensi di Klaster Batik di Kabupaten
Pekalongan telah dilaksanakan (Hadiyarto, 2009). Obyek penelitian ini adalah pemantauan penerapan konsep eko-efisiensi dalam proses produksi pada klaster tahu dan tempe untuk meminimalkan limbah yang dihasilkan. Penelitian tentang Peluang Penerapan Eko-efisiensi dalam Penanganan Dampak Lingkungan Pada Industri Pengolahan Tepung Tempurung Kelapa Menuju Pembangunan Industri Hijau telah dilaksanakan oleh Juliasari et al. (2012). Penelitian dilakukan di CV Putra Jaya Sahita Guna Kabupaten Semarang. Obyek penelitian ini adalah tempurung kelapa yang merupakan hasil samping (by-product) penjualan buah kelapa di pasar dan industri kopra. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi konsep tata ruang peternakan sapi perah rakyat di kawasan pengembangan yang dapat diijinkan di daerah tersebut sesuai dengan daya dukungnya, mengidentifikasi kondisi fisiologis, produksi dan kualitas susu sapi serta penerapan konsep eko-efisiensi untuk mitigasi pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh peternakan sapi perah rakyat di Kecamatan Gunungpati terutama terhadap kualitas air dan udara.