4.1. Penentuan Konsentrasi Gel Pektin dalam Cookies

dokumen-dokumen yang mirip
pektat dan membentuk jembatan yang akan mengikat ion-ionlogam berat dalam suatu larutan(constenla dan Lozano, 2003).

3.1. Pengujian Kontaminan Logam Cd dan Cu Hasil pengujian sampel bebas kontaminan logam berat Cd dan Cu dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kemajuan teknologi dan berkembangnya dunia industri, ikut andil

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Logam berat merupakan salah satu bahan pencemar perairan.

konsentrasi pektin 20% Aquades TT TT Larutan buffer TT TT Keterangan : TT : Tidak terdeteksi (lebih kecil dari S 1)

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat

PENGAMBILAN PEKTIN DARI AMPAS WORTEL DENGAN EKSTRAKSI MENGGUNAKAN PELARUT HCl ENCER

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

TINJAUAN PUSTAKA. di Indonesia dengan angka sebesar ton pada tahun Durian (Durio

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka. Penelitian, (6) Hipotesis, dan (7) Tempat Penelitian.

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

I. PENDAHULUAN. akumulatif dalam sistem biologis (Quek dkk., 1998). Menurut Sutrisno dkk. (1996), konsentrasi Cu 2,5 3,0 ppm dalam badan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1.2 Tujuan

I. PENDAHULUAN. serius, ini karena penggunaan logam berat yang semakin meningkat seiring

II. TINJAUAN PUSTAKA. cenderung ditemukan dalam deposit sulfide (Manahan,2001). Kemelimpahan Cd

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman semangka (Citrullus vulgaris) merupakan tanaman yang berasal

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini menunjukkan

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMANFAATAN PEKTIN KULIT BUAH JERUK SIAM (Citrus nobilis var. microcarpa) SEBAGAI ADSORBEN LOGAM TEMBAGA (Cu)

I. PENDAHULUAN. Bidang industri di Indonesia pada saat ini berkembang cukup pesat. Hal ini

TINJAUAN PUSTAKA. termasuk buah terpopuler di negara-negara ASEAN. Buah khas daerah tropis ini

PENGARUH KONSENTRASI HCl DAN Ph PADA EKSTRAKSI PEKTIN DARI ALBEDO DURIAN DAN APLIKASINYA PADA PROSES PENGENTALAN KARET

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Pencemaran atau polusi adalah suatu kondisi yang telah merubah

KROMATOGRAFI PENUKAR ION Ion-exchange chromatography

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bahan dalam pembuatan selai adalah buah yang belum cukup matang dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Industri yang menghasilkan limbah logam berat banyak dijumpai saat ini.

I. PENDAHULUAN. bermanfaat jika diolah, misalnya dibuat marmalade (Sarwono, 1991). Bagian

I PENDAHULUAN. kesehatan. Nutrisi dalam black mulberry meliputi protein, karbohidrat serta

BAB I PENDAHULUAN. Perbandingan nilai ekonomi kandungan logam pada PCB (Yu dkk., 2009)

WASTE TREATMENT COMPETITION PEMANFAATAN KULIT DURIAN SEBAGAI BIOSORBEN LOGAM BERAT PADA LIMBAH INDUSTRI PENGOLAHAN MINERAL DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Keberadaan logam berat di sistem perairan dan distribusinya, diatur oleh

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Larutan logam kromium yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari

Bab V Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pangan merupakan kebutuhan yang paling esensial bagi manusia untuk

PEMBUATAN PEKTIN DARI KULIT COKELAT DENGAN CARA EKSTRAKSI

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

I. PENDAHULUAN. tidak rata karena mata tunas dan warna daging dari putih hingga kuning

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KULIAH TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN GULA, GARAM DAN ASAM. Disiapkan oleh: Siti Aminah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

PENENTUAN KADAR GULA METODE NELSON-SOMOGYI. Kelompok 8 Dini Rohmawati Nafisah Amira Nahnu Aslamia Yunus Septiawan

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perindustrian di Indonesia semakin berkembang. Seiring dengan perkembangan industri yang telah memberikan

Pengaruh ph dan Waktu Ekstraksi Terhadap Karakteristik Pektin dari Kulit Coklat

I. PENDAHULUAN. kuning atau merah (Prajnanta, 2003).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN. peningkatan mutu, penggunaan bahan pembentuk rasa dan warna, serta

MAKALAH PENDAMPING : PARALEL A

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VARIASI TINGKAT KEASAMAN DALAM EKSTRAKSI PEKTIN KULIT BUAH DURIAN VARIATION IN THE EXTRACTION PECTIN ACIDITY LEVEL DURIAN FRUIT SKIN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan

4. PEMBAHASAN Karaktersitik Fisik Sorbet Liqueur Jahe Merah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Merck, kemudian larutan DHA (oil) yang termetilasi dengan kadar akhir

Pengawetan dengan garam, asam dan gula

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SELAI PEPAYA. Selai adalah bahan dengan konsistensi gel atau semi gel yang dibuat dari bubur buah. Selai digunakan sebagai bahan pembuat roti dan kue.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Pemberian Kitosan terhadap Ginjal Puyuh yang Terpapar Timbal (Pb)

PENGARUH KONSENTRASI PELARUT HCl PADA EKTRAKSI PEKTIN DARI KULIT PISANG AMBON

TINJAUAN PUSTAKA. sudah akrab dengan aroma, rasa, dan bentuk buah yang berduri. Buah khas daerah

4. PEMBAHASAN 4.1. Penelitian Pendahuluan Penentuan Konsentrasi Mikroenkapsulan

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN. A. HASIL PENGAMATAN 1. Identifikasi Pati secara Mikroskopis Waktu Tp. Beras Tp. Terigu Tp. Tapioka Tp.

TEKNOLOGI PRODUKSI ENZIM MIKROBIAL

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

PENGARUH SUHU EKSTRAKSI KULIT BUAH PAPAYA DENGAN PELARUT HCL 0,1N PADA PEMBUATAN PEKTIN

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Produktivitas padi pada tahun 2015 hanya mencapai 5,28 t/ha (Badan Pusat

Agar hidrokoloid gelling yg kuat, terbuat dari ganggang laut Struktur : polimer D-galaktosa dan 3 6,anhydro-Lgalaktosa dengan sedikit ester sulfat

KOMPONEN KIMIA BAHAN PANGAN dan PERUBAHANNYA AKIBAT PENGOLAHAN. Oleh : Astuti Setyowati

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2)

II. TINJAUAN PUSTAKA. kondisi perairan tersebut (Wulan dkk, 2013).

TINJAUAN PUSTAKA. adalah tanah-tanah bereaksi masam (ph rendah) dan miskin unsur hara, seperti

BAB I PENDAHULUAN. sangat beragam dan tergolong ke dalam jenis buah tropis seperti rambutan, nanas,

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

Kuliah 4 Ion Exchange

PEMBUATAN KHITOSAN DARI KULIT UDANG UNTUK MENGADSORBSI LOGAM KROM (Cr 6+ ) DAN TEMBAGA (Cu)

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dimasukkannya makluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam

PEMBAHASAN. I. Definisi

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia, fungsinya bagi kehidupan tidak pernah bisa digantikan oleh senyawa

Warna Bau ph Kuning bening Merah kecoklatan Coklat kehitaman Coklat bening

4. Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

4. PEMBAHASAN Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah buah jeruk keprok Malang yang masih mentah. Hal ini disebabkan karena pada buah yang belum matang lamella belum mengalami perubahan struktur menjadi lebih lunak yang disebabkan karena adanya gangguan pada pektin yang menyusun struktur tersebut. Buah jeruk merupakan salah satu sumber bahan pangan yang mengandung banyak pektin pada bagian juring atau lamella. Secara umum, pektin terdapat dalam dinding sel primer tanaman yaitu pada bagian sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa. Pada bagian tanaman pektin memiliki fungsi sebagai perekat antara dinding sel yang satu dengan yang lain. Sedangkan bagian antara dua dinding sel yang saling berdekatan disebut dengan lamella tengah (Winarno,2004). Pektin dibagi menjadi 2 macam berdasarkan kandungan metoksilnya yaitu pektin metoksil tinggi (HMP) dan pektin metoksil rendah (LMP). Pektin dikatakan tergolong dalam high methoxyl pectin (HMP) jika lebih dari 50% gugus karboksil dimetilasi. Sedangkan pektin yang tergolong dalam low methoxyl pectin (LMP) kurang dari 50% yang dimetilasi. Dimetilasi merupakan proses penurunan kadar metoksil pada pektin. Pada penelitian ini dilakukan ekstraksi pektin dengan menggunakan suhu tinggi yaitu 95 0 C dan dalam kondisi asam. Tujuan dari ekstraksi pektin dengan menggunakan suhu tinggi dan kondisi asam adalah untuk memperoleh pektin dengan kandungan metoksil yang rendah. Pada limbah pertanian lebih banyak ditemukan pektin jenis HMP. Pektin jenis HMP akan membentuk gel pada ph rendah dan gel yang terbentuk mudah larut dalam air, sehingga pektin jenis ini tidak dapat berperan sebagai adsorben logam berat. Jenis pektin yang dapat digunakan sebagai adsorben yaitu pektin jenis LMP karena kadar metoksil pektin rendah yaitu kurang dari 7% sehingga pembentukan gelnya semakin berkurang. Pektin jenis LMP memiliki beberapa kelebihan yaitu sebagai gelling agent pada produk selai rendah gula, biosorben logam berat dan senyawa anti kanker (Kurniasari et al, 2012). Pada proses ekstraksi pektin dilakukan beberapa tahapan yaitu persiapan bahan, ekstraksi, pengendapan, pencucian dan pengeringan. Selain menggunakan suhu tinggi, 35

36 pada ekstraksi pektin secara umum menggunakan ekstraksi asam. Beberapa jenis asam yang dapat digunakan pada ekstraksi pektin yaitu asam sulfat, asam klorida dan asam nitrat. Penggunaan asam bertujuan untuk memutus ikatan asam pektinat dengan selulosa, memisahkan ion polivalen, menghidrolisa protopektin agar menjadi molekul dengan ukuran yang lebih kecil serta menghidrolisa gugus metil ester pektin (Kertesz, 1951). Pektin yang diperoleh dari hasil ekstraksi adalah pektin metoksil rendah yang memiliki kemampuan dalam berikatan dengan senyawa logam. Pada pektin terdapat kandungan gugus fungsional seperti karboksil, hidroksil dan metoksil. Gugus fungsional dalam pektin memiliki peran dalam proses adsorpsi logam berat. Pengikatan logam berat oleh pektin terjadi ketika gugus karboksilat dan hidroksil memiliki pasangan elektron bebas sehingga kation logam akan tertarik dan berikatan membentuk suatu ikatan kompleks pektin dan logam (Eliaz et al., 2007). Pektin metoksil rendah yang bermuatan negatif dapat berikatan dengan kation logam yang bermuatan positif dan membentuk cross-link. Jenis divalent cation akan berikatan dengan pektin metoksil rendah melalui mekanisme eeg-box (Khotimchenko et al., 2012). 4.1. Penentuan Konsentrasi Gel Pektin dalam Cookies Pada penelitian pendahuluan dilakukan uji sensori untuk memperoleh konsentrasi terbaik substitusi gel pektin dalam cookies. Tujuan uji sensori dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap karakteristik cookies yang telah disubstitusi dengan gel pektin. Menurut Prihatin (2015), substitusi gel pektin ke dalam produk cookies dapat mempengaruhi karakteristik fisik produk seperti warna, ukuran, ketebalan dan tekstur cookies. Penambahan gel pektin pada cookies akan memberikan warna yang lebih cerah jika konsentrasi gel pektin semakin besar. Hal ini disebabkan karena total protein dalam cookies mengalami penurunan sehingga akan mengurangi terjadinya reaksi Maillard. Penurunan total protein dalam cookies dapat disebabkan karena pada bahan baku pektin tidak banyak mengandung protein. Selain itu semakin besar konsentrasi gel pektin yang ditambahkan ke dalam cookies maka akan terjadi penyusutan ukuran serta tekstur cookies yang menjadi lebih keras.

37 Hal ini disebabkan karena pektin memiliki sifat pembentuk gel yang juga banyak dimanfaatkan sebagai pengental dalam produk jelly atau selai (Winarno, 2004). Semakin banyak gel pektin yang di substitusikan dalam cookies maka penyebaran dan ketebalan cookies akan semakin berkurang. Menurut Prihatin (2015), penambahan gel pektin pada konsentrasi 30% sudah sangat mempengaruhi penyebaran dan ketebalan cookies. Hal ini menunjukkan bahwa pektin tidak dapat memberikan retensi gas yang sama sebagai shortening. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari uji sensori menunjukkan bahwa penambahan pektin dalam cookies sangat mempengaruhi tekstur. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat kesukaan konsumen yang mengalami penurunan seiiring dengan peningkatan konsentrasi gel pektin. Nilai rata-rata tingkat kesukaan cookies berdasarkan tekstur diperoleh nilai terbesar 3,67 pada konsentrasi 10%. Kemudian diikuti dengan konsentrasi 20% yaitu 3,3. Berdasarkan uji signifikansi Mann-Whitney menunjukkan bahwa pada konsentrasi 10% dan 20% memiliki hubungan yang tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan nilai rata-rata tingkat kesukaan cookies berdasarkan tekstur diperoleh nilai terendah yaitu 2,6 pada konsentrasi 50%. Berdasarkan uji signifikansi Mann-Whitney menunjukkan bahwa pada konsentrasi 10% dan 50% memiliki hubungan yang berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Pada uji signifikansi Mann-Whitney, hubungan antara konsentrasi 10% dan 30% menunjukkan tidak berbeda nyata namun berdasarkan rata-rata tingkat kesukaan konsumen menunjukkan rata-rata pada konsentrasi 20% lebih besar daripada konsentrasi 30%. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa konsumen lebih menyukai teksur cookies dengan penambahan konsentrasi pektin sebesar 10%-20%, sehingga pada penelitian utama digunakan konsentrasi gel pektin sebesar 10%, 15% dan 20%. Hal ini juga didukung dari perolehan hasil rata-rata berdasarkan overall. Pada konsentrasi 10% menunjukkan rata-rata tingkat kesukaan konsumen sebesar 4,1 dan diikuti dengan konsentrasi 20% yaitu 3,9. Berdasarkan uji signifikansi Mann-Whitney menunjukkan bahwa pada konsentrasi 10% dan 20% memiliki hubungan yang tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%.

38 4.2. Penyerapan Logam Kadmium (Cd) Pada penelitian utama dilakukan uji penyerapan logam dengan pektin ampas jeruk keprok yang telah tercampur dengan bahan lainnya. Pada penelitian utama ini digunakan tiga konsentrasi gel pektin yang berbeda yaitu 10%, 15% dan 20% dengan tujuan untuk mengetahui pada konsentrasi berapa pektin yang telah bercampur dengan bahan lain efektif dalam menyerap logam berat. Berdasarkan Tabel 3, jumlah logam Cd yang dapat diserap oleh fase tidak larut memiliki hubungan berbanding lurus dengan konsentrasi pektin. Semakin tinggi konsentrasi pektin maka jumlah Cd yang diserap oleh fase tidak larut akan semakin besar. Pada konsentrasi 10% terdapat 25,977 ± 1,989 µg Cd yang dapat diserap oleh fase tidak larut. Kemudian pada konsentrasi 15% terdapat peningkatan jumlah kandungan Cd sebesar 26,742 ± 6,937 µg. Pada konsentrasi 20% terdapat jumlah kandungan Cd terbesar yang diserap oleh fase tidak larut yaitu 37,187 ± 7,021 µg. Hal ini dapat disebabkan karena pada fase tidak larut terdiri dari pektin yang mengandung gugus aktif yaitu gugus karboksil yang memiliki pasangan elektron bebas terhadap kation logam sehingga kation logam dapat berikatan membentuk kompleks logam dan pektin (Bana, 2014). Pada fase terlarut memiliki hubungan yang berbanding terbalik dengan konsentrasi pektin. Pada konsentrasi 10% diperoleh jumlah kandungan Cd terbesar yaitu 201,038 ± 15,027 µg. Kemudian pada konsentrasi 15% mengalami penurunan kandungan Cd sebesar 200,336 ± 11,582 µg dan pada konsentrasi 20% diperoleh jumlah kandungan Cd terendah yaitu 198,285 ± 20,715 µg. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan kandungan Cd seiiring dengan penambahan pektin yang lebih banyak. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah pektin yang ditambahkan maka kemampuan pektin dalam menyerap Cd akan semakin berkurang. Hal ini dapat disebabkan karena penambahan pektin yang semakin banyak akan mengakibatkan larutan menjadi lebih kental dan ikatan antara gugus karboksil menjadi sulit terlepas dan tidak dapat mengikat Cd dengan baik serta mengakibatkan logam Cd yang terserap hanya sedikit (Bana, 2014). Selain itu, penurunan jumlah kandungan logam Cd seiiring dengan penambahan konsentrasi pektin yang semakin banyak dapat disebabkan oleh adanya kejenuhan

39 larutan. Kejenuhan larutan dapat mempengaruhi kemampuan penyerapan pektin terhadap logam Cd. Pada waktu kontak, kemungkinan air dalam larutan tersebut diserap lebih banyak oleh pektin daripada ion-ion logam Cd. Hal ini dapat mengakibatkan larutan jenuh, larutan Cd dan pektin yang terbentuk kemungkinan merupakan larutan jenuh karena semkin banyak konsentrasi pektin yang ditambahkan maka tingkat kejenuhan yang terbentuk akan semakin tinggi. Larutan jenuh tersebut dapat mempengaruhi sifat stabilitas kompleks pektin, dimana energi penstabil ionik pada struktur pektin mempengaruhi kecenderungan untuk membentuk senyawa kompleks dari suatu senyawa logam sehingga terjadi pertukaran ion antara pektin dan senyawa logam (Ina et al, 2014). Berdasarkan Tabel 3. dapat dilihat hasil penyerapan Cd yang terserap oleh pektin jeruk keprok dengan tingkat konsentrasi yang berbeda. Pada fase tidak larut, semakin tinggi konsentrasi pektin maka penyerapan Cd akan semakin besar. Penyerapan Cd terbesar pada fase tidak larut yaitu pada konsentrasi pektin 20% sebesar 9,297 ± 5,570%. Sedangkan pada fase terlarut, semakin tinggi konsentrasi pektin maka penyerapan Cd akan semakin kecil. Penyerapan Cd terbesar pada fase terlarut terdapat pada konsentrasi pektin 10% yaitu 50,259 ± 3,757%. Hasil penyerapan Cd yang tidak mendekati 100% pada penelitian ini dapat disebabkan karena adanya error pada alat yang digunakan serta piranti pendeteksi dan terdapat kadmium yang tertinggal atau menempel di alat. 4.3. Penyerapan Logam Tembaga (Cu) Pada penelitian utama dilakukan uji kemampuan penyerapan logam Cu oleh pektin jeruk keprok yang telah bercampur dengan bahan lainnya. Berdasarkan hasil penelitian jumlah kandungan Cu pada fase tidak larut diperoleh jumlah kandungan Cu terbesar pada konsentrasi pektin 15% yaitu 55,545 ± 8,658 µg. Sedangkan jumlah kandungan Cu terendah pada konsentrasi pektin 10% yaitu 36,516 ± 4,643 µg. Jumlah kandungan Cu yang dapat diserap oleh pektin mengalami peningkatan pada konsentrasi 15%, kemudian pada konsentrasi 20% jumlah kandungan Cu yang dapat diserap oleh pektin mengalami penurunan menjadi 51,702 ± 7,029 µg. Menurut Krismastuti et al (2008), semakin banyak adsorben yang digunakan maka jumlah zat yang terserap pun juga akan semakin banyak. Hasil penelitian yang diperoleh tidak sesuai dengan teori yang ada, hal

40 ini dapat disebabkan karena larutan dengan konsentrasi pektin yang lebih tinggi sudah menjadi lebih kental sehingga ikatan antara gugus karboksil sulit terlepas dan tidak dapat mengikat logam. Pengikatan logam Cu oleh pektin ampas jeruk keprok dapat dipengaruhi oleh tingkat kelarutan antara pektin dan larutan Cu. Kelarutan merupakan kemampuan suatu zat terlarut untuk larut dalam suatu pelarut. Pada fase terlarut diperoleh kandungan Cu tertinggi pada konsentrasi pektin 10% yaitu 133,345 ± 16,591 µg. Kemudian pada konsentrasi pektin 15% mengalami penurunan jumlah kandungan Cu yaitu 108,681 ± 21,846 µg. Pada konsentrasi pektin 20% diperoleh jumlah kandungan Cu yang paling rendah yaitu 105,175 ± 16,093 µg. Hubungan antara jumlah kandungan Cu yang terserap oleh pektin dengan konsentrasi pektin adalah berbanding terbalik. Penambahan konsentrasi pektin diikuti dengan penurunan jumlah kandungan Cu yang terserap oleh pektin. Hal ini dapat disebabkan karena larutan jenuh. Larutan jenuh merupakan larutan yang telah mengandung zat terlarut dalam jumlah maksimal sehingga sudah tidak dapat ditambahkan zat terlarut lagi (Ina et al, 2014). Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat hasil penyerapan logam Cu oleh pektin jeruk keprok dengan 3 tingkat konsentrasi yang berbeda yaitu 10%, 15% dan 20%. Pada fase tidak terlarut, penyerapan Cu terbesar tedapat pada konsentrasi pektin 15% yaitu 27,772 ± 4,329%. Sedangkan pada fase terlarut, penyerapan Cu terbesar terdapat pada konsentrasi pektin 10% yaitu 66,673 ± 8,295%. Berdasarkan penyerapan Cu dalam fase tidak terlarut, penyerapan Cu pada konsentrasi 15% mengalami peningkatan kemudian mengalami penurunan penyerapan Cu pada konsentrasi 20%. Hal ini dapat disebabkan karena pada saat memindahkan bagian fase tidak terlarut ada yang masih tertinggal di tabung sentrifuge, sehingga penyerapan Cu pada konsentrasi 15% menjadi lebih besar daripada konsentrasi 20%. Berdasarkan hasil penelitian utama, diperoleh hasil penyerapan logam Cu oleh pektin ampas jeruk keprok lebih besar daripada penyerapan logam Cd. Hal ini dapat disebabkan karena adanya perbedaan kekuatan interaksi antar logam terhadap gugus hidroksil pada pektin. Ion logam Cu tergolong dalam asam madya dan memiliki tingkat

41 elektronegatifitas yang lebih tinggi daripada ion logam Cd yang tergolong dalam asam lemah. Hal ini menyebabkan tingkat kestabilan pengikatan pada ion logam Cu oleh pektin menjadi lebih tinggi daripada pengikatan pada ion logam Cd. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang telah dilakukan oleh Mata et al (2009), hasil laju biosorpsi logam berat dengan pektin mengikuti susunan Cu 2+ > Pb 2+ > Cd 2+. Mekanisme biosorpsi logam berat disebabkan adanya pertukaran ion dan pembentukan kompleks ion logam dan ion kalsium yang berikatan pada gugus karboksil gel pektin. Selama proses penyerapan, ion logam berat akan menggantikan kalsium pada gel, sehingga akan terbentuk ikatan kompleks pektin dan ion logam berat. 4.4. Simulasi Konsumsi Pengikatan Logam Berat dalam Darah Pada simulasi efektivitas konsumsi cookies yang diperkaya dengan pektin untuk menurunkan kadar Cd dan Cu dalam darah, dilakukan dengan mensimulasikan penurunan dari konsentrasi awal menuju konsentrasi aman berdasarkan model penurunan eksponensial (exponential decay model). Berdasarkan model tersebut dapat diprediksi waktu yang diperlukan untuk mencapai nilai konsentrasi aman dan waktu paruh berdasarkan tingkat konsumsi cookies yang berbeda. Waktu ini menunjukkan konsentrasi Cd dan Cu pada simulasi dibuat 3 kali lebih tinggi daripada konsentrasi aman dalam darah. Berdasarkan simulasi pengikatan logam Cd dan Cu, semakin banyak cookies yang dikonsumsi dalam sehari maka waktu paruh dan waktu untuk menuju batas aman akan semakin cepat. Hal ini disebabkan karena laju pengikatan logam Cd dan Cu per hari oleh pektin juga semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah cookies yang dikonsumsi per hari berbanding terbalik dengan waktu untuk menuju batas aman serta waktu paruh. Pada konsentrasi pektin 10% dan 15% menunjukkan laju pengikatan yang sama, karena hasil pengikatan Cd tidak berbeda jauh yaitu 56,754% dan 56,770%. Waktu paruh dan waktu untuk menuju batas aman tercepat yaitu pada konsentrasi pektin 20% dengan konsumsi cookies sebanyak 5 buah per hari. Waktu tercepat untuk menuju batas aman yaitu selama 485 hari dan waktu paruh tercepat yaitu selama 306 hari. Sedangkan pada simulasi pengikatan logam Cu, laju pengikatan Cu terbesar pada konsentrasi pektin 10% dengan konsumsi cookies 5 buah per hari yaitu 0,00327 per hari. Waktu paruh dan

42 waktu untuk menuju batas aman tercepat yaitu pada konsentrasi pektin 10% dengan konsumsi cookies sebanyak 5 buah per hari. Waktu tercepat untuk menuju batas aman yaitu selama 336 hari dan waktu paruh tercepat yaitu selama 212 hari.