BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya era Otonomi Daerah pasca berlakunya Undang-Undang (UU)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB VI PENUTUP. 6.1 Kesimpulan

Bab I PENDAHULUAN. meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan bagi hasil sumber daya alam

Grafik 1. Area Bencana

RAPAT KOORDINASI PENANGANAN KONFLIK POLITIK DAN BATAS DAERAH ADMINISTRASI DI PROVINSI RIAU

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk

PENGELOLAAN PERSELISIHAN DALAM PENEGASAN BATAS WILAYAH KOTA MAGELANG DENGAN KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah. Karena otonomi daerah itu sendiri adalah hak, wewenang, dan

DAFTAR ISI Bab 1: Pendahuluan Bab 2: Kajian Teoritik Bab 3: Metoda Penelitian

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Kabupaten Tasikmalaya 10 Mei 2011

BAB I PENDAHULUAN. Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban. tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif

RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 18 ayat (2) menegaskan bahwa Pemerintah daerah mengatur dan mengurus

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang dianut pemangku kebijakan. Kurikulum memiliki. kedudukan yang sangat sentral dalam keseluruhan proses pendidikan.

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB IV PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. Kedudukan wakil kepala daerah muncul dalam UU No. 32 tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB I PENDAHULUAN. peran vital dalam menunjang kehidupan manusia dan produktivitasnya. Dari

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah membawa dampak besar bagi pelaksanaan program

BAB IV PENUTUP. A. Kesimpulan. Setelah dilakukannya pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat. dirumuskan kesimpulan berupa:

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuntutan reformasi disegala bidang membawa dampak terhadap hubungan

BAB I PENDAHULUAN. dengan dari adanya dukungan dari wilayah-wilayah yang ada di sekitarnya.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tersebut mengatur pelimpahan kewenangan yang semakin luas kepada

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia telah melewati serangkain

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada awal tahun 1996 dan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia.

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan. bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM

I. PENDAHULUAN. suatu sistem pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan

RINGKASAN. vii. Ringkasan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Organisasi pemerintah daerah merupakan lembaga yang menjalankan roda

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Selain

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KOTA TANGERANG SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia pasca reformasi tahun 1998 telah menimbulkan tuntutan yang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap negara selalu melakukan upaya untuk meningkatkan. kesejahteraan masyarakatnya yang salah satunya melalui pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peraturan perundang-undangan merupakan peraturan tertulis yang memuat

Peran Kelembagaan dalam Mitigasi Bencana di Indonesia. Oleh: Rudi Saprudin Darwis

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Demokrasi adalah salah satu tuntutan terciptanya penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan penataan ruang meliputi aspek-aspek pengaturan,

BAB I PENDAHULUAN. menarik perhatian kalangan organisasi. Perputaran karyawan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

L A P O R A N K I N E R J A

BUPATI BOALEMO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOALEMO NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi masyarakat. Padahal, tanah dari dulu hingga sekarang tidak

RENCANA DETAIL TATA RUANG (RDTR) IBUKOTA KECAMATAN TALANG KELAPA DAN SEKITARNYA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia telah memasuki era baru, yaitu era reformasi yang ditandai

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Seiring dengan dimulainya era reformasi pada tahun 1998, telah memberikan harapan bagi perubahan menuju perbaikan di

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal - usul, dan/atau

Bab 1 Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 8.1 Kesimpulan. penelitian, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

BAB VI PENUTUP. dapat mendorong proses penganggaran khususnya APBD Kota Padang tahun

BAB I PENDAHULUAN. Kependudukan merupakan masalah yang cukup serius di Indonesia,

I. PENDAHULUAN. ini karena tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan akan

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

Mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 2

Relevansi dan Revitalisasi GBHN dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia 1. Tunjung Sulaksono 2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB l PENDAHULUAN. Bergulirnya era reformasi yang dipicu peristiwa Mei 1998 diantaranya telah

BAB I PENDAHULUAN. sekelompok manusia sangat diperlukan untuk dapat bersosialisasi dan bekerja

Mekanisme Baru Pengawasan Perda PDRD

BAB I PENDAHULUAN. wilayah tanah air Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia merupakan negara yang agraris. Suasana

IV.B.5.Urusan Wajib Penataan Ruang

BAB I PENDAHULUAN. demokratisasi. Tujuan Otonomi Daerah adalah untuk meningkatkan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Perselisihan Batas Derah, Konflik Setengah Hati

BAB I PENDAHULUAN. sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. perjalanan kehidupan umat manusia, perbedaan inilah yang selalu menimbulkan

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG (RPJP)

BAB I KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS RPJMD KABUPATEN BANYUASIN

I. PENDAHULUAN yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Bengkalis. Adanya

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Kesadaran tersebut

BAB 14 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, membayar pajak merupakan salah satu kewajiban dalam. mewujudkan peran sertanya dalam membiayai pembangunan secara

CATATAN KOLOKIUM NON-SUBSTANSI

RPJMD Kota Pekanbaru Tahun

TOR. Rencana Kajian Perubahan PERPRES NOMOR 87 TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN. tantangan yang lebih terbuka, sehingga sangat dibutuhkan kehadiran setiap

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan salah satu upaya renovasi yang dilaksanakan

Situasi pangan dunia saat ini dihadapkan pada ketidakpastian akibat perubahan iklim

KONFLIK BATAS WILAYAH DI ERA OTONOMI MENURUT UNDANG-UNDANG 32 TAHUN Mashuri, MA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Pendahuluan Lahirnya era Otonomi Daerah pasca berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah membawa implikasi yang sangat signifikan terhadap berlangsungnya proses pemerintahan di daerah. Spektrum otonomi yang luas dan nyata di daerah telah memungkinkan daerah berwenang mengambil inisiatif, mengelola, dan menentukan arah serta intensitas perkembangan wilayahnya secara mandiri dan kuat. Salah satu unsur utama wilayah yang terkait erat dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah kejelasan batas daerah. Pada era Otonomi Daerah, kejelasan batas daerah begitu penting karena akan menentukan cakupan pengelolaan dan pelayanan yang dilakukan oleh masing-masing pemerintah daerah. Hal ini berbeda jauh dibandingkan pada era Orde Lama (1945-1965) dan Orde Baru (1966-1998), dimana pemerintahan bersifat sentralistrik dan kewenangan daerah sangat terbatas, sehingga batas daerah tidak berperan penting di dalamnya (Joyosumarto, 2013). Kejelasan dan ketegasan batas daerah akan membawa implikasi setidaknya terhadap: 1) kejelasan dan kepastian cakupan wilayah administrasi suatu pemerintahan daerah; 2) efisiensi dan efektivitas pelayanan kepada masyarakat; 3) kejelasan luas wilayah; 4) kejelasan administrasi kependudukan; 5) kejelasan daftar pemilih dalam Pemilu maupun Pilkada; 6) kejelasan administrasi 1

2 pertanahan; 7) kejelasan perijinan pengelolaan SDA; dan 8) menghindari tumpangtindih pengaturan tata ruang daerah (Subowo, 2012). Kejelasan batas daerah memiliki kaitan sangat erat dengan kegiatan perencanaan wilayah. Batas daerah yang jelas akan mendukung proses perencanaan wilayah, dan sebaliknya, terjadinya permasalahan batas dapat menjadi kendala dalam kegiatan perencanaan dan penataan wilayah. Pentingnya kejelasan batas daerah ini sejalan dengan amanat pada setiap Undang-Undang Pembentukan Daerah (UUPD), yang memberikan wewenang pada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk melakukan penegasan batas daerah. Dalam setiap UUPD disebutkan bahwa penegasan batas daerah harus sudah dilakukan maksimal 5 tahun setelah pembentukan daerah disahkan. Selain dilakukan terhadap daerah otonom baru, penegasan batas daerah juga dilakukan terhadap daerah otonom lama. Mekanisme penegasan batas daerah secara khusus diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah menggantikan Permendagri Nomor 1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. Penegasan batas daerah secara nasional bukan hal yang mudah untuk diselesaikan. Selain karena jumlah segmen batas daerah yang sangat banyak, terdapat beberapa permasalahan atau konflik yang mengiringi proses penegasan batas tersebut. Merujuk pada data Kemendagri (2014), dari sebanyak 970 segmen batas daerah, yang sudah ditetapkan dengan Permendagri baru 193 segmen (19.9%), yang sudah dilacak dan diukur sebanyak 425 segmen (43.8%), yang

3 sedang dalam proses penyusunan draft permendagri sebanyak 90 segmen (9.3%), dan yang belum ditegaskan sebanyak 262 segmen (27%). Diantara yang sudah dilacak dan diukur terdapat 55 segmen (12.9%) yang terlaporkan ke pusat dengan status bermasalah atau konflik. Sisanya masih terdapat segmen bermasalah yang tidak terlapor ke pusat karena ditangani oleh pemerintah provinsi. Selain itu pada segmen yang belum ditegaskan diduga juga masih memiliki potensi bermasalah. Kajian mengenai konflik pada proses penegasan batas menjadi menarik karena dimensi dan penyebab konflik yang beragam. Menurut Joyosumarto, dkk., (2013), konflik batas daerah dapat terjadi antar daerah otonom baru, antara daerah otonom baru dengan daerah otonom lama, serta antar daerah otonom lama yang terjadi pada era Otonomi Daerah. Faktor penyebab konflik batas antara lain: konflik struktural, faktor kepentingan, konflik nilai, konflik hubungan, dan konflik data/informasi. Kesekian konflik tersebut mengerucut menjadi dua konflik utama, yakni: 1) konflik data/informasi, dan 2) kombinasi antara konflik data/informasi dengan faktor kepentingan memperebutkan sumber daya wilayah. Dengan beragam problematika penegasan batas daerah tersebut, proses penyelesaian konflik merupakan salah satu titik yang penting untuk dikaji. Masih banyaknya konflik batas daerah khususnya antar kabupaten/kota yang belum selesai menjadi suatu pemicu untuk mengetahui bagaimana proses penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah provinsi. Kajian penyelesaian konflik batas daerah pada satu kejadian dapat untuk menjadi contoh bagi penyelesaian konflik di lokasi lain dengan karakter konflik serupa/hampir sama.

4 1.1.2 Konflik batas daerah antara Kabupaten Magelang dan Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Konflik batas daerah antara Kabupaten Magelang dan Kota Magelang merupakan salah satu contoh konflik batas yang berlangsung lama dan belum bisa diselesaikan. Sebagaimana diteliti oleh Kristiyono (2008), konflik antara kedua daerah ini dilatarbelakangi oleh faktor struktural, sejarah, peraturanperaturan yang berpengaruh pada eksistensi daerah, serta perbedaan kepentingan. Lokasi konflik meliputi tiga desa di perbatasan antara kedua daerah (Bulurejo, Banyurojo, dan Mertoyudan). Ketiga desa ini merupakan wilayah strategis perkotaan dengan potensi ekonomi tinggi. Konflik bermula pada tahun 1990-an dengan isu utama perluasan wilayah Kota Magelang yang bermuara pada perbedaan persepsi cakupan wilayah khususnya terhadap tiga desa tersebut. Meski terjadi permasalahan namun tingkat masalah tidak terlalu signifikan. Konflik ini mengalir dan semakin menguat pada era otonomi daerah yakni pada tahun 2001 dengan adanya upaya penataan batas daerah. Setelah otonomi daerah, maka klaim terhadap batas wilayah menjadi lebih kuat daripada sebelumnya, akibatnya konflik batas daerah pun semakin kuat. Kristiyono (2008) menambahkan, konflik ini setidaknya telah membawa dampak pada dualisme sertifikasi tanah khususnya di tingkat desa /kelurahan pada lokasi konflik, dan adanya ketidakpastian kewenangan dalam pelayanan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Selain itu terjadi dualisme kewenangan dalam perijinan investasi dan pajak/retribusi. Penyusunan RTRW juga terkendala dan menunggu kepastian penyelesaian masalah batas ini.

5 Konflik batas ini telah diupayakan untuk diselesaikan oleh kedua daerah sejak tahun 2001, namun karena tidak kunjung selesai maka pada tahun 2009 konflik ini diserahkan ke tingkat provinsi untuk diselesaikan. Penyerahan ini sejalan dengan telah terbitnya pedoman tentang penegasan batas melalui Permendagri Nomor 1 Tahun 2006. Sejak saat itu hingga sekarang proses mediasi terus dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dengan melibatkan berbagai pihak yang kompeten. Namun hingga saat ini belum dicapai kesepakatan. Masing-masing daerah masih bertahan dengan kepentingannya. Proses dan problematika mediasi konflik batas oleh pemerintah provinsi menarik untuk dikaji. Bagaimana langkah-langkah yang telah ditempuh oleh pemerintah provinsi dalam menjalankan mediasi, serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya, merupakan esensi yang relevan untuk diteliti. Selain itu pihak yang terlibat dalam konflik, dokumentasi, dan data dukung dalam proses mediasi masih bisa ditemui, sehingga penelitian ini masih relevan dilakukan. Berdasarkan kondisi di atas, penulis mengambil judul penelitian Proses Mediasi Konflik Batas Daerah Antara Kabupaten Magelang dan Kota Magelang Provinsi Jawa Tengah. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan kondisi tersebut, maka pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana proses mediasi konflik batas daerah yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah? b. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi proses mediasi tersebut?

6 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah: a. Mengidentifikasi proses mediasi konflik batas daerah yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah; b. Mengindentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi proses mediasi tersebut. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: a. Manfaat secara akademis Memberikan khasanah pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana proses mediasi dalam rangka penyelesaian konflik batas daerah beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya. b. Manfaat secara umum Sebagai salah satu bahan dalam kajian penyelesaian konflik batas daerah, baik bagi pemerintah maupun kalangan umum. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi bagi upaya penyelesaian permasalahan batas daerah. 1.5 Keaslian Penelitian: Penelitian tentang problematika konflik batas daerah telah dilakukan oleh beberapa penulis. Diantara yang relevan untuk digunakan sebagai pembanding adalah penelitian yang dilakukan oleh Nanang Kristiyono (2008), Wahyono (2011), dan Yanuarius Boko (2013) sebagaimana diuraikan secara singkat dalam tabel berikut:

7 Tabel 1. Penelitian yang pernah dilakukan No Penulis Judul Substansi Keterangan 1 Nanang Kristiyono (2008) 2 Wahyono (2011) Konflik Dalam Penegasan Batas Daerah Antara Kota Magelang Dengan Kabupaten Magelang (Analisis Terhadap Faktor- Faktor Penyebab dan Dampaknya) Analisis Penyelesaian Perselisihan Batas Daerah Antara Kabupaten Sleman Dan Kabupaten Bantul di Provinsi DIY 3 Yanuarius Boko Efektifitas Mediasi Dalam Penyelesaian Konflik Batas (2013) Wilayah Administrasi Pemerintahan Antara Kabupaten Belu dan Timor Tengah Selatan pada Segmen Lotas Sumber: Sintesis penulis, 2014 Penyebab dan dampak konflik batas daerah Tahapan penyelesaian perselisihan daerah. batas Efektifitas mediasi yang dilakukan. Lokasi sama, namun fokus berbeda. Tidak menyentuh upaya mediasi. Penelitian berakhir 2008. Fokus pada proses penyelesaian secara teknis bukan pada teori mediasi, dengan lokasi berbeda Fokus hampir sama, namun lokasi dan kondisi berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Kristiyono (2008) meskipun memiliki lokus yang sama, namun fokus penelitian berbeda yakni identifikasi penyebab dan dampak konflik yang terjadi, serta tidak menguraikan proses penyelesainnya. Selain itu penelitian ini selesai pada tahun 2008 dimana pelimpahan proses penyelesaian konflik ke tingkat provinsi belum berlangsung. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Wahyono (2011), selain lokasi yang berbeda yakni di DIY, fokus penelitian lebih kepada potret proses penyelesaian konflik tanpa kajian yang lebih mendalam pada aspek mediasi. Penelitian lain oleh Yanuarius Boko (2013) memiliki kemiripan fokus yakni pada efektifitas mediasi dalam proses penyelesaian konflik, namun dengan lokasi dan kondisi konflik yang berbeda.

8 Berdasarkan identifikasi pada masing-masing penelitian tersebut, penelitian tentang mediasi dalam penyelesaian konflik batas daerah antara Kabupaten Magelang dan Kota Magelang belum pernah dilakukan. Meskipun demikian, jika ada beberapa bagian penulisan yang diambilkan dari penelitian yang pernah ada sebagai referensi, penulis tetap mengedepankan etika penulisan ilmiah dengan mencantumkan sumber rujukan serta berusaha menghindari sejauh mungkin plagiarisme. 1.6 Batasan penelitian Penelitian dilakukan dalam batasan proses mediasi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya secara formal. Adapun upaya informal mediasi dan faktor non formal yang mempengaruhi meskipun tidak bisa dikesampingkan arti pentingnya namun tidak menjadi fokus penelitian ini. Meskipun demikian, observasi terhadap keseluruhan aspek tetap dilakukan (formal dan informal) sejauh yang bisa diakomodasi oleh penulis dengan pertimbangan waktu penelitian serta ketersediaan dan validitas data/informasi.