BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

dokumen-dokumen yang mirip
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk

BAB I PENDAHULUAN. hakikatnya Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, antara pria dan

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. Ibu memiliki lebih banyak peranan dan kesempatan dalam. mengembangkan anak-anaknya, karena lebih banyak waktu yang digunakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan membutuhkan interaksi dengan sesama. Ketergantungan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI

BAB I PENDAHULUAN. sebutan masa kanak-kanak akhir, misalnya orangtua memberi sebutan

BAB I PENDAHULUAN. paling menarik dari percepatan perkembangan seorang remaja adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah masa dewasa muda. Pada masa ini ditandai dengan telah tiba saat bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. penting menuju kedewasaan. Masa kuliah akan menyediakan pengalaman akademis dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup tanpa berelasi dengan

KECEMASAN PADA WANITA YANG HENDAK MENIKAH KEMBALI

PENDAHULUAN. seperti ayah, ibu, dan anak. Keluarga juga merupakan lingkungan yang

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin

BAB I PENDAHULUAN. dengan wanita yang bertujuan untuk membangun kehidupan rumah tangga

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB 1 PENDAHULUAN. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan romantis. Hubungan romantis (romantic relationship) yang juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing tahap perkembangannya adalah pada masa kanak-kanak, masa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

DATA SUBJEK SUBJEK I SUBJEK II SUBJEK III

BAB I PENDAHULUAN. 40 tahun. Pada masa ini, orang-orang mencari keintiman emosional dan fisik

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Attachment menurut Bowlby (dalam Mikulincer & Shaver, 2007) adalah

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB V HASIL PENELITIAN

GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG TELAH MENIKAH TIGA TAHUN DAN BELUM MEMILIKI ANAK KEUMALA NURANTI ABSTRAK

BABI PENDAHULUAN. Setiap individu memiliki tugas-tugas perkembangan yang menyertai dalam

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan seperti firman Allah dalam Qur`an Surat Al- Baqarah ayat 36

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja,

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. afeksional pada seseorang yang ditujukan pada figur lekat dan ikatan ini

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Definisi Perkawinan, Perceraian serta akibat-akibat Hukumnya.

KATA PENGANTAR KUESIONER. Dalam rangka memenuhi persyaratan pembuatan skripsi di Fakultas

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi

BAB I PENDAHULUAN. interaksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas di masyarakat dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. mereka kelak. Salah satu bentuk hubungan yang paling kuat tingkat. cinta, kasih sayang, dan saling menghormati (Kertamuda, 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

1.PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Manusia merupakan makhluk individu dan sosial. Makhluk individu

BAB I PENDAHULUAN. Masa bayi adalah periode dalam hidup yang dimulai setelah kelahiran dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal merupakan peralihan dari masa remaja. Perkembangan sosial pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhi oleh kematangan emosi baik dari suami maupun istri. dengan tanggungjawab dan pemenuhan peran masing-masing pihak yang

BAB I PENDAHULUAN. lainnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Oleh sebab itu manusia

KOMITMEN PERNIKAHAN PADA PASANGAN SUAMI ISTRI YANG SUAMINYA MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

4.5 Rangkuman Hasil Tabel 4.2 Perbandingan Tema Pengalaman Suami Istri pertama Istri kedua 1. Keadilan Sebelum dipoligami 1. Perasaan diabaikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan relasi antar pribadi pada masa dewasa. Hubungan attachment berkembang melalui pengalaman bayi dengan pengasuh di tahun awal kehidupannya. Perkembangan attachment anak sangat dipengaruhi oleh kepekaan ibu dalam memberikan respon yang diberikan pada anak, sesegera mungkin atau menunda, respon yang diberikan tepat atau tidak. Attachment adalah suatu hubungan emosional atau yang bersifat afektif antara satu individu dengan yang lainnya yang mempunyai arti khusus (Ainsworth dalam Belsky (1988). Hubungan yang dibina akan bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman walaupun figur attachment tidak hadir dalam pandangan anak. Attachment itu sendiri bukan ikatan yang terjadi secara alamiah namun ada serangkaian proses yang harus dilalui untuk membentuk attachment (Sutcliffe,2002). Pembentukan attachment pada masa kecil memiliki hubungan dengan kemampuan anak dalam menjalin hubungan attachment pada masa dewasa. Anak yang mengalami attachment yang aman (secure attachment) lebih memiliki kepribadian yang berkembang baik dalam halhal yang positif, mandiri, empati, dan kemampuan dalam situasi sosial. Dengan demikian, sangatlah penting bagi anak untuk memiliki attachment yang secure. Sebaliknya anak-anak yang kurang terpenuhi attachment-nya akan cenderung pasif, lebih membutuhkan waktu yang dalam dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan atau kelompok, dan kurang nyaman dalam interaksi sosial (Matas, dalam Hetherington & Parke, 1999). 1 UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

2 Pada remaja, konsep attachment dapat dilihat dari interaksi remaja dengan teman sebayanya, misalnya bagaimana remaja membangun dan mempertahankan suatu hubungan. Dalam suatu hubungan, sebagian individu akan merasakan kenyamanan, dan sebagian lagi merasakan ketidaknyamanan. Masa dewasa awal, penting bagi seseorang untuk menjalin hubungan intim. Pola attachment yang digunakan oleh orangtua akan terinternalisasi pada anak hingga dewasa. Teori attachment dari Bowlby (Reeve,2001) menyatakan bahwa ikatan afeksi yang terjalin antara balita dengan orangtua, yang negatif maupun positif, akan terbawa hingga dewasa dan cenderung menetap berpengaruh pada hubungan dengan pasangan. Menurut Erikson (dalam Papalia, Old, & Feldman, 2008) Individu berusaha memperoleh intimasi yang dapat diwujudkan melalui komitmen terhadap suatu hubungan dengan orang lain, baik dalam hubungan pacaran atau menikah. Pernikahan itu sendiri adalah sebuah perjanjian ikatan yang biasanya dilandasi oleh cinta. Awal usia pernikahan, umumnya pasangan suami-istri itu mengalami masa yang indah dalam hubungan pernikahan. Pernikahan itu sendiri menyatukan dua individu yang berbeda, baik perbedaan dari segi karakter maupun latar belakang hidupnya. Seiring berjalannya usia pernikahan, masing-masing akan semakin mengenal siapa sebenarnya pasangannya dan melihat perbedaan diantara mereka. Perbedaan dalam pernikahan tersebut bisa menjadi penguat ikatan hubungan, atau justru sebaliknya, menjadi suatu penyebab munculnya pertikaian dalam hubungan pernikahan. Pertikaian yang berkepanjangan dalam hubungan pernikahan kecenderungan akan berujung kepada sebuah perceraian. Perceraian merupakan suatu peristiwa perpisahan resmi antara pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri baik suka maupun tidak suka, akibat perbedaan-perbedaan prinsip yang tidak dapat dipersatukan lagi melalui berbagai cara dalam kehidupan keluarga. Masing-masing dari suami-istri

3 mempertahankan pendirian, keinginan dan kehendak diri sendiri, tanpa berupaya untuk mengalah demi tercapainya keutuhan hubungan pernikahan. Ketidakmauan dan ketidakmampuan untuk mengakui kekurangan diri sendiri atau orang lain, menyebabkan masalah yang sepele akan menjadi besar, sehingga berakhir dengan perceraian. Perceraian dianggap menjadi jalan terbaik bagi pasangan tertentu yang tidak mampu menghadapi masalah konflik dalam pernikahan. Menurut para ahli, seperti Nakamura (1989), Turner & Helms (1995), Sudarto & Wirawan (2001) terdapat faktor yang menyebabkan suatu pasangan akhirnya memutuskan untuk bercerai. Beberapa faktor penyebab perceraian seperti kekerasan verbal, masalah atau kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan yang akhirnya membuat pasangan ingin melakukan perceraian. Kekerasan verbal merupakan penganiayaan yang dilakukan oleh seorang pasangan terhadap pasangan lainnya, dengan menggunakan kata-kata, ungkapan kalimat yang kasar, tidak menghargai, mengejek, mencaci-maki, menghina, menyakiti perasaan dan merendahkan harkat-martabat. Akibat mendengarkan dan menghadapi perilaku pasangan hidup yang demikian, membuat seseorang merasa terhina, kecewa, terluka batinnya dan tidak betah untuk hidup berdampingan dalam pernikahan. (Nakamura (1989), Turner & Helms (1995), Sudarto & Wirawan (2001)). Perselingkuhan merupakan sebuah perzinaan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang bukan menjadi pasangan hidup yang sah, perselingkuhan sebagai aktivitas hubungan sexual di luar perkawinan atau disebut dengan extra-marital sexual relationship (Soewondo, 2001) dan mungkin semula tidak diketahui oleh pasangan hidupnya, akan tetapi lama kelamaan diketahui secara pasti (Satiadarma, 2001). Oleh sebab itu, seseorang akan merasa sangat kecewa, sakit hati, sedih, stress dan depresi setelah mengetahui bahwa pasangan hidupnya melakukan parselingkuhan, sebab dirinya telah dikhianati secara diam-diam. Akibat

4 semua itu, kemungkinan seseorang memilih untuk bercerai dari pasangan hidupnya (Sudarto & Wirawan, 2001). Selain sebab diatas, ada juga faktor yang paling sering menyebabkan sebuah perceraian seperti kegagalan suami-istri dalam menjalankan kewajibannya, keikutcampuran pihak ketiga, masalah seksual, masalah karir, perbedaan budaya, kurangnya komitmen pada perkawinan, komunikasi yang buruk, perubahan prioritas yang dramatis, ketidaksetiaan, kegagalan harapan, kekerasan fisik, serta lemahnya kemampuan penyelesaian konflik (www.divorce.org, 2006). Menurut Spanier & Thompson (1984) perceraian merupakan reaksi terhadap hubungan dalam pernikahan yang tidak berjalan dengan baik, dan bukan merupakan ketidaksetujuan terhadap lembaga perkawinan. Sebanyak 745 perempuan di Kabupaten Cianjur harus menjanda akibat perceraian selama enam bulan terakhir. Bahkan, setahun sebelumnya jumlah perempuan yang bestatus single parent itu terbilang fantastis, yakni mencapai 3.131 orang. Data tersebut berdasarkan putusan yang dikeluarkan Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Cianjur, sepanjang rentang waktu itu. Kasus perceraiannya pun lebih didominasi gugat cerai. Berbeda dengan angka pernikahan, yang justru semakin menurun. Bahkan, KUA Kecamatan Cianjur mencatat, pernikahan di Cianjur berkurang hingga 25% dari tahun sebelumnya. Angka pernikahan sekitar 1.689 pasangan, sedangkan tahun ini baru ada 1.148 pasangan. Dari sejumlah kasus perceraian yang ada di Cianjur, sebanyak 80% merupakan istri yang menggugat suami. Salah satu alasannya karena ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Sementara itu, Ketua KUA Cianjur Hamdan mengatakan, jika di PA Cianjur angka perceraian meningkat, di lingkungan KUA Cianjur angka pernikahan malah mengalami penurunan. Pada 2016 setidaknya 1.148 pasangan menikah. (http://koransindo.com/page/news/2016-08-03/5/90/745_perempuan_cianjur_menjanda)

5 Banyaknya kasus perceraian yang terjadi merupakan peristiwa yang mengkhawatirkan. Individu begitu cepat mengambil keputusan untuk bercerai ketika kehidupan pernikahan dalam masalah, hal ini terbukti karena pasangan suami-istri yang baru menikah sekitar 3-5 tahun sudah memutuskan untuk bercerai. Cinta yang awalnya menjadi landasan penyatuan dua individu dalam suatu pernikahan sepertinya tidak lagi berfungsi untuk tetap mempertahankan pernikahan. Suatu pernikahan idealnya memiliki hubungan yang intim satu sama lain, dalam istilah psikologi disebut dengan attachment. Attachment suami-istri tidak terbentuk begitu saja, namun harus dibentuk oleh kedua belah pihak. Menurut Ainsworth (1978) Interaksi antara anak dengan significant others pada masa kanak-kanak akan membentuk pola attachment. Penelitian yang dilakukan oleh Bowlby (1979) mengatakan bahwa figur ibu memiliki ikatan emosional yang lebih kuat dengan anak. Sangat penting untuk anak merasa dikasihi dan dicintai oleh orangtua sejak kecil karena pola attachment seorang anak sejak kecil dengan orangtuanya akan memberikan gambaran kepada anak akan arti sebuah hubungan. Hubungan yang dibina sejak kecil dengan orangtuanya akan memberikan pengaruh bagi anak dalam membangun hubungan dengan pasangannya di masa dewasa. (Hazan & Shaver, 1987) Sesuai dengan hasil penelitian (Hazan & Shaver, 1987) yang menyatakan interaksi dalam hubungan percintaan orang dewasa mirip dengan interaksi antara anak dengan figur attachment (Pietromonaco and Barret, 2000). Attachment merupakan suatu hubungan yang didukung oleh tingkah laku lekat (attachment behavior) yang dirancang untuk memelihara hubungan tersebut. Bowlby (1973) menyatakan pola attachment individu dewasa dapat tetap stabil selama periode waktu yang cukup lama. Berdasarkan hasil survey pada perempuan bercerai di Kabupaten Cianjur ia tidak merasa nyaman untuk dekat dengan ibu, karena sering berbeda pendapat dengan ibu, ia sering salah paham dengan perkataan-perkataan ibu. Sedangkan dengan

6 pasangannya sebelum bercerai, ia tidak nyaman untuk dekat dengan pasangannya sebelum bercerai, ia jarang bahkan hampir tidak pernah bercerita secara mendalam dengan pasangannya sebelum bercerai, ia juga merasa ingin mengakhiri pernikahan karena ia tidak cinta dengan pasangannya dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa ia merasa insecure dengan ibu dan pasangannya sebelum bercerai. Terdapat juga yang merasa secure dengan ibu dan juga pasangan sebelum bercerai, ia merasa nyaman dengan ibu dan pasangannya sebelum bercerai karena mereka adalah orang terdekat didalam hidupnya, ia sering menceritakan semua hal dengan ibu dan pasangannya sebelum bercerai, ia juga merasa bergantung dengan ibu dan pasangannya sebelum bercerai, dan ia juga merasa mudah memberikan kasih sayang kepada ibu dan pasangannya sebelum bercerai. Meskipun ia merasa kecewa dengan pasangannya karena pasangannya selingkuh, ia tetap merasa nyaman dengan pasangannya sebelum bercerai. Terdapat juga perempuan bercerai yang merasa bahwa dirinya nyaman dengan ibu dan pasangannya sebelum bercerai, ia merasa bahwa suami adalah orang yang terkadang baik, namun terkadang suami melakukan kekerasan kemudian suami meminta maaf, namun dengan sikap suami yang seperti itu ia tetap merasa nyaman. Ia juga merasa nyaman dengan ibunya karena ibu adalah orang yang selalu ada, dan ia juga selalu mendapatkan support. Ia sering menceritakan semua hal dengan ibu dan pasangannya sebelum bercerai, ia juga merasa bergantung dengan ibu dan pasangannya sebelum bercerai, dan ia juga merasa mudah memberikan kasih sayang kepada ibu dan pasangannya sebelum bercerai. Selain Bowlby, Baldwin dan Fehr (1995) menyatakan bahwa kurang lebih 30% dari pengalaman individu dewasa secara statistik mengubah pola Attachment secara signifikan. Pengalaman individu akan berbeda-beda, sehingga attachment dari masa kecil dapat berpotensi berubah. Berdasarkan wawancara pada perempuan bercerai, ia merasa nyaman dan bergantung

7 dengan ibu, dan juga merasa bahwa dirinya mudah untuk berbagi kasih sayang terhadap ibu. Akan tetapi, dengan kehidupan pernikahan yang sering bertengkar, Ia sering mendapatkan pukulan, merasa suami dahulu egois dan mudah emosi. Ia merasa menjadi tidak nyaman, dan juga merasa tidak bergantung, cenderung menghindar, dan ia juga merasa kurang mudah untuk berbagi kasih sayang terhadap pasangannya sebelum bercerai. Terdapat juga ia merasa nyaman untuk dekat dengan ibu, merasa bergantung dengan ibu namun kehidupan pernikahan yang banyak konflik membuat ia merasa tidak nyaman berada dekat dengan pasangannya sebelum bercerai, ia merasa bahwa pernikahannya terlalu banyak konflik dari awal hingga pernikahan umur 35 tahun dan tidak terselesaikan, pernikahan yang tidak dilandasi oleh cinta karena berasal paksaan orangtua. Ia menjadi tidak nyaman, tidak bergantung dengan pasangannya, ia tidak pernah berbagi cerita dengan pasangannya sebelum bercerai. Individu dengan tipe secure dapat berubah menjadi insecure melalui pengalaman penolakan, kritik, ejekan, ikatan attachment yang rusak, dan perpisahan atau kehilangan figur attachment. Individu dengan tipe insecure bisa berubah menjadi secure dengan formasi attachment yang secure dan stabil dengan pasangan, interaksi interpersonal yang positif, pernikahan yang baik, psikoterapi yang sukses, menjadi orangtua, dan bertemu dengan pasangan yang suportif, sensitif dan hadir dalam hidup. (Baldwin dan Fehr, 1995) Pernikahan dengan memiliki banyak konflik berujung pada perceraian. Berdasarkan fenomena yang ada, sebelum perceraian terjadi biasanya didahului dengan banyaknya konflik dan pertengkaran. Pasangan suami-istri setiap hari mengalami pertengkaran hebat, suami-istri mengalami ketidakcocokan, adanya kekerasan di dalam rumah tangga, hadirnya orang ketiga atau biasa disebut dengan perselingkuhan. kecenderungan salah satu dari pasangan akan merasa insecure saat terjadinya hal-hal tersebut. Apalagi bila terjadi suatu perceraian, perceraian yang terjadi di duga dapat mengubah pola attachment.

8 Berdasarkan dari hasil survey pada delapan perempuan yang sudah bercerai di Kabupaten Cianjur, didapatkan hasil sebagai berikut. Sebanyak tiga orang (37,5%) merasa bahwa dirinya nyaman dengan ibunya, akan tetapi merasa tidak nyaman dengan pasangannya. Sebanyak satu orang (12,5%), merasa tidak nyaman dengan ibu dan pasangannya sebelum bercerai. Sebanyak 4 orang (50%) merasa bahwa dirinya nyaman dengan ibu dan pasangannya sebelum bercerai. Jadi dari hasil survey didapatkan hasil bahwa, perempuan yang sudah bercerai menunjukkan variasi jawaban. Ada responden yang merasa tidak nyaman dengan ibu tetapi nyaman dengan pasangannya sebelum bercerai, ada yang merasa tidak nyaman dengan pasangannya sebelum bercerai namun merasa tidak nyaman dengan ibu. Terdapat juga yang merasa nyaman dengan ibu namun merasa tidak nyaman dengan pasangannya sebelum bercerai. Hasil yang paling banyak adalah mereka merasa nyaman dengan ibu dan pasangannya sebelum bercerai. Berdasarkan penjelasan diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara pola attachment terhadap ibu dan terhadap mantan pasangannya pada perempuan yang bercerai. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, peneliti ingin mengetahui hubungan antara pola attachment ibu dengan pola attachment mantan pasangan pada perempuan bercerai di Kabupaten Cianjur. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola attachment terhadap ibu dan pola attachment mantan pasangan pada perempuan bercerai di Kabupaten Cianjur.

9 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai hubungan pola attachment terhadap ibu dan mantan pasangan dan pada perempuan yang bercerai di Kabupaten Cianjur. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis 1. Memberikan informasi antara pola attachment terhadap ibu dan pola attachment terhadap mantan pasangan pada perempuan yang bercerai ke dalam bidang ilmu psikologi perkembangan dan keluarga. 2. Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan pola attachment terhadap ibu dan mantan pasangan pada perempuan yang bercerai. 1.4.2 Kegunaan Praktis 1. Memberi informasi kepada perempuan yang bercerai mengenai perbedaan pola attachment. Informasi tersebut diharapkan mereka mampu mempertahankan attachment ke arah secure. 2. Memberi informasi kepada orangtua bahwa attachment pada masa kanak kanak berhubungan dengan hubungan anak terhadap pasangannya. Informasi tersebut diharapkan para orangtua mampu mengasuh anak dengan pola asuh yang baik dan benar agar anak anak tersebut memiliki secure attachment. 3. Memberi informasi kepada konsultan pernikahan bahwa attachment pada masa dewasa berhubungan dengan hubungan anak dengan orangtua.

10 1.5 Kerangka Pemikiran Anak yang tumbuh dalam di dalam lingkungan keluarga tidak lepas dari keterikatan dan kedekatannya dengan orangtua. Saat anak tumbuh menjadi dewasa, anak akan menjalin hubungan dengan orang lain. Menurut Erikson (dalam Papalia, Old, & Feldman, 2008) pada masa dewasa individu berusaha memperoleh intimasi yang dapat diwujudkan melalui komitmen terhadap suatu hubungan dengan orang lain, baik dalam hubungan pacaran atau menikah. Duvall dan Miller (1985), mengatakan bahwa pernikahan adalah hubungan yang diketahui secara sosial dan monogamous, yaitu hubungan berpasangan antara satu perempuan dan satu laki-laki, dapat disimpulkan sebagai suatu kesatuan hubungan suami-istri dengan harapan bahwa mereka akan menerima tanggung jawab dan memainkan peran sebagai pasangan yang telah menikah, dimana didalamnya terdapat hubungan seksual, keinginan mempunyai anak dan menetapkan pembagian tugas antara suami-istri. Seseorang yang sudah menikah akan mengalami berbagai macam perubahan. Perubahan yang paling signifikan yang dialami seseorang yang sudah menikah adalah perubahan peran. Perempuan yang sudah menikah, akan mengalami perubahan peran menjadi seorang istri, sedangkan laki-laki yang sudah menikah akan mengalami perubahan peran menjadi seorang suami. Di dalam pernikahan idealnya sepasang suami-istri saling mempertahankan hubungan pernikahan, dengan cara menjalankan perannya masing-masing dengan baik. Akan tetapi, bukan hanya peran saja, melainkan harus ada ikatan emosional yang mendalam. Ikatan emosional tersebut disebut dengan attachment. Attachment tersebut juga tidak lepas dengan hubungannya dengan ibu ketika masa anakanak. Bowlby (dalam Santrock, 2002) menyatakan attachment adalah suatu relasi dengan figur sosial dengan fenomena tertentu yang dianggap mencerminkan relasi yang unik. Attachment akan bertahan dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan Attachment anak pada

11 ibu atau figur lain. Hazan dan Shaver (1987) membagi pola attachment pada individu dewasa berdasarkan teori Ainsworth (1978) menjadi dua kategori, yaitu pola secure attachment dan pola insecure attachment. Menurut Shaver & Mikulincer (2007) Attachment memiliki 2 dimensi, yaitu Avoidance dan Anxiety. Dimensi Avoidance adalah Individu merasa tidak nyaman dengan kedekatan dan ketergantungan dengan orang lain, individu menjaga jarak emosional dengan orang lain. Sedangkan dimensi Anxiety adalah Individu memiliki keinginan yang kuat untuk dekat dengan orang lain, dan juga menginginkan proteksi dari orang lain, kemudian merasa khawatir mengenai keberadaan orang lain dan merasa takut untuk di nilai oleh orang lain. Pola secure attachment terbentuk jika dimensi avoidance dan anxiety menunjukkan skor yang rendah. Perempuan bercerai yang memiliki secure attachment mampu menjalin hubungan yang menyenangkan dengan ibu, merasa percaya diri, ibu sebagai sumber dukungan serta memandang ibu sebagai figur yang hangat dan penuh kasih sayang merasa nyaman saat bersama ibunya. Perempuan bercerai juga merasa secure ketika ibu selalu peka dan sensitif terhadap kebutuhan anak, baik ketika keadaan sibuk atau tidak sibuk, menikmati keterikatan dengan anak secara senang hati, dan berusaha tidak menggunakan control langsung yang dapat menghambat kegiatan. Sebaliknya, pola insecure attachment terbentuk jika salah satu atau kedua dimensi menunjukkan skor tinggi. Perempuan bercerai akan merasa tidak nyaman saat bersama dengan ibu, mempunyai pandangan bahwa ibu tidak memberikan perhatian, cenderung mengalami penolakan dari ibu, dan mengalami hubungan yang dingin dengan ibu tetapi tetap ingin berusaha menjalin hubungan dengan ibu. Hal ini terbentuk dari seorang ibu yang cenderung tidak konsisten dalam mengasuh, terkadang ibu merespon namun terkadang ibu tidak merespon. Ibu yang terkadang menunjukkan sikap penolakan dan kadang ibu terlalu mencampuri keinginan anak dengan sering memaksakan keinginannya.

12 Kelekatan atau attachment, menurut Ainsworth (1978), merupakan ikatan afeksional yang ditujukan pada figur lekat dan ikatan ini berlangsung lama serta terus-menerus. Dinamika dari attachment bukan hanya hubungan antara orangtua dan anak, namun juga dalam hubungan yang lain sepanjang rentang kehidupan manusia (McAdams, 2003). Pasangan yang sebelumnya memiliki attachment yang secure dengan ibunya jika terus menerus mengalami konflik dalam pernikahan akan bisa berubah menjadi insecure dengan pasangannya. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan juga mereka akan tetap memiliki pola attachment yang secure dengan pasangan walaupun banyak kejadian negatif di dalam suatu hubungan pernikahan. Pola secure attachment terbentuk jika dimensi avoidance dan anxiety menunjukkan skor yang rendah. Perempuan memiliki perasaan yang nyaman ketika berdekatan dengan pasangan mereka, percaya terhadap kehadiran dan kepekaan pasangan mereka, mereka juga menunjukan kenyamanan ketika harus berada dalam kondisi keterpisahan dengan pasangan, dan mereka mampu menunjukan pemecahan masalah yang baik dalam mengahadapi ancaman dan masalah yang datang dari luar. Pola insecure attachment terbentuk jika salah satu atau kedua dimensi menunjukkan skor tinggi. Perempuan akan merasa tidak nyaman saat bersama dengan pasangannya, mempunyai pandangan bahwa pasangannya tidak memberikan perhatian, cenderung mengalami penolakan, dan mengalami hubungan yang dingin dengan pasangannya tetapi tetap ingin berusaha menjalin hubungan. Berdasarkan penjelasan diatas, perempuan yang memiliki attachment secure dengan orang tuanya belum tentu menjadi secure juga dengan pasangannya. Khususnya apabila perempuan mengalami peristiwa dalam hidupnya yang mengancam attachment securitynya, yaitu perceraian. Perceraian merupakan kondisi tidak menyenangkan yang terjadi pada pasangan suami-istri. Perceraian itu sendiri merupakan suatu peristiwa yang dialami seseorang terlepas dari pola attachment secure maupun insecure yang dulu dibentuk dengan ibunya,

13 dimana pengalaman perceraian dalam hubungan itu dapat berkaitan dengan pola attachment yang terbentuk pada pasangan. Menurut Davila, Karney, dan Bradbury (1999), terdapat berbagai macam faktor yang dapat merubah pola attachment seseorang perempuan, yaitu seperti situasi dan perubahan, perubahan dalam skema relasional, kepribadian. Situasi dan perubahan yang terjadi pada perempuan yang mengalami perceraian adalah suatu hal yang tidak menyenangkam. Perubahan sikap serta perlakuan negatif dari pasangan sebelum bercerai yang terus menerus dapat merubah pola attachment yang telah tertanam sebelumnya. Perubahan dalam skema relasional merupakan peristiwa kehilangan seorang figur attachment dapat merubah pola attachment karena belum tentu perempuan yang sudah bercerai akan mendapatkan figur attachment yang sama seperti dulu. Selain faktor situasi dan perubahan dan perubahan dalam skema relasional, terdapat dua faktor lain yang dapat mempengaruhi attachment yaitu kepribadian. Kepribadian adalah faktor yang dapat merubah pola attachment yang sudah dimiliki oleh seorang perempuan yang mengalami perceraian. Setiap individu memiliki kepribadian yang berbeda sehingga pola attachment dari pasangannya sebelum bercerai bisa merubah pola attachment yang tertanam oleh individu sejak masa kanak-kanak.

14 Untuk memperoleh kejelasan diatas, maka dibuat bagan sebagai berikut: 1.1 Bagan Kerangka Pikir Faktor yang mempengaruhi attachment : 1. Situasi dan perubahan 2. Perubahan dalam skema relasional 3. Kepribadian 4. Kombinasi kepribadian dengan situasi Perempuan bercerai di Kabupaten Cianjur Attachment dengan Ibu / figur pengganti ibu Kondisi pernikahan yang berujung perceraian Attachment dengan pasangan sebelum cerai Dimensi anxiety dan avoidance Dimensi anxiety dan avoidance 1.6 Asumsi Penelitian 1. Pola attachment sebelum menikah terbentuk sejak individu berasa pada masa kanakkanak yang berhubungan dengan orangtua. 2. Pola attachment dapat berubah karena terdapat faktor yang mempengaruhi, seperti situasi dan perubahan. 3. Situasi dan perubahan dalam penelitian ini merupakan keadaan pernikahan yang memiliki banyak konflik yang dapat berujung dalam perceraian. 4. Perceraian merupakan kondisi kehilangan figur attachment dalam hal ini suami dapat merubah pola skema relasional, perubahan pola skema relasional dapat berpotensi merubah pola attachment terhadap pasangan.

15 5. Pernikahan yang sering terjadi konflik berpotensi membuat attachment tersebut menjadi berubah. 1.7 Hipotesis Penelitian - Terdapat hubungan pola attachment terhadap ibu dan mantan pasangan pada perempuan yang bercerai di Kabupaten Cianjur.