Efektivitas Sinkronisasi Estrus dan Fertilitas Spermatozoa Hasil Sexing pada Sapi Bali di Sulawesi Tenggara

dokumen-dokumen yang mirip

APLIKASI IB DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN DI SUMATERA BARAT

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak

Keberhasilan IB menggunakan semen beku hasil sexing dengan metode sedimentasi putih telur pada sapi PO cross

RESPON PENYUNTIKAN HORMON CAPRIGLANDIN PGF2 ERHADAP SINKRONISASI BERAHI INDUK SAPI BALI DI KABUPATEN BANTAENG SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN OOSIT SAPI HASIL IVF DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN

BAB III MATERI DAN METODE. Ongole (PO) dan sapi Simmental-PO (SIMPO) dilaksanakan pada tanggal 25 Maret

KARAKTERISTIK SPERMATOZOA SAPI BALI SETELAH SEXING MENGGUNAKAN METODE KOLOM ALBUMIN DENGAN LAMA WAKTU SEXING YANG BERBEDA

Proporsi dan Karakteristik Spermatozoa X dan Y Hasil Separasi Kolom Albumin

KEBERHASILAN IB MENGGUNAKAN SEMEN SEXING SETELAH DIBEKUKAN

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

Agros Vol. 16 No. 1, Januari 2014: ISSN

SKRIPSI. PERFORMAN REPRODUKSI INDUK SAPI BALI PASCA SINKRONISASI ESTRUS MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN (PGF 2α ) DAN HUMAN CHORIONIC GONADOTROPIN (hcg)

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

SINKRONISASI ESTRUS MELALUI MANIPULASI HORMON AGEN LUTEOLITIK UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI BALI DAN PO DI SULAWESI TENGGARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

Keberhasilan IB menggunakan semen beku hasil sexing dengan metode sentrifugasi gradien densitas percoll (SGDP) pada sapi Peranakan Ongole (PO)

KUALITAS SPERMATOZOA EPIDIDIMIS SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) YANG DISIMPAN PADA SUHU 3-5 o C

Proporsi X dan Y, Viabilitas dan Motilitas Spermatozoa Domba Sesudah Pemisahan dengan Albumin Putih Telur

Arnold.Ch Tabun *, Petrus Kune **, M.L. Molle *** Oleh:

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan,

Salmiyati Paune, Jurusan Peternakan Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Fahrul Ilham, Tri Ananda Erwin Nugroho

PROPORSI X DAN Y, VIABILITAS DAN MOTILITAS SPERMATOZOA DOMBA SESUDAH PEMISAHAN DENGAN PUTIH TELUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan metode artificial vagaina (AV). Semen yang didapatkan kemudian

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),SUHU RECTAL DAN KETEBALAN VULVA TERHADAP NON RETURN RATE (NR) DAN CONCEPTION RATE (CR) PADA SAPI POTONG

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

Pengaruh Pemberian Prostaglandin F2 Alpha Terhadap Waktu Kemunculan Birahi dan Keberhasilan Inseminasi Buatan Sapi Brahman Cross (Bx) Heifers

PENGARUH JENIS PENGENCER TERHADAP KUALITAS SEMEN BEKU DOMBOS TEXEL DI KABUPATEN WONOSOBO

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

OBSERVASI KUALITAS SEMEN CAIR SAPI PERANAKAN ONGOLE TERHADAP PERBEDAAN WAKTU INKUBASI PADA PROSES PEMISAHAN SPERMATOZOA

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

PENGGUNAAN PROGESTERON SINTETIK PADA SAPI PERAH FRIES HOLLAND (FH) PENERIMA INSEMINASI BUATAN DAN DI EMBRIO SAPI MADURA

Kualitas spermatozoa epididimis sapi Peranakan Ongole (PO) yang disimpan pada suhu 3-5 C

PENGARUH LAMA THAWING DALAM AIR ES (3 C) TERHADAP PERSENTASE HIDUP DAN MOTILITAS SPERMATOZOA SAPI BALI (Bos sondaicus)

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 2 Maret 2015 sampai 25 Mei 2015.

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

Kelahiran Anak Sapi Hasil Fertilisasi secara in Vitro dengan Sperma Hasil Pemisahan

PENGARUH METODE PERKAWINAN TERHADAP KEBERHASILAN KEBUNTINGAN SAPI DONGGALA DI KABUPATEN SIGI

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat

DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C

SEPARASI SPERMATOZOA X DAN Y MENGGUNAKAN LEVEL ALBUMIN YANG BERBEDA SEBAGAI MEDIA PEMISAH SPERMATOZOA BABI

APLIKASI INSEMINASI SEMEN HASIL SEXING PADA SAPI INDUK PERANAKAN ONGOLE

Semen beku Bagian 3 : Kambing dan domba

I. PENDAHULUAN. Kinali dan Luhak Nan Duomerupakandua wilayah kecamatan dari. sebelaskecamatan yang ada di Kabupaten Pasaman Barat. Kedua kecamatan ini

Tatap muka ke 13 & 14 SINKRONISASI / INDUKSI BIRAHI DAN WAKTU IB

implementasi semen sexing dalam kemasan straw cair pada sapi PO di kondisi usaha ternak rakyat di Kabupaten Pasuruan, jawa Timur

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK

HASIL DAN PEMBAHASAN

PERFORMAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN SAPI PERANAKAN LIMOUSINE DI KECAMATAN BERBEK KABUPATEN NGANJUK

EFEKTIFITAS INSEMINASI BUATAN PADA SAPI POTONG MENGGUNAKAN SEMEN CAIR

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai pengaruh kadar ekstrak daun Binahong (Anredera

KUALITAS SPERMA HASIL PEMISAHAN YANG DIBEKUKAN MENGGUNAKAN RAK DINAMIS DAN STATIS

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANGKA KEBUNTINGAN (CONCEPTION RATE) PADA SAPI POTONG SETELAH DILAKUKAN SINKRONISASI ESTRUS DI KABUPATEN PRINGSEWU

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Unit Pelayanan Tekhnis Daerah Balai

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

APLIKASI TEKNOLOGI PEMISAHAN SPERMA PADA SAPI PO

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),

ABSTRAK. Oleh: *Ramli Idris Mantongi, **Suparmin Fathan, ***Fahrul Ilham

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

Keberhasilan inseminasi buatan menggunakan semen beku dan semen cair pada sapi Peranakan Ongole

PENGARUH TINGKAT PENGENCERAN TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA KAMBING PE SETELAH PENYIMPANAN PADA SUHU KAMAR

Pemantauan dan Pengukuran Proses Layanan Purna Jual. Kegiatan Nama Jabatan Tanda Tangan Tanggal. Kepala BIB Lembang

TEKNIK DAN MANAJEMEN PRODUKSI BIBIT SAPI BALI DI SUBAK KACANG DAWA, DESA KAMASAN, KLUNGKUNG ABSTRAK

INFO ISSN : Edisi XVII, Nomor 2, Juni 2015

PENGARUH PENGHILANGAN RAFINOSA DALAM PENGENCER TRIS AMINOMETHANE KUNING TELUR TERHADAP KUALITAS SEMEN KAMBING BOER SELAMA SIMPAN DINGIN SKRIPSI

Kinerja Reproduksi Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo

ANALISIS KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA TERNAK KERBAU LUMPUR

PROPORSI DAN KUALITAS SPERMATOZOA SAPI BALI HASIL SEPARASI DALAM KOLOM ALBUMIN BSA (Bovine Serum Albumin)

PENGARUH BERBAGAI METODE THAWING TERHADAP KUALITAS SEMEN BEKU SAPI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

PERFORMANS REPRODUKSI INDUK SAPI LOKAL PERANAKAN ONGOLE YANG DIKAWINKAN DENGAN TEKNIK INSEMINASI BUATAN DI KECAMATAN TOMPASO BARAT KABUPATEN MINAHASA

PENGARUH BANGSA PEJANTAN TERHADAP PRODUKTIVITAS PEDET SAPI POTONG HASIL INSEMINASI BUATAN

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

EFEKTIVITAS PENYUNTIKAN ESTRO-PLAN (PGF-2Α SINTETIS) TERHADAP PENYERENTAKAN BERAHI SAPI BALI DI KABUPATEN PINRANG SULAWESI SELATAN

SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR

Uji kualitas sperma sexing sapi Friesian Holstein (FH) pasca thawing

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN SAPI POTONG DI TINJAU DARI ANGKA KONSEPSI DAN SERVICE PER CONCEPTION. Dewi Hastuti

MATERI DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 1999 sampai dengan

III. MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di. Balai Inseminasi Buatan Tenayan Raya, Pekanbaru.

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jantan) yang terjadi hanya di tubuli seminiferi yang terletak di testes (Susilawati,

BAB I PENDAHULUAN. agar diperoleh efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan pejantan terpilih,

INDEK FERTILITAS SAPI PO DAN PERSILANGANNYA DENGAN LIMOUSIN

Transkripsi:

pissn: 1411-8327; eissn: 2477-5665 DOI: 10.19087/jveteriner.2017.18.3.353 Terakreditasi Nasional, Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan, online pada http://ojs.unud.ac.id/php.index/jvet Kemenristek Dikti RI S.K. No. 36a/E/KPT/2016 Efektivitas Sinkronisasi Estrus dan Fertilitas Spermatozoa Hasil Sexing pada Sapi Bali di Sulawesi Tenggara (EFFECTIVENESS OF ESTRUS SYNCHRONIZATION AND SPERMATOZOA FERTILITY RESULTS OF SEXING ON BALI CATTLE IN SOUTHEAST SULAWESI) Takdir Saili 1, La Ode Nafiu 1, La Ode Baa 1, Syam Rahadi 1, Astriana Napirah 1, Syamsuddin, I Wayan Sura 2, Febiang Lopulalan 2 1 Fakultas Peternakan, Universitas Halu Oleo Kambu, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, Indonesia 93561 2 Unit Pelaksana Teknis Daerah Peternakan, Dinas Pertanian dan Peternakan Sulawesi Tenggara Telepon: 0813-3168-0619; Email: takdir69@yahoo.com ABSTRAK Sinkronisasi estrus merupakan salah satu teknologi reproduksi yang diterapkan pada ternak sapi betina dengan tujuan untuk mendapatkan sejumlah ternak yang estrus secara bersamaan. Pada penelitian ini ternak yang mengalami estrus tersebut diinseminasi menggunakan spermatozoa yang telah melalui proses sexing menggunakan metode kolum albumen. Teknologi sexing spermatozoa memungkinkan untuk mengatur kelahiran anak ternak sesuai jenis kelamin yang diinginkan. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas penggunaan semen cair hasil sexing dalam memproduksi anak sapi dengan jenis kelamin yang diinginkan. Sapi bali induk sebanyak 63 ekor yang dibagi ke dalam dua kelompok, umur 3-4 tahun dan 5-6 tahun digunakan sebagai akseptor pada penelitian ini. Sebelum inseminasi buatan (IB) dilakukan, semua sapi akseptor disinkronisasi menggunakan hormon Capriglandin (PGF2α). Variabel yang diamati adalah keberhasilan sinkronisasi, estrus pascapenyerentakan birahi, kualitas estrus, non return rate, conception rate dan calving rate. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 62,90% sapi mengalami estrus setelah sinkronisasi dengan rataan waktu munculnya estrus 71,73 jam dan kualitas estrus 2,5. Sapi yang diprediksi bunting setelah inseminasi pertama dengan semen hasil sexing mencapai 82,54%. Jumlah sapi yang mampu mempertahankan kebuntingan hingga melahirkan hanya 73,02% dengan persentase jumlah anak sapi jantan yang dilahirkan mencapai 78,26%. Simpulan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah PGF2α cukup efektif merangsang munculnya estrus pada sapi bali induk dan spermatozoa hasil sexing masih mempunyai daya fertilitas yang cukup baik dengan tingkat kesesuaian jenis kelamin anak sapi yang dilahirkan mencapai 78,26%. Kata-kata kunci: semen; sexing; hormon; sinkronisasi; kebuntingan ABSTRACT Estrus synchronization is one of the reproduction technology applied in the cows that aim to induce estrus of some cows to occur in the same time. In this research, all cows expressing estrus would be inseminated using sexed sperm that produced using column albumen method. Sexing sperm technology could be applied to produce the desired sex of calf. Effectivity of chilled sexed sperm to produce the desired sex of calf was evaluated in this research. Sixty three bali cows divided into 2 groups of ages (3-4 yo. and 5-6 yo.) were used and performed synchronization using Capriglandin (PGF2α) hormone prior to application of artificial insemination with chilled sexed sperm. Variable measured were success rate of synchronization, estrus post synchronization, estrus quality, non return rate, conception rate and calving rate. The results showed that 62.90% of cows showed estrus following synchronization, estrus post synchronization occurred at 71.73 hours following synchronization, and estrus quality was 2.5%. There were 82.54% of inseminated cows was predicted to be pregnant after first insemination using chilled sexed sperm. However, only 73.02% could maintain the pregnancy up to calving. Whereas 78.26 % of newborn calf was male calf. Finally, it was concluded that PGF2α was effective to trigger estrus in bali cows, while sexed sperm still had good fertility and the sex of newborn calf was 78,26% confirmed the prediction. Key words: semen, sexing, hormon, synchronization, pregnancy 353

Takdir Saili, et al Jurnal Veteriner PENDAHULUAN Para peternak sapi di Sulawesi Tenggara umumnya adalah peternak sapi potong yang bergerak dalam usaha perbibitan dan penggemukan secara tradisional. Usaha perbibitan mereka banyak terkendala dengan kekurangan pejantan baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingginya harga jual sapi jantan dibandingkan sapi betina pada umur yang sama, sehingga peternak dengan mudah menjual ternak jantannya karena berbagai alasan ekonomi. Kondisi ini berdampak pada perpanjangan jarak beranak induk sapi sehingga perkembangan populasi ternak melamban. Kebutuhan penyediaan bakalan dan bibit pejantan unggul, mengharuskan kita untuk mengendalikan perkawinan ternak sehingga peluang kelahiran anak sapi jantan lebih besar dibandingkan anak sapi betina. Permasalahan ini hanya bisa dijawab dengan menerapkan teknologi reproduksi dalam bidang peternakan. Salah satu teknologi reproduksi yang dapat mengefisienkan sistem produksi anak sapi dengan jenis kelamin tertentu dan sudah banyak diterapkan pada ternak sapi adalah sexing spermatozoa. Melalui teknologi sexing spermatozoa, jenis kelamin anak ternak yang diproduksi dapat dikendalikan dengan proporsi tertentu. Teknologi sexing spermatozoa telah berkembang lama dan beberapa teknik telah diterapkan mulai dari teknologi sederhana seperti metode swim up spermatozoa (Sariadi et al., 2014) dan kolom albumin (Purwoistri et al., 2013) hingga teknologi sexing yang menggunakan peralatan rumit seperti flow cytometer (Sharpe dan Evans, 2009; Cran dan Johnson, 1996; Rens et al., 1999). Teknologi sexing spermatozoa yang cukup sederhana dan sudah cukup luas diterapkan adalah teknik kolom albumin. Saili et al. (2000) melaporkan bahwa dengan menggunakan teknik kolom albumen dapat diperoleh proporsi spermatozoa yang membawa kromosom Y (menentukan kelamin jantan) sebesar 73,5% pada sapi Frisian Holstain (FH). Walaupun proses sexing dapat menurunkan kualitas spermatozoa, tetapi spermatozoa hasil sexing masih dapat digunakan baik pada fertilisasi in vivo maupun in vitro untuk menghasilkan anak ternak (Carvalho et al., 2014). Akan tetapi, Putri et al. (2015) melaporkan bahwa tidak ada perbedaan kualitas spermatozoa pasca-thawing dari semen beku sapi FH baik yang melalui proses sexing maupun yang tidak melalui proses sexing. Sementara itu, Said et al. (2005) melaporkan bahwa 81% induk sapi perah yang diinseminasi dengan spermatozoa yang diprediksi membawa kromosom Y dapat melahirkan anak sapi jantan. Salah satu prosedur yang harus dijalankan sebelum melakukan inseminasi buatan secara massal adalah menyamakan kondisi estrus sapi akseptor menggunakan teknik sinkronisasi dengan melibatkan penggunaan hormon. Hormon PGF2á merupakan hormon yang umum digunakan dalam sinkronisasi estrus. Sariubang dan Nurhayu (2011) melaporkan bahwa penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2 á) sebanyak 3 ml dilakukan dua kali selang 11 hari dari penyuntikan pertama memberikan respons sinkronisasi berahi induk sapi bali lebih baik dibandingkan dengan penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2á) satu kali. Respons estrus yang meliputi lama waktu muculnya estrus setelah sinkronisasi dan kualitas estrus merupakan dua indikator utama yang harus diperhatikan dalam mengevaluasi keberhasilan sinkronisasi. Pada penelitian ini dievaluasi efektivitas sinkronisasi dalam memunculkan tanda-tanda berahi pada sapi akseptor dan fertilitas spermatozoa hasil sexing serta persentase kelahiran anak sapi jantan dibandingkan anak sapi betina setelah inseminasi dengan spermatozoa hasil sexing. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara meliputi dua kecamatan yaitu Kecamatan Lainea dan Konda. Penelitian ini menggunakan sapi bali induk sebanyak 63 ekor sebagai akseptor dan satu ekor sapi bali pejantan yang berumur tiga tahun dengan bobot badan sekitar 300 kg sebagai sumber penghasil spermatozoa. Sapi bali akseptor dibagi ke dalam dua kelompok umur, yaitu kelompok umur 3-4 tahun dan kelompok umur 5-6 tahun. Pakan yang diberikan kepada sapi bali akseptor adalah rumput lapangan, sedangkan sapi bali pejantan selain diberi pakan rumput lapangan juga ditambahkan pakan penguat (konsentrat) sebanyak 1,5% dari bobot badan per ekor per hari. Selain itu, juga digunakan sediaan hormon PGF2á (Capriglandin (5,5 mg/ml Dinoprost Tromethamine)) untuk keperluan sinkronisasi estrus. 354

Bahan utama medium sexing yang digunakan pada penelitian ini adalah bagian cair dari putih telur (albumen), dan sebagai pelarutnya digunakan medium modified-brackett- Oliphant/mBO (Saili et al., 2000). Medium mbo juga digunakan sebagai medium pencuci semen baik sebelum proses sexing maupun setelah proses sexing dan sebagai medium penambah volume semen dalam upaya mendapatkan konsentrasi spermatozoa yang ideal pada proses sexing. Selain itu, juga dibutuhkan pelarut semen Tris-Kuning telur yang digunakan pada saat menyimpan semen cair setelah proses sexing, phenol red (Sigma), penisilin dan streptomisin (Sigma), alkohol, aquabidest dan lain-lain. Pada penelitian ini digunakan seperangkat alat vagina buatan untuk menampung semen. Tabung yang digunakan pada proses sexing spermatozoa adalah tabung reaksi dengan diameter satu sentimeter dan tinggi sepuluh sentimeter. Untuk membuat dan menyimpan medium digunakan gelas ukur, labu erlemeyer dan gelas beaker dalam berbagai ukuran. Gelas penutup dan gelas objek digunakan untuk membuat preparat spermatozoa bagi berbagai keperluan pengamatan. Haemocytometer dan sentrifus (Centra - MP4R Model, International Equipment Company, USA) masing-masing digunakan sebagai alat untuk menghitung konsentrasi spermatozoa dan membersihkan spermatozoa. Selain itu, juga digunakan penangas air/water bath, magnetik stirer, pencatat waktu dan lain-lain. Penampungan Semen Penampungan semen sapi bali menggunakna metode vagina buatan. Secara ringkas dijelaskan bahwa sapi bali pejantan di arahkan ke sapi bali betina pemancing yang terlebih dahulu dipersiapkan pada kandang jepit/kawin. Sebelum dilakukan penampungan, sapi bali pejantan yang ditampung semennya didekatkan ke betina pemancing untuk merangsang munculnya libido sapi bali pejantan. Setelah libido sapi diperkirakan mencapai titik maksimal, sapi bali pejantan dibiarkan akan mengawini sapi bali betina pemancing dan pada saat itu petugas penampung semen mengarahkan penis sapi bali pejantan ke dalam alat vagina buatan. Semen hasil penampungan dibawa ke laboratorium utuk dievaluasi kualitasnya baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Proses Sexing Spermatozoa Metode sexing spermatozoa yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kolom albumin yang dimodifikasi oleh Saili et al. (2000). Medium sexing yang digunakan adalah albumen (putih telur) yang dilarutkan di dalam medium mbo dengan konsentrasi 10% (v/v) dan 30% (v/v). Medium sexing dengan konsentrasi albumen 30% dimasukan sebanyak 2 ml ke dalam tabung sexing dan selanjutnya ditambahkan medium sexing 10% dengan volume yang sama ke lapisan atas medium sexing 30%, sehingga terbentuk dua lapisan medium sexing. Proses sexing secara detail dijelaskan sebagai berikut. Semen sapi bali yang diperoleh dari hasil penampungan menggunakan metode vagina buatan, selanjutnya dicuci dengan cara disentritugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 10 menit untuk memperoleh endapan spermatozoa. Kemudian, endapan spermatozoa tersebut ditambahkan medium mbo hingga konsentrasinya menjadi 200 juta sel/ml. Sampel semen sebanyak 1 ml dimasukan ke dalam kolum yang berisi medium sexing spermatozoa dan dibiarkan mengendap selama 20 menit pada suhu 28 C. Selanjutnya, setiap fraksi semen disedot dengan pipet dan ditampung dalam tabung sentrifus. Sentrifugasi yang dilakukan dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit dimaksudkan untuk mendapatkan endapan spermatozoa yang telah bersih dari medium sexing spermatozoa. Kemudian endapan spermatozoa tersebut ditambahkan kembali dengan medium mbo, dievaluasi dan dikemas di dalam straw sebelum disimpan di dalam refrigerator (3-5 o C). Sinkronisasi dan Inseminasi Sapi Akseptor Metode sinkronisasi estrus yang diterapkan pada penelitian ini adalah hasil modifikasi Saili et al. (2011). Secara rinci metode tersebut dijelaskan sebagai berikut. Sapi bali akseptor dipastikan tidak dalam keadaan bunting dan siklus estrusnya berada pada fase luteal yang ditandai dengan adanya corpus luteum pada saat pemeriksaan palpasi per rektal. Selanjutnya dilakukan penyuntikan hormon dengan dosis 5 ml/ekor secara intramuskuler. Pengamatan tanda-tanda estrus dilakukan pada hari pertama sampai ketiga setelah sinkronisasi. Inseminasi menggunakan spermatozoa hasil sexing dilakukan pada hari ketiga setelah sinkronisasi. Pada hari ke-21 setelah inseminasi dilakukan 355

Takdir Saili, et al Jurnal Veteriner deteksi estrus untuk menentukan sapi resipien yang tidak minta kawin lagi sebagai indikator utama bahwa sapi bali resipien tersebut diduga bunting. Peubah yang Diukur Peubah keberhasilan sinkronisasi dan inseminasi serta kesesuaian jenis kelamin anak ternak yang diinseminasi menggunakan sperma hasil sexing meliputi: a) Keberhasilan sinkronisasi yaitu perbandingan jumlah sapi yang menunjukkan tanda-tanda estrus pada hari ke 1-3 setelah sinkronisasi dan jumlah sapi yang disinkronisasi menggunakan hormon PGF2á; b) Non Return Rate (NRR) yaitu jumlah sapi betina yang tidak minta kawin lagi pada hari ke-21 setelah diinseminasi; c) Pregnancy Rate (PR) yaitu jumlah betina bunting berdasarkan pemeriksaan palpasi per rectal dibandingkan dengan jumlah betina yang diinseminasi; d) Calving Rate (CR) yaitu jumlah anak yang dilahirkan dibandingkan dengan jumlah betina yang bunting; e) Tingkat kesesuaian spermatozoa hasil sexing yang diinseminasi dengan jenis kelamin anak yang lahir. Analisis Data Data berhubungan dengan peubah reproduksi meliputi persentase sapi estrus setelah sinkronisasi, waktu munculnya tanda-tanda estrus setelah sinkronisasi, kualitas estrus, non return rate (NRR), service per conception (S/C), pregnancy rate (PR), calving rate (CR) dan persentase kelahiran anak jantan dibanding betina diolah dalam bentuk persentase dan dianalisis secara diskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Sinkronisasi dan Inseminasi Buatan Semua sapi bali disinkronisasi menggunakan preparat hormon prostaglandin/ PGF2á (capriglandin ). Selanjutnya dilakukan pengamatan estrus mulai hari pertama hingga hari ketiga setelah sinkronisasi. Data hasil pengamatan estrus dan inseminasi buatan disajikan pada Tabel 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 63 ekor sapi bali yang disinkronisasi, 39 ekor (61,90%) di antaranya memberikan respons estrus dengan rataan kualitas estrus 2,5. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi tubuh ternak sapi bali ekseptor pada saat melakukan sinkronisasi yang ditunjukan oleh tingkat variasi skor kondisi tubuh yang cukup tinggi yaitu 1,5-4,0 (skor penilaian 1-5). Berdasarkan kelompok umur, kelompok sapi dengan kisaran umur 5-6 tahun menunjukkan respons estrus lebih awal yaitu 70,77 jam setelah penyuntikan, sedangkan sapi pada kelompok umur 3-4 menunjukkan respons estrus pada 72,68 jam setelah penyuntikan hormon. Demikian halnya dengan kualitas estrus sapi bali pada kelompok umur 5-6 tahun menunjukkan kualitas estrus yang cenderung lebih baik (2,6) dibandingkan sapi bali pada kelompok umur 3-4 tahun dengan kualitas estrus 2,4 (skala kualitas esturus 1-3). Data tentang waktu munculnya estrus setelah penyuntikan hormon yang diperoleh pada penelitian ini, berbeda dengan laporan Sariubang dan Nurhayu (2011) yang mengemukakan bahwa sapi bali betina induk yang disuntik dengan hormon capriglandin sebanyak 3 ml Tabel 1. Data hasil sinkronisasi dan inseminasi buatan pada sapi bali akseptor Umur (tahun) Sinkronisasi Inseminasi Buatan (IB) Jml sapi Sapi yg EPPG Kualitas Sapi yg di- MKK NRR (%) (ekor) estrus (ekor) (jam) estrus (skor) IB (ekor) (ekor) 3-4 32 17 72,68 2,4 32 4 87,50 5-6 31 22 70,77 2,6 31 7 77,42 Jumlah 63 39 63 11 Rataan 71,73 2,5 82,54 Keterangan: EPPG= estrus post PG (prostaglandin), lama waktu munculnya estrus setelah penyuntikan hormone prostaglandin; MKK= Minta kawin kembali, jumlah sapi yang minta kawin kembali dalam waktu 21 hari setelah di IB; NRR= Non return rate, persentase sapi yang tidak winta kawin lagi dalam waktu 21 setelah di-ib 356

Tabel 2. Data hasil pemeriksaan kebuntingan sapi bali dan kelahiran ternak Umur Sapi (thn) Inseminasi Buatan Kelahiran Jml sapi Bunting (%) Jantan Betina Rasio 3-4 32 26 81,25 20 6 3,33 5-6 31 20 64,52 16 4 4,00 Jumlah 63 46 36 10 Rataan 73,01 3,60 dengan satu kali penyuntikan, secara rataan memberikan respons estrus pada jam ke-64,2 setelah penyuntikan, sedangkan dengan dua kali penyuntikan dapat memberikan respons estrus pada jam ke- 60,7 setelah penyuntikan. Walaupun hanya 62% (39 ekor) sapi bali yang menunjukkan gejala estrus yang nyata setelah sinkronisasi, tetapi inseminasi buatan tetap dilakukan pada semua sapi bali akseptor. Selanjutnya, evaluasi kebuntingan dilakukan pertama kali berdasarkan kondisi tidak munculnya estrus pada hari ke-21 setelah inseminasi. Sapi bali yang kembali estrus dalam kurun waktu 21 hari setelah inseminasi pertama dicatat sebagai kelompok sapi bali yang gagal bunting pada inseminasi pertama. Hasil evaluasi kebuntingan berdasarkan kejadian estrus setelah 21 hari inseminasi menunjukkan bahwa ada 11 ekor sapi bali (17,46%) yang minta kawin kembali setelah inseminasi pertama, sedangkan jumlah sapi yang tidak estrus kembali adalah 52 ekor (82,54%). Sapi bali yang tidak menunjukkan gejala estrus setelah penyuntikan pertama dikategorikan sebagai sapi yang diduga bunting. Sapi bali pada kelompok umur 5-6 tahun mempunyai nilai Non Return Rate (NRR) yang lebih rendah (77,42%) dibandingkan sapi pada kelompok umur 3-4 tahun (87,50%). Hal ini berarti bahwa sapi bali pada kelompok umur 3-4 tahun menunjukkan persentase tanda-tanda kebuntingan yang relatif lebih baik dibandingkan sapi bali pada kelompok umur 5-6 tahun setelah proses inseminasi buatan. Pernyataan ini sejalan dengan Susilawati (2011) yang menyatakan bahwa jika sapi yang telah diinseminasi dan tidak kembali birahi, maka dianggap bunting. Pemeriksaan Kebuntingan dan Kelahiran Jumlah sapi bali yang diduga bunting ditentukan pertama kali berdasarkan angka NRR yang ditentukan pada hari ke-21 setelah IB. Namun demikian, untuk memastikan kebuntingan sapi bali akseptor, maka pada bulan kelima sampai keenam setelah IB dilakukan pemeriksaan kebuntingan (PKB) dengan metode palpasi per rektal. Hasil PKB menunjukkan bahwa 73,01% sapi akseptor dinyatakan bunting dengan persentase kebuntingan tertinggi (81%) ditunjukkan oleh sapi-sapi akseptor dengan kelompok umur 3-4 tahun, sedangkan sapi pada kelompok umur 5-6 tahun, mencapai persentase kebuntingan sebesar 64,52%. Persentase sapi bali akseptor yang bunting setelah diinseminasi menggunakan spermatozoa hasil sexing yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dari laporan Rosita et al. (2014) yang menggunakan metode sexing yang sama pada sapi peranakan ongole cross (73,01% vs 59%). Berdasarkan data kelahiran pada Tabel 2. dapat diketahui bahwa sapi bali pada kelompok umur 3-4 tahun melahirkan anak dengan rasio kelamin 3,33 atau tiga ekor jantan berbanding satu ekor betina. Pda sapi bali pada kelompok umur 5-6 tahun melahirkan anak dengan rasio kelamin 4,00 atau empat ekor jantan berbanding satu ekor betina. Secara keseluruhan, rataan rasio kelamin anak yang dilahirkan oleh sapi percobaan pada penelitian ini adalah 3,6 atau 3,6 ekor jantan berbanding satu ekor betina. Dengan demikian, tingkat kesesuaian jenis kelamin anak yang diharapkan untuk lahir sebagai jantan adalah 78,26% atau 36 ekor jantan dari keseluruhan 46 ekor anak sapi yang lahir. Hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Said dan Afiati (2012) yang menyatakan bahwa sexing spermatozoa pada sapi bali menggunakan teknik kolom albumin juga dapat dihasilkan 80,77% anak jantan setelah inseminasi menggunakan spermatozoa yang diprediksi membawa kromosom Y (Said dan Afiati, 2012). Demikian halnya dengan laporan Gunawan et al. (2015) yang melaporkan bahwa persentase kelahiran anak sapi jantan dapat 357

Takdir Saili, et al Jurnal Veteriner meningkat sampai 89,5% dengan menggunakan spermatozoa hasil sexing yang dihasilkan melalui metode kolom albumin. SIMPULAN Simpulan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah PGF2α cukup efektif merangsang munculnya estrus pada sapi bali induk. Spermatozoa hasil sexing memiliki daya fertilitas yang cukup baik dengan tingkat kesesuaian jenis kelamin anak sapi yang dilahirkan mencapai 78,26%. SARAN Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan sistem pemeliharaan betina akseptor secara intensif agar diperoleh tingkat keseragaman fisiologis reproduksi betina yang tinggi baik sebelum maupun setelah penerapan inseminasi buatan menggunakan seemn hasil sexing dilakukan. UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada Direktur Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang telah menyediakan dana penelitian melalui Program Penelitian Unggulan Strategis Nasional. DAFTAR PUSTAKA Carvalho JO, Sartori R, Dode MAN. 2014. Different ways to evaluate bovine sexed sperm in vitro. Anim Reprod 11(3): 199-206. Correa JR, Zavos PM. 1994. The hypoosmotic swelling test: Its employment as an assay to evaluate the functional integrity of the frozen-thawed bovine sperm membrane. Theriogenology (42): 351-360 Cran DG, Johnson LA. 1996. The predetermination of embyonic sex using flow cytometrically separated X and Y spermatozoa. Human Reproduction Update 2(4): 355-363. Gunawan M, Kaiin EM, Said S. 2015. Aplikasi inseminasi buatan dengan sperma sexing dalam meningkatkan produktivitas sapi di peternakan rakyat. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1(1): 93-96. Purwoistri RF, Susilawati T, Rahayu S. 2013. Kualitas spermatozoa hasil sexing menggunakan pengencer andromed dan cauda epididymal plasma-2 (CEP-2) ditambah kuning telur 10%. Jurnal Kedokteran Hewan 7(2): 116-119. Putr RDA, Gunawan M, Kaiin EM. 2015. Uji kualitas sperma sexing sapi Friesian Holstein (FH) pasca thawing. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1(8): 2057-2061. Rens W, Welch GR, Johnson LA. 1999. Improved flow cytometric sorting of X- and Y- chromosome bearing sperm: substansial increase in yield of sexed semen. Mol Reprod and Dev 52: 50-56. Rosita EA, Susilawati T, Wahyuningsih S. 2014. Keberhasilan IB menggunakan semen beku hasil sexing dengan metode sedimentasi putih telur pada sapi PO cross. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 24(1): 72-7. Said S, Kaiin EM, Tappa B. 2005. Produksi anak sapi potong dan sapi perah berjenis kelamin sesuai harapan. Pros. Seminar Nasional Industri Peternakan Modern II. Mataram, 19-20 Juli 2005. Hlm. 209-216 Said S, Afiati F. 2012. Quality of sexed sperm and it s gender concordance on Bali cattle. Proceeding of International Conference on Livestock Production and Veterinary Technology. Oct 1, 2012 to Oct 4, 2012. Bogor, Indonesia. Saili T, Toelihere MR, Boediono A, Tappa B. 2000. Keefektifan albumen sebagai media pemisah spermatozoa sapi pembawa kromosom X dan Y. Hayati 7: 106-109. Saili T, Bain A, Aku AS, Rusdin M, Aka R. 2011. Sinkronisasi estrus melalui manipulasi hormon agen luteolitik untuk meningkatkan efisiensi reproduksi Sapi Bali dan Peranakan Ongole di Sulawesi Tenggara. Agriplus 21(1): 50-54. 358

Sariadi, Dasrul, Akmal M. 2014. Rasio jenis kelamin kelahiran anak kambing peranakan ettawa (PE) hasil inseminasi buatan menggunakan spermatozoa swim up. Agripet 14(2): 132-138. Sariubang M, Nurhayu A. 2011. Respon penyuntikan hormon Capriglandin PGF2á terhadap sinkronisasi estrus induk sapi bali di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Hlm. 45-49. Sharpe JC, Evans KM. 2009. Advances in flow cytometry for sperm sexing. Theriogenology 71: 4-10. Susilawati T. 2011. Tingkat keberhasilan inseminasi buatan dengan kualitas dan deposisi semen yang berbeda pada sapi Peranakan Ongole. J Ternak Tropika 12(2): 17-22. 359