BAB VI KESIMPULAN. sosial-politik yang melingkupinya. Demikian pula dengan Islamisasi dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 'kerukunan antar umat beragama'. Namun demikian apakah kesan demikian selalu

BAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang

Kekerasan dan Konstruksi Keagamaan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata

BAB V. Penutup: Refleksi, Kesimpulan dan Saran

I. PENDAHULUAN. agama-agama asli (agama suku) dengan pemisahan negeri, pulau, adat yang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang

Kekerasan Sipil dan Kekuasaan Negara

BAB V. Penutup. Dari kajian wacana mengenai Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar

Islam dan Sekularisme

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. (Kompas, Republika, dan Rakyat Merdeka) yang diamati dalam penelitian

BAB V PENUTUP. aliran kepercayaan disetarakan statusnya layaknya agama resmi lainnya (Mutaqin

BAB IV KESIMPULAN. dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman,

BAB V KESIMPULAN. menolak Islamophobia karena adanya citra buruk yang ditimbulkan oleh hard

BAB V. Penutup. GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus

Islam dan Demokrasi. Disusun oleh : AL-RHAZALI MITRA ANUGRAH F FEBRIAN DELI NOVELIAWATI C.

BAB I PENDAHULUAN. Jurnal Teologi Gema Duta Wacana edisi Musik Gerejawi No. 48 Tahun 1994, hal. 119.

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan. Keanekaragaman ini merupakan warisan kekayaan bangsa yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sebagai bangsa yang lekat dengan primordialisme, agama menjadi salah satu

BAB V PENUTUP. mempertahankan identitas dan tatanan masyarakat yang telah mapan sejak lama.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ibid hlm. 43

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia hidup juga berbeda. Kemajemukan suku bangsa yang berjumlah. 300 suku hidup di wilayah Indonesia membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN UKDW

1.2 Menegakkan Kerajaan Allah dalam Modernisasi Indonesia: O. Notohamidjojo...33

ISLAM DAN KEBANGSAAN. Jajat Burhanudin. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)

BAB IV. Pandangan jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang diakonia

BAB V KESIMPULAN. Dari seluruh pembahasan studi ini dapat disimpulkan bahwa industri batik di

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN UKDW

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

BAB VI PENUTUP. Analisis Percakapan Online atas Diskusi Politik Online tentang pembentukan

BAB I PENDAHULUAN. Partai politik merupakan fenomena modern bagi negara-negara di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia.

BAB VII PENUTUP. Dinamika politik Indonesia kontemporer peran politik aliran masih mewarnai

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. Peran Berita Politik Dalam Surat Kabar Pikiran Rakyat Terhadap Pengetahuan Politik Mahasiswa Ilmu Sosial se-kota Bandung

BAB V KESIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI

BAB V. Penutup. pengaruh kapitalisme guna mewujudkan revolusi sosialis di Indonesia, berangkat dari

BAB IV PENUTUP. melalui tiga hal, yaitu satu identitas beragama Islam, dau identitas. bentuk, yaitu slametan dan nyadran.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin Tahun , penulis

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Plenary Session III : State and Religion-Learning from Best Practices of each Country in Building the Trust and Cooperation among Religions

BAB I PENDAHULUAN UKDW. E.P. Ginting, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru (Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), hlm.

Pendidikan Agama Islam

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di

BAB I. Pendahuluan Latar Belakang Masalah

BAB VI KESIMPULAN. kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan

BAB V PENUTUP. 1. Tradisi Piring Nazar sebagai sebuah kenyataan sosio-religius dapat dijadikan sebagai

Berderma dan Sejarah Sosial Politik Islam Indonesia

Pemberdayaan KEKUASAAN (POWER)

BAB VI KESIMPULAN. Mohamad (GM), sebagai salah seorang pendiri dan mantan pemimpin Majalah

BAB 5 Penutup. dalam ciri-ciri yang termanifes seperti warna kulit, identitas keagamaan

PARTAI POLITIK OLEH: ADIYANA SLAMET. Disampaikan Pada Kuliah Pengantar Ilmu Politik Pertemuan Ke-15 (IK-1,3,4,5)

BAB VI PENUTUP. Universitas Indonesia Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. tersebut. Fenomena ini misalnya terlihat pada kasus penganut ajaran Sikh yang

PEDOMAN OBSERVASI. No Aspek yang diamati Keterangan. dalam menjaga hubungan yang

Bab V. Kesimpulan. adat, sehingga memunculkan istilah biar mati anak, asal jangan mati adat.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Dr. Harun, Iman Kristen (Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia), 2001, hlm

BAB I PENDAHULUAN A. MASALAH. A.1. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran, di antaranya: pendidikan dan pelatihan guru, pengadaan sarana dan

Bab VI: Kesimpulan dan Rekomendasi

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia selalu saja menarik untuk diwacanakan, dikaji, diteliti, bahkan

BAB VI KESIMPULAN. masyarakat hidup bersama biasanya akan terjadi relasi yang tidak seimbang. Hal

PANCASILA. Sebagai Ideologi Negara. Disampaikan pada perkuliahan Pancasila kelas PKK. H. U. Adil Samadani, SS., SHI.,, MH. Modul ke: Fakultas Teknik

REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Dawam Rahardjo: Saya Muslim dan Saya Pluralis

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah tiga institusi pilar Globalisasi.(Amin Rais, 2008: i)

BAB I PENDAHULUAN. faktor penggerak gerakan sosial. Sebagai suatu bentuk tindakan kolektif yang

Survei Opini Publik Toleransi Sosial Masyarakat Indonesia

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para

UKDW. Bab I Pendahuluan

4. Analisis Hasil Penelitian: Peran Agama-agama dalam Nation Building di Indonesia

Konstitusi Rancangan Rusia untuk Suriah: Pertimbangan tentang Pemerintahan di Kawasan Tersebut

Oleh: Hafidz Abdurrahman

BAB IV ANALISIS TENTANG TOLERANSI MASYARAKAT ISLAM TERHADAP KEBERADAAN GEREJA PANTEKOSTA DI DESA TELAGABIRU

IN MEMORIAM DR WIJAYA HERLAMBANG

BAB I PENDAHULUAN. harus dijaga di Indonesia yang hidup di dalamnyaberbagai macam suku, ras,

PRANATA KEISLAMAN Oleh Nurcholish Madjid

BAB IV PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 9 DAN NOMOR 8 TAHUN 2006 : SUATU TINJAUAN DALAM PERSPEKTIF FIQIH SIYASAH

BAB IV ANALISIS. Cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Tulus berarti tindakan yang dilandasi dengan

BAB IV ANALISA DATA. A. Pergeseran Pelaksanaan Upacara Manganan Perahu

9 Penyebaran hate..., Gloria Truly Estrelita, FISIP UI, 2009

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang Bangsa dan negara Indonesia sejak proklamasi pada tanggal 17 Agustus

BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi

Transkripsi:

1 BAB VI KESIMPULAN Sebagaimana proses sosial lainnya, proselitisasi agama bukanlah sebuah proses yang berlangsung di ruang hampa. Ia tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik yang melingkupinya. Demikian pula dengan Islamisasi dan Kristenisasi yang berlangsung di Surakarta pada masa Orde Baru. Islamisasi yang berlangsung di Surakarta pada masa Orde Baru dalam batas-batas tertentu merupakan suatu bentuk kerjasama antara negara dengan warganya, lebih tepatnya antara pemerintah Orde Baru dengan kalangan santri, khususnya yang berlatar belakang eks-masyumi. Dalam konteks ini terjadi hubungan saling memanfatkan antara pemerintah Orde Baru dengan kalangan santri di Surakarta dengan agenda modernisasi atau pembangunan sebagai media bagi simbiosis mutualisme ini. Islamisasi di Surakarta pada era Orde Baru ini melahirkan identitas keislaman yang menekankan kesalehan ritual, hal-hal seremonial dan simbolik, serta ortodoksi agama. Sementara bagi pemerintah Orde Baru, Islamisasi yang disubordinasikan dalam kerangka besar modernisasi memberikan legitimasi religius bahwa ia bukanlah pemerintahan yang anti-islam melainkan justru mendukung kepentingan Islam. Hal serupa juga terlihat pada Kristenisasi di Surakarta. Dalam kasus GKJ, sebagaimana lembaga zending yang menjadi pendahulunya, GKJ meneruskan pola hubungan bersahabat dengan negara. Agenda pembangunan menjadi media yang dimanfaatkan betul oleh GKJ untuk menjalankan tugas pekabaran Injilnya. Secara

2 kuantitas jumlah umat Kristiani di Surakarta bertambah yang dengan kata lain menambah jumlah pemeluk Kristen dari etnis Jawa. Tumbuhnya komunitas Kristen Jawa ini diiringi dengan timbulnya ambivalensi antara identitas kejawaan dengan kekristenan. Ambivalensi ini mempunyai fungsi penting bagi umat Kristen Jawa di Surakarta dalam membangun harmoni di tengah masyarakat yang majemuk. Di sisi lain identitas kekristenan yang tumbuh di Surakarta setidaknya pada kalangan jemaat GKJ- dicirikan pula dengan penekanan pada religiusitas pribadi dan usaha selalu menjalin hubungan baik dengan negara. Di tengah berjalannya proses Islamisasi dan Kristenisasi di Surakarta terjadi pula persaingan dan kecurigaan antara komunitas Muslim dan Kristen. Walaupun demikian itu semua tidak sampai menyulut konflik terbuka. Ia hanya berlangsung di bawah permukaan. Di permukaan usaha membangun harmoni tetap dikedepankan. Berakhirnya era Orde Baru membuka ruang bagi mencuatnya sentimen-sentimen agama yang sebelumnya hanya dipendam di bawah permukaan dan kemunculan kelompok-kelompok agama yang membawakan identitas keberagamaannya dengan lebih tegas. Kelompok-kelompok tersebut memang bukan kelompok dominan akan tetapi kelahiran mereka sedikit-banyak adalah hasil dari proses pengagamaan pada masa Orde Baru. Di sinilah letak paradoksnya, sementara di satu sisi pemerintah Orde Baru menabukan penonjolan identitas primordial, di sisi lain proses pengagamaan yang mereka dukung sesungguhnya ikut menaburkan benih bagi munculnya kelompok-kelompok tersebut. Kemunculan mereka pada akhirnya adalah soal momentum belaka, dan momentum itu datang ketika negara sedang lemah.

3 Berdasarkan uraian ringkas di atas, modernisasi yang menjadi agenda besar negara Orde Baru dengan slogan dan wacana pembangunan -nya merupakan latar yang harus dilihat untuk memahami Islamisasi dan Kristenisasi di Surakarta dan juga identitas keberagamaan yang dilahirkan oleh kedua proses tersebut. Modernisasi yang dimotori negara Orde Baru tidak menafikkan peran agama. Alihalih memandang agama sebagai penghambat modernisasi, negara dalam batas-batas tertentu memanfaatkan agama untuk mendukung agenda modernisasi yang dicanangkannya. Sedikit banyak ini ada kaitannya dengan konteks yang melatari lahirnya Orde Baru itu sendiri. Orde Baru lahir sebagai hasil pergulatan politik antara kubu anti-komunis melawan komunis dan golongan agama -baik Islam maupun Kristen- dengan tegas memosisikan dirinya di kubu anti-komunis. Kemenangan kubu anti-komunis melahirkan Orde Baru yang selanjutnya berusaha membersihkan sisa-sisa pengaruh komunis sekaligus potensi-potensi bagi timbulnya dukungan bagi komunis di masyarakat. Oleh karena komunisme dipersepsikan sebagai ideologi anti-agama, proses pengagamaan menjadi penting. Dalam konteks Jawa dan khususnya Solo, orang-orang abangan yang dianggap tidak beragama dan menjadi basis massa PKI menjadi obyek pengagamaan. Di sini terjadi pertemuan kepentingan antara negara dengan institusi-institusi agama. Negara membuka ruang lebar-lebar bagi -bahkan bekerjasama dengan- institusi-institusi agama untuk melakukan proselitisasi kepada kaum abangan. Dalam kaitannya dengan modernisasi, agama juga dipandang penting oleh negara dalam rangka mendorong rasionalisasi yang merupakan bagian tak

4 terpisahkan dari modernisasi. Pada masyarakat yang masih memegang kuat nilainilai transendental, agama -dalam arti agama-agama yang terorganisir- bisa berfungsi sebagai pendorong rasionalisasi alih-alih menjadi penghambat. Agamaagama terorganisir -Islam dan Kristen termasuk di antaranya- menekankan ortodoksi yang berarti konsistensi dan koherensi dalam doktrin-doktrin yang diyakini penganut agama serta dalam hubungan antara doktrin dengan praktik beragama. Dalam pandangan ortodoksi, sinkretisme yang banyak dianut masyarakat tradisional dianggap tidak konsisten dan koheren atau dengan kata lain tidak rasional dan ini harus diubah. Islamisasi maupun Kristenisasi di Surakarta berusaha mengikis sinkretisme yang jamak ditemui di kalangan masyarakat Jawa dan ini berarti pula suatu usaha ke arah rasionalisasi. Dengan latar yang demikian tidak heran jika identitas keberagamaan yang lahir sebagai hasil Islamisasi dan Kristenisasi di Surakarta pada masa Orde Baru adalah identitas yang menekankan ortodoksi agama, yang notabene dianggap lebih rasional dibanding keberagamaan sinkretis ala masyarakat abangan. Sementara itu, latar belakang para agen proselitisasi agama adalah hal lain yang berpengaruh besar dalam pembentukan identitas keislaman dan kekristenan di Surakarta. Dalam kasus dakwah Islam kaum pedagang dan profesional merupakan aktor-aktor utama penggerak dakwah di Surakarta. Ini tidak lain adalah kelanjutan dari aktivisme Islam dari kelompok yang sama yang telah berlangsung sejak masa kolonial. Dalam kasus pekabaran Injil, peran lembaga gereja memang lebih menonjol dibanding individu-individu yang teridentifikasi sebagai bagian dari kelompok tertentu dalam struktur sosial di Surakarta. Akan tetapi dalam konteks

5 sosial Surakarta, gereja setidaknya dalam kasus GKJ- bisa disebut sebagai institusi yang merepresentasikan kaum terdidik dengan ekonomi yang relatif mapan. GKJ dibangun dan digerakkan oleh orang-orang ini yang merupakan hasil pendidikan yang diselenggarakan zending pada masa kolonial. Melihat latar belakang para agen proselitisasi agama ini tidak heran jika identitas keberagamaan yang tumbuh sebagai hasil dari proselitisasi itu adalah identitas yang disadari ataupun tidak- mencerminkan aspirasi kelas menengah. Dengan kebutuhan material-ekonomisnya yang relatif sudah tercukupi mereka bisa lebih berkonsentrasi mengembangkan religiusitas pribadi. Religiusitas pribadi inilah yang kemudian disebarkan kepada masyarakat luas. Dalam konteks Islamisasi, penekanan pada kesalehan individu seperti pentingnya ketaatan melaksanakan ibadah ritual dan kewajiban-kewajiban agama lainnya menjadi orientasi utama dakwah yang pada akhirnya menghasilkan identitas keislaman yang juga menekankan kesalehan individu. Sementara dalam konteks Kristenisasi, penekanan pada keselamatan individu lewat penerimaan atas iman Kristiani menjadi orientasi utama pekabaran Injil yang pada akhirnya juga menghasilkan identitas kekristenan yang lebih menekankan pada keselamatan individu ketimbang sosial. Ini semua tidak berarti bahwa para agen proselitisasi agama di Surakarta abai terhadap permasalahan sosial-ekonomi seperti kemiskinan akan tetapi perhatian terhadap permasalahan ini tampaknya lebih banyak ditunjukkan lewat tindakan karitatif (santunan) ketimbang advokasi melawan ketimpangan struktural. Studi ini mengelaborasi studi yang telah dilakukan Ricklefs tentang Islamisasi dan para penentangnya di Jawa pada era kontemporer khususnya pada

6 periode Orde Baru. Dalam studinya Ricklefs menyinggung secara singkat konversi kaum abangan ke Kristen pada masa awal Orde Baru dengan Surakarta sebagai salah satu daerah yang gejala konversi ini terjadi secara mencolok di samping juga Islamisasi yang berlangsung di daerah ini pada periode yang sama. Hanya saja Ricklefs tidak mengkaji lebih jauh seperti apa identitas keislaman dan kekristenan yang tumbuh di Surakarta dalam kaitannya dengan proses modernisasi yang diinisiasi negara pada periode tersebut. Studi ini melihat bahwa dalam kasus Surakarta modernisasi oleh pemerintah Orde Baru yang diawali dengan penghancuran gerakan komunis yang dicap anti-agama- membuka ruang bagi bersemainya identitas primordial dalam hal ini agama- seiring dengan berlangsungnya proselitisasi agama yang didukung dan dimanfaatkan- negara dalam rangka mendukung agenda modernisasinya.