BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang permasalahan Setiap manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia pasti membutuhkan orang lain disekitarnya mulai dari hal yang sederhana maupun untuk hal-hal besar didalam kehidupan, manusia membutuhkan orang lain, oleh sebab itu interaksi sosial adalah sebuah kebutuhan mendasar bagi perkembangan individu (Sarwono, 2009). Perkembangan untuk berinteraksi dengan lingkungan dan mengeksplorasi diri bersama dengan orang sebaya sudah terlihat semenjak masa kanak-kanak, namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja. Usia remaja ada diantara anak dan orang dewasa oleh karena itu remaja seringkali dikenal dengan fase mencari jati diri. Remaja masih belum mampu menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun fungsi psikisnya menurut Monks (Ali dan Asrori, 2005). Kondisi ketidak pastian golongan dalam fase remaja membuat para remaja begitu terikat dengan teman sebayanya yang dianggap memiliki permasalahan yang sama dengan mereka. Remaja menurut Mappiare (Ali dan Asrori, 2005) berlangsung antara usia 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescere yang artinya tumbuh atau tumbuh mencapai kematangan. Bangsa primitif dan orang-orang purbakala memandang masa puber 1
dan masa remaja tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu bereproduksi (Ali dan Asrori, 2005). Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik menurut Hurlock (Ali dan Asrori, 2005). Pendapat ini didukung oleh Piaget yang mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi kedalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada dibawah tingkat orang yang lebih tua, melainkan sama atau paling tidak hampir sejajar dimana memasuki masyarakat dewasa ini mengandung aspek afektif, lebih atau kurang dari usia pubertas (Ali dan Asrori, 2005). Perkembangan remaja berkaitan dengan pertumbuhan serta kematangan, pertumbuhan berkaitan langsung dengan perubahan biologis yang bersifat kuantitatif, contohnya berat tubuh meningkat, tinggi bertambah dan lain-lain, namun perkembangan kematangan berkaitan dengan perubahan biologis yang bersifat kualitatif yang sulit diukur yakni seperti kompleksnya susunan syaraf dalam tubuh yang berkembang sehingga fungsi fisik dan psikis remaja bertambah (Ali dan Asrori, 2005). Perkembangan biologis remaja pada dasarnya juga termasuk dengan perkembangan dorongan seksual mereka dimana remaja mulai mengerti seluruh fungsi dari organ seksualnya dan dengan adanya dorongan-dorongan tersebut 2
maka remaja sesuai dengan usianya mulai mengeksplorasi segala sesuatu yang berkaitan dengan perilaku seksual. Dalam proses perkembangannya, remaja semakin hari semakin banyak menghabiskan waktu dengan lingkungan dan teman-temannya jika dibandingkan dengan waktu yang mereka habiskan bersama keluarga dan orang tua, oleh sebab itu perkembangan perilaku remaja cukup dipengaruhi oleh rekan-rekan sebayanya yang selalu ada di sekitar mereka. Termasuk dalam perilaku yang berkaitan dengan kehidupan seksual remaja, dimana pada dasarnya menurut norma kehidupan seksual harus dijalankan ketika individu sudah menikah, namun dengan stimulus yang kurang tepat seperti kehidupan kelompok yang membenarkan perilaku seksual pranikah, maka remaja akan sangat mudah terjerumus dengan kehidupan yang sama. Perilaku seksual pranikah adalah jenis aktivitas fisik yang menggunakan tubuh menyatakan atau mengekspresikan perasaan erotis atau afeksi sebelum adanya ikatan secara resmi dalam pernikahan (Nevid, 1995). Sarwono (2001) Menyatakan bahwa perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didasari hasrat seksual baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis, yang dilakukan sebelum adanya ikatan pernikahan. Bentuk tingkah laku ini bermacammacam, mulai dari perasaan tertarik, bercumbu, sampai bersenggama. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh Suryoputro (2003-2004) tentang faktor-faktor yang bisa mempengaruhi perilaku seksual remaja di Jawa adalah, Faktor internal yakni pengetahuan aspek-aspek kesehatan reproduksi, 3
Faktor eksternal, kontak dengan sumber-sumber informasi, keluarga, lingkungan sosial, norma sebagai pendukung sosial untuk perilaku tertentu. Seringkali remaja merasa bahwa orangtuanya menolak membicarakan masalah Perilaku seksual pranikah sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman atau media masa (Syafrudin, 2008). Remaja sangatlah membutuhkan informasi mengenai persoalan seksual dan reproduksi, dan amatlah sering mendapatkan informasi yang tidak akurat mengenai seks hanya dari teman-teman sebayanya bukan dari petugas kesehatan, guru, atau orang tua yang lebih kompeten (Saifuddin dan Hidayana, 1999). Faktor lingkungan sangatlah berperan penting dalam sikap terhadap perilaku reproduksi remaja. Remaja yang melakukan hubungan seksual sebelum menikah banyak yang berasal dari keluarga yang kurang harmonis (Kinnaird, 2003). Kurangnya komunikasi yang baik antara remaja dan orang tua akan membuat remaja melarikan diri dari keluarganya untuk tetap ada di lingkungan sebaya yang menerimanya (Rohmahwati,2008). Remaja mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan agar dapat bertahan hidup di lingkungan tersebut. Cara termudah adalah dengan melakukan tindakan yang sesuai dan diterima secara sosial dalam lingkungan tersebut. Melakukan tindakan yang sesuai dengan norma sosial dalam psikologi sosial disebut dengan konformitas (Sarwono, 2009). Konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada (Baron dan Byrne, 2008). 4
Norma sosial dapat berupa Injunctive norms yaitu hal atau perilaku yang memang seharusnya kita lakukan, dan juga descriptive norms yaitu hal-hal yang biasanya dilakukan oleh orang-orang lain didalam kelompok sosial (Sarwono, 2009). Injunctive norms biasanya dinyatakan secara eksplisit misalnya peraturanperaturan yang dibuat oleh sekolah untuk keteraturan belajar mengajar. Sedangkan descriptive norms biasanya bersifat implisit misalnya bila bertamu kerumah orang kita harus menghormati pemilik rumah dengan baik (Baron dan Byrne, 2008). Bagaimana manusia dapat mengikuti norma sosial sebenarnya tidak terlepas dari adanya tekanan-tekanan untuk bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan aturan sosial. Tekanan tersebut bisa dinyatakan secara eksplisit maupun implisit. Tekanan yang ada dalam norma sosial sesungguhnya memiliki pengaruh yang sangat besar. Tekanan-tekanan untuk melakukan konformasi sangat kuat, sehingga usaha untuk menghindari situasi yang menekan tersebut dapat menenggelamkan nilai-nilai personalnya (Baron dan Byrne, 2008) Kuatnya pengaruh sosial yang ada dalam konformitas dibuktikan secara ilmiah dalam penelitian Solomon Asch, (Baron dan Byrne, 2008). Asch melakukan eksperimen dengan memberikan tugas persepsi sederhana kepada seorang partisipan dalam penelitiannya, dimana subjek penelitian itu dihadapkan pada dua gambar, lalu diminta membandingkan dan menjawab pertanyaan Mana garis yang sama panjang dengan garis contoh?. Ketika menjawab, subyek 5
didampingi juga oleh 6 sampai 8 orang yang juga ikut menjawab pertanyaan yang sama, namun sebenarnya orang-orang tersebut adalah asisten peneliti yang berusaha membelokkan jawaban si subyek. Asch meminta asistennya menjawab dengan suara yang lantang, bersama-sama jawaban yang salah, dilakukan berulangkali walaupun sebelumnya subyek sudah menjawab dengan benar namun pada waktu tertentu subyek akan mengganti jawabannya mengikuti jawaban mayoritas orang yang ada disekelilingnya. Dari penelitian ini 76% subyek mengikuti jawaban yang diberikan asisten peneliti tersebut. Eksperimen Asch ini menunjukkan bahwa orang cenderung melakukan konformitas, mengikuti penilaian orang lain, ditengah tekanan kelompok yang mereka rasakan. Kecenderungan melakukan konformitas bisa dalam perilaku yang menunjukkan perilaku positif, bisa juga memperlihatkan perilaku negatif, selama ada tekanan-tekanan meskipun implisit konformitas tetap mudah dilakukan (Sarwono, 2009). Banyak hal yang dapat dijadikan contoh konformitas pada bentuk-bentuk perilaku negatif salah satunya adalah yang pernah terjadi yaitu tawuran pelajar yang menewaskan salah satu pelajar SMA 6, tawuran merupakan salah satu bentuk konformitas karena didalam unsur pemicunya ada tekanan yang tak terlihat dari lingkungan teman sebayanya.berdasarkan penelitian Soekadji (Sarwono, 2009) mengenai perkelahian pelajar menyebutkan bahwa tawuran terjadi karena siswa-siswa murid baru suatu SMU mewarisi tradisi perkelahian yang dilakukan oleh kakak-kakak kelas mereka. 6
Saat siswa-siswa baru pulang sekolah biasanya memilih bersama dengan teman yang searah dengan mereka, hal ini membuat mereka memiliki persamaan mendasar lagi lebih dari sekedar teman satu sekolah, tapi juga seperjalanan pulang. Hal tersebut lebih menguatkan kemungkinan terjadinya konformitas pada siswa untuk terlibat tawuran dengan pelajar dari sekolah lain. Tawuran biasanya dimulai dengan hal yang sangat sepele bahkan mungkin tidak ada hal yang mendasar, namun hanya doktrin yang tidak terlihat dari kakak kelas yang sebelumnya bahwa memang dari dulu SMU tersebut sudah bermusuhan dan turun temurun harus berkelahi untuk menunjukkan sekolah siapa yang lebih baik. Bagi anak SMU yang pada dasarnya adalah anak remaja, mereka biasanya kesulitan untuk bisa menghindari konformitas, karena anak remaja dalam tahapan perkembangannya merasa tidak memiliki tempat yang jelas, karena mereka sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi juga belum dapat diterima secara penuh sebagai golongan orang dewasa (Ali dan Asrori, 2005). Perkembangan remaja yang sudah disebutkan merupakan perubahan yang berasal dari dalam diri remaja tersebut, hal ini bukan berarti bahwa faktor lingkungan tidak memegang peranan dalam perkembangan remaja, malah sebaliknya faktor lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan remaja karena pada tahap ini remaja sangat potensial menerima stimulus yang berupa kognitif, emosi maupun fisik (Ali dan Asrori, 2005). Hal tersebut yang menyebabkan begitu mudahnya remaja memunculkan perilaku konformitas didukung oleh tekanan yang tidak terlihat oleh lingkungan 7
teman sebayanya. Hanya lingkungan teman sebaya tersebut yang dianggap mampu mengerti keadaan yang sedang dialami oleh remaja tersebut, baginya mereka sudah bukan anak kecil lagi, namun merasa tidak cocok bila harus menyelesaikan masalah dengan cara orang dewasa (Ali dan Asrori, 2005). Konformitas yang timbul dalam perilaku remaja, tidak hanya bisa bersifat positif, namun juga bisa bersifat negatif hal tersebut termasuk salah satu faktor yang mampu membahayakan perkembangan masa remaja menurut Hurlock (Ali dan Asrori, 2005). Berdasarkan penelitian sebelumnya berkaitan dengan perubahan sikap remaja terhadap rokok cukup tinggi dipengaruhi oleh konformitas remaja terhadap teman sebayanya dibandingkan dengan hasrat atau keinginan pribadi untuk menikmati rokok tersebut. Oleh sebab itu peneliti melihat bahwa sikap seorang remaja terhadap sebuah objek dapat dengan mudah dipengaruhi oleh konformitas remaja tersebut terhadap teman-teman sebayanya. Dalam penelitian ini peneliti melihat bahwa remaja memiliki kecenderungan memunculkan sikap konformitas begitu besar, dimana sebenarnya sikap tersebut bila tidak mampu dimunculkan secara lebih bertanggung jawab maka akan mempengaruhi remaja tersebut dalam mengambil keputusan dihidupnya terutama mengenai keputusan yang berkaitan dengan perilaku yang bisa mempengaruhi fase hidup remaja tersebut selanjutnya. Hal tersebut diatas sejalan dengan hasil dari penelitian sebelumnya berkaitan dengan konformitas dan seks pranikah di Universitas YAI bahwa 8
memang ada pengaruhnya antara perilaku seks pranikah dengan konformitas terhadap teman sebaya. Mengingat resiko dari perilaku seksual pranikah memiliki banyak sekali dampak negative pada remaja baik secara psikologis, fisiologis dan dampak sosial, oleh sebab itu melalui penelitian ini peneliti ingin lebih menggambarkan bagaimana sikap dan penerimaan remaja terhadap perilaku seksual pranikah ditinjau dari konformitas remaja serta menggali pengetahuan subyek tentang gaya berpacaran dan alat kontrasepsi. 1.2. Rumusan permasalahan Berdasarkan uraian yang telah diuraikan diatas maka yang menjadi permasalahan penelitian ini adalah : Bagaimana gambaran sikap terhadap perilaku seksual pranikah ditinjau dari konformitas remaja pada siswa siswi SMUN XX Tangerang? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah melihat gambaran sikap terhadap perilaku seksual pranikah remaja. 9
1.4. Manfaat Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini maka diharapkan juga penelitian ini mampu memberikan manfaat bagi para pembacanya. Manfaat praktis pada penelitian ini adalah memberikan gambaran sikap terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja di Tangerang. Sedangkan manfaat teoritis penelitian ini adalah untuk penelitian selanjutnya serta memberikan pengembangan teori dalam Psikologi Sosial dan Perkembangan. 10