BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1. Hakikat Pembelajaran Matematika 2.1.1. Pengertian Pembelajaran Menurut Ali (2000:13), pembelajaran adalah suatu upaya memberi rangsangan, bimbingan, arahan, dan dorongan agar terjadi proses belajar mengajar. Pengertian ini mengisyaratkan bahwa dalam pembelajaran ada aktifitas belajar dan mengajar yang melibatkan guru dan siswa. Upaya ini juga mengandung tujuan agar siswa secara sadar mau belajar mandiri. Darsono (2000:24), secara umum mendefinisikan pembelajaran sebagai upaya untuk membangkitkan prakarsa belajar siswa untuk mencapai hasil yang optimal. Berdasarkan dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran secara konsepsional mengandung pengertian yang konstruktif, yakni titik tekannya adalah membangun dan mengupayakan keaktifan siswa untuk mencapai kompetensi yang diinginkan. 2.1.2. Langkah-Langkah Pembelajaran Piaget (dalam Budiningsih, 2005:50) mengemukakan bahwa langkahlangkah pembelajaran adalah sebagai berikut: a. Menentukan tujuan pembelajaran b. Memilih materi pelajaran c. Menentukan topik-topik yang dapat dipelajari siswa secara aktif.
d. Menentukan kegiatan belajar yang sesuai untuk topik-topik tersebut, misalnya penelitian, memecahkan masalah, diskusi, simulasi, dan sebagainya e. Mengembangkan metode pembelajaran untuk merangsang kreatifitas dan cara berfikir siswa f. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa Sedangkan, Brunner (dalam Budiningsih, 2005:50) mengemukakan bahwa langkah-langkah pembelajaran adalah sebagai berikut: a. Menentukan tujuan pembelajaran b. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya) c. Memilih materi pelajaran d. Menentukan topik-topik yang dapat dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh ke generalisasi) e. Mengembangkan bahan-bahan belajaryang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa f. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks dari yang konkret ke yang abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik g. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa Menurut Ausubel (dalam Budiningsih, 2005:50-51), langkah-langkah pembelajaran adalah sebagai berikut: a. Menentukan tujuan pembelajaran b. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, motivasi, gaya belajar, dan sebagainya)
c. Memilih materi pelajaran sesuai dengan karakteristik siswa dan mengaturnya dalam bentuk konsep-konsep inti d. Menentukan topik-topik dan menampilkannya dalam bentuk advance organizer yang akan dipelajari siswa e. Mempelajari konsep-konsep inti tersebut, dan menerapkannya dalam bentuk nyata/konkret f. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa 2.1.3. Pengertian Matematika Kata Matematika berasal dari kata Mathema dalam bahasa Yunani yang diartikan sebagai sains, ilmu pengetahuan, atau belajar. Matematika (mathematike) juga diartikan studi besaran, struktur, ruang dan perubahan. Kata Mathematike berhubungan erat dengan sebuah kata lain yang serupa yaitu berasal dari kata Yunani Mathein atau Mathenein yang artinya belajar (berfikir). Jadi Secara etimologis, matematika berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dari bernalar. Selain itu, matematika merupakan bahasa simbolis dan ciri utamanaya adalah penggunaan cara bernalar deduktif, tetapi tidak melupakan cara bernalar induktif (Suryanih, 2011:11). Johnson dan Myklebust (dalam Abdurrahman, 2003:252) mengemukakan bahwa Matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berpikir. Menurut Puskur-Dit PTKSD (2003: 2), Matematika merupakan suatu bahan kajian yang memiliki obyek abstrak dan dibangun melalui proses penalaran
deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sudah diterima, sehingga keterlibatan antar konsep dalam Matematika bersifat sangat kuat dan jelas. Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa matematika adalah cara berfikir dan memahami yang melibatkan kemampuan bernalar. 2.1.4. Tujuan Belajar Matematika Cockroft (dalam Abdurrahman, 2003:253) mengemukakan bahwa matematika perlu diajarkan pada siswa karena (1) selalu digunakan dalam segala segi kehidupan; (2) semua bidang studi memerlukan keterampilan Matematika yang sesuai; (3) merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat, dan jelas; (4) dapat digunakan untuk mennyajikan informasi dalam berbagai cara; (5) meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan; (6) memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang. Dari pendapat di atas, tujuan belajar matematika di sekolah untuk siswa dapat disimpulkan bahwa matematika tidak lepas dari kehidupan sehari-hari siswa itu sendiri, sehingga dapat melatih siswa untuk berfikir logis di dalam lingkungannya ataupun untuk tingkat pendidikan selanjutnya. Ismadi (dalam Muhsetyo, 2007:23), mengemukakan bahwa matematika diberikan dengan tujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut: 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep, dan mengaplikasikan konsep algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manifulasi Matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Mengingat pentingnya matematika, sudah sepatutnya jika matematika harus diajarkan secara lebih bermakna dan penuh kreativitas sehingga siswa senang belajar matematika. 2.1.5. Pembelajaran Matematika Muhsetyo (2007:126) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada siswa melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga siswa memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari. Jadi hakikat pembelajaran matematika adalah suatu aktifitas mental untuk memahami arti dan hubungan-hubungan, serta simbolsimbol kemudian menerapkannya ke situasi nyata.
2.2. Pengertian Pendekatan Pembelajaran Wahyudi (dalam Hamalik, 2003:121), mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran adalah cara mengelola kegiatan belajar dan perilaku siswa agar ia dapat aktif melakukan tugas belajar sehingga dapat memperoleh hasil belajar secara optimal. Sagala (2003:68) mengemukakan bahwa, pendekatan pembelajaran merupakan jalan yang akan di tempuh oleh guru dan siswa dalam mencapai tujuan instruksional untuk suatu satuan instruksional tertentu. Suherman (dalam Mujiono, 2002:220) mengemukakan pendekatan dalam pembelajaran adalah suatu jalan, cara atau kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam pencapaian tujuan pembelajaran dilihat dari sudut bagaimana proses pembelajaran atau materi pembelajaran itu, umum atau khusus. Soedjadi (dalam Mujiono, 2002:102), membedakan pendekatan pembelajaran matematika menjadi dua, sebagai berikut. a. Pendekatan materi (material approach), yaitu proses penjelasan topik matematika tertentu menggunakan materi matematika lain. b. Pendekatan pembelajaran (teaching approach), yaitu proses penyampaian atau penyajian topik matematika tertentu agar mempermudah siswa memahaminya Berdasarkan pengertian pendekatan pembelajaran di atas dapat disimpulkan bahwa, pendekatan pembelajaran merupakan cara kerja yang mempunyai sistem untuk memudahkan pelaksanaan proses pembelajaran dan membelajarkan siswa guna membantu dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2.3. Hakikat Pendekatan Mastery Learning (Belajar Tuntas) 2.3.1. Pengertian dan Asumsi Dasar Pendekatan Mastery Learning (Belajar Tuntas) Secara bahasa, kata mastery berarti penguasaan atau keunggulan. Sedang learning sering diartikan belajar atau pengetahuan. Sehingga kalau digabung dua kata tersebut mastery learning berarti penguasaan pengetahuan atau penguasaan penuh ( Echols dan Shadily, 1996:352 dan 374). Namun dalam dalam dunia pendidikan mastery learning bisa diartikan dengan belajar tuntas atau pembelajaran tuntas Kunandar (2007:327) mengemukakan bahwa Mastery learning (belajar tuntas) dalam KTSP adalah pendekatan pembelajaran yang mempersyaratkan siswa menguasai secara tuntas seluruh standar kompetensi maupun kompetensi dasar mata pelajaran tertentu. Mulyasa (2010:53) mengemukakan bahwa Mastery Learning merupakan strategi pembelajaran yang dapat dilaksanakan di dalam kelas, dengan tujuan agar sebagian besar siswa dapat menguasai tujuan pembelajaran (kompetensi) secara tuntas. Winkel (1989:266-267) mengemukakan bahwa Mastery learning merupakan proses pembelajaran yang dilakukan secara sistematis dan terstruktur, bertujuan untuk mengadaptasikan pembelajaran pada siswa kelompok besar (klasikal), membantu mengatasi perbedaan-perbedaan yang terdapat pada siswa dan berguna untuk menciptakan kecepatan belajar (rate of progress). Mastery learning dilandasi oleh dua asumsi. Pertama, teori yang mengatakan bahwa adanya hubungan antara tingkat keberhasilan dengan
kemampuan potensi yang dimiliki (bakat). Hal ini sesuai dengan teori bakat menurut Carrol (dalam Mulyasa, 2010:53), yang menyatakan bahwa apabila siswa didistribusikan secara normal dengan memperhatikan kemampuannya secara potensial untuk beberapa bidang pengajaran, kemudian mereka diberikan pembelajaran yang sama dalam jumlah pembelajaran dan waktu yang tersedia untuk belajar, maka hasil belajar yang dicapai akan tersebar secara normal pula. Hal ini berarti bahwa siswa yang berbakat cenderung untuk memperoleh nilai yang tinggi atau dapat dikatakan bahwa hubungan antara bakat dan tingkat penguasaan adalah tinggi. Kedua, apabila pembelajaran dilaksanakan secara sistematis, semua siswa akan mampu menguasai bahan yang disajikan kepadanya. Carrol (dalam Mulyasa, 2012:54) menyatakan bahwa pada dasarnya bakat bukanlah merupakan indeks kemampuan seseorang, melainkan sebagai ukuran kecepatan belajar (measure of learning rate). Artinya orang yang memiliki bakat tinggi memerlukan waktu relatif lebih sedikit untuk mencapai taraf penguasaan bahan dibandingkan dengan siswa yang memiliki bakat rendah. Sehingga dengan demikian, siswa dapat mencapai penguasaan penuh terhadap bahan yang disajikan, bila kualitas pembelajaran dan kesempatan waktu belajar dibuat tepat sesuai dengan kebutuhan masing-masing siswa. Oleh karena itu, implikasinya dalam kegiatan belajar harus diberikan waktu belajar yang berbeda-beda untuk masing-masing siswa.
2.3.2. Strategi Pendekatan Mastery Learning (Belajar Tuntas) Mulyasa (2010:55) mengemukakan bahwa strategi Mastery Learning (belajar tuntas) dapat dibedakan dari pembelajaran non-mastery learning terutama dalam hal-hal berikut: a. Pelaksanaan tes secara teratur untuk memperoleh balikan terhadap bahan yang diajarkan sebagai alat untuk mendiagnosa kemajuan (diagnostic progress test). b. Siswa baru dapat melangkah pada pelajaran berikutnya setelah benar-benar menguasai bahan pelajaran sesuai dengan patokan yang ditetapkan. c. Pelayanan bimbingan dan penyuluhan terhadap siswa yang gagal mencapai taraf penguasaan penuh, melalui pengajaran korektif atau pengajaran kembali, pengajaran tutorial, restrukturasi kegiatan belajar dan pengajaran kembali kebiasaan-kebiasaan belajar siswa, sesuai dengan waktu yang diperlukan masing-masing. 2.3.3. Ciri-ciri Pendekatan Mastery Learning (Belajar tuntas) Menurut Ahmadi, dkk. (2005:28) ada beberapa ciri pendekatan Mastery Learning (belajar tuntas), yaitu: a) Siswa dapat belajar dengan baik dalam kondisi pengajaran yang tepat sesuai dengan harapan pengajar. b) Bakat seorang siswa dalam bidang pengajaran dapat diramalkan, baik tingkatannya maupun waktu yang dibutuhkan untuk mempelajari bahan tersebut. Bakat berfungsi sebagai indeks tingkatan belajar siswa dan sebagai suatu ukuran satuan waktu.
c) Tingkat hasil belajar bergantung pada waktu yang digunakan secara nyata oleh siswa untuk mempelajari sesuatu dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk mempelajarinya d) Tingkat belajar sama dengan ketentuan, kesempatan belajar bakat, kualitas pengajaran, dan kemampuan memahami pelajaran. e) Setiap siswa memperoleh kesempatan belajar yang berdiferensiasi dan kualitas pengajaran yang berdiferensiasi pula. 2.3.4. Kelebihan dan Kelemahan Pendekatan Mastery Learning (Belajar Tuntas) Mariana (dalam Made, 2003:21), menyatakan tiga kelebihan pendekatan Mastery Learning (belajar tuntas), yaitu: a. Pembelajaran tuntas lebih efektif daripada pembelajaran yang tidak menganut paham pembelajaran tuntas. Keunggulan pembelajaran tuntas termasuk juga pencapaian siswa dan retensi (daya tahan konsep yang dipelajari) lebih tahan lama. b. Efisiensi belajar siswa secara keseluruhan lebih tinggi pada pembelajaran tuntas daripada pembelajaran yang tidak menerapkan pembelajaran tuntas. Siswa yang tergolong lambat menguasai standar kompetensi secara tuntas dapat belajar hampir sama dengan siswa yang mempunyai kemampuan lebih tinggi. c. Sikap yang ditimbulkan akibat siswa mengikuti pembelajaran tuntas positif, dibandingkan dengan pembelajaran yang tidak menganut faham pembelajaran tuntas. Adanya sikap positif dan rasa keingintahuan yang besar terhadap suatu materi subyek yang dipelajarinya. Sikap positif lainnya misalnya adanya rasa
percaya diri yang berarti, kemauan belajar secara kooperatif satu dengan yang lainnya, dan sikap yang positif terhadap pembelajaran dengan memberikan perhatian yang besar. Pembelajaran remedial (remedial learning) merupakan bagian dari proses pembelajaran secara menyeluruh untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan atau ditetapkan. Mariana (dalam Made, 2003:24), menyatakan tiga kelemahan pendekatan Mastery Learning (belajar tuntas), yaitu: a. Guru-guru yang sudah terlanjur menggunakan teknik lama sulit beradaptasi. b. Memerlukan berbagai fasilitas, dan dana yang cukup besar. Menuntut para guru untuk lebih menguasai materi lebih luas lagi dari standar yang ditetapkan. c. Diberlakukannya sistem ujian (UAS dan UAN) yang menuntut penyelenggaraan program bidang studi pada waktu yang telah ditetapkan dan usaha persiapan siswa untuk menempuh ujian.