IV. TUJUAN DAN SASARAN Tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan kelapa ke depan adalah menumbuhkan minat investor untuk menanamkan modalnya di bidang agrisnis kelapa, di hilir, on farm dan di hulu. 1. Di hilir adalah pengolahan kelapa terpadu untuk menghasilkan crude coconut oil (CCO), activated carbon (AC), coconut fiber (CF), dan cuka; sedangkan yang secara parsial untuk menghasilkan virgin coconut oil (VCO), oleochemical, desiccated coconut (DC), CF, brown sugar (BS) dan coconut wood (CW). 2. Kegiatan on farm berupa intensifikasi, rehabilitasi, dan peremajaan 3. Kegiatan di hulu berupa pembangunan infrastruktur, kelembagaan, dan dukungan kebijakan. Sasaran pengembangan komoditas yang ingin dicapai pada periode 2005-2010 adalah: 26 1. Pembangunan industri pengolahan kelapa terpadu dan parsial di Propinsi: a. Sulut (terpadu: 4 unit, dengan luas kebun 8.000 ha/unit dengan kapasitas 90 ribu butir/hari), b. Sulteng (terpadu: 2 unit, masing-masing 8.000 ha/unit dengan kapasitas 90.000 bu butir/hari; parsial: serat sabut 2 unit masing-masing 8.000 ha/unit dengan kapasitas 18.000 sabut/hari), c. Riau (terpadu: 4 unit masing-masing 8.000 ha/unit dengan kapasitas 90.000 butir/hari; parsial: serat sabut satu unit 8.000 ha/unit dengan kapasitas 18.000 sabut/hari, tepung tempurung 4 unit masing-masing 800 ha/unit dengan kapasitas 120000 tempurung/hari, serta industri furnitur dan rumah dari kayu kelapa), d. Jambi (terpadu dan parsial: jumlah unit dan kapasitas sama dengan Riau); e. Jabar/Banten/Jateng/Jatim/Lampung (parsial : gula kelapa masing-masing 10 unit); f. DIY (parsial: industri kerajinan tempurung dan sabut) g. NTB/NTT (parsial: furniture dan rumah dari kayu kelapa) 2. Kegiatan on farm di Propinsi Riau berupa intensifikasi 25.000 ha, rehabilitasi 15.000 ha; Propinsi Jambi intensifikasi 10.000 ha, rehabilitasi 6.000 ha; Propinsi Sulut peremajaan 27.000 hektar; Propinsi NTB peremajaan 7000 hektar, Propinsi NTT peremajaan 17.000 hektar dan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur masing-masing intensifikasi 20.000 hektar; Propinsi Banten intensifikasi 10.000 hektar, dan Propinsi DIY 8.000 hektar. 3. Pembangunan infrastruktur: (a) jalan masing-masing 50 km di Propinsi Sulut, Sulteng, Riau, Jambi, Lampung, NTB, dan NTT, (b) peningkatan tata air pasang surut di Propinsi Riau dan Jambi masing-masing 1.000 ha. 4. Dukungan kebijakan untuk usahatani, industri pengolahan, fiskal dan perdagangan. 27
28 V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM A. Kebijakan Kebijakan merupakan pendukung untuk mempercepat proses bangkitnya perkelapaan nasional sehingga agribisnis perkelapaan memberikan sumbangan yang berarti dalam rangka percepatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan petani, penciptaan lapangan kerja khususnya di pedesaan, berkembangnya industri yang menghasilkan nilai tambah tinggi dengan menggunakan bahan baku domestik, dan pelestarian lingkungan hidup. Dewasa ini pemerintah belum optimal melakukan intervensi terhadap pengembangan kelapa. Kemungkinan hal ini karena kelapa bukan merupakan prioritas dalam pembangunan pertanian. Oleh karena itu, perlu diciptakan strategi dan kebijaksanaan yang sesuai dengan kondisi dewasa ini dan perkembangan situasi pada waktu mendatang yang bertumpu pada mekanisme pasar. Pemerintah perlu menciptakan situasi dan kondisi bagi berkembangnya agribisnis perkelapaan nasional. Untuk mewujudkan sistem agribisnis yang demikian diperlukan serangkaian kebijakan pembangunan sebagai berikut: 1. Kebijakan makro ekonomi yang bersahabat; 2. Kebijakan pengembangan industri yang memberi prioritas pada pengembangan klaster industri; 3. Kebijakan perdagangan internasional yang berpihak kepada kepentingan pengembangan agribisnis dalam negeri; 4. Pengembangan infrastruktur (jalan, pelabuhan, listrik, telepon, pengairan) di daerah; 5. Pengembangan kelembagaan keuangan, penelitian dan pengembangan, pendidikan SDM dan penyuluhan, dan kelembagaan petani; 6. Pendayagunaan SDA dan lingkungan; 7. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan agribisnis daerah; 8. Peningkatan kinerja ketahanan pangan. B. Strategi Tidak seperti kelapa sawit yang masih menempatkan perluasan areal perkebunan (ekstensifikasi) sebagai strategi pokok untuk pemenuhan kebutuhan industri minyak goreng dan ekspor, kelapa dengan areal perkebunan petani yang ada sudah mencukupi untuk memasok kebutuhan pengembangan agribisnis kelapa melalui intensiifikasi, rehabilitasi dan peremajaan. Strategi yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Inventarisasi dan konsolidasi areal perkebunan kelapa ke dalam unit-unit manajemen yang memenuhi skala ekonomis untuk pengembangan industri kelapa terpadu di setiap sentra produksi kelapa dalam bentuk Kawasan Agribisnis Masyarakat Perkebunan (KAMBUN) sebagai media pengembangan agribisnis kelapa terpadu. 2. Penentuan dan penetapan lokasi-lokasi industri kelapa terpadu dalam KAMBUN-KAMBUN kelapa di setiap sentra produksi kelapa dengan kriteria utamanya adalah daya saing dari produk yang dihasilkan, baik terhadap produk subtitusinya di dalam negeri maupun produk impor. 3. Mengembangkan kelembagaan petani sebagai media untuk mengembangkan organisasi pengelolaan perkebunan kelapa yang efisien, produktif dan progresif, khususnya dalam hal penerapan teknologi baru atau pola pengembangan perkebunan yang baru, serta sebagai media negosiasi yang kuat dengan mitra bisnis dalam bekerjasama. 4. Memfasilitasi dan merangsang investasi perusahaan swasta atau BUMN dalam membangun industri kelapa terpadu dan/atau parsial. 5. Meningkatkan produktivitas kelapa melalui program intensifikasi, rehabilitasi, dan peremajaan; khusus program peremajaan diintegrasikan dengan pengembangan industri mebel dan rumah dari kayu kelapa. 6. Membangun kemitraan dalam bentuk usaha bersama antara pengusaha dengan petani kelapa 29
7. Mengembangkan networking antar asosiasi petani, antar asosiasi petani dengan asosiasi perusahaan pengolahan, dan pelakupelaku lainnya dalam sistem agribisnis kelapa; 8. Membangun kelembagaan semacam Coconut Board sebagai services provider bagi para pelaku dalam usaha dan sistem agribisnis perkelapaan ini. C. Program 1. Kegiatan pokok Sesuai dengan permasalahan utama yang dihadapi oleh agribisnis perkelapaan maka diperlukan upaya untuk mengoptimalisasikan areal tanaman kelapa yang sudah ada melalui peremajaan, intensifikasi dan rehabilitasi, pengembangan industri pengolahan, serta pemberdayaan petani dan kelembagaannya. a. Optimasilisasi pemanfaatan aset pada subsistem on farm (peremajaan dan diversifikasi) 30 Optimasilisasi dilakukan melalui peremajaan kelapa tua dan diversifikasi usaha. Sedangkan intensifikasi secara otomatis akan terimplementasi bersamaan dengan kegiatan peremajaan. Peremajaan pada prinsipnya dilakukan untuk mengkondisikan agar tanaman selalu pada posisi berproduksi optimal. Sebagai gambaran, sampai dengan saat ini areal tanaman tua dan rusak diseluruh Indonesia sekitar 600 ribu ha atau 15% dari total areal kelapa. Diversifikasi dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan petani kelapa melalui penganekaragamam usahatani (tanaman dan ternak). Pelaksanaan diversifikasi dapat dilakukan pada areal existing maupun pada areal yang diremajakan. Diversifikasi pada areal existing maupun pada areal peremajaan dapat dilakukan dengan memasukkan tanaman tumpangsari, tanaman perkebunan lainnya dan ternak. b. Pengembangan industri pengolahan Kegiatan ini dimaksudkan untuk menambah peluang petani dalam memperoleh tambahan pendapatan dari produk-produk olahan lainnya, baik dari daging kelapa, tempurung, sabut, air kelapa maupun kayu. Untuk itu diperlukan pengembangan unit pengolahan kelapa terpadu dan parsial dalam unit kecil maupun besar, dan sekaligus penanganan pemasarannya. c. Pemberdayaan petani dan kelembagaannya Pemberdayaan dilakukan terhadap individu dan kelompok melalui kelembagaan sosial ekonomi dengan sasaran: (1) Meningkatkan kemampuan dan kemandirian dalam pengembangan dan pengelolaan usaha, (2) Meningkatkan kemampuan mengakses sumber-sumber teknologi, informasi, pembiayaan dan pasar, (3) Meningkatkan posisi tawar petani terhadap mitra usaha. Kontribusi pemerintah dalam pemberdayaan petani sebagai fasilitator, regulator, dan inisiator pemberdayaan petani dan mitra usahanya. 2. Kegiatan pendukung Di samping kegiatan pokok sebagaimana diuraikan di atas, keberhasilan pengembangan agribisnis kelapa ditentukan oleh kegiatan pendukung sebagai berikut : a. Sertifikasi lahan petani untuk memperkuat hak kepemilikan atas lahan yang dapat digunakan sebagai jaminan memperoleh modal usaha; b. Fasilitasi ke sumber-sumber pembiayaan seperti perbankan atau lembaga keuangan lainnya; c. Dukungan sarana dan prasarana agribisnis perkelapaan berupa infrastruktur jalan, pelabuhan, transportasi, komunikasi, dan energi; d. Kebijakan fiskal berupa keringanan pajak dan restribusi yang memberatkan usaha agribisnis perkelapaan; e. Fasilitasi terwujudnya networking antara sesama stakeholder dalam kelembagaan yang sesuai; f. Dukungan peraturan pada tingkat Pusat dan Daerah untuk mengatur wilayah pengelolaan, pengembangan, lalu lintas bahan baku dan produk olahan. 31
VI. KEBUTUHAN INVESTASI ROADMAP PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KELAPA PERKREDITAN PERMODALAN FISKAL DAN PERDAGANGAN KEBIJAKAN KETERSEDIAAN TEKNOLOGI JALAN 50 km JALAN 20 km KEGIATAN PENDUKUNG INFRA STRUKTUR TATA AIR 400 TATA AIR 1000 PEREMAJAAN PEREMAJAAN 45000 ha 51000 ha PEREMAJAAN 33000 ha PEREMAJAAN 21000 ha PEREMAJAAN 7000 ha OPTIMALISASI ON FARM 1) INTENSIFIKASI 103000 ha INTENSIFIKASI 95000 ha TERPADU 8 TERPADU 6 PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN 1) PARSIAL 61 PARSIAL 61 KEGIATAN POKOK PENGEMBANGAN PENGELOLAAN USAHA PENINGKATAN AKSES TEKNOLOGI, INFORMASI, PEMBIAYAAN DAN PASAR PEMBERDAYAAN PETANI DAN KELEMBAGAAN PENINGKATAN POSISI TAWAR PETANI TERHADAP MITRA USAHA 2006 2007 2008 2009 2010 1) AREAL DAN UNIT PER TAHUN KUMULATIF Berdasarkan sasaran yang telah ditetapkan pada Bab V, kebutuhan investasi pengembangan produk kelapa selama lima tahun ke depan diperkirakan mencapai Rp 1,79 trilyun (Tabel 10). Investasi tersebut meliputi biaya-biaya: (1) pengembangan industri pengolahan terpadu dan parsial, (2) intensifikasi, rehabilitasi dan peremajaan tanaman kelapa sebagai pemasok bahan baku industri, dan (3) peningkatan infrastruktur pendukung usahatani dan industri (jalan dan tata air). Biaya-biaya tersebut belum memperhitungkan modal kerja dan fasilitas pendukung lain. Kegiatan investasi dalam skenario ini tidak hanya melibatkan peran swasta, tetapi juga pemerintah dan petani kelapa. Di samping sebagai penanggung jawab investasi untuk penyediaan infrastruktur penunjang, peran pemerintah dalam pengembangan kelapa mencakup upaya peningkatan penyediaan bahan baku melalui kegiatan intensifikasi, rehabilitasi dan peremajaan tanaman. Peran petani dalam hal ini adalah menyediakan biaya tenaga kerja pada ketiga jenis kegiatan tersebut. Khusus dalam hal kegiatan peremajaan, oleh karena tanaman kelapa adalah milik para petani maka hasil penerimaan dari penjualan batang kelapa dikembalikan kepada mereka sehingga beban biaya investasinya dapat berkurang. Pada masing-masing kegiatan biaya pemupukan dan pengadaan bibit menjadi tanggungan pemerintah. Perhitungan biaya intensifikasi yang dimaksudkan dalam skenario ini adalah intensifikasi pada tanaman yang baru diremajakan. Areal peremajaan, selain mencakup luasan yang ditetapkan dalam sasaran pengembangan pada bab sebelumnya juga meliputi luasan tertentu dari areal basis pengembangan industri pengolahan yang direncanakan. 32 33
Tabel 10. Perkiraan kebutuhan investasi pengembangan produk kelapa sampai tahun 2010. Bidang Investasi 1. Unit pengolahan RT/ Komunitas Perusahaan Pemerintah Total Rp juta a. Terpadu 700.000 700.000 b. Parsial 216.800 216.800 2. Peningkatan bahan baku a. Intensifikasi 54.869 37.230 92.099 b. Rehabilitasi 29.820 21.945 51.765 c. Peremajaan 136.391 36.083 172.473 3. Peningkatan infrastruktur a. Jalan 52.500 52.500 b. Tata air mikro 500.000 500.000 Total 221.079 916.800 647.758 1.785.637 Rincian kebutuhan investasi unit pengolahan dan pengembangan bahan baku dapat disimak pada Tabel 11 dan 12. Penetapan jumlah unit untuk masing-masing jenis produk ditetapkan dengan memperhatikan potensi pasokan bahan baku di setiap propinsi lokasi pengembangan. Skema pembiayaan investasi unit pengolahan produk kelapa diharapkan dapat dipenuhi seluruhnya oleh pihak swasta. Namun demikian tidak menutup kemungkinan peran serta pemerintah melalui sharing pembiayaan berupa kredit, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Bank-Bank milik pemerintah selama ini. Untuk kegiatan investasi yang mendukung upaya peningkatan bahan baku melalui intensifikasi, rehabilitasi maupun peremajaan tanaman, komponen biaya yang dibutuhkan meliputi biaya untuk pembelian bibit, pupuk dan ongkos tenaga kerja. Skala partisipasi petani dan kelompok masyarakat dalam kegiatan tersebut ditetapkan sesuai kebutuhan pasokan unit pengolahan yang berada di lingkungan mereka. Melalui kegiatan partisipasi tersebut, pengembangan investasi diharapkan dapat memberikan tambahan manfaat bagi komunitas petani kelapa dalam jangka panjang. Tabel 11. Perkiraan kebutuhan investasi pengolahan produk kelapa Propinsi Pola Jenis produk Skala Jumlah Biaya Investasi (ha) (unit) (Rp. juta/unit) Total Biaya (Rp. juta) 1. Sulut 1. Terpadu DCN-AA-SS-AC 8.000 4 50.000 200.000 2. Sulteng 1. Terpadu DCN-AA-SS-AC 8.000 2 50.000 100.000 2. Parsial 1. Serat Sabut (SS) 8.000 2 4.000 8.000 3. Riau 1. Terpadu CCO-Oleochemical 8.000 4 50.000 200.000 2. Parsial 1. Serat Sabut (SS) 8.000 1 4.400 4.400 2. Arang aktif (AA) 8.000 4 1.200 4.800 3. Tpg Tempurung 8.000 4 1.600 6.400 4. Jambi 1.Terpadu CCO-Oleochemical 8.000 4 50.000 200.000 2. Parsial 1. Serat Sabut (SS) 8.000 1 4.400 4.400 2. Arang aktif (AA) 8.000 2 12.000 24.000 3. Tpg Tempurung 8.000 2 16.000 32.000 5. Lampung 1. Parsial 1. Gula Merah 10 100 1.000 6. NTB 1. Parsial 1. Serat Sabut (SS) 8.000 1 4.400 4.400 2. Arang aktif (AA) 8.000 2 12.000 24.000 3. Tpg. Tempurung 8.000 2 16.000 32.000 7. NTT 1. Parsial 1. Serat Sabut (SS) 8.000 1 4.400 4.400 2. Arang aktif (AA) 8.000 2 12.000 24.000 3. Tpg. Tempurung 8.000 2 16.000 32.000 8. Jabar 1. Parsial 1. Gula Merah 10 100 1.000 9. Banten 1. Parsial 1. Gula Merah 10 100 1.000 10. Jateng 1. Parsial 1. Gula Merah 10 100 1.000 11. DIY 1. Parsial 1. Kerajinan tpg 10 100 1.000 12. Jatim 1. Parsial 1. Gula Merah 10 100 1.000 TOTAL 72.000 916.800 34 35
Tabel 12. Perkiraan kebutuhan investasi pemerintah di tingkat usahatani Jenis Kegiatan Lokasi Skala Biaya/ha Total (000 ha) (Rp 000) (Rp juta) 1. Intensifikasi 1. Sulut 27 1.650 44.550 2. NTB 7 1.650 11.550 3. NTT 17 1.650 28.050 Sub total 51 84.150 2. Rehabilitasi 1. Riau 15 1.045 15.675 2. Jambi 6 1.045 6.270 Sub total 21 21.945 3. Peremajaan 1. Sulut 27 1.500 40.500 2. NTB 7 1.500 10.500 3. NTT 17 1.500 25.500 Sub total 51 76.500 Total 123 182.595 VII. DUKUNGAN KEBIJAKAN Investasi dalam pengembangan agribisnis kelapa di masa mendatang merupakan syarat mutlak, karena perolehan nilai tambah dari pengolahan kelapa ditentukan oleh kemampuan menghasilkan kreasi pengembangan produk turunannya yang membutuhkan investasi tambahan. Guna mendorong minat investor dalam pengembangan produk kelapa, sangat diperlukan dukungan kebijakan pemerintah terutama dalam fungsi sebagai regulator dan fasilitator untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Secara garis besar dukungan tersebut dapat diwujudkan berikut ini. Mengingat bahwa usahatani sebagai basis dari agribisnis kelapa terutama untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri lanjutan, maka kebijakan di tingkat usahatani yang dibutuhkan adalah sebagai berikut : 1. Penyediaan kredit modal usaha bagi petani dengan tingkat bunga yang ringan, terutama untuk melakukan intensifikasi, rehabilitasi dan peremajaan. 2. Pembinaan teknis dan kelembagaan produksi yang mengarah pada pembentukan kelompok tani yang dapat menangani pengadaan sarana produksi dan penjualan hasil. 3. Membangun kelembagaan semacam Coconut Board sebagai Services Provider bagi para pelaku dalam usaha dan sistem agribisnis perkelapaan ini. 4. Penyediaan informasi teknologi dan pasar bagi petani guna meningkatkan posisi tawar petani dalam perdagangan. 5. Penjaminan keberlanjutan usahatani dengan memberikan kemudahan peningkatan status hukum atas kepemilikan lahan usaha dan kemungkinan kesalahan administrasi keagrariaan serta gangguan sosial. 6. Pengembangan infrastruktur di daerah sentra produksi yng dibutuhkan untuk mengurangi beban biaya pengumpulan (collecting cost). 36 37
Mengingat bahwa pengembangan industri pengolahan merupakan prasyarat dalam meningkatkan nilai tambah dan daya saing perkelapaan nasional, maka perlu dukungan kebijakan sebagai berikut : 1. Penyederhanaan birokrasi perijinan usaha dan investasi di bidang industri pengolahan produk pada berbagai tingkatan dan skala usaha. 2. Pembukaan akses pembiayaan dengan pemberian skim kredit khusus untuk pengembangan industri dengan berbagai tingkatan dan skala usaha. 3. Promosi pengembangan industri pengolahan hasil kelapa terpadu guna meningkatkan signifikansi perolehan nilai tambah. 4. Peningkatan kegiatan penelitian dan pengebangan komoditas kelapa dalam pengolahan dan pemasaran. Untuk menjamin keberlangsungan agribisnis diperlukan iklim usaha yang kondusif dengan memberikan insentif kepada pelaku usaha melalui kebijakan sebagai berikut: 1. Pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk mendorong tumbuhnya industri pengolahan dalam negeri. 2. Perlu kebijakan perlindungan terhadap industri pengolahan kelapa melalui penetapan tarif impor untuk mesin, produkproduk sejenis dari luar negeri (kompetitor). 3. Peninjauan kembali peraturan-peraturan pemerintah tentang retribusi yang mengakibatkan distorsi pasar input dan output hasil pengembangan produk kelapa untuk mendukung keberlanjutan usaha investor dan peningkatan bagian pendapatan (margin share) petani. 4. Stabilisasi nilai tukar pada tingkat yang wajar guna meredam gejolak pasar produk domestik dari pengaruh fluktuasi pasar input dan output industri produk turunan kelapa di tingkat regional dan global. 38